Minggu, Mei 19, 2024

Sejarah Dolok Malea (2):Danau Siabu Danau Zaman Kuno Sungai Batang Angkola dan Batang Gadis Bermuara; Rodang di Siabu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dolok Malea di blog ini Klik Disini

Di pulau Sumatra banyak danau pegunungan, seperti danau Takengon, danau Toba, danau Siais, danau Maninjau, danau Kerinci dan danan Rau.Yang terbesar danau Toba. Di Angkola Mandailing juga ada danau Marsabut di Sipirok dan danau Laut di Pakantan. Dalam hubungan tersebut, apakah rodang di Siabu adalah danau yang hilang di masa lampau?


Terkait Rodang di Siabu, Lebih Menjanjikan Dibuat Waduk dan PLTA. 10/09/2017. Irwan Hamdani Daulay, SPd. Siabu (Malintangpos Online): Tokoh Pemuda Kab.Madina Irwan H Daulay menilai terkait Rodang Kec Siabu, lebih layak dijadikan sebagai waduk untuk sentra perikanan darat, obyek pariwisata dan PLTA daripada dibuat sawah baru. “Rodang yang luasnya 500 Ha, yang berada di wilayah Tapsel dan Madina tersebut sangat tidak layak untuk daerah pertanian sawah karena lahannya lebih rendah dari permukaan dua sungai besar, Bt Gadis dan Bt Angkola dan jika musim hujan sering meluap. Upaya pengerukan dan peledakan batu cadas di pertemuan kedua sungai besar tersebut tidak akan menjadi solusi, karena secara teknis celah batu cadas (dikenal sebagai lompatan harimau), sulit untuk dilakukan, meskipun sudah pernah di ledakkan sebelumnya. Di lokasi Lompatan Harimau di areal Rodang, lebih memungkinkan dibangun Waduk untuk PLTA dibendung untuk dijadikan waduk atau danau buatan untuk budi daya perikanan darat dan pariwisata. (https://malintangpos.co.id/)

Lantas bagaimana sejarah Danau Siabu, danau zaman kuno dimana sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis bermuara? Seperti disebut di atas di Siabu pada masa kini hanya dikenal rodang na bolak. Apakah rodang Siabu sisa danau zaman kuno? Lalu bagaimana sejarah Danau Siabu, danau zaman kuno dimana sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis bermuara? Lantas bagaimana sejarah Danau Siabu, danau zaman kuno dimana sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis bermuara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Danau Siabu, Danau Zaman Kuno Sungai Batang Angkola dan Sungai Batang Gadis Bermuara; Rodang di Siabu

Apakah danau Siabu tempo doeloe benar-benar wujud? Yang jelas, danau Siais masih eksis sekarang dengan luas sekitar 4500 Ha dan demikian juga dengan danau Marsabut di Sipirok. Juga ada danau lainnya di dekat Huta Pungkut/Pakantan yang dikenal dengan danau Laut. Jika danau Siabu tempo doeloe benar-benar wujud, luasnya jauh lebih besar dari danau Siais.


Sungai Batang Angkola berhulu di gunung Lubuk Raya. Sungai ini mengalir ke selatan melalui Sitinjak, Sisundung, Simarpinggan, Pijorkolong, Sayurmatingga dan bermuara ke danau Siabu; Sungai Batang Gadis berhulu di gunung Kulabu. Sungai ini mengalir ke utara melalui Pungkut, Kotanopan, Maga, Panyabungan dan bermuara di danau Siabu. Di dekat hulu sungai Batang Angkola danau Siais mengalir melalui Aek Dano lalu bermuara ke sungai Aek Batoe Moendom (juga menjadi muara dari sungai Aek Sangkoenoer). Di dekat hulu sungai Batang Gadis terdapat danau Laut. Danau ini berada di gunung Malintang (dekat gunung Kulabu) dimana menjadi hulu sungai Batang Sikarbo dan hulu sungai Batang Batahan. 

Orang Eropa pertama yang menduga Rodang Siaboe adalah FW Jung Huhn seorang ahli geologi yang kemudian dilaporkan oleh TJ Willer (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1846). Disebutkan lembah berbentuk oval, yang merupakan bagian terpenting lanskap ini, di sisi barat dikelilingi oleh pegunungan Merapi, dan di sisi timur oleh pegunungan Malea. Keseluruhan penampakannya serta lapisan kerikil dan batu bulat yang ditemukan di bawah kerak bagian atas, mendukung dugaan bahwa Batang Gadis dan Batang Angkola sebelumnya membentuk sebuah danau besar disini, dan kemudian alirannya menuju ke pantai barat.


Jika danau Siabu tempo doeloe benar-benar wujud, lantas bagaimana permukaan airnya menyusut sehingga membentuk rodang yang luas (suatu area basah dimana jika terjadi banjir, area basah tersebut tergenang? Besar dugaan telah terjadi altivitas vulkanik/tektonik yang menyebabkan adanya retakan pada pada dinding danau yang kemudian membuat dasar sungai (jalan air ke arah pantai barat) menjadi lebih dalam.

Jika danau Siabu tempo doeloe benar-benar wujud, apa maknanya dalam sejarah zaman kuno di daerah aliran sungai Batanga Angkola dan di daerah aliran sungai Batang Gadis? Apakah wilayah sekitar danau Siabu menjadi pusat peradaban zaman kuno yang mana tanda-tandanya pada hari ini dapat dilihat pada situs candi Simangambat? Lantas seberapa tua peradaban di sekitar danau Siais?


Dalam peta Ptolomeus abad ke-2 mengindentifikasi suatu wilayah di sebelah timur India dengan nama Aurea Chersonesus. Pada bagian barat Aures Chersonesus ini di arah barat laut diidentifikasn nama Tacola. Apakah nama Tacola dalam hal ini adalah Angkola? Orang Indo-Eropa dalam bahasa Sanskerta menyebut Pulau Emas sebagai Suvarna Dvipa. Bahasa Sanskerta sendiri terhubung dengan bahasa-bahasa di Eropa. Emas dalam bahasa Yunani adalah aurea. Bagaimana dengan chersonesus? Terdiri dari cherso dan nesus. Nesus dalam bahasa Yunani adalah pulau. Lalu apakah cherso berasal dari kata sere? Apakah Pulau Emas adalah Pulau Sere atau Cherso Nesus? Jika Aurea Chersonesus adalah Pulau Emas atau Pulau Sere atau Cherso Nesus, lantas darimana Ptolomeus mendapat nama atau memberi nama Chersonesus? Apakah Ptolomeus menerjemahkan Tanah Sere dengan Tanah Kering (Chersonesus). Untuk mengindentifikasi Tanah Kering di Sumatra sebagai sumber emas di dalam petanya ditambahkan kata emas atau airea menjadi Aurea Chersonesus. Sangat masuk akal Ptolomeus memberikan nama tempat Aurea Chersonesus karena sudah mengetahuai informasinya bahwa tempat yang dimaksud penghasil emas (Pulau Sere). Nama Pulau Sere ini kemudian dialihbahasakan ke bahasa Yunani menjadi Sere Nesus yang kemudian bergeser menjadi Chersonesus tetapi diartikan kemudian sebagai Tanah Kering (padahal aslinya adalah Tanah Sere).

Sesuai catatan geografis Ptolomeus abad ke-2, jika benar nama Tacola adalah Angkola dan Ptolomeus menerjemahka Pulau Sere (Pulau Emas) sebagai Cherso Nesus, lantas sudah setua apa terbentuk peradaban di sekitar danau Siabu?


Aksara Batak mirip dengan aksara Fenesia (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder ini Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Aksara Batak merupakan kombinasi aksara Aramaik (abjad) dengan lambang aksara Fenesia (alfabet). Aksara Fenesia sendiri sudah lama punah (aksara yang menjadi asal usul aksara alfabet Yunani/Latin). Sistem sebutan bilangan bahasa Batak mirip dengan sebutan bilangan Armenia dan Uzbek. Prasasti-prasasti awal di nusantara berbahasa Sanskerta menggunakan aksara Brahmi dan Pallawa. Aksara Brahmi diturunkan dari aksara Aramaik, dan aksara Pallawa diturunkan dari aksara Brahmi. Pada masa ini aksara Batak berbeda dengan aksara Jawa. Aksara Batak diturunkan dari aksara Pallawa, sedangkan aksara Batak diturunkan dari aksara Fenesia. Aksara Aramaik dan aksara Fenesia eksis pada masa yang sama. Besar diguaan aksara Batak sudah eksis jauh sebelum terbentuk aksara Yunani, aksara yang digunakan Ptolomeus.

Jauh sebelum Ptolomeus, tentang sumber emas disebut dengan nama Ofir atau Ophir, suatu wilayah yang kaya emas, yang merupakan negeri asal dari emas yang diterima Raja Salomo (Nabi Sulaiman), raja bangsa Israel. Diceritakan bahwa emas upeti tersebut didapatkan dari negeri Ofir, suatu negeri dengan kekayaan emas dan kesuburan tanahnya.  Nama Ofir disebut dalam kitab suci Ibrani maupun kitab suci Kristen. Pelayaran menuju Ofir sekitar satu tahun. Al-Qur’an, Surat Al- Anbiya' 81, juga menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman A.S. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).


Sejak kehadiran pelaut-pelaut Eropa ke Sumatra, pada era Portugis sudah ada yang menyatakan bahwa Ophir itu berada di pantai barat Sumatra. Satu gunung yang menjorok ke pantai, para pelaut Portigis menamai gunung Pasaman sebagai gunung Ophir. Pada tahun 1834, karena disebut gunung Ophir (sesuai Injil) seorang pendaki gunung Jerman berhasil mencapai puncaknya. Sebagaimana nama Chersonesus, lalu bagaimana asal usul nama Ofir. Ophir dan Ogir sendiri? Boleh jadi bukan nama gunung? Lantas nama apa?  

Dalam catatan geografis Ptolomeus disebut bahwa emas diekspor dari pulau yang kemudian disebut Sumatra bagian utara. Dalam catatan Eropa pada abad ke-5 disebut emas diimpor dari pelabuhan yang disebut Baroussa (diduga Barus). Dalam hal ini nama Barus adalah bagian dari wilayah Tacola di pulau Chersonesus (peta Ptolomeus). Nama Barus, Angkola dan Sere dalam hal ini haruslah dianggap penting dalam Menyusun hipotesis, bahwa peradabaan di sekiar danau Siabu sudah eksis di zaman kuno. Bagaimana dengan nama Hoeta Poeli di pinggir danau Siabu?


Dalam catatan sejarah geografis Eropa pada abad ke-5 disebut kamper diimpor dari pelabuhan yang disebut Barousse (diduga Barus). Selanjutnya dalam catatan Tiongkok pada tahun 525 disebut nama-nama tempat di pantai barat Sumatra yakni Pa-lus-se (diduga Barus), Pe-song (diduga Hapesong) dan Pu-lie (diduga Aek Puli atau Huta Puli). Masih dalam catatan tersebut juga disebut Pan-tiu (diduga Panti), Po-chia-man (diduga Pasaman) dan Ti-kue (diduga Tiku). Nama-nama tersebut tampaknya sesuai dengan nama-nama tempart di pantai barat Sumatra.

Pada m7asa ini paling tidak ada dua nama tempat disebut Puli, yakni di wilayah Sipirok dan di wilayah Siabu. Di wilayah Sipirok nama tersebut adalah Huta Aek Puli di pertemuan sungai Aek Puli dari Sipirok dan sungai Aek Sarulla dari Silindoeng (yang mana di hilir pertemuan dua sungai ini disebut sungai Batang Toru). Di wilayah Siabu terdapat nama Huta Puli di daerah aliran sungai Batang Angkola yang berada diantara Sarumatinggi (Angkola) dan Siabu (Mandailing). Nama Puli yang mana yang disebut pada tahun 525 tidak diketahui secara pasti.


Hapesong diduga adalah nama kuno yang menjadi pelabuhan di muara sungai Batang Toru. Pada saat itu Hapesong dan muara sungai Batang Toru masih tepat berada di pantai. Di wilayah hulu sungai Batang Toru terdapat nama kampong Aek Puli (pertemuan sungai Sarulla dan sungai Aek Puli). Salah satu cabang utama sungai Aek Puli adalah sungai Aek Goti (di Arse). Di danau Siabu, nama Puli tidak hanya nama kampong tetapi juga nama sungai (Aek Puli) dan nama gunung (Dolok Huta Puli). Sungai Aek Huta Puli berhulu di Dolok Huta Puli dan mengalir melalui kampong Huta Puli dan bermuara di sungai Batang Angkola (danau Siabu). Tidak jauh di selatan Huta Puli mengalir sungai Aek Hapesong dan sungai Aek Goti yang keduanya bermuara ke danau Siabu. Nama Hapesong juga menjadi nama gunung (Dolok Hapesong) berdekatan dengam Dolok Huta Puli di arah selatan. Perlu ditambahkan juga ada nama Arse sebagai nama sungai dan nama dolok di Sarumatinggi. Dalam kamus Eggink, arse disebut sebagai sebidang tanah kering, di tengah sungai.

Nama Hapesong, Puli dan Goti tampaknya menjadi sangat penting di zaman kuno. Ketiganya adalah nama-nama pohon yang penting. Di dalam kamus Angkola Mandailing door Eggink tahun 1936, hapesong juga disebut pohon pange (Pangium edule Reinw.) pohon yang bijinya berbeda-beda sangat beracun, namun bisa dimakan dalam keadaan matang. Sementara poeli sejenis palem yang menyerupai bargot, tapi lebih kecil yang menghasilkan getah poeli ni bonbon, zat lengket yang keras. Sedangkan goti adalah pohon kayu lunak (Alstonia scholaris R. Br.).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Rodang di Siabu: Candi Simangambat, Pusat Peradaban Zaman Kuno di Angkola Mandailing

Nama Huta (Aek) Puli di pantai barat Sumatra diduga sudah dikenal luas pada abad ke-6. Seperti disebut di atas nama Pu-lie dicatat di Tiongkok. Jika dipercaya bahwa nama Poeli dalam catatan Tiongkok adalah nama Poeli di Angkola (Sipirok dan Siabu), dan nama Hapesong di Angkola (Batang Toru dan Siabu), maka menjadi penting untuk memperhatikan keberadaan candi Simangambat di danau Siabu. Candi Simangambat diduga adalah candi pertama di nusantara.


Nama tempat Simangambat berada diantara nama tempat Hoeta Poeli dan nama tempat Siaboe. Sungai Aek Moera Sada mengali dari perbatasan Angkola dan Padang Lawas melalui Siaboe dan bermuara ke danau Siabu. Mengapa nama tempat disebut Simangambat dan nama sungai Aek Moeara Sada? Dalam peta, secara geomorfologis sungai Aek Moeara Sada bercabang tiga ketiga bermuara di danau Siabu. Diantara cabang tengah dengan cabang selatan diidentifikasi nama kampong Simangambat. Di sebelah barat kampung Simangambat ini diidentifikasi suatu bangunan candi (candi Simangambat). Besar dugaan di zaman kuno, tanah kering diantara dua sungai (arse) dimana terdapat kampong/candi Simangambat diduga kuat adalah sebuah pulau. Dalam hal ini nama kampong/candi Simangambat berada di suatu pulau, yakni suatu pulau yang berada tepat di depan muara sungai Aek Moeara Sada.   

Tidak hanya nama Huta Puli, nama Simangambat dan nama Siabu dapat dikatakan nama tempat strategis di sisi timur danau Siabu. Mengapa? Ada jalur perlintasan dari danau Siabu ke wilayah Padang Lawa melalui pegunungan. Dari kampong Simangambat melalui Tor Silelan (sebelah utara Aek Moeara Sada), Dolok Na Godang, Dolok Aek Sibaroeang dan Adian Torasmoembang; Sementara dari Siaboe melalui kampong Simaninggir, Adianpapan, sungai Aek Moeara Sada, Adian Toras, Adian Raroe, Adian Barangan, Adian Tano Ponggol, Adian Sipalis, Adian Tanggabegoe dan Adian Torasmoembang; Selanjutnya dari Adian Torasmoembang terus ke timur hingga huta Pagaran Bira Djoeloe (Padang Lawas). Jalur ini merupakan satu-satunya yang ada. Satu jalur lain berada sangat jauh di utara di Pidjoerkoling (melalui kampong/dolok Simardona).  


Antara Huta Poeli dan Sarumatinggi terdapat beberapa nama tempat yang unik seperti Sihepeng, Aek Badak dan Hoeraba. Nama tempat Saroematinggi diduga di zaman kuno adalah sungai Batang Angkola bermuara di danau Siabu. Dari Namanya menunjukkan posisi geografis: Saroe atau aroe=air dan tinggi=di atas (sungai yang berada di atas ketiggian permukaan danau Siabu). Nama Aek Badak diduga mengindikasikan banyak badak di wilayah sepanjang daerah aliran sungai Batang Angkola; nama sihepeng mengindikasikan hepeng=uang, suatu bentuk uang pada zaman kuno (hepeng) yang diasosiaskan dengan koin uang dari barat (Indo Eropa). Nama Hoeraba cukup banyak di Angkola (Julu, Jae dan Dolok). Dalam kamus Eggink tahun 1936 hoeraba diartikan sebagai tempat persembunyian ketika terjadi wabah dari epidemi atau permusuhan dimana penduduk meninggalkan kampong dan tinggal di hutan; pangoetabaan adalah tempat perlindungan di hutan.  

Danau Siaboe diduga kuat benar-benar wujud di masa lampau. Keuatamaan danau ini terdapat suatu pulau (tepat berada di depan nuara sungai Aek Moeara Sada) disebut Simangambat yang mana terdapat kampong kampong (Simangambat) yang juga terdapat situs candi, Nama kampng dan pulau ini digunakan juga untuk nama candi. Simangambat juga menjadi jalur lalu lintas ke wilayajh Padang Lawas. Keutamaan lainnya danau Siabu, di sebelah barat danau terdapat wilayah pertambangan emas.


Berdasarkan pemetaan geologi masa kini di wilayah Tapanuli Selatan terdapat pertambangan tembaga di kecamatan Angkola Selatan dan kecamatan Sayur Matinggi; pertambangan emas di kecamatan Batang Toru, kecamatan Batang Angkola, kecamatan Sayur Matinggi (dan di kecamatan Aek Bilah). Sementara pertambangan emas di Mandailing terdapat di kecamatan Kotanopan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: