Tiga tokoh demonstran: Nasution, Lubis dan Siregar |
Kebebasan Pers 1951
Munculnya demonstrasi selalu
dimulai dari adanya masalah, suatu perbedaan penafsiran apa/bagaimana yang yang
terjadi dengan apa/bagaimana yang seharusnya (normative). Demonstrasi dilakukan
jika protes (tertulis atau lisan) yang mendahuluinya tidak memenuhi harapan. Demonstrasi
yang baik adalah menyuarakan pendapat/tuntutan rakyat banyak (bukan segilintir
orang yang mengerahkan massa). Demonstrasi yang bernuansa massa dengan arti
demonstrasi itu sendiri.
Gejala serupa inilah yang
menimbulkan adanya demonstrasi pada tahun 1952, suatu demonstrasi yang kali
pertama ada di Indonesia. Situasi saat itu, situasi dan kondisi sosial-ekonomi
sangat buruk (ketersediaan pangan kurang) tetapi pemerintah (baca: penguasa)
tidak sejalan dengan harapan rakyat banyak. Saat itu yang menjadi presiden
adalah Sukarno. Saat itu roda pemerintahan baru mulai berjalan setelah perang.
Pasca perang dengan adanya pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949,
situasi dan kondisi tidak mengalami perbaikan yang signifikan di bidang ekonomi
(pangan), politik (munculnya disintegrasi) dan tatacara bernegara yang
dipandang sebagian pihak tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang
berlaku.
Para jurnalis melihat
situasi dan kondisi mangalami krisis dan semakin kritis. Mochtar Lubis
menyindir Sukarno lewat tulisan di surat kabar Indonesia Raya. Maksud Mochtar
Lubis untuk menjaga tidak terulang pada masa pendudukan Jepang dimana rakyat
banyak cukup menderita dan bahkan tidak sedikit mati sia-sia untuk kepentingan
penguasa (baca: pemerintah militer Jepang). Tulisan Mochtar Lubis tampaknya telah
menyinggung perasaan Sukarno. Pemerintah mulai melakukan tindakan represif.
De nieuwsgier, 02-03-1951: ‘Karena ada keluhan oleh Presiden,
diperintahkan oleh Jaksa Agung, ex officio, Mochtar Lubis redaktur Indonesia
Raya, Senin dipanggil oleh kepala jaksa A. Karim sehubungan dengan tulisan
dimana presiden adalah yang bertanggung jawab atas kematian banyak orang
Indonesia selama pendudukan (Jepang)’.
Sukarno pada masa pendudukan
Jepang adalah pemimpin dewan yang mengerahkan romusa untuk kerja paksa untuk
kepentingan instalasi umum militer Jepang di berbagai tempat di Indonesia.
Mochtar Lubis di era pendudukan Jepang adalah jurnalis yang direkrut untuk
bekerja di radio militer Jepang. Boleh jadi Mochtar Lubis mengatahui seluruh
sepak terjang Sukarno selama pendudukan Jepang.
Tekanan pemerintah terhadap
Mochtar Lubis ternyata tidak membuatnya jera. Malah Mochtar Lubis mengambil
kesempatan untuk studi jurnalistik dan kebebasan pers ke Amerika Serikat dan
Eropa. Situasi saat itu seakan mengindikasikan bahwa pemerintah mulai menarik
jarak ketika kesadaran mengemukaan pendapat mulai tumbuh.
De nieuwsgier, 17-05-1951: ‘Pemimpin redaksi dari koran Indonesia Raya,
Mochtar Lubis, Jumat ada undangan dari Deplu Amerika Serikat berangkat cuti
untuk ke New Fork. Setelah tur orientasi di AS, Pak Lubis akan mengunjungi
beberapa negara di Eropa’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
28-02-1952: ‘Atas prakarsa surat kabar Merdeka, Pedoman, Abadi dan Indonesia
Raya, hari Selasa di Jakarta dibentuk sebuah komite untuk International Press
Institute. Komite ini terdiri dari: Mr. Mochtar Lubis (Indonesia Raya) sebagai
ketua, S Tasrif (Abadi) sebagai sekretaris, BM Diah (Merdeka) sebagai bendahara
dan Rosihan Anwar (Pedoman) sebagai auditor hokum. International Press
Institute (IPI) bertujuan, antara lain, mendorong untuk adanya kebebasan pers.
IPI berkantor pusat berada di Paris dan mengadakan pertemuan tahunan dan
menawarkan bagi wartawan Indonesia untuk turut hadir. Organisasi ini telah
telah menerima undangan’
Mochtar Lubis tidak sendiri
dalam menyuarakan kebebasan pers. Mochtar Lubis mendapat dukungan dari para
kolega (sesama insan pers). Mochtar Lubis juga telah menyambung (kembali)
riwayat para jurnalis pribumi pemberani pada masa lampau (di era local) dengan semangat
kebebasan pers di level internasional (di era global).
Dja Endar Moeda adalah pionir dalam kebebasan pers pribumi di era
penjajahan kolonial Belanda. Dja Endar Moeda mulai melakukan perang opini
dengan pers asing/Belanda tahun 1901 karena pers asing/Belanda mendukung
kelompok Transval di Afrika Selatan dalam pemberian bantuan uang yang sangat
banyak sementara penduduk pribumi sangat menderita, kekurangan pangan dan
kemiskinan. Dja Endar Moeda yang melaporkan kekejaman apparatus pemerintah
Belanda di Kajoetanam, Sumatra Barat terhadap penduduk dikenakan pasal delik
pers dan mendapat hukuman cambuk lalu diusir dari kota Padang.
Parada Harahap pada tahun 1916 melaporkan kekejaman para planter di
Sumatra Timur dengan mengirim tulisannya ke surat kabar Benih Mardeka di Medan.
Parada Harahap dipecat dari jabatannya sebagai krani tetapi malah bergabung
dengan Benih Mardeka dan menjadi editor. Ketika surat kabar Benih Mardeka
dibreidel tahun 1918, Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan lantas
mendirikan surat kabar baru bernama Sinar Merdeka. Selama mengasuh surat kabar
radikal ini Parada Harahap belasan kali terkena pasal delik pers dan beberapa
kali masuk penjara, Setelah hijrah ke Batavia, Parada Harahap dengan surat
kabarnya Bintang Timoer (didirikan tahun 1926) masih kerap tersandung dengan
pasal delik pers. Setelah pulang dari Jepang, Parada Harahap juga beberapa kali
dimejahijaukan karena pasal-pasal delik pers untuk membungkam Parada Harahap.
Sepanjang perjalanan jurnalistik Parada Harahap sebanyak 101 kali terkena delik
pers.
Presiden Sukarno telah
mengingkari kebebasan pers. Padahal Sukarno di era Belanda juga sangat
menginginkan kebebasan pers. Di era Belanda, Sukarno ditangkap dan dibuang
karena menyuarakan pendapat yang bertentangan dengan pemerintah, seperti halnya
yang telah dilakukan oleh para pejuang pers. Sukarno sendiri pada waktu itu
adalah insan pers yang juga menginginkan adanya kebebasan pers. Tapi kini,
Sukarno ketika menjadi presiden tidak menginginkan adanya kebebasan pers (lagi).
Saluran pers mulai dikebiri.
Demonstrasi 1952
Pers mulai tidak berdaya dan
daya juangnya telah dihalangi. Semangat menyuarakan pendapat melalui kebebasan
pers bergeser menjadi ajang demonstrasi. Kini demonstrasi tidak
tanggung-tanggung para militer melakukan demosntrasi bahkan hingga ke depan
halaman istana. Demosntrasi ini konon dipimpin oleh Abdul Haris Nasution,
Kepala Staf Angkatan Darat. Peristiwa demonstrasi ini dikenal sebagai peristiwa
17 Oktober 1952 dimana kelompok Kolenel Abdul Haris Nasution tidak menginginkan
pemerintah dan parlemen mencapuri urusan teknis militer. Saat itu pemerintah
dan parlemen adalah bagaikan dua sisi mata uang: pemerintah adalah kekuatan di
parlemen dan mayoritas parlemen adalah pemerintah.
Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD), Kolonel Abdoel Haris Nasution dan kawan-kawan seperti Kolonel Gatot
Soebroto, Kolonel Tahi Bonar Simatupang dan Menteri Pertahanan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX di satu pihak dan di pihak lain Kolonel Bambang Supeno dan Kolonbel
Zulkifli Lubis. Kelompok Nasution melakukan demonstrasi dengan pengerahan masa
yang konon sampai 30 ribu orang yang pada pokoknya menuntut pembubaran parlemen
yang dianggap terlalu jauh mencampuri urusan teknis militer. Gelombang massa
kemudian bergerak ke ke istana yang di damping para militer dan persenjataan
militer seperti tank. Inilah debat Sukarno dan Nasution saat itu.
Abdul Haris Nasution memimpin demnstrasi di depan istna |
Kolonel Abdul Haris Nasution: ‘Kalau ada kekacauan di dalam negeri, orang hanya menoleh pada tentara. Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tapi si prajurit yang harus mati. Adalah sewajarnya apabila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung’.
Presiden Sukarno: ‘Menyatakan apa yang terasa dalam hatimu kepada Bung Karno boleh saja. Akan tetapi mengancam bapak Republik Indonesia, jangan! Sekali-kali jangan!’.
Atas kejadian itu, Kolonel
Abdul Haris Nasution diberhentikan sebagai Kepala KASAD dan Jenderal Simatupang
yang menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) juga ikut mengundurkan diri.
Ini menambah daftar tokoh-tokoh yang menyuarakan pendapat semakin bertambah
setelah Mochtar Lubis dan kawan-kawan.
Demonstrasi Kebebasan Pers 1953
Di era kemerdekaan ini,
kebebasa pers telah dihalangi oleh pemerintah. Dalih pemerintah adalah
melindungi hak-hak azasi manusia. Namun pers juga terus bergerak. Lantas para
jurnalistik bereaksi dan melakukan demonstrasi.
Mochtar Lubis memimpin demonstrasi kebebasan pers |
Mochtar Lubis seakan tanpa
surat kabar tetapi organisasi pers internasional yang dipeloporinya semakin
menguat. Mochtar Lubis yang seakan kapten tak bermain dalam tim sepakbola
dilihat Parada Harahap sebagai sesuatu yang naïf. Parada Harahap lantas
memfasilitasi Mochtar Lubis.
De nieuwsgier, 17-01-1953: ‘di Djakarta, penerbitan dan percetakan
perusahaan baru yang didirikan dengan nama. Bintang Timur. Modal saham
ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000.- yang disetor Rp. 500.000.-. Sebagai CEO
adalah Mr Parada Harahap, yang saat ini difungsikan di Departemen Pendidikan.
Yang menjadi komisaris adalah Mr. MT Hutagalung (Komisaris Utama), serta Mr. JK
Panggabean (CEO NV Piola Handelsmaatschappij), Tuan Andjar Asmara dan MT Djody
Gondokusumo sebagai anggota komisaris. Perusahaan baru ini akan menerbitkan
koran dan majalah non-politik yang obyektif. Sebagai langkah pertama, pada awal
Januari isu percobaan majalah Lukisan Dunia yang dikeluarkan yang dimulai, pada
Februari akan muncul secara teratur, sekarang sedang mempersiapkan edisi baru
koran dengan nama Bintang Timur, yang akan muncul pada Maret atau April.
Selanjutnya, NV juga akan menerbitkan The lndonesia Times. Staf editorial
adalah Pak Mochtar Lubis dan Hafner Jr. Semua terbitan akan dicetak di
percetakan The Union. Kantor akan berlokasi di gedung Uni’.
Hubungan Parada Harahap
dengan Mochtar Lubis sangatlah dekat. Parada Harahap (lahir 1899) adalah mentor
dari Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (di bidang jurnalistik).
Jangan lupa: Parada Harahap juga adalah mentor dari Soekarno dan M. Hatta (di
bidang politik). Parada Harahap adalah orang pribumi pertama ke Jepang (1932),
selama pendudukan Jepang, aktivitas Parada Harahap tidak diketahui tetapi besar
kemungkinan sangat dekat dengan pimpinan pendudukan Jepang. Yang jelas
menjelang kemerdekaan, Parada Harahap adalah anggota BPUPKI (Badan Penyilidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dirancang oleh Jepang.
Burhanuddin Harahap dan Parada Harahap: Sukarno dan
Abdul Haris Nasution versus Mochtar Lubis dan Zulkifli Lubis
Pada tahun 1955 Kabinet Ali
Satroamidjojo mengundurkan diri karena tidak tahan tekanan dan digantikan oleh
Kabinet Burhanuddin Harahap Masyumi). Pada tahun ini juga diadakan pemilu
pertama dan Masyumi mendapat suara terbanyak. Salah satu anggota cabinet yang
diangkat adalah Abdul Hakim Harahap sebagai menteri Negara tetapi secara
defacto juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan.;
Abdul Hakim Harahap mantan
Gubernur Sumatera Utara diperintahkan Burhanuddin Harahap untuk membenahi
tentara. Saat itu tidak ada komandan, tetapi ada tentara maka perlu dipilih
komandan baru. Dalam suatu pertemuan antara kolonel-kolonel se Indonesia, Abdul
Hakim Harahap memutuskan agar mereka mau
bersatu. Kandidat pimpinan tentara yang menguat adalah Kolonel Nasution atau
Kolonel Lubis. Kolonel Nasution terpilih, setelah Abdul Hakim melapor ke
Burhanuddin Harahap, Kolonel Nasution kembali menjadi Kepala Staf Angkatan
Darat. Zulkifli lubis dibebaskan dari tuduhan bahwa ia melawan Sukarno.
Pertikaian antara Sukarno
dan Kolonel Abdul Haris Nasution selesai. Di belakang sukses mempertemukan
Sukarno-Nasution adalah Parada Harahap, Burhanuddin Harahap dan Abdul Hakim
Harahap. Dalam perkembangan selanjutnya keduanya (Sukarno-Nasution) menjadi sangat
dekat satu sama lain. Namun di sisi lain muncul kerenggangan antara Sukarno dan
Zulkifli Lubis yang sehaluan dengan Mochtar Lubis. Meski begitu posisi Presiden
Sukarno tetap terjaga. Parada Harahap dan Kolonel Abdul Haris Nasution dapat
menengahinya.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar