Kamis, Mei 30, 2024

Sejarah Dolok Malea (13): Etnik Siladang di Daerah Aliran Sungai Batang Gadis; Orang Loeboe, Orang Oeloe di Wilayah Perbatasan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dolok Malea di blog ini Klik Disini

Sebagai nama etnik, nama Siladang tidak pernah terinformasikan. Hanya nama orang Loeboe yang sudah dikenal lama di wialayah Mandailing. Setelah laporan TJ Willer (1846), yang pertama menulis tentang orang Loeboe adalah CA van Ophuijsen (seorang guru di sekolah guru Padang Sidempoean 1881-1890). Lalu setelah Ophuijsen, kembali nama orang Loeboe tidak terinformasikan, dan baru kembali seorang jurnalis dari Deli Courant di Medan melakukan kunjungan ke Siladang pada tahun 1933.


Mengenal Siladang, Penduduk Ibu Kota Madina yang Punya Bahasa Sendiri. Nizar Aldi. DetikSumut, Medan 4 Feb 2023: Masyarakat Siladang merupakan kelompok penduduk yang berada di Panyabungan, Ibu Kota Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Uniknya, masyarakat Siladang memiliki bahasa sendiri yang berbeda dari bahasa etnis Mandailing. Masyarakat Siladang mendiami wilayah yang saat ini bernama Desa Aek Banir dan Desa Sipapaga. Keduanya desa ini hanya berjarak belasan kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Madina. Belasan tahun yang lalu, masyarakat Siladang merupakan kelompok masyarakat yang tertinggal. Masyarakat Siladang memiliki bahasa sendiri dalam berinteraksi sehari-hari. Mereka memiliki bahasa yang berbeda dari etnis Mandailing yang menghegemoni wilayah sekitar desa tersebut. Lantas bagaimana kisah masyarakat Siladang tersebut? (https://www.detik.com/).

Lantas bagaimana sejarah Siladang di daerah aliran sungai Batang Gadis? Seperti disebut di atas sebelum muncul nama Siladang yang sudah ada dikenal adalah orang Loeboe. Orang Loeboe dan Orang Oeloe di wilayah perbatasan. Lalu bagaimana sejarah Siladang di daerah aliran sungai Batang Gadis? Lantas bagaimana sejarah Siladang di daerah aliran sungai Batang Gadis? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Siladang di Daerah Aliran Sungai Batang Gadis; Orang Loeboe dan Orang Oeloe di Wilayah Perbatasan

Jauh sebelum kehadiran orang Eropa/Belanda, penduduk Mandailing sudah mengenal kelompok penduduk di dekat Panjaboengan yang memiliki bahasa dan kebiasaan sendiri yang berbeda dengan dengan penduduk Mandailing. Kelompok penduduk tersebut diantaranya bermukim di suatu tempat yang disebut kampong Siladang. Penduduk Mandailing menyebut kelompok populasi berbeda bahasa itu sebagai Orang Siladang (orang/kelompok populasi tinggal di Siladang).


Pada masa lampau sudah terbentuk jalan darat di Mandailing pada ruas Panjaboengan dan Kotanopan. Dari Panjaboengan jalan ini memotong sungai Batang Gadis di kampong Aek Godang. Jalan darat ini semakin menajauh dari daerah aliran sungai Batang Gadis hingga kampong Roboeran, tetapi kemudian jalan mendekati sungai Batang Gadis melalui kampong Maga hingga di kampong Raroe. Di kampong Roboeran (dimana terdapat Jembatan Merah) ke arah barat melalui lereng Gunung Soril Marapi ke Batang Natal (Muara Soma dan Natal) melalui kampong Kajoe Laoet dan Tanobato. Di ruas jalan yang menjauh inilah di sisi timur daerah aliran sungai Batang Gadis terdapat kelompok populasi yang kini dikenal penduduk Siladang. Di sisi barat sungai Batang Gadis seakan hanya terdiri kampong Roboeran, Maga dan Raroe. Kampong Maga adalah batas antara Panjaboengan (Groot Mandailing) dan Kotanopan (Klein Mandailing).

Siladang adalah nama kampong di sisi timur daerah aliran sungai Batang Gadis. Wilayah antara kampong Aek Godang dan kampong Siladang ditandai sebagai Siladang Djae dan wilayah hulu Siladang hingga lereng Tor Sihite ditandai sebagai Siladang Djoeloe. Dalam peta-peta tidak ada nama sungai yang diidentifikasi di wilayah Siladang. Sungai yang ada yang bermuara ke sungai Batang Gadis berasal dari lereng gunung Sorik Marapi, sementara itu beberapa sungai terbentuk di sisi timur gunung Tor Sihite mengalir ke sungai Aek Pohon. Wilayah Siladang sangat langka aliran sungai untuk membentuk sawah. Boleh jadi itulah sebab mengapa nama kampong satu-satunya di wilayah Siladang disebut kampong Siladang.


Pada masa ini wilayah Siladang Djae tempo doeloe menjadi cikal bakal terbentuknya desa Sipaga Paga dab wilayah Siladang Djoeloe menjadi desa Aek Banir. Wilayah Siladang masuk bagian wilayah Groot Mandailing. Dalam perkembangannya di wilayah Siladang Djae terbentuk kampong Siladang Djae dan Lombang Si Ambai dan kampong Suladang Tonga. Di wilayah Si Ladang Djoeloe inilah kemudian terbentuk kampong Aek Banir. Nama kampong Aek Banir dan kampong Sipaga Paga paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1897 (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1897). Sipaga Paga dulunya disebut kampong Si Ladang Djae.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Loeboe dan Orang Oeloe di Wilayah Perbatasan: Bagaimana Kisah Masyarakat Siladang?

Nama Siladang sebelumnya tidak pernah terinformasikan. Yang terinformasikan adalah kelompok populasi Loeboe dan kelompok populasu Oeloe. Sebagian kelompok populasi yang berada di daerah aliran sungai Batang Gadis dekat dengan Panjaboengan adakalnya dipertukarkan dengan Alak Siladang (Orang Siladang). Orang Oeloe sendiri ditemukan di wilayah Oloe, sebelah timur wilayah Pakantan (sekitar Muara Sipongi).

 

Gambaran wilayah Siladang pada tahun 1933 digambarkan seorang jurnalis yang telah mengunjunginya (Deli courant, 12-07-1933): Ringkasannya sebagai berikut: Wilayah suku ini, yang selain di disebut Loeboe juga Alak Siladang: Kampung Alak Siladang terletak di dekat Penjaboengan di kaki pegunungan yang sejajar dengan Patang Gadis. Kampung Loeboes, dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Siladang Djae, Siladang Tonga dan Siladang Djoeloe. Jalan ke sana dapat diakses dengan mobil, setidaknya pada musim kemarau, dan sebagian dibangun di kaki pegunungan. Di sebelah kanan kami, jauh di bawah kami, mengalir Sungai Batang Gadis. Kampung Siladang Djae, kampung terkecil dari ketiga kampung tersebut. Kita tidak bisa menyebut kampung sebagai sebuah kampung, karena rumah-rumahnya berjauhan, seperti gubuk-gubuk kecil di sawah yang luas. Rumah-rumahnya dilapisi alang-alang, sedangkan dindingnya terbuat dari bambu yang dihancurkan. Di kampung Siladang Djae hanya kita jumpai tiga rumah yang letaknya berdekatan dalam semacam taman dan dikelilingi beberapa pohon kelapa kecil, kopi. pepohonan dan batang hevea. Kampung ini paling dekat dengan Batang Gadis. Sekitar 2 Km dari Siladang Djae kita melihat di kejauhan dan bahkan lebih tinggi lagi desa Siladang Tooga yang mempunyai sekitar 20 rumah, dan lebih jauh lagi adalah Siladang Djoeloe dengan sekitar 100 rumah. Di ketiga kamping tersebut terdapat dua 'ripehoofd', satu di Siladang Djoeloe yang disebut Dja Manoesoen dan satu lagi di dua kampong lainnya yang disebut Mangkampi. Ketika kami bertanya apakah mereka semua sudah masuk Islam, kami mendapat jawaban yang menggembirakan. Orang yang membuat mereka masuk agama ini adalah Sjech Abdul Muthoiip yang terkenal dari Kampong Manjabar, dekat Panjaboengan. Di Desa Siladang Djoeloe saat ini terdapat 9 buah gerobak carabao yang berfungsi untuk mengangkut hasil koffie.

Jika kelompok populasi Siladang/Leoboe berbeda dengan kelompok populasi umumnya di wilayah Mandailing, lalu siapa orang Siladang? Namun sebelum membicarakan lebih lanjut secara khusus tentang orang Alak Siladang, ada baiknya mendeskripsikan tentang Orang Loeboe dan Orang Oeloe. Secara umum Orang Loeboe dibedakan dengan Orang Oeloe baik dari segi bahasa maupun segi kebiasaan (adat).

 

Beberapa literatur yang ada tentang kelompok populasi Orang Loeboe dan Orang Oeloe di wilayah Mandailing. (1) TJ Willer (1846), Mandailing, Angkola en Pertibie; (2) H. Neubronner van der Tuuk (1862). Taalkundige aanteekeningen en bladwijzer v/h Bataksche Leesboek; (3) C. A. van Ophuysen.1884. De Loeboes di dalam T. v. Ind. Taal-, Land- en Volkenkunde; (4) JB Neumann, vlgs. M. Joustra's Literatuuroverzicht der Bataklanden (1907); (5) M Moszkowski, (1909), Auf neuen Wegen durch Sumatra, (6) J Kreemer (1912), De Loeboes in Mandailing di dalam, Bijdr. t/d Taal-, Land- en Volkenkunde van Ned-lndie; (7) JP Kleiweg de Zwaan (1925), De Rassen van den Indischen Archipel: (8) A Einthoven Schuil, Over het onderzoek naar de bloedgroepen in Ned. O.-IndiĆ«, G. T. v. N. I; (9) Mitsumi Akune (1932), Zur serologischen Anthropologie der Japaner, Zschr. f. Morph. u. Anthrop; (10) Karl, Bei den en Helbig (1933), Orang Loeboe in Zentral Sumatra, Baessler Archiv XVI; (11) HH Bartlett, The problem of Negrito and „Vedda" elements in the population of Sumatra, Proc. of the Fifth Pac. Sc. Congres; (12) Mangaradja Goenoeng Toea (1938), Sedikit pemandangan dari hal pendoedoek „Dolok", Baroemoen, Padanglawas; Simon Pandjaitan (1939), Tentang bangsa orang Loeboe di Batoegadja.

Keberadaan Orang Loeboe pertama kali diinformasikan oleh Asisten Residen Angkola Mandailing TJ Willer dalam laporan akhir jabatannya tahun 1846. Controleur Th AL Heyting berjudul Beschcrijbing der Onderafdeeling Mandailing en Batang Natal (1891) menyebutkan suku Loeboe tinggal di kampung-kampung yang tersebar di lereng barat Pegunungan Tengah Timur, dan jumlahnya terus bertambah sejak tahun 1884. Saat itu diperkirakan berjumlah ±1455 jiwa, kini berjumlah 2033 jiwa.


Mereka tersebar di berbagai pemukiman sebagai berikut: (1) wilayah Koeria Kota Siantar, di bawah kampung Kota Siantar di pagaran Si-obon 39 keluarga, di pagaran Aek Mata 35 kk, di pagaran Si-gatal 15 kk; di bawah kampung Pidoli Lombang di pagaran Aek Banir 56 kk, di pagaran Si-papaga 25 kk; Onder-koeria Goenoeng Bringin di pagaran Babi 51 kk, di pagaran Krambil 30 kk, di pagaran Gala Gala 32 kk, di pagaran Tobing Indjong 34 kk; Koeria Goenoeng Toewa, di bawah kampung Goenoeng Toewa di pagaran Baroehoer 22 kk, di pagaran Si-ala pajoeng 20 kk; di bawah kampung Ipar Bondar di pagaran Sopo Batoe 19 kk; di bawah Desa Malintang di pagaran Oeta Bangoen 10 kk. Secara keseluruhan 388 kk telah bertambah dari 291 pada tahun 1884.

Dari laporan Th AL Heyting hanya menyebut kampung-kampung di lereng barat Pegunungan Tengah Timur (perbatasan Mandailing dan Padang Lawas). Bagaimana dengan di lereng timur? Yang jelas kelompok populasi Orang Loeboe tidak hanya di pagaran Aek Banir dan di pagaran Si-papaga (yang masuk wilayah kampung Pidoli Lombang), tetapi juga di banyak kampong bahkan di kampong (pagaran) Sopo Batoe (yang masuk wilayah Koeria Goenoeng Toea) di lereng gunung Dolok Malea.


Pada masa ini Sopo Batu merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Panyabungan, kabupaten Mandailing Natal. Kecamatan Panyabungan terdiri kelurahan-kelurahan Dalan Lidang, Kayu Jati, Kota Siantar, Panyabungan I, Panyabungan II, Panyabungan III, Pasar Hilir, Pidoli Dolok, Sipolu-Polu; desa-desa Adian Jior, Aek Banir, Aek Mata, Darussalam, Gunung Barani, Gunung Manaon, Gunung Tua Jae, Gunung Tua Julu, Gunung Tua Tonga, Huta Lombang Lubis, Ipar Bondar, Kampung Padang, Lumban Pasir, Manyabar, Manyabar Jae, Pagaran Tonga, Panggorengan, Panyabungan Jae, Panyabungan Julu, Panyabungan Tonga, Perbangunan, Pidoli Lombang, Salam Bue, Sarak Matua, Sigalapang Julu, Sipapaga, Siobon Jae, Siobon Julu, Saba Jambu dan Sopobatu.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: