*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dolok Malea di blog ini Klik Disini
Nepenthes dubia (Malea, Sumatra). Description. Nepenthes dubia is known from only two mountains: Mount Talakmau, West Sumatra (1800-2700m), and Gunung Malea, North Sumatra (1600-2200m). These plants are from the second and more recently discovered location. The lower pitchers of this variety are reddish, and often quite dark. Young plants are much more colorful than comparable plants from G. Talamau. The upper pitchers on this form are pure yellow or yellowish green, as opposed to the more orange uppers from G. Talamau. Intermediate pitchers are often striped. Nepenthes dubia is a diminutive and dainty species known from only two peaks in the Barisan mountain range of Sumatra. N. dubia is found growing in mossy forests, either epiphytically at lower elevations, or terrestrially in moss clumps at high altitudes (2200m+) amongst the stunted alpine vegetation. It is a true highland plant, though faster growing than many other highlanders. The name ëdubiaí is latin for ìdoubtfulî referring itís similarity to N. inermis and initially being mistaken for a possible hybrid. (https://wistuba.com/)
Lantas bagaimana sejarah nama Dolok Malea dan nama bahasa Melayu? Seperti disebut di atas dalam pelayaran I’tsing abad ke-7 menyebut nama Molayu. Sumber lain pada abad ini adalah prasasti Kedukan Bukit dan nama Malaiur di dalam prasasti Tanjore abad ke-11. Bagaimana dengan nama Dolok Malea? Lalu bagaimana sejarah nama Dolok Malea dan nama bahasa Melayu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Nama Dolok Malea dan Nama Bahasa Melayu; Molayu I’tsing, Prasasti Kedukan Bukit dan Malaiur Prasasti Tanjore
Dalam narasu sejarah masa kini, candi Muara Takus kerap dihubungkan dengan Palembang sebagai pusat Sriwijaya. Fakta bahwa candi Muara Takus lebih dekat dengan gunung Dolok Malea. Mengapa pusat Sriwijaya tidak dihubungkan dengan candi-candi di Padang Lawas. Fakta bahwa candi Muara Takus sangat dekat candi-candi di Padang Lawas. Itu satu hal. Dalam hal ini adalah mengapa nama Molayu yang disebut I’tsing pada abad ke-7 letak geografisnya bersifat kontroversi.
Peneliti pertama yang membaca laporan I’tsing adalah WP Groeneveldt (lihat Notes on the the Malay Archipelago and Malacca, 1879. Disebutkan I’tsing berlayar dari Canton ke Bhoja selama 20-30 hari, lalu dari Bhoja ke India melalui Moloyu dan Kieh-cha. Dari Bhoja ke Moloyu selama 15 hari. I’tsing juga menyebut P'ouo-lou-che berada di sebelah barat Bhoja. Dalam pelayaran itu I’tsing berdiam di Bhoja selama enam bulan dan selama dua bulan di Moloyu.
Bhoja yang disebut I’tsing diduga adalah Kamboja yan sekarang. Sementara nama P'ouo-lou-che diduga adalah Barus. Sangat masuk akal P'ouo-lou-che berada di sebelah barat Bhoja. Lamtas dimana Moloyu berada?
Pada artikel sebelumnya,
disebutkan dalam catatan Tiongkok pada tahun 525 disebut sejumlah nama tempat
di pantai barat Sumatra, yakni Po-luss-se. Pe-song, Pu-lie, Pan-tie, Po-chia-man
dan Ti-kue. Po-luss-se. kembali disebut oleh I’tsing sebagai P'ouo-lou-che.
Nama Moloyu haruslah diartikan sebagai nama tempat yang penting, yang dikenal secara luas (bahkan hingga ke Tiongkok). Sebagai tempat yang penting, haruslah diartikan cukup dekat dengan nama-nama tempat di pantau barat Sumatra sebagai penghasil emas seperti Pe-song (Hapesong), Pu-lie (Huta Puli), Pan-tie (Panti) dan Po-chia-man (Pasaman). Tempat yang sesuai dengan posisi Moloyu ini diduga kuat di sekitar daerah aliran sungai Rokan yang tidak jauh dari gunung Dolok Malea. Apakah dalam hal ini nama Moloyu yang disebut I’tsing merujuk pada nama Malea?
Di sebelah barat gunung Dolok Malea terdapat nama tempat Pu-lie (Huta Puli) dan danau besar danau Siabu dimana terdapat candi Simangambat. Di sebelah timur gunung Malea di Sangkilon terdapat candi. Antara kediua candi ini dihubungkan jalan dari Simangambat ke lereng gunung Melea terus ke Pagaran Bira dan seterusnya ke Sangkilon (hulu sungai Barumun). Candi Simangambat, satu-satunya adalah candi tertua di Sumatra, dan candi Sangkilon adalah candi tertua di pantai timur Sumatra.
Di wilayah pedalaman yang kaya emas, antara Barus dan Tiku diduga telah terbentuk suatu federasi kerajaan yang mana salah satu raja menjadi pimpinan (primus interpares). Kerajaan ini diduga bernama Sriwijaya. Tidak lama setelah kehadiran I’tsing, kerajaan ini kemudian melakukan invasi ke Sumatra bagian selatan. Dalam prasasti Kedoekan Boekit (682) disebut Raja Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dan membentuk Banua di Matajap. Nama Minanga dalam hal ini adalah Binanga yang berada di hilir Sangkilon.
Saat itu Minanga masih berada
di pesisir pantai dimana sungai Barumun bermuara. Sungai Barumun berhulu di
gunung Dolok Malea melalui Sangkilon. Sungai Rokan juga berhulu tidak jauh dari
gunung Dolok Malea yang kemudian mengalir melalui Moloyu. Seperti kita lihat
nanti, kelak nama tempat Moloyu ini lebih dikenal sebagai San-fo-tsi
(Tambusai).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Molayu I’tsing, Prasasti Kedukan Bukit dan Malaiur Prasasti Tanjore: Dimana Nama Melayu Bermula?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar