Monumen Tamiang di Esplanade Medan, 1910 |
Ketika peringatan Hari Proklomasi Kemerdekaan RI yang kelima (1950) di Esplanade
monumen ini masih ada. Ketua Panitia Perayaan adalah GB Josua (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 18-08-1950). GB Josua adalah salah satu dari empat orang republik yang
menjadi pimpinan komite penyerahan kedaulatan dari Negara Sumatera Timur (NST)
ke Republik Indonesia (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-11-1949). Pada
peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang keenam (1951) yang diketuai oleh
Gubernur Sumatra Utara sempat muncul keinginan untuk membongkar Monumen Tamiang
ketika Esplanade diubah namanya menjadi Lapangan Merdeka. Gubernur Sumatra
Utara yang pertama setelah pengakuan kedaulatan RI adalah Abdul Hakim Harahap
(1951-1953). Monumen Tamiang ini baru dibongkar pada tahun 1958 pada era
Gubernur Gubernur Sumut Sutan Komala Pontas.
Monumen Tamiang Dibangun
Pada tahun 1893 Afdeeling
Tamiang masih bagian dari Residentie Sumatra’s Oostkust (seperti halnya
Afdeeling Singkel bagian Residentie Tapanoeli). Perang Aceh adalah perang yang relatif bersamaan dengan
Perang Batak (Sisingamangaradja). Perang Aceh dalam hal ini tidak termasuk
wilayah Tamiang dan Singkel, tetapi sebaliknya menjadi wilayah luar Perang
Batak.
Dalam Perang Batak dan Perang Aceh banyak jalur yang digunakan oleh
militer Belanda. Jalur Singkel (sungai Singkel) dan jalur Tamiang (sungai
Tamiang) digunakan militer Belanda untuk membelah kekuatan perlawanan dalam
Perang Batak dan Perang Aceh.
Untuk menguasai dua wilayah
perang secara bersamaan (Perang Aceh di Aceh dan Perang Batak di Bataklanden)
militer Belanda tidak lazim menggunakan balabantuan pribumi dari daerah yang
berdekatan (apalagi yang satu etnik). Oleh karenanya balabantuan didatangkan
dari jauh. Dalam Perang Batak dibantu pribumi dari Jawa, Madoera dan Ambon. Hal
ini juga yang terjadi dalam Perang Aceh. Namun dalam Perang Aceh, terutama di
Tamiang balabantuan dari para hulubalang Kesultanan Deli dilibatkan (atau
melibatkan diri?).
Pemimpin Batak di Soenggal, 1870 |
Setali tiga uang, para
planter di Langkat juga menghadapi perlawanan dari para pemimpin dan penduduk
Tamiang. Alasannnya sama dengan perlawanan yang dilakukan para pemimpin dan
penduduk di Sunggal dan sekitarnya. Alasan lainnya dari para pemimpin dan
penduduk Tamiang karena eksplorasi minyak sudah sampai ke Tamiang setelah
sebelumnya terkonsentrasi di Langkat (Pangkalan Brandan).
Hulubalang Deli di Perang Tamiang, 1893 |
Ekspedisi ke Tamiang ini
mendapat perlawanan. Perang Tamiang ini memakan banyak korban, selain tentara
angkatan laut Belanda juga para hulubalang Kesultanan Deli. Untuk mengenang
para pahlawan yang gugur di Perang Tamiang lalu dibangun Monumen Tamiang di
tengah kota, tepatnya di lapangan Esplanade pada tahun 1894 (berseberangan
dengan stasion).
Monumen Tamiang, 1930 |
Radja Sabarudin
Pada tahun 1903 Afdeeling Tamiang dipisahkan dari Sumatra’s Oostkust dan dimasukkan ke Residentie Atjeh. Selanjutnya pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkut. Afdeeling Singkel yang sebelumnya bagian dari Residentie Tapanoeli kemudian dimasukkan ke Residentie Atjeh.
Salah satu pahlawan Belanda dalam Perang Tamiang adalah Radja Sabarudin. Radja Sabarudin adalah kerabat kesultanan yang terlibat mendukung militer Belanda. Atas kontribusinya di Atjeh dan kesetiaannya terhadap pemerintah kolonial Belanda, R. Sabarudin dianugerahi bintang Zilveren Ster voor Trouw en Verdienste, Militaire Willemsorde 4de kl (lihat De Preanger-bode, 23-07-1924).
Kapal ekspedisi ke Tamiang, 1893 |
Monumen Tamiang menjadi situs
penting bagi militer di Medan sejak dibangun. Untuk memperkuat semangat militer
dan mengenang para pahlawannya di medan perang Monumen Tamiang sering dijadikan
sebagai situs pernghormatan.
De Sumatra post, 30-08-1937: ‘Besok pagi setelah militer berbaris melalui
Medan akan dimulai dari garnisun Medan sekitar pukul 8 pagi, tentara Hindia
Belanda akan berakhir dan ditempatkan di Monumen Tamiang di Esplanade. Pawai
militer mengambil rute sebagai berikut: Barracks, Bentengweg, Kampementsweg,
Manggalaan, Jan Lighartlaan, Poloniaweg, Kantor Resident dimana Resident akan menyambut
di Soekamoeïia, Paleisweg, Smidstraat, Kapiteinsweg, Wilhelminastraat, Kesawan,
Cremerweg lalu ke Menumen Tamiang’.
Satu saksi sejarah dalam Perang Tamiang adalah Herman A. Lefebre
(Bataviaasch nieuwsblad, 27-05-1941). Lefèbre datang ke Belawan pada usia 21
tahun dan kemudian membuka kebun. Ketika terjadi ekspedisi Tamiang, 1893,
Lefebre adalah bertindak sebagai koresponden Deli Courant. Pada tahun 1941
sebagaimana dilaporkan Bataviaasch nieuwsblad tengah merayakan ulang tahunnya
yang ke 75. Herman A. Lefebre adalah tinggal satu-satunya warga Eropa/Belanda yang
ikut ekspedisi masih ada di Medan saat itu.
Monumen Tamiang Dibongkar
Monumen Tamiang Dibongkar
Monumen Tamiang ini bertahan hingga tahun 1958. Monumen ini menjadi
monumen pengikat kolaborasi Belanda dengan pribumi yang sangat kental, antara
pemerintah dan militer Belanda dengan kesultanan dan para hulubalang. Kolaborasi
ini berakhir dengan berakhirnya kekuasaan kolonial di Medan. Setelah pengakuan
kedaulatan RI oleh Belanda, Monumen Tamiang sebagai salah satu jejak Belanda
yang berbau kekejaman dan penindasan dihilangkan. Penghilangan ini sempat
muncul bertepatan jelang perayaan Hari Kemerdekaan keenam tahun 1951 di
Lapangan Merdeka.
Monumen-monumen yang
dibongkar selain Monumen Tamiang adalah Monumen van Heutz di Jakarta dan
Monumen van Swieten di Bali (De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 03-04-1958).
Monumen van Heutz, pahlawan Belanda di Atjeh dibongkar tahun 1953 yang
diatasnya dibangun Masjid Cut Meutia. Sementara nama jalan van Heutz di Jakarta
diganti menjadi jalan Teuku Umar.
Di Lapangan Merdeka (ex
Esplanade) tidak hanya Monumen Tamiang yang dibongkar, tetapi juga satu buah
replika bangunan adat yang disebut jambur. Pembongkaran jambur ini tidak
dikaitkan dengan menghilangkan jejak kolonialisme melainkan untuk mendudukkan
kembali lapangan pada bentuk aslinya agar lapangan yang berubah nama menjadi
Lapangan Merdeka tampak lebih luas. Disamping itu kemungkinan besar bahwa
bangunan adat Karo itu telah kehilangan relevansi ketika Medan menjadi ibukota
Sumatra Utara (bukan lagi ibukota Sumatra’s Oostkust).
Jambur di Esplanade Negara SumatraTimur, 1948 |
Pada tahun 1950 setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, Provinsi Sumatra Utara yang beribukota di Medan dibagi menjadi tiga keresidenan: Tapanuli, Atjeh dan Sumatra Timur. Kemudian pada tahun 1956 setelah terjadi pemberontakan di Atjeh, dibentuk Provinsi Atjeh, sedangkan Tapanuli dan Sumatra Timur dijadikan satu provinsi, yakni Sumatra Utara.
Nama Sumatra Utara sudah
muncul pada tahun 1927 ketika dilakukan pemilihan anggota Volksraad. Residentie
Tapanuli dan Residentie Atjeh dijadikan satu daerah pemilihan (dapil) yang
diberinama dapil Sumatra Utara. Sedangkan Province Sumatra Timur menjadi satu
dapil tersendiri. Wakil dari masing-masing dapil satu orang ke Volksraad di
Batavia. Yang terpilih dari dapil Sumatra Utara adalah Dr. Alimoesa Harahap,
sedangkan di Sumatra Timur yang terpilih adalah Mr. Mangaradja Soangkoepon.
Keduanya adalah kelahiran Padang Sidempuan.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
2 komentar:
itu bukan datuk sunggal tetapi datuk hamparan peran
Anda benar. Foto tertukar dengan Datoe van Soenggal sesuai sumber KITLV
Posting Komentar