*Untuk melihat semua artikel Sejarah Benteng Huraba di blog ini Klik Disini
Pasca
perang terhadap golongan Padri di pantai barat Sumatra (1838), Pemerintah
Hindia Belanda memperluas cabang pemerintahan di luar wilayah Pagaroejoeng
yakni di Air Bangis, Rau, Mandailing, Natal dan Angkola. Wilayah-wilayah
tersebut tahun 1839 disatukan dengan membentuk satu residentie dengan nama
Residentie Air Bangis (ibukota di Air Bangis). Pada tahun 1842 dibentuk
residentie Tapanoeli dengan ibu kota di Sibolga yang mana kemudian afdeeling
Angkola Mandailing dan afdeeling Natal dipisahkan dari Residentie Air Bangis
dan kemudian dimasukkan ke Residentie Tapanoeli.
Keresidenan Tapanuli (Residentie Tapanoeli) atau Tapian Nauli adalah wilayah administrasi keresidenan Hindia Belanda yang beribu kota di Sibolga. Wilayah keresidenan ini pernah meliputi wilayah Tapanuli, yakni daerah pesisir barat Sumatera Utara. Keresidenan Tapanuli terbentuk sejak pemerintah Hindia Belanda melakukan ekspansi ke daerah Sumatra dari tahun 1824 sampai 1934. Keresidenan Tapanuli dibentuk pada tahun 1842. Sebelum itu, wilayah tersebut berada di bawah Keresidenan Ajer Bangis dari tahun 1837 sampai 1841. Pada 1902, Afdeling Trumon, berikutnya tahun 1903, Afdeling Singkil disatukan dengan Keresidenan Aceh. Pada 1905, Keresidenan Tapanuli menjadi keresidenan yang berdiri sendiri di bawah Gubernemen Batavia, karena Gubernemen Pantai Barat Sumatra diturunkan statusnya menjadi keresidenan. Tahun 1938, seluruh keresidenan di pulau Sumatra berada di bawah Gouvernment Sumatra Einland yang beribu kota di Medan (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Pemerintah Hindia Belanda membentuk pemerintahan di wilayah Tapanoeli? Seperti disebut diatas, residentie Tapanoeli setelah lebih dahulu dibentuk Residentie Air Bangis pasca perang terhadap golongan Padri. Cabang pemerintahan pertama yang terbentuk di Tapanoeli adalah wilayah Natal, Angkola, Mandailing dan Padang Lawas. Lalu bagaimana sejarah Pemerintah Hindia Belanda membentuk pemerintahan di wilayah Tapanoeli? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Pemerintah Hindia Belanda Membentuk Pemerintahan di Tapanoeli; Natal Mandailing, Angkola, dan Padang Lawas
Seperti disebut sebelumnya, benteng Dalu-Dalu jatuh ke tangan militer Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 28 Desember 1838, dalam upaya mempertahankan diri, keberadaan Tuanku Tambusai dan pengikutnya berakhir. Sejak jatuhnya benteng, tidak terinformasikan lagi keberadaan Tuanku Tambusai. Setahun sebelumnya, tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol jatuh ke tanah militer Pemerintah Hindia Belanda dimana Tuanku Bondjol menyerah dan ditangkap kemudian diasingkan. Dengan demikian, setelah berakhirnya benteng Dalu-Dalu, golongan Padri lambat laun melemah.
Pertempuran di benteng Bonjol
dan di benteng Dalu-Dalu adalah dua rangkaian pertempuran yang dialami golongan
Padri. Perang dengan militer Pemerintah Hindia bernula di wilayah Samawang
(kerajaan Pagaroejoeng) tahun 1821 (di bawah komando Kol Raaf). Eskalasi perang
di wilayah Minangkabau sempat meredup saat mana terjadi perang di Jawa antara
1825-1830 (perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda oleh Pangeran Diponegoro
dalam Perang Jawa). Sebagian pasukan dan perwira militer diperbantukan ke Jawa.
Eskalasi perang semakin meningkat di wilayah Minangkabau sejak 1833 dan
kemudian berujung di Bonjol pada tahun 1837 dengan kehadiran Overste AV Michiel.
Satu detasemen di bawah AV Michiel yang dipimpin oleh Kapten A van der Hart
berhasil memasuki benteng Bonjol. Pada akhir tahun 1838 kembali komando di
bawah AV Michiel menuntaskan sisa Padri di Dalu-Dalu.
Setelah benteng Dalu-Dalu berakhir (akhir Desember 1838), Pemerintah Hindia Belanda dalam upaya memperluas cabang pemerintahan di utara wilayah Minangkabau segera mengimplementasikannya. Selama perang ke Bonjol dan ke Dalu-Dalu otoritas sipil di Mandailing adalah Francois Bonnet, meninggal sebelum berakhirnya perang (lihat Javasche courant, 24-11-1838).
Algemeen Handelsblad,
07-09-1838: oleh suku-suku yang berbeda di selatan dan tenggara Bataklanden
dilaporkan pemerintah telah memulai negosiasi untuk penyerahan yang akan
datang. Setelah mengambil alih Fort Pertibie telah benar-benar Padang Lawas dan
Kotta Pinang dikuasai. Setelah dari Ankola dan Kotta Nopan di Mandheling untuk
Pertibie tentara kami melakukan pengepungan setengah lingkaran terhadap kafir,
tanah dan kepala asli Tamboesy menjadi terkepung, dengan demikian tujuan
menjadi mencapai untuk membebaskan Ankola dan Sipirok di utara Negara Batta.
Setelah itu, baru mereka harus menghela napas setelah begitu lama direcokin
oleh Tamboesy. Kampong Daloedaloe terletak lima hari di tenggara dari Pertibie
masih kuat dikelilingi oleh pengikut yang bersenjata. Namun Tamboesy sendiri
harus telah keluar dari Padang Lawas dan kini di lanskap lain, seperti ia sudah
akan memiliki isyarat penampungan dan kesiapan disana’.
Pada permulaan pembentukan cabang pemerintahan di Mandailing dan Angkola sudah terinformasikan pejabat Pemerintah Hindia Belanda di Angkola (lihat Javasche courant, 27-04-1839). Disebutkan controleur kelas-3 Ankola ditunjuk V Barthelemij, seorang pejabat di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Yang menjadi Asisten Residen Manda Healing en Ankola adalah FAC Kervel (lihat De avondbode: algemeennieuwsblad voorstaatkunde, handel, nijverheid, landbouw, kunsten, wetenschappen, enz/door…12-09-1840). Disebutkan FAC Kervel, pindah menjadi seorang pejabat ke Aijer Bangis.
Di bawah Asisten Residen
Mandheling en Ankola (yang berkedudukan di Kotanopan), baru terdapat tiga
controleur, yakni: Natal, Panjaboengan dan Padang Sidempuan. Pada fase ini nama
wilayah disebut Petjirkolling en Ankola dimana ibu kota berada di Pidjor Koling. Seperti disebut sebelumnya, dalam upaya untuk
mengusir pengaruh Padri di Angkola dan Padang Lawas pada bulan November 1837
didirikan benteng di Pidjor Koling.
Tampaknya dalam pembentukan cabang pemerintahan di Mandailing, terdapat perselisihan di antara pemimpin local yang saling berambisi untuk mendapatkan pengaruh. Dalam fase awal pembentukan cabang pemerintahan, sebagaimana umumnya, diangkat pejabat untuk sisi Pemerintah Hindia Belanda ini dalam upaya menjalankan program (dalam hal ini yang terpenting di satu sisi koffiestelsel dan kemudian mengangkat pemimpin local untuk mendukung program seperti pembangunan jalan dam jembatan. Disamping mendapat bagian dari aktivitas ekonomi (seperti perdagangan), pemimpin lokal juga akan menerima gaji tetap.
Bredasche courant,
26-04-1840: ‘Di distrik Mandahealing pada tanggal 7 Oktober 1839, Lettu
Steinhardt melakukan ekspedisi yang disertai oleh sejumlah kepala
Mandahelingsche dan beberapa pembantu dari Kotta Nopan ke Kotta Gedang untuk
mengamankan Soetan Menkoetoer yang memiliki pengikut setia. Dia adalah saudara
almarhum Regent van Manda Healing, yang mana Raja van Layang telah dibunuh.
Pembunuhan ini disebabkan oleh kebencian rakyat Kotta Gedang terhadap kepala
Manda Healing. Kolonel Michiels, gubernur sipil dan militer Sumatra’s Westkust,
sudah tahu yang terjadi pada Kotta Gedang, sementara kata saudara Sutan
Menkoetoer, Sutan Naga, supaya menyerah saja’
Berdasarkan Keputusan Menteri 1 Agustus 1840 Nomor 81 telah ditetapkan nama-nama pejabat diantaranya untuk Adsistent resident van Tapanoelie adalah MJH van Oppen. Sementara controleur kelas-1 di Mandheling en Ankola ditunjuk VCJ Happe, controleur kelas-3 untuk Battakslanden ditunjuk EJM van Bommel, dan controleur kelas-3 di Baros, M Jorissen. Sedangkan yang menjalankan fungsi pemerintahah untuk Battakslanden di Perlibie adalah FJ Willer. Penempatan VCJ Happe juga terinformasikan dalam Javasche courant, 20-03-1841. Disebutkan controleur kelas-1 di Mandheling en Ankola, VCJ Happe. Sebagai pengganti V Barthelemij, telah ditunjuk controleur kelas-2 di Petjirkolling en Ankola, FW. Godin (lihat Nederlandschestaatscourant, 13-07-1841). Sementara itu. dalam implementasi pemerintahan ini tampaknya ada sejumlah pemimpin lokal yang tidak berkenan apakah karena beban kerja atau disebabkan hal lain.
Nederlandsche staatscourant,
24-06-1842: ‘berita dari Sumatera diterima di Batavia bahwa terjadi ketegangan
yang juga berkaitan dengan afdeeling Mandheling, di mana diumumkan terjadi
kerusuhan namun tidak sampai meletus. Meskipun ada konspirasi kecurigaan
terhadap beberapa kepala, tapi perbuatan itu lambat laun telah hilang. Uutuk
mengkonfirmasi bahwa itu benar untuk sisanya, hanya anggapan sebagai berita
yang bersifat lateral. Sementara itu sudah ada tindakan militer untuk
pencegahan yang diambil, terutama terhadap kampong-kampung atau distrik yang
agak banyak ditemukan permasalahan. Sejumlah pertemuan telah dilakukan dan
semua berniat untuk memberontak. Sudah dilakukan pendekatan dan sudah dapat
menggagalkan cukup. Setelah sulit ditekan, tiga kepala Mandheling berperilaku
telah meminta perlindungan sementara di Natal’. Peta 1843-1847
Dalam permulaan implementasi cabang Pemerintah Hindia Belanda di berbagai wilayah ada yang berjalan lancar dan juga yang menemui hambatan. Pada tahun 1842 terjadi kerusuhan di Mandailing yang menyebabkan penduduk Mandailing mengungsi ke wilayah Natal. Pada tahun 1842 ini di Mandailing yang menjadi pejabat TAC van Kervel dan pejabat di Natal adalah JH van Meerten.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Natal Mandailing, Angkola, dan Padang Lawas: Koffiestelsel dan Pembangunan Pertanian, Kesehatan dan Pendidikan
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar