Kamis, Mei 23, 2024

Sejarah Dolok Malea (6): Muara Sipongi dan Sungai Batang Gadis, Sungai Sibinail; Nama Shi-li-fo-shi (I’tsing) Diantara Puli dan Panti


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dolok Malea di blog ini Klik Disini

Kota Miara Sipongi hingga ini hari tetap penting. Pada masa ini kota Muara Sipongi berada di perbatasan antara Mandailing/Tapanuli dengan Rao/Pasaman. Bagaimana pada masa lampau? Yang jelas pada masa ini di wilayah Muara Sipingi terdapat orang Oeloe (diantara hulu sungai Batang Gadis dan hulu sungai Rokan. Apakah itu menjadi penting? Tempo doeloe ada nama tempat disebut Shi-li-fo-shi dan apakah nama tempat itu adalah Muara Sipongi?


Orang Ulu (Bahasa Ulu: Urak Tanah Ulu) atau Urak Tanah Ulu Muoro Sipongi merupakan masyarakat yang mendiami Kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Mereka mengamalkan Adat Minangkabau yang Matrilineal dengan klan/marga (suku) Kandak Kepuh, Pungkik dan Mondoilik. Klan/marga ini sama dengan yang di Rao, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat (Kandang Kopuah, Pungkuik dan Mondiliang). Rao merupakan kawasan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Muara Sipongi. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Muara Sipongi, sungai Batang Gadis dan sungai Sibinail? Seperti disebut di atas, di wilayah Muara Sipongi yang sekarang terdapat Orang Oeloe dan apakah keduanya terkait? Nama Shi-li-fo-shi (I’tsing) diantara nama tempat Puli dan nama tempat Panti. Lalu bagaimana sejarah Muara Sipongi, sungai Batang Gadis dan sungai Sibinail? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Muara Sipongi, Sungai Batang Gadis dan Sungai Sibinail; Nama Shi-li-fo-shi (I’tsing) Diantara Puli dan Panti?

Dunia baru tidak selalu di tempat yang sama dunia lama. Dunia lama tidak jarang berada di wilayah terpencil dari sudut pandang masa kini. Dunia lama dalam hal ini merujuk pada pusat peradaban pada masanya masing-masing. Dunia lama peradaban masa lalu berada di wilayah yang secara geografis memiliki populasi besar dan secara ekonomii menjadi sumber ekonomi perdagangan komoditi semasa seperti emas dan hasil-hasil hutan.


Pada artikel sebelumnya, disebutkan dalam catatan Tiongkok pada tahun 525 disebut sejumlah nama tempat di pantai barat Sumatra, yakni Po-luss-se. Pe-song, Pu-lie, Pan-tie, Po-chia-man dan Ti-kue. Sebagai tempat yang penting, haruslah diartikan cukup dekat dengan nama-nama tempat di pantau barat Sumatra sebagai penghasil emas seperti Pe-song (Hapesong), Pu-lie (Huta Puli), Pan-tie (Panti) dan Po-chia-man (Pasaman). Pada tahun 670 I’tsing berlayar dari Canton ke Bhoja selama 20-30 hari, lalu dari Bhoja ke India melalui Moloyu dan Kieh-cha. Dari Bhoja ke Moloyu selama 15 hari. I’tsing juga menyebut P'ouo-lou-che berada di sebelah barat Bhoja. Bhoja yang disebut I’tsing diduga adalah Kamboja yan sekarang. Sementara nama P'ouo-lou-che diduga adalah Barus. Sangat masuk akal P'ouo-lou-che berada di sebelah barat Bhoja. Moloyu diduga merujuk pada nama gunung Dolok Melea dan Kieh-cha diduga Kisaran.

Sepulang I’tsing dari Nalanda (India) dan kembali ke Tiongkok, pada tahun 690 I’tsing kembali ke Bhoja dan melakukan pelayaran ke Sumatra. Dalam laporan I’tsing menyebut nama-nama tempat, antara lain Seng-ho-lo dan Shi-li-fo-shi. Dimana itu berada tempat Seng-ho-lo dan Shi-li-fo-shi.


Sumber data sejaman lainnya adalah prasasti Kedoekan Boekit (682). Disebutkan Raja Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dan membentuk Banua di Matajap. Nama Minanga dalam hal ini diduga kuat adalah Binanga yang sekarang. Saat itu Minanga masih berada di pesisir pantai dimana sungai Barumun bermuara. Sungai Barumun berhulu di gunung Dolok Malea. Prasasti Kedoekan Boekit meski menggunakan aksara Pallawa, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa Sanskerta dan bahasa Batak. Elemen bahasa Batak antara lain kosa kata mangalap, marlapas dan mambuat. Dalam kosa kata tersebut awalan yang digunakan adalah awalan ma/mar. Juga terdapat awalan ni serta akhiran na. Elemen bahasa Batak lainnya adalah sebutan bilangan seperti saribu, tolu, ratus dan sebutan bilangan untuk belasan yakni sapulu dua (12).

Nama Seng-ho-lo murip dengan nama Sang-ko-lon (Sangkilon) dan nama Shi-li-fo-shi mirip dengan nama Su-ngai-po-ngi (Sungai Pongi). Seperti disebut pada artikel sebelumnya, Sangkilon adalah nama sungai yang bermyara di sungai Barumun (di Padang Lawas) yang mana hulu sungai Sangkilon berada di gunung Tor Anggunan (berbatasan dengan Panjaboengan Timur/Kotanopan).


Sungai Aek Sipongi berhulu di Bukit Tamiang di sebelah barat daya kota Muara Sipangi (sejajar dengan sungai Batang Gadis). Sungai Aek Sipongi ini bermuara di sungai Batang Gadis di (kampong) Muara Sipongi. Sungai Batang Gadis mengalir ke utara melalui Kotanopan dan Panjaboengan (berhulu di gunung Malintang melalui kampong Pakantan Lombang). Apa arti Sipongi? Dalam hal ini pongi mendapat awalan Si. Nama pongi diduga berasal dari pange. Dalam kamus Angkola Mandailing oleh Eggink tahun 1936 kata pange dinyatakan sinonim dengan kata hapesong. (Pangium edule Reinw.) yakni pohon yang bijinya berbeda-beda sangat beracun, tetapi dapat dimakan jika dimasak. Pohon pange atau hapesong adalah pohon khas Sumatra (pange-pangi-um). Seperti disebut di atas pada tahun 525 dalam catatan Tiongkok disebut nama tempat Pe-song yang diduga Hapesong.

Lantas apakah nama Shi-li-fo-shi yang disebut oleh I’tsing adalah nama tempat Muara Sipongi? Dari berbagai nama tempat yang disebut dalam catatan Tiongkok (termasuk I’tsing) tampaknyta semua merujuk pada nama-nama tempat di Sumatra bagian utara (terutama di daerah Angkola, Mandailing dan Rao). Bagaimana dengan catatan yang terdapat dalam prasasti Kedoekan Boekit yang ditemukan di Palembang?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Nama Shi-li-fo-shi (I’tsing) Diantara Puli dan Panti? Apakah Shi-li-fo-shi adalah Muara Sipongi?

Apakah nama Shi-li-fo-shi adalah Muara Sipongi? Dalam soal itu, kita sedang berbicara tentang toponimi. Namun penerapan toponimi pada suatu nama tempat di zaman kuno tidaklah mudah. Aspek etnologi dan kebudayaan tidak cukup, banyak aspek lain yang disertakan, semakin banyak semakin baik. Aspek sejarah dalam hal ini, catatan sejarah (data) salah satu yang terpenting karena terkait dengan dimensi waktu.


Toponimi adalah bidang keilmuan dalam linguistik yang membahas tentang asal-usul penamaan nama tempat, wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi, termasuk yang bersifat alam (sungai, lautan, dan pegunungan) yang buatan (kota, gedung, jalan, jembatan). Toponimi berkaitan dengan bidang etnologi dan kebudayaan. Toponimi berasal dari bahasa Yunani tópos (τόπος) yang berarti tempat dan diikuti oleh ónoma (ὄνομα) yang berarti nama (Wikipedia)

Sangat sulit menemukan padanan yang tepat nama Shi-li-fo-shi yang dicatat dalam bahasa/ucapan dan aksara Tiongkok. Salah satu nama yang mirip dengan itu adalah Sungai (Si)Pongi. Tentu saja kesaman fonologi tidak cukup tetapi juga harus didukung dari berbagai penjelasan dari berbagai aspel yang bersesuaian (kontekstual). Yang mirip dengan Shi-li-fo-shi adalah Sungai Musi. Namun dalam artikel ini nama Shi-li-fo-shi lebih sesuai dengan Sungai Sipongi. Mengapa?


Pada era Pemerintah Hindia Belanda, sejumlah peneliti kepurbakalaan sangat sibuk menemukan nama tempat Shi-li-fo-shi sebagaimana dicatat oleh I’tsing pada abad ke-7. Sebagian diantaranya mengasosiasikannya dengan Palembang. Hal ini karena kemudian di Pelembang ditemukan beberapa prasasti yang berasal dari abad ke-7 yang mana di dalam prasasti (Kedoekan Boekit dan Talang Tuwo) disebut nama Sriwijaya. Lalu Shi-li-fo-shi dianggap Sriwijaya dan juga nama Bhoja diasosiasikan deng nama Sriwijaya. Dengan demikian Shi-li-fo-shi berada di Palembang. Sejak itu tidak ada yang mengungkit nama Shi-li-fo-shi lagi.

Yang mana yang lebih mirip Shi-li-fo-shi, apakah sungai Musi, Sipongi atau Sriwijaya? Yang jelas nama Bhoja lebih mirip dengan Kamboja (Cham-bhoja). I’tsing sendiri tidak pernah ke Shi-li-fo-shi maupun Seng-ho-lo, hanya menyebut nama saja. Yang pernah dikunjungi oleh I’tsing adalah Bhoja, Moloyu, Kie-cha. Lantas dimana itu Shi-li-fo-shi dan Seng-ho-lo? Satu nama tempat lainnya yang disebut I’tsing adalah Kun-lun (pulau emas).


Prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan, pada dasarnya mengindikasikan suatu invasi dan permakluman bentuk-bentuk hukuman yang diberlakukan. Prasasti Kedoekan Boekit (682) Raja Dapunta Hyang dengan pasukannya marlapas dari Minanga dan tiba Matajap dan kemudian membangun benteng (wanua). Sementara prasasti Talang Tuwo (684) mengindikasikan pembangunan taman. Sedangkan prasasti lainnya (Kota Kapur, Karang Brahi, Pasemah dan Talaga Batu) berisi permakluman tentang bentuk hukum yang diberlakukan. Jika Raja berangkat dari Mianga dan membangunan benteng di Matajap (Palembang) dan memberlakukan hukum di sejumlah tempat di Sumatra bagian selatan, lalu dimana pusat Sriwijaya? Yang jelas Radja datang dari Minanga.  

Jika Bhoja adalah Kamboja, Moloyu adalah Melea dan Kie-cha adalah Kisaran, dan kemudian Seng-ho-lo adalah Sangkilon lalu apakah Shi-li-fo-shi adalah Sipongi? Dalam hal ini, Sangkilon berada di hulu sungai Barumun dan Minanga berada di hilir sungai Barumun.

 

Dalam catatan Tiongkok era dinasti Liang (502-556) disebutkan nama-nama tempat seperti Pa-luss-se (Barus), Pe-song (Hapesong), Pu-lie (Huta Puli), Pan-tie (Panti) dan Po-chia-man (Pasaman). Nama-nama tersebut tampaknya berada di pantau barat Sumatra sebagai penghasil emas. Dalam catatan Tiongkok dinasti Liang ini juga disebut nama Lagga-su. Apakah nama Langga-su berada di pantai timur Sumatra di sebelah timur Minanga yang dikenal sekarang sebagai Langga Payung?

Pada catatan Tiongkok era Sung dynasty (960-1279) disebut nama San-bo-tsai. Dimana nama tempat San-bo-tsai berada? Nama San-bo-tsai mirip dengan nama Tambusai (Tan-bu-sai), suatu nama tempat tidak jauh dari gunung Dolok Malea. Jika benar nama San-bo-tsa adalah Tambusai, besar dugaan San-bo-tsai adalah nama lain dari Moloyu yang pernah dikunjungi I’tsing pada abad ke-7. Nama-nama Moloyu, Seng-ho-lo dan Shi-li-fo-shi berdekatan (sama-sama tidak jauh dari gunung tinggi Dolok Malea. Moloyu berada di hulu sungai Rokan Kanan, Shi-li-fo-shi di hulu sungai Rokan Kiri dan Seng-ho-lo di hulu sungai Barumun. Wilayah ini dan semua nama-nama yang disebut di atas tidak lain adalah wilayah penghasil emas. Sebagaimana I’tsing menyebut Kun-lun (pulau Sumatra?) adalah pulau emas.


Catatan tertua tentang nama tempat di Sumaatra berasal dari abad ke-2. Dalam peta Ptolomeus pulau Sumatra diidentifikasi sebagai Aurea Chersonesus. Di sebelah barat laut di pantai barat Sumatra bagian utara didentifikasi nama Tacola yang diduga sebaagai Angkola. Dalam catatan geografis Prtolomeus disebut kamper diimpor dari tempat yang disebut Sumatra bagian utara (Aurea Chersonesus). Aurea adalam bahasa Yinani adalah emas. Apakah dalam hal ini cherso=emas dan nesus=pulau. Jadi Chersonesus=Pulau Emas (Pulau Cherso, Pulau Sere).

Sebagai pulau emas, kota-kota di pedalaman Sumatra bagian utara adalah Huta Puli, Sangkilon dan Sipongi, serta Panti. Sementara kota-kota pelabuhan di pesisir atau muara sungai adalah Barus, Hapesong, Pasaman, Tiku di pantai barat, dan di pantai timur adalah Moloyu/Tambusai, Minanga/Binanga dan Kie-cha/Kisaran.


Sebagai pulau emas, posisi Sumatra bagian utara terutama di wilayah Angkola, Mandailing dan Rao adalah wilayah sentra emas. Wilayah antara Mandailing dan wilayah Rao adalah wilayah tertinggi yang tidak hanya sumber emas tetapi juga menjadi hulu dari banyak sungai seperti hulu sungai Batang Gadis, hulu sungai Pasaman, hulu sungai Batahan, hulu sungai Rokan Kanan dan hulu sungai Rokan Kiri. Hulu sungai Rokan Kiri berada di timur Muara Sipongi yang kini menjadi wilayah Orang Oeloe. Dalam hubungan ini apakah Orang Oeloe adalah sisa penduduk asli di daerah aliran sungai Rokan Kiri? Pertanyaan yang sama apakah Orang Siladang adalah sisa penduduk asli di daerah aliran sungai Rokan Kanan? Kedua etnik ini dibedakan dengan etnik Batak dan juga dibedakan dengan etnik Melayu. Peta 1850

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: