*Untuk melihat semua artikel Sejarah Benteng Huraba di blog ini Klik Disini
Dalam
sejarah Belanda memperjuangkan kepentingannya di Hindia Belanda, juga melibatkan
orang pribumi. Para hulubalang Mandailing dan hulubalang Angkola (bersama
pasukan Ambon, pasukan Madura dan pasukan Jawa, para hulubalang Melayu dan para
hulubalang Minangkabau) dilibatkan dalam perang melumpuhkan Padri. Namun setelah
Perang Padri para hulubalang Angkola Mandailing tidak pernah dilibatkan lagi.
Mengapa? Yang jelas para pemuda di Angkola Mandailing sudah melihat pendidikan sebagai
alat perjuangan yang paling baik untuk dilakukan. Para hulubalang Angkola
Mandailing tidak dilibatkan dalam Perang Batak (melawan Sisingamangaradja) dan
Perang Atjeh (melawan Teuku Umar).
Ida Loemongga Nasution lahir di Padang, 22 Maret 1905, perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (PhD). Hal ini diberitakan kantor berita Aneta dari Amsterdam, pada 29 April 1932. Dari Universiteiten Van Utrecht en Leiden nama Ida Loemongga Haroen al Rajid Nasution dinobatkan sebagai wanita pribumi pertama yang meraih gelar Doktor. Ayahnya adalah Haroen Al Rasjid Nasution, dokter lulusan Docter Djawa School di tahun 1902. Ibunya adalah Alimatoe Saadiah br. Harahap, perempuan pribumi pertama yang mendapat pelajaran dari kurikulum sekolah Eropa. Kedua orang tua Ida Loemongga Nasution berasal dari Padang Sidimpuan. Ida Loemongga sekolah di ELS Tandjong Karang, dilanjutkan kePrins Hendrik School (afdeeling-B/IPA) di Batavia tahun 1918. Setelah lulus tahun 1922, Ida direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pada usia 18 tahun, Ida berangkat sendiri ke Amsterdam. Pada tahun 1927 Ida memperoleh gelar sarjana kedokteran di Universiteit Utrecht dan tahun 1931 dipromosikan sebagai doktor di bidang kedokteran dengan disertasi berjudul ‘Diangnose en Prognose van aangeboren Hartgebreken’ (Diagnosa dan Prognosa Cacat Jantung Bawaan) (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia? Seperti disebut di atas, setelah Perang Padri para pemuda Angkola Mandailing tidak lagi mengenal perang, tetapi hanya berusaha untuk meningkatkan pendidikan yang dengan demikian dimungkinkan untuk berjuang untuk mencapai kemerdekaan (bebas dari penjajahan). Dalam konteks itulah mengapa putra-putri Angkola Mandailing terdapat di berbagai tempat. Lalu bagaimana sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Perjuangan Mencapai Kemerdekaan Indonesia; Putra-Putri Angkola Mandailing di Berbagai Tempat
Seperti disebut sebelumnya, Dja Endar Moeda telah mendirikan organisasi kebangsaan dengan nama Medan Perdamaian di Padang tahun 1900. Pada bulan April 1903 Dja Endar Moeda menikahkah anak pertama boru panggoaran Alimatoe’ Saadiah di Padang. Sang menantu adalah dokter muda bernama Haroen Al Rasjid yang belum lama bertugas di Padang.
Selama tahun 1901 di Batavia sekolah kedokteran (Docter Djawa School) menginformasikan mahasiswanya lulus ujian akhir. Dua diantaranya adalah Mohammad Hamzah lulus pada bulan Juni dan Haroen Al Rasjid lulus pada November. Dr. Mohamad Hamzah ditempatkan di Telok Betoeng dan Dr. Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang (lihat De locomotief: Samarangschhandels- en advertentie-blad, 29-12-1902). Haroen Al Rasjid adalah kelahiran Padang Sidempoean anak dari Abdoel Azis Nasoetion; Mohamad Hamzah adalah kelahiran Batoenadoea, sepupu dari Soetan Casajangan (cucu dari Patoean Soripada dari Bataoe na Doewa). Keduanya sama-sama lulusan ekolah Eropa (ELS) Padang Sidempoean. Peta: Pada saat Medan masih kampong, Padang Sidempoean sudah menjadi kota.
Pada bulan
September 1903 Dja Endar Moeda membawa dua guru ke Belanda, Radjioen Harahap gelar
Soetan Casajangan dan Djamaloedin Rasad. Soetan Casajangan adalah guru di
Simapil-Apil, yang merupakan lulusan sekolah guru (kweekschool) di Padang
Sidempoean tahun 1887. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda
(lulus tahun 1884). Djamaloedin Rasad adalah alumni sekolah guru (kweekschool)
Fort de Kock yang menjadi asisten redaktur Dja Endar Moeda di majalah
dwimingguan di Padang (Insulinde). Di Belanda Soetan Casajangan dan Djamaloedin
Rasad akan bekerja membantu Dr AA Fokker yang akan menerbitkan majalah
dwimingguan Bintang Hindia di Amsterdam (untuk dipasarkan di Hindia). Pada
tahun 1904 bertempat tinggal di Den Haag (lihat Sumatra-bode, 13-09-1904).
Pada tahun 1905 Soetan Casajangan kembali ke kampong untuk mengurus berbagaai hal, karena Soetan Casajangan akan melaanjutkan studi keguruan di Belanda. Sudah barang tentu Soetan Casajangan singgah di Padang dari Batavia karena transit dengan kapal yang lebih kecil ke Sibolga (baru dengan jalan darat ke Padang Sidempoean). Di Padang sudah tentu pula menginap di rumah Dja Endar Moeda. Kebetulan cucu pertama Dja Endar Moeda belum lama lahir. Anak boru panggoaran dari Dr Haroen Al Rasjid Nasoetion dan Alimatoe Sadiah Harahap diberi nama Ida Loemongga (lahir tanggal 22 Maret 1905). Setelah selesai urusan di Padang Sidempioean, Soetan Casajangan kembali ke Belanda melalui Padang dan Batavia. Di rumah Dja Endar Moeda di Padang, tentu saja Soetan Casajangan sesaat sebelum pamit, meminta untuk menggendong cucu pertama dari Dja Endar Moeda dan buah hati pernikahan Alimatoe Sadiah dengan Haroen Al Rasjid. Soetan Casajangan menggendong sambil bersenandung satu bait puisi Willem Iskander lalu memberikannya kepada Haroen Al Rasjid. Saat bayi itu sudah di tangan Haroen Al Rasjid, Soetan Casajangan berucap dengan penuh harap: ‘susul au bere, dah’. Singkatnya: Soetan Casajangan, berangkat dari Batavia 5 Juli 1905 dan tiba di Rotterdam 30 Juli 1905 (lihat manifest keberangkatan kapal Prinses Juliana Batavia-Amsterdam yang dimuat di koran Belanda yang terbit di Amsterdam tanggal 5 Juli 1905). Soetan Casajangan mengikuti pendidikan di sekolah guru di Haarlem (lihat De Sumatra post, 08-11-1905).
Saat Soetan
Casajangan sudah (kembali) di Belanda sekolah kedokteran di Batavia (Docter
Djawa School) bulan November 1905 melakukan ujian yang mana lulus ujian akhir
terdapat tujuah siswa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
07-11-1905). Dua diantara yang lulus adalah adalah Abdul Hakim dan Abdul Karim
yang keduanya berasal dari Padang Sidempoean. Dr. Abdul Karim Harahap
ditempatkan di Sawah Lunto Januari 1906, sedangkan Dr. Abdul Hakim Nasoetion
ditempatkan ke Padang Sidempoean, kampong halamannya. Dr. Abdul Hakim Nasoetion
adalah adik dari Dr Haroen Al Rasjid.
Pada tahun 1902 di Docter
Djawa School terdapat sembilan siswa naik ke tingkat empat s dimana lima
diantaranya berasal dari luar Jawa (dua dari Padang Sidempoean, masing-masing
satu siswa dari Ambon, Padang dan Manado). Pada tahun 1904 Abdul Karim dan
Abdul Hakim naik dari tingkat lima ke tingkat enam. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1905: ‘Ujian
Docter-Djawaschool yang lulus ujian akhir terdapat tujuh siswa (diantaranya)
Abdul Hakim, Abdoel Karim dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Pada tahun 1906 Dr Abdoel
Hakim ditempatkan dari Batavia ke Padang Sidempoean (lihat Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1906). Dr. Abdoel Karim berdinas di
Sawahlunto tidak sampai satu tahun, lalu kemudian Desember 1906 dipindahkan ke
Goenoeng Sitoli.
Pada tahun 1906 satu lagi anak Padang Sidempuan, Mohamad Daoelaj lulus di Docter Djawa School (lihat De locomotief, 12-10-1906). Pada awal tahun ini Dr Madjilis dipindahkan dari Tandjoeng Balai ke Padang Sidempoean (lihat Soerabaijasch handelsblad, 21-02-1906). Dr Madjilis berasal dari Padang Sidempoean lulus Docter Djawa School tahun 1886 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1886).
Dr, Madjilis adalah dokter
pribumi lulusan terbaik di Hindia Belanda. Dr. Madjilis pertama ditempatkan di
Oostkust Sumatra. Pada tahun 1896, Dr. Madjilis dipindahkan dari Tandjong Balai
ke Moko-Moko di Bengkoelen. Posisi yang ditinggalkan oleh Dr. Madjilis
ditempati oleh Dr. Abdoel Rivai yang lahir di Moko-Moko. Dr. Madjilis setelah
beberapa kali pindah, dipindahkan kembali ke Tandjong Balai. Dr. Madjilis
akhirnya meminta pensiun dini di kampungnya di Padang Sidempoean terhitung
tanggal 6 November 1906 (Bataviaasch nieuwsblad, 06-11-1906). Sekolah
kedokteran Batavia sendiri didirikan tahun 1851 di rumah sakit militer di
Weltevredna (kini RSPAD). Pada tahun 1854 dua siswa asal Afdeeling Mandailing
en Angkola Residentie Tapanoeli Si Asta dan Si Angan diterima. Mereka lulus dan
kembali ke kampong halaman masing-masing, Dr Asta ke ke Panjaboengan,
onderafdeeeling Mandailing dan Dr Angan ke Padang Sidempoean onderafdeeling
Angkola. Dua dokter muda ini adalah dua siswa pertama yang diterima di Docter Djawa
School yang berasal dari luar Jawa. Anak Dr Asta bernama Hasan Nasoetion gelar
Mangaradja Salamboewe alumni Kweekschool Padang Sidempoean adalah editor
pribumi kedua di Hindia Belanda sejak 1902 di surat kabar Pertja Timor yang
terbit di Medan. Editor pribumi pertama di Hindia Belanda adalah Dja Endar
Moeda (sejak 1895) di surat kabar Pertja Barat di Padang (pada tahun 1900 Dja
Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat dan kemudian menerbitkan surat
kabar Tapian Na Oeli dan majalah dwimingguan Insulinde).
Pada tahun 1906 ini juga Radja Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean. Lalu kemudian pemerintah meminta dokter hewan pribumi Si Badorang gelar Radja Proehoeman sebagai dokter hewan pemerintah tetap di Padang Sidempcean (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-09-1906).
Radja Proehoeman setelah
lulus pelatihan kedokteran hewan di Buitenzorg ditempatkan di Kinari (Afdeeling
XIII en IX Kota). Pada tahun 1886 Radja Proehoeman mendapat cuti dan pulang ke
Pakantan (Onderfadeeling Klein Mandheling, Oeloe en Pakantan (Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886). Pada tahun 1900 mengajukan permintaan
untuk dipindahkan dari layanan di Pajakoemboeh ke layanan lainnya. Untuk itu
Radja Proehoeman telah diberitahu bahwa Gubernur Jenderal tidak berkeberatan
untuk melakukan transisi ke cabang layanan lain (Bataviaasch nieuwsblad,
18-09-1900). Radja Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean. Si Badorang
gelar Radja Proehoeman dipindahkan dari Padang Sidempoean ke Sibolga yang juga
merangkap sebagai dokter hewan pemerintah di Padang Sidempoean (Bataviaasch
nieuwsblad, 07-03-1907). Pada tahun 1907 ini keluar beslit Dr Madjilis yang
mengizinkan membuka praktik untuk kedokteran, operasi dan farmasi (Bataviaasch
nieuwsblad, 06-07-1907). Dr Madjilis adalah dokter pribumi pertama yang
dizinkan membuka praktek. Pada tahun ini Sorip Tagor di Padang Sidempoean melanjutkan
studi ke sekolah kedokteran hewan (Inlandschen Veeartsen School) di Buitenzorg
(kini Bogor) yang baru dibuka tahun 1907 ini.
Pada bulan Mei 1907 Soetan Casajangan lulus ujian mendapat akta guru LO (lihat Land en volk, 23-05-1907). Disebutkan tanggal 22 Mei 1907 lulus ujian akta guru (Lager Onderwijzer) di Haarlem, Soetan Casajangan berasal dari Batoe Na Doea. Setelah mendapat akta guru (yang bisa mengajar di sekolah ELS di Hindia), Soetan Casajangan tidak buru-buru pulang ke tanah air. Soetan Casajangan ingin melanjutkan pendidikan untuk mendapat akta guru kepala (MO). Lembaga pendidikan satu-satunya yang menyelenggarakan tersebut adalah Rijkskweekschool voor onderwijzers di Haarlem. Soetan Casajangan mempersiapkan diri. Soetan Casajangan diterima dan memulai perkuliahan di Rijkskweekschool.
Rekan Soetan Casajangan di Belanda yang sudah lulus, Dr R Asmaoen sudah pulang ke tanah air pada bulan Juli 1908. Dalam perkembangannya diberitakan RM Soemardji Widjojosiwajo di Wageningen, asal Trenggalek, Kediri dinyatakan lulus tahun 1908 (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 14-07-1908). Di kampus ini juga Djamaloedin kuliah. Seperti disebut di atas Djamaloedin dan Soetan Casajaangan berangkat ke Belanda tahun 1903 diantar oleh Dja Endar Moeda. Dr. Abdoel Rivai kelahiran Benkoelen lulus tahun 1908 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1908). Rekan Asmaoen di Docter Djawa School, WK Tehupelory relative bersamaan lulus dengan Abdoel Rivai di Amsterdam. Pada tahun 1908 ini jumlah pelajar/mahasiswa pribumi di Belanda sudah banyak. Catatan: Lulusan Docter Djawa School yang telah memiliki pengalaman kerja di Hindia dapat meneruskan pendidikan kedokteran di Belanda. Dr Abdoel Rivai terbilang sudah senior (lulus 1895), sedangkan yang junior adalah Dr Ph Laoh (1898), Dr R Asmaoen dan Dr WK Tehupelory. Dr Asmaoen dan Dr WK Tehupelory serta lainnya lulus ujian akhir dan mendapat gelar dokter djawa tahun 1902 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-11-1902). Dalam daftar ini termasuk Haroen Al Rasjid Nasoetion dan Mohamad Hamzah Harahap.
Pada bulan Juni 1908 ada inisiatif Soetan Casajangan untuk mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa pribumi di Belanda. Setelah sempat tertunda, Soetan Casajangan baru dapat merealisasikan pada bulan Oktober 1908. Dalam rapat pembentukan organisasi di Leiden tanggal 25 Oktober diberi nama organisasi Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia), Soetan Casajangan secara aklamasi ditunjuk sebagai ketuanya dengan sekretaris Raden Mas Soemitro (siswa HBS di Batavia yang menyelesaikan HBS di Leiden dan baru diterima tahun 1908 di universitas). Lalu di dalam rapat tersebut dibentuk komisi untuk menyusun statuta (AD/ART) yang terdiri dari Soetan Casajangan, RM Soemitro, Hoesein Djajadiningrat dan Raden Mas Kartono (abang dari RA Kartini). Keempatnya sama-sama tinggal di Leiden.
Bagaimana Soetan Casajangan
menginisiasi pembentukan Indische Vereeniging diduga kuat karena faktor Dja
Endar Moeda. Hal ini karena Dja Endar Moeda adalah pendiri organisasi
kebangsaan Indonesia pertama di Padang yang diberi nama Medan Perdamaian pada
tahun 1900. Sebagaimana diketahui pada bulan Mei 1908 di Batavia dibentuk
organisasi kebangsaan yang diinisiasi oleh Raden Soetomo dkk (mahasiswa STOVIA,
nama baru Docter Djawa School) dengan nama Boedi Oetomo. Lalu pada bulan
Oktober 1908 di Belanda Soetan Casajangan mendirikan organisasi kebangsaan
Indische Vereeniging.
Boleh jadi hal itu karena Soetan Casajangan belum benar-benar diterimana di Rijkskweekschool. Juga bisa kemungkinan melihat perkembangan di Hindia sehubungan dengan pendiriaan Boedi Oetomo dan kongres pertama yang akan diadakan di Jogjakarta pada akhir bulan September 1908 apakah platform Boedi Oetomo bersifar daerah atau nasional.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Putra-Putri Angkola Mandailing di Berbagai Tempat: Organisasi dan Politik Sama Pentingnya, Sama-Sama Alat Perjuangan Mencapai Kemerdekaan Bangsa
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar