Minggu, Mei 12, 2024

Sejarah Dolok Hole (6): Aek Bilah di Negeri di Atas Angin; Dari Aek Bilah di Dolok hingga Sungai Bila di Pantai Timur Sumatra


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Saipar Dolok Hole di blog ini Klik Disini 

Aek Bilah, sungai Bila. Satu sungai dengan dua nama, tetapi mirip: Aek Bilah di wilayah hulu dan Sungai Bila di hilir. Bilah dalam bahasa Batak dan Bila dalam bahasa Melayu. Nama Bila juga ditemukan di wilayah Sulawesi Selatan sebagai nama sungai yang bermuara ke danau Tempe. Hulu sungai Bila berada di Enrekan di lereng gunung Latimojong (gunung tertinggi di Sulawesi Selatan).  Di lereng gunung ini juga terdapat suatu desa bernama Minanga. Nah, lho! Di hulu sungai Bila ini, selain nama Minanga juga ada nama-nama desa seperti Banti (Panti?), Bongin (Borngin?) dan Angginiraja (Anggi ni Raja?).  


Aek Bilah adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan. Ibu kota kecamatan ini berada di desa Biru. Kecamatan Aek Bilah berbatasan dengan tiga kecamatan dan kabupaten, yakni Garoga di Tapanuli Utara, Na IX-X di Labuhanbatu Utara dan Dolok di Padang Lawas Utara. Kecamatan Aek Bilah terbagi menjadi desa-desa berikut: Aek Latong, Aek Urat, Biru, Gorahut, Huta Baru, Lobu Tayas, Sihulambu, Silangkitang, Sigolang, Tapus Godang, Tapus Sipagabu, Tolang. Dalam Sensus Penduduk Indonesia 2020, jumlah penduduk kecamatan ini sebanyak 7.395 jiwa. Penduduk kabupaten Tapanuli Selatan, pada umumnya merupakan suku Batak Angkola (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Aek Bilah di Negeri di Atas Angin? Seperti disebut di atas, kecamatan Aek Bilah berada di pedalaman Tapanuli Selatan dekat Saipar Dolok Hole. Daerah aliran sungai Aek Bilah di Dolok hingga sungai Bila di pantai timur Sumatra. Lalu bagaimana sejarah Aek Bilah di Negeri di Atas Angin? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Aek Bilah di Negeri di Atas Angin; Dari Aek Bilah di Dolok hingga Sungai Bila di Pantai Timur Sumatra

Wilayah Aek Bilah berada di wilayah atas angin yang dapat diakses dari empat penjuru mata angin: dari barat daya (Sipagimbar), dari barat laut (Garoga), dari tenggara (Sipiongot) dan dari timur laut (Lobu Tayas). Wilayah Aek Bilah adalah hulu sungai Bila, sungai yang bermuara ke pantai timur di arah timur laut melalui Lobu Tayas dan Rantau Prapat. Lalu dari arah mana sejarah Aek Bilah dimulai?


Nama Bilah atau Bila adalah menunjuk tempat yang sama (sungai) yang kedua nama tersebut (beebeda huruf) saling dipertukarkan, Dalam kamus bahasa Angkola (Eggink, 1936) hanya disebut ‘bila’ yakni bilah kayu atau bambu yang panjang. Oleh karena itu Bila adalah bahasa Batak dan Bilah adalah bahasa Melayu. Lantas mengapa Bilah disebut di hulu (Aek Bilah) dan di hilir disebut Bila (Sungai Bila)?

Sejarah Aek Bilah sebaiknya dimulai dari hilir sungai. Mengapa? Dalam berbagai dokomen pada era Pemerintah Hindia Belanda, nama Bila disatukan dengan Pane sebagai Bila-Penè (lihat antara lain Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1847). Sementara bagian pedalaman Bila dan Pane masih kerap terjadi gangguan. Fakta bahwa perang terhadap pusat pertahanan Padri di Daloe-Daloe telah ditaklukkan pada tahun 1838. Pembentukan cabang pemerintahan belum bisa terlaksanakan.


Pada tahun 1872 Pemerintah Hindia Belanda di Batavia merencanakan memindahkan ibu kota Residentie Tapanoeli dari Sibolga ke Padang Sidempoean (lihat Bataviaasch handelsblad, 21-05-1872). Mengapa? Besar dugaan karena masih sulitnya membangun perdamaian di pedalaman Tanah Batak. Selain di wilayah Silindoeng dan Toba, di wilayah Angkola pada tahun 1870 masih ada gangguan yang dilakukan oleh pemimpin Soetan Kabiaran dari Tapoes (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 18-05-1870). Realisasinya pemindahan baru dilakukan tahun 1885.

Setelah pemindahan ibu kota Residentie Tapanoeli dari Sibolga ke Padang Sidempoean, dilakukan restruktrusasi pemerintahan. Jumlah populasi berdasarkan jumlah rumah di wilayah Ulu Bila (kini Aek Bila) lihat table 1885 (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1885). Residentie Tapanoeli (Tapian na Oeli) dengan ibu kota di Padang Sidempoean terdiri 5 afdeelingen: Mandeling en Angkola, Natal, Padang Lawas, Si Boga, Tobn en Silindoeng.


Untuk onderafdeeling Si Pirok, landschappen Si Pirok terdiri 3 koeria’s (districten): Si Pirok, Baringin en Prau Sorat; Silantom en Si-mengoemban; untik afdeeling Padang Lawas (hoofdplaats Goenoeng toewa), landschappen Batang Onang (Sroemantinggi, Batang Onang, Goenoeng Toewa en Panghal Dolok), Sosopan en Aek Haroewaja, Padang Bolak djoeloe (Batoe Gana, Padang Boedjoer, Pamoentaran en Si Oengam), Poerba Sinomba, Goenoeng Toewa, Batang Pane (Portibi) Aek na Bara, Si Hapas, Si Pagaboe, Baroemon Tonga (Binanga, Hoeristak, Si Mangambat en Oedjoeng Batoe), Halongonan (Oedjoeng Padang), Hadjoran, Sandejan, Pangirkiran, Napa Gadoeng Laoet (Batoe Gondit), Goelangan, Si Langge (Bahap), Si Moendol, Oeloe Bila (Si Oelamboe en Loboe Tajas), Goenoeng Tinggi, Tano Hoeroeng (Tolang), Tapoes en Tano Rambe Holboeng, Tano Rambe (Si Pijongot), Oeloe Batang Pane (Tambiski en Mandalasena), Oeloe Baroemon (Hasahatan, Djandji Lobi, Paringonan en Hoeta Nopan), Sosa, Mondang en Pinarik. (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1894)

Dalam pemerintahan yang baru dibentuk di Padang Lawas, wilayah Aek Bilah (Ulu Bila) masuk wilayah afdeeling Padang Lawas. Seperti dikutip di atas desa-desa di kecamatan Aek Bilah pada masa ini adalah Aek Latong, Aek Urat, Biru, Gorahut, Huta Baru, Lobu Tayas, Sihulambu, Silangkitang, Sigolang, Tapus Godang, Tapus Sipagabu, Tolang. Dari nama-nama ini yang disebut dalam awal pembentukan pemerintahan adalah Loboe Tajas, Sihoelamboe, dan Tapoes serta Tolang.

Tunggu deskripsi lengkapny

Dari Aek Bilah di Dolok hingga Sungai Bila di Pantai Timur Sumatra: Mengapa Ada Sungai Bila di Sulawesi Selatan?

Dalam sejarah penamaan nama sungai, nama suatu sungai merujuk pada nama sungai di pedalaman. Mengapa? Bagian hulu sungai lebih dulu eksis dari pada bagian hilir sungai. Nama sungai di hulu diberi nama oleh penduduk pedalaman, nama sungai di hilir adakalanya diberi nama lain oleh orang asing (lalu lintas pelayaran di pantai).                   


Secara geomorfologis sungai semakin memanjang ke pantai. Kasus ini terutama terjadi di pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa dan pantai barat/selatan Kalimantan. Mengapa? Karena ada proses sedimentasi jangka panjang. Penamaan sungai sesuai sebutan oleh pendukung nama yang diberikan. Sungai yang sama bisa memiliki banyak nama: sungai Aek Sigeaon disebut di dataran tinggi (lembah) Silindung, di hilir disebut sungai Aek Sarulla dan lebih ke hilir di Angkola disebut sungai Batang Toru. Sungai Barumun di hulu disebut sungai Batang Pane atau sungai Sangkilon. Mengapa? Karena proses sedimentasi. Di Jawa sungai Jakarta di hulu disebut sungai Ciliwung, sungai Tangerang di hulu disebut sungai Cisadane. Namun ada sungai yang namanya sama untuk semua ruas sungai seperti sungai Aek Bilah; hanya saja bedanya di hilir sesuai nama Melayu disebut Sungai Bila. Sungai Aek Bilah berhulu di (kecamatan) Garoga melalui wilayah (kecamatan) Aek Bilah terus ke laut/pantai melalui Rantau Prapat yang kemudian bermuara di Sungai Barumun.

Aek Bila/Aek Bilah/Sungai Bila adalah nama sungai yang sama baiuk di hulu maupun di hilir. Yang menjadi pertanyaan bagaimana asa-usul nama sungai Aek Bilah? Seperti disebut di atas, bilah dalam bahasa Angkola adalah membelah (seperti bambu) menjadi dua sisi. Lalu apa hubungannya ‘bilah’ dengan nama sungai Aek Bila? Sungai/Aek Bila di wilayah hulu mulai dari Garogo hingga ke kecamatan Aek Bilah (dan kecamatan Dolok Sigompulon) secara geomorfologis berada di kedalaman (lembah) yang diapit oleh tebing-tebing terjal di kedua sisi. Di beberapa ruas sungai, di dua kecamatan tersebut tidak dapat diakses dari dua sisi, kecual mengikuti arus sungai itu sendiri. Dengan kata lain geomorfologis sungai Aek Bilah seakan sungai yang membelah bukit menjadi dua sisi. Lalu apakah dari sifat geomorfologis sungai ini yang menjadikan nama sungai disebut Aek Bilah?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: