*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan dalam blog ini Klik Disini
Nama Dr Tarip sudah pernah ditulis di dalam blog ini
(2016). Namun apa marga Dr Tarip saat itu belum diketahui. Pada awal tahun 2021 Prof
Sangkot Marzuki Batubara memberitahu bahwa Dr Tarip Siregar adalah ompung
beliau. Terjawab sudah siapa dan bagaimana latar belakang keluarga Dr Tarip,
dokter hewan yang menjadi peneliti terbaik pada masa Pemerintah Hindia Belanda.
Dr Tarip: Alumni Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1914); Peneliti Terbaik Indonesia. Minggu, Agustus 21, 2016. Dr. Tarip adalah siswa pada fase awal setelah dibentuk Sekolah Kedokteran Hewan (Veeartsenschool) di Buitenzorg (1907). Tarip memulai pendidikan dasar di sekolah pribumi (Inlandsche school) 2de klasse di Sipirok. Setelah selesai studi (1914), Dr. Tarip diangkat sebagai dokter hewan pemerintah dan ditempatkan di Padang Lawas. Pada tahun 1922 Dr. Tarip dipindahkan dari Medan ke Padang Sidempuan untuk membantu LVM Lobel. Kontribusinya dalam dunia riset, pemerintah mengapresiasi kinerja Dr. Tarip dan memberikannya beasiswa untuk studi lebih lanjut ke Belanda tahun 1927. Tarip lulus ujian akhir dokter hewan tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht, Belanda. Namun Dr. Tarip tidak berumur panjang dan dikabarkan telah meninggal dunia tahun 1936 di Tarutung. Saat itu Tarip tengah bertugas di kantor cabang Dinas Kedokteran Hewan (Burgerlijken Veeartsenijkundigen) di Taroetoeng yang baru dirintisnya (De Indische courant, 24-08-1936). Catatan: Dr. Tarip belum diketahui marganya (masih dilacak). Apakah ada yang mengetahuinya? (lihat https://akhirmh.blogspot.com/2016/08/dr-tarip-alumni-sekolah-kedokteran.html)
Lantas bagaimana sejarah Dr Tarip Siregar peneliti terbaik? Seperti disebut di atas, Dr Tarip berasal dari Sipirok. Bagaimana relasi Dr Tarip Siregar dengan Soetan Pangoerabaan, Chairani Siregar dan Prof Sangkot Marzuki Batubara? Lalu bagaimana sejarah Dr Tarip Siregar peneliti terbaik? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Dr Tarip Siregar Peneliti Terbaik; Soetan Pangoerabaan, Chairani Siregar, Sangkot Marzuki Batubara
Pada tahun 1909 Tarip lulus ujian akhir di sekolah guru (kweekschool) Fort de Kock. Tarip kemudian diangkat sebagai guru di Sibolga. Namun semangatnya untuk belajar, Tarip kemudian diterima di Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda di Buitenzorg pada tahun 1910.
Pada tahun 1907 adalah
Soetan Pangoerabaan sebagai guru dipindahkan ke sekolah Moeara Sipongi (lihat
Sumatra-bode, 24-08-1907). Di Moeara Sipongi diangkat sebagai asisten guru
dengan gaji f20 kandidat guru Si Panjaboengan gelar Soetan Pangoerabaan (lihat Sumatra-bode,
07-03-1908).
Tarip di Inlandsche Veeartsensohool te Buitenzorg lulus ujian transisi naik dari kelas 1 ke kelas 2 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-08-1911). Pada tahun 1912 yang lulus ujian transisi naik dari kelas 2 ke kelas 3 antara lain Tarip, Ali Moesa Harahap De Preanger-bode, 21-08-1912 (lihat De Preanger-bode, 21-08-1912). Yang lulus ujian akhir hanya satu orang yakni Sorip Tagor Harahap.
Sorip Tagor Harahap di
Buitenzorg langsung diangkat sebagai asisten dosen di Sekolah Kedokteran Hewan
Hindia Belanda. Namun tahun 1913 Sorip Tagor Harahap berangkat ke Belanda untuk
melanjutkan studi kedokteran hewan di Utrecht. Sorip Tagor Harahap dalam hal
ini pribumi pertama yang studi ke Belanda untuk bidang kedokteran hewan.
Pada tahun 1914 Tarip lulus ujian akhir di Sekolah Kedokteran Hewan Hindia-Belanda di Buitenzorg (lihat De Preanger-bode, 08-08-1914). Yang lulus ujian akhir adalah Ali Moesa Harahap, Samil, Soedibio Hadikoesoemo, dan Akil. Nama-nama yang disebut terakhir diangkat menjadi adjunct dokter hewan pemerintah dalam dinas veteriner sipil (adjunct-gouvernements-veearts bij den burgerlijken veeartsenijkundigen dienst). Bagaimana dengan dokter Tarip?
Sebagaimana umumnya guru-guru di Angkola Mandailing, selain menulis buku pelajaran, juga menulis buku-buku umum. Pada tahun 1915 karya Soetan Pangoerabaan berjudul Tolbok Haleon diterbitkan oleh (penerbit) Mangaradja Bangoen Batari di Padang Sidempoean. Lalu pada tahun 1916 kembali (penerbit) Mangaradja Bangoen Batari di Padang Sidempoean menerbitkan Tolbok Haloen (jilid II).
Dr. Tarip
diangkat sebagai dokter hewan pemerintah dan ditempatkan di Padang Lawas. Dr. Ali Moesa Harahap kemudian ditempatkan di Pematang Siantar. Pada
tahun 1918 Ali Moesa terinformasikan telah menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad)
Pematang Siantar (lihat De Sumatra
post, 13-03-1918). Sementara itu Soetan Pangoerabaan terinformasikan sebagai
guru di Laboehan Bilik (lihat Pewarta Deli, 4 April 1919).
Dr. Tarip kemudian bertugas
ke Padang dan kemudian ke Painan (lihat Sumatra-bode, 25-05-1915). Disebutkan Tarip,
dokter hewan adjunct-gouvernement van Padang naar Painan, namun demikian Dr
Tarip tetap ditambahkan ke dokter hewan di Padang. Dr Tarip dari Painan kembali
bertugas di Padang (lihat De Preanger-bode, 16-07-1918). Wilayah kerja Dr Tarip
diperluas ke Fort de Kock dengan tetap berkedudukan di Padang (lihat De
Preanger-bode, 13-08-1919). Pada tahun 1920 Dr Tarip dari Padang dipindahkan ke
Padang Sidempoean (lihat De Preanger-bode, 18-11-1920),
Besar dugaan Dr Tarip di Padang Sidempoean menikah dengan ‘boru panggoaran’ dari Soetan Pangoerabaan Pane Boru panggoaran tersebut bernama Si Angat. Dr Tarip selain aktif dalam organisasi kebangsaan Persatoean Soematra, juga menjadi tulang punggung Studiefond di Padang Sidempoean (dimana sebagai sekretaris Dr Abdoel Rasjid Siregar).
De expres, 07-07-1922: ‘Pemimpin
NIP Dihormati. Oleh Kongres Nasional Persatuan Soematra. 6 Juli. Saya memahami
bahwa, selain Douwes Dekker, Tjipto dan Soewardi juga dihormati oleh "Kongres
Persatoean Soematra" yang baru-baru ini diselenggarakan di Padang. Teks
telegram yang diterima oleh Bapak Soewardi berbunyi sebagai berikut: Kongres
Persatoean Soematra, yang sedang berdiskusi, mempertimbangkan, dan memutuskan,
serta menunjukkan, sangat menghargai tindakan Bapak. Kongres tersebut
menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Bapak Ketua Manullang. Sebagai
penjelasan, saya ingin menunjukkan bahwa di seluruh Soematra, saat ini sedang
terjadi kebangkitan baru dalam semangat kebangsaan. Persatuan yang terjalin diantara
semua suku bangsa sangat menggembirakan. Bapak M. Manullang, misalnya, adalah
orang Batak sejak lahir, tetapi sekarang memimpin kongres di Padang.
Sebaliknya, seorang Minangkabauer, yaitu pemimpin NIP duduk sebagai editor di
organ Manullang, Hindia Sepakat, sebagai editor, Abdoel Karim. Dan keduanya
memiliki peran utama dalam "Persatoean Soematra", seperti halnya
banyak intelektual lainnya, termasuk Dr. Abdoel Rasjid Siregar, Dr Tarip Siregar,
Dr. Abdoel Hakim Nasoetion, Dr. Marzoeki, dan lainnya’.
Dr Tarip dan Dr Abdoel Rasjid Siregar sama-sama berasal dari Sipirok. Keduanya menjadi sangat penting di Padang Sidempoean, karena mereka berdua menjadi motor terbentuknya Studiefond, suatu komite untuk penggalangan dana masyarakat dalam membantu peningkatan kualitas pendidikan masyarakat dan mendorong siswa-siswa berprestasi untuk melanjutkan studi ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam sejarahnya orang
Padang Sidempoean sangat piawai dalam berorganisasi. Boleh jadi itu telah
mengakar dalam diri setiap orang Batak khususnya di Angkola Mandailing sejak
lahir sebagai dalihan na toloe: suatu core culture masyarakat bahwa untuk
membangun suatu organisasi besar untuk suatu hal yang sangat besar (hordja. baca:
karya atau kerja) pada prinsipnya didukung oleh tiga pihak dalam dalihan
natoloe (mora, kahanggi dan anakboru). Kongres Persatoean Soematra yang belum
lama ini diadakan di Padang dipimpin oleh M Manullang. Organisasi kebangsaan
Persatoean Soematra (Sumatranen Bond) sendiri didirikan di Belanda pada tanggal
1 Januari 1917 atas inisiatif Dr Sorip Tagor Harahap yang susunan dewan: Sorip
Tagor Harahap (ketua); Dahlan Abdoellah (sekretaris); Todoeng Harahap gelar
Soetan Goenoeng Moelia (bendahara); dan salah satu komisarisnya adalah Tan
Malaka. Lalu kemudian pada bulan Desember 1917 di Batavia didirikan Jong
Sumatranen Bond: T Mansjoer sebagai ketua dan Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil
ketua. Dalam hal ini analog dengan Sumatranen Bond dengan Boedi Oetomo dan Jong
Sumatranen Bond dengan Jong Java. Kemudian pada tahun 1919 Sumatranen Bond
(Persatoean Sumatra) dimekarkan dengan membentuk Bataksche Bond di Batavia yang
dipimpin oleh Dr Abdoel Rasjid Siregar (tentu saja Jong Batak belum lahir
hingga tahun 1922 ini). Persatoean Soematra (Sumatranen Bond) sendiri di
Belanda adalah bagian dari Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging). Ketua Indische
Vereeniging pada tahun 1922 ini adalah Dr Soetomo. Indische Vereeniging sendiri
merupakan inisiasi Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pada tahun 1908
yang juga menjadi presiden pertama Indische Vereeniging. Indische Vereeniging
dalam hal ini bersifat nasional, Sumatranen Bond (Persatoean Sumatra) bersifat
nasional pada tingkat regional; Bataksche Bond bersifat nasional pada tingkat lokal.
Organisasi kebangsaaan yang bersifat nasional pertama didirikan di Padang pada
tahun 1900 yang diberi nama Medan Perdamaian. Inisiator dan presiden pertama
Medan Perdamaian adalah Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Dalam hal
ini Soetan Casajangan dan Dja Endar Moedas sama-sama lulusan sekolah guru
(kweekschool) Padang Sidempoean. Seperti kita lihat nanti, Jong Batak didirikan
pada tahun 1925 yang diketuai oleh Parimpoenan Siregar (mahasiswa STOVIA); pada
bulan Januari 1947 didirikan Himpoenan Mahasiswa Islam (HMI) di Jogjakarta yang
diketuai oleh Lafran Pane dan pada bulan Novermber 1947 di Djakarta didirikan PMUI
(Persatoean Mahasiswa Universitas Indonesia) yang diinisiasi oleh Ida Nasoetion
dan G Harahap (Ida Nasoetion menjadi presiden pertama, namun pada bulan Maret
1948 menghilang dan diduga diculik dan dibunuh intel Belanda/NICA).
Dalam perkembangannya diketahui Dr Tarip dipindahkan ke Medan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-07-1922). Namun pemindahan ke Medan tampaknya tidak terlaksana (lihat, Deli courant, 28-08-1922). Disebutkan dengan pembatalan penugasannya di Medan, Adjunct Dokter Hewan Pemerintah Tarip telah ditugaskan kepada dokter hewan pemerintah LYM Lobel di Padang Sidempoean. Boleh jadi pembatalan itu karena adanya protes dari masyarakat (lihat Pantjaran Berita, 19 Augustus 1922, No. 46).
Dalam Almanak pemerintah (Regerings-almanak
voor Nederlandsch-Indie) tahun 1923
dicatat semua nama-nama dokter hewan di Hindia Belanda yang bekerja di
lingkungan dinas kedokteran hewan pemerintah (BURGERLIJKE
VEEARTSENIJKUNDIGE DIENST). Di dalam daftar ini pada kategori Gouvernement
Veeartsen terdapat
nama Sorip Tagor Harahap (bertanggal 19
September 1921)
dan pada kategori Adjunct Gouvernement Veeartsen
terdapat nama Tarip bertanggal 26 Juli
1914.
Tanggal-tanggal tersebut merupakan beslit kelulusan mereka sebagai dokter
hewan. Sorip Tagor lulusan sekolah kedokteran hewan Buitenzorg tahun 1912
kemudian melanjutkan studi ke Utrecht dan lulus tanggal 19 September 1921;
dan Tarip lulus dari sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg
pada tanggal 26 Juli 1914.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Soetan Pangoerabaan, Chairani Siregar, Sangkot Marzuki Batubara; Like father like son, Like mother, like daughter
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar