Selasa, Mei 28, 2024

Sejarah Dolok Malea (11): Sibuhuan di Hulu Sungai Barumun Menjadi Ibu Kota Padang Lawas; Moda Transportasi Masa ke Masa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dolok Malea di blog ini Klik Disini

Jangan percaya dulu nama Gunung Tua adalah gunung tua. Mengapa? Dalam bahasa Batak tidak ada kosa kata gunung (mount) maupun kosa kata tua (old). Bagaimana dengan nama nama Sibuhuan? Sibuhuan sendiri barada di lembah hulu sungai Barumun (berdekatan dengan lembah hulu sungai Sosa).


Sibuhuan (atau yang sering disebut Pasar Sibuhuan) adalah ibu kota dari Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara, Secara administratif, pusat pemerintahan Kabupaten Padang Lawas ini terletak di kecamatan Barumun. Dalam perkembangannya dibentuk kecamatan Ulu Barumun. Kecamatan Barumun terdiri dari kelurahan Pasar Sibuhuan dan desa-desa Arse Simatorkis, Bangun Raya, Bulusonik, Handis Julu, Hutarimbaru, Janjilobi, Pagaran Baringin, Pancaukan, Purbatua, Sayur Matua, Sialam Bue, Sibuhuan Jae, Sibuhuan Julu, Tanjung Botung, Tanjung Durian, Tano Bato. Kecamatan Ulu Barumun terdiri dari desa desa Aekharuaya, Handang Kopo, Matondang, Paran Batu, Paringgonan, Paringgonan Julu, Pasar Ipuh, Pintu Padang, Sibual-buali, Simanuldang Jae, Simanuldang Julu, Siraisan, Subulussalam, Tanjung dan Tapian Nauli. Ibu kota kecamatan Ulu Barumun di Paringgonan
. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Sibuhuan di hulu sungai Barumun? Wilayah hulu sungai ini berada di lembah yang diapit dua rantai pegunungan dan dolok pemisah dengan wilayah lembah hulu sungai Sosa. Moda transportasi masa ke masa. Lalu bagaimana sejarah Sibuhuan di hulu sungai Barumun? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Sibuhuan di Hulu Sungai Barumun Menjadi Ibu Kota Padang Lawas; Moda Transportasi Masa ke Masa

Wilayah Padang Lawas awalnya meliputi wilayah daerah aliran sungai Barumun dan daerah aliran sungai Sosa. Namun kemudian kebijakan Pemerintah Hindia Belanda berkata lain. Hal itu juga sebelumnya tentang (sebagian) wilayah Pasaman yang kemudian dimasukkan ke Sumatra Barat. Pembentukan cabang pemerintahan di wilayah Padang Lawas dilakukan pasca bentek Daloe-Daloe berhasil ditaklukkan.


Deskripsi wilayah dan populasi wilayah Padang Lawas dideskripsikan yang kemudian dimuat dalam jurnal Hindia Belanda tahun 1846, sebagai berikut: (1) Padang Lawas, terdiri dari empat distrik: (23 kampung. 805 keluarga) yakni Batang Onang, 4 kampung, 160 keluarga; Pertibie, 10 kampung. 315 keluarga; Batang Paneh, 7 kampung, 230 keluarga; dan Kotta Pinang, 2 kampung, 100 keluarga. (2) Dollok, terdiri dari empat distrik: (44 kampung, 1.235 keluarga) yakni Boekit, 9 kampung, 275 keluarga; Simenabon 16 kampung, 606 keluarga; Simasse, 4 kampung, 92 keluarga; Tambiski, 15 kampung, 262 keluarga. (3) Boeroemon, terdiri dari tiga distrik: (16 kampung, 620 keluarga) yakni Aijernabara, 4 kampung, 140 keluarga; Assahatan, 10 kampung, 370 keluarga, Kaijoedra, 2 kampung, 110 keluarga. (4) Tamboeseij terdiri dari tiga distrik: (Total 32 kampung, 1.660 keluarga), yakni Batang Sossa 12 kampung, 775 keluarga, Batang Labo, 13 kampung, 670 keluarga; Pariet, 7 kampung, 215 keluarga. (5) Paneh, hampir seluruhnya berpenghuni oleh emigrasi dari kepala Soetan Mangedar Alam. (6)  Biela, di mulut Batang Paneh di sebelah timur. Secara keseluruhan sebanyak 115 kampung, 4.320 keluarga. Oleh karena dua lanskap diperkirakan 5 kampung, 309 keluarga, maka total keseluruhan adalah 120 kampung dengan 4.620 keluarga. Sumber angka-angka ini diperoleh dari kepala-kepala kampong yang mungkin hanya perkiraan. Namun tim sangat menyadari angka-angka ini masih diragukan, karena mereka beranggapan bahwa penduduk terkesan bahwa tujuan pendataan ini dikaitkan dengan pajak, apalagi sebelumnya banyak kampong-kampung yang tersiksa akibat ulah para pengikut Tuanku Tambusai dan juga mereka terkesan ketidakpercayaan pada supremasi asing. Secara keseluruhan jumlah populasi minimum sebanyak 23.100 jiwa dengan asumsi satu keluarga terdiri dari lima anggota. Jika mempertimbangkan bahwa para budak termasuk dihitung, sejumlah dusun-dusun yang terpencil yang tidak diketahui para kepala kampong, dan kemungkinan asumsi satu keluarga dinaikkan menjadi enam anggota, maka jumlah populasi diperkirakan bisa mencapai maksimum 28.000 jiwa. 

Pada permulaan penmerintahan wilayah Boeroemon, terdiri dari distrik Aijernabara (Arek Nabara); Assahatan (Hasahatan) dan Kaijoedra (Aek Haruaya). Kota Sibuhuan yang sekarang dahulunya berada di distrik Hasahatan, onderafdeeling Baroemoen. Ibu kota afdeeling Padang Lawas di Portibi. Sekolah pemerintah pertama di Padang Lawas dibangun dan satu-satunya di Siboehoeam (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, 1874). Lantas mengapa tidak di Portibi (ibu kota afd Padang Lawas)?


Pada tahun 1858 semasa Resident Riau Netscher berkedudukan di Pulau Bintan memisahkan semua lanskap-lanskap Sumatra’s Ooskust menjadi satu residentie baru dengan nama Sumatra’s Ooskust beribukota di Siak Indrapoera. Residentie baru ini termasuk Bengkalis, Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara dan Deli. Afdeeling Padang Lawas dikurangi yakni Bila dan Pane yang kemudian dibentuk onderafdeeling Laboehan Batoe dimasukkan ke residentie Sumatra’s Ooskust. Pada tahun 1870 Siak dikeluarkan dari residentie Sumatra’s Ooskust yang mana Siak diintegrasikan ke residentie Riaou. Ibukota residentie Sumatra’s Ooskust dipindahkan ke Bengkalis. Pada tahun 1879 ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust dipindahkan ke Medan (Afdeeling Deli) dan afdeeling Bengkalis dikeluarkan dan dintegrasikan dengan Residentie Riaou.

Di wilayah afd Padang Lawas, para pemimpin Hadjoran, Pertibi dan Sosah, yang masing-masing memegang kekuasaan utama di suatu bagian wilayah Padang Lawas (lihat Algemeen Handelsblad, 24-10-1878). Pengaruh yang kuat Radja Mondang di wilayah Sosah diduga kuat yang menyebabkan sekolah dibangun di Siboehoean.


Sejak kapan nama Siboehoean terinformasikan tidak diketahui secara pasti. Siboehoean berada di distrik Hasahatan. Sebagaimana disebutkan dalam laporan tahun 1846. Boeroemon, terdiri dari tiga distrik: (16 kampung) yakni Aijernabara, 4 kampung; Assahatan, 10 kampung, Kaijoedra, 2 kampung, sementara Tamboeseij terdiri dari tiga distrik: (32 kampung), yakni Batang Sossa 12 kampung, Batang Labo, 13 kampung, Pariet, 7 kampung. Oleh karena adanya keberatan Inggris, cabang pemerintahan sempat mengalami kekosongan di Padang Lawas dan keterlibatan pemerintah hanya minim. Akibatnya banyak terjadi kerusuhan.

Atas desakan permintaan penduduk Padang Lawas dilakukan aneksasi dengan menempatkan Controleur di Portibii pada tahun 1879. Pada saat ini wilayah Padang Lawas hanya tersisa lima wilayah: Tana Rambei en Oeloe Bila, Dollok, Padang Bolak, Baroemoen dan Sosa (Bila, Pane dan Tambusai dilepaskan ke Sumatra’s Ooskust). Pada tahun 1883 ibu kota Padang Lawas direlokasi dari Portibi ke Goenoeng Toea (lihat Bataviaasch handelsblad, 07-02-1883). Pemindahan ini di satu sisi mendekatkan ke wilayah Dolok tetapi di sisi lain menjauhkan dari wilayah Sosa.


Deli courant, 23-10-1895: ‘Daloe Daloe dan Mondang, masih berperang, tetapi kerajaan pertama Daloe Daloe pasti akan dikalahkan, karena penduduknya jarang dan kekurangan amunisi, sementara kerajaan Mondang memiliki persediaan yang baik’.

Pada tahun 1907 ibukota Padang Lawas dipindahkan dari Goenoeng Toea ke Siboehoean (lihat Stbls No 305 tahun 1907; ordonantie 18 Juli 1907). Apakah pemindahan ini terkait dengan ketidakamanan di wilayah Sosa yang mana perang yang berlarut-larut antara Daloe-Daloe (Tamboesai) dan Mondang (Sosa)? Boleh jadi karena factor potensi ekonomi wilayah.


Apa yang menyebabkan perseteruan Tambusai dan Sosa tidak terinformasikan secara pasti. Namun diduga karena factor perdagangan budak. Sebagaimana diketahuai pembebasaan perbudakan di wilayah Angkola Mandailing tahiunm 1864. Perbudakan berlangsung paling lama di wilayah yang diperintah langsung disini, dan baru secara resmi menghilang pada tahun 1910.

Pemindahan ibu kota Padang Lawas dari Goenoeng Toea ke Siboehoean lalu diikuti dengan pembangunan jalan dari Padang Sidempoean ke Sosopan yang kemudian diteruskan ke Siboehoean. Pesanggrahan dibangun di Sosopan. Lalu dengan cepat wilayah Siboehoean (Baroemoen dan Sosa) cepat berkembang dan bahkan telah melampaui Goenoeng Toea (Portibi).


Setelah sekolah pemerintah dibangun di Siboehoean, pada tahun 1899 diketahui sudah ada sekolah swasta di Pamoentaran, Balakka, Goenoeng Toea, Lantosan, Mondang dan Pasar Matanggor. Pada tahun 1901 sekolah swasta di Hadjoran tetapi di Mondang tidak ada lagi. Pada tahun 1907 sekolah swasta di Aek Soehat, Balakka, Goenoeng Toea, Lantosan, Mondang dan Pasar Matanggor. Catatan: sekolah-sekolah yang didirikan zending berada di Dolok,

Diharapkan dengan adanya pembangunan jalan raya dari Padang Sidempoean ke Siboehoean dimungkinkan arus orang dan barang semakin lncar. Alat angkut terbaik tentu saja masih berupa kereta kuda/pedati. Namun untuk sementara, berdasarkan Rapport betreffende terreinverkenningen en een spoorwegplan voor Midden-Sumatra ingevolge besluit van den gouverneur-generaal van Nederlandsch-Indië dato 14 juni 1907, alat angkut barang dari Binanga ke Siboehoean menggunakan perahu (dari Rasa uke Binanga dengan perahu); dan dari Siboehoean ke Padang Sidempoean dan dari Siboehoean ke Papaso dan Tangoen menggunakan kuda (juga daru Rangoen ke Pasir Pangaraijan). Catatan: yang sudah menggunakan pedate/kereta kuda adalah dari Padang Sidempoean ke Sibolga dan dari Padang Sidempoean ke Sipirok.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Moda Transportasi Masa ke Masa: Sibuhuan dan Dolok Malea Masa ke Masa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: