Kamis, Desember 12, 2024

Sejarah Benteng Huraba (2): Banua Angkola dan Mandailing Sejak Zaman Kuno; Candi di Simangambat hingga Percandian di Binanga


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Benteng Huraba di blog ini Klik Disini

Pertempuran di Benteng Huraba (1949) pada masa Perang Kemerdekaan dapat dikatakan sebagai akhir masa lampau dan di sisi lain dapat dikatakan sebagai permulaan masa selanjutnya di wilayah Angkola Mandailing hingga ke masa ini. Mengapa? Rentang waktu sebelum pertempuran di Benteng Huraba sejak masa lampau, sejarah bermula di wilayah daerah aliran sungai Batang Angkola dan daerah aliran sungai Batang Gadis. Salah satu bukti sejarah di daerah aliran sungai Batang Angkola adalah keberadaan candi Simangambat.  


Candi Simangambat, Riwayatmu Kini. 12-10-2016. Askolani Nasution. Ketua Pendiri Gerep Institute. Candi Simangambat diyakini sejak abad ke-9 (Hindu-Budha). Kawasan candi di Padang Lawas dibangun abad ke-11. Ada rentang waktu 200 tahun. Candi Simangambat bukti tentang nama Mandailing dalam Negara Kertagama, 1365. Candi juga membuktikan bahwa penduduk sudah ada di kawasan Mandailing yang usianya jauh lebih tua dari klaim tarombo (legenda silsilah) Toba. Arie Sudewo dari Balai Arkeologi menyebut candi Simangambat memiliki konstruksi sama dengan candi Sewu di Jawa Tengah (abad ke-8), kebudayaan di sekitar candi Sewu setara dengan kebudayaan penduduk di Mandailing. Candi Sewu memiliki ratusan candi, di sekitar Candi Simangambat juga terdapat “banyak” candi lainnya yang belum ditemukan, candi “Saba Siabu” dan rangkaian candi tertimbun di sekitar Aek Milas Siabu hingga sepanjang aliran sungai Aek Siancing – Aek Badan – dan Aek Sipuruk di Bonandolok. Konstruksi dan patahan arca “kepala kala”, Candi Simangambat diyakini merupakan pintu gerbang sebelah Barat dari sebuah kerajaan besar. (https://www.mandailingonline.com).

Lantas bagaimana sejarah wilayah Angkola Mandailing sejak zaman kuno? Seperti disebut di atas, setiap wilayah memiliki sejarahnya sendiri-sendiri termasuk sejarah di daerah aliran sungai Batang Angkola dimana benteng Huraba berada. Mari kita mulai dari candi di Simangambat hingga candi di Binanga di Padang Lawas. Lalu bagaimana sejarah wilayah Angkola Mandailing sejak zaman kuno? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Wilayah Angkola Mandailing Sejak Zaman Kuno; Candi di Simangambat hingga Percandian di Binanga

Angkola dan Mandailing adalah dua wilayah yang sudah tua di pantai barat Sumatra. Wilayah Angkola berada di daerah aliran sungai Batang Angkola dan wilayah Mandailing di daerah aliran sungai Batang Gadis. Sungai Batang Angkola berhulu di gunung Lubuk Raya (di utara) dan sungai Batang Gadis berhulu di gunung Kulabu (di selatan). Kedua sungai besar ini bertemu (tomuan) di sekitar Siabu (yang ke hilir, sungai bermuara di Singkuang). Dua sungai inilah yang membentuk dua wilayah (banua): Angkola dan Mandailing.  


Kosa kata banua dalam bahasa Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink tahun 1936 diartikan sebagai wilayah atau lanskap (streek, landschap). HJ Eggink juga mendaftar kosa kata banuaran (landstreek) yang artinya juga wilayah. Kosa kata sinonim banua dalam kamu Eggink adalah luat (streek, landschap) yang turunannya antara lain luat harangan (boschstreek) dan luat dolok (bergstreek). Juga didaftarkan kosa kata lumban (land, landschap, landstreek, bijdorp). Nama Mandailing disebut naam landstreek in het Zuiden der residentie Tapanoeli. Kosa kata banua sendiri, paling tidak terinformasikan pada abad ke-7 seperti dalam teks prasasti Kedoekan Boekit (682).

Nama Angkola diduga kuat sudah sangat tua, nama yang berasal dari zaman kuno. Dalam peta Ptolomeus abad ke-2 disebut nama Tacola yang diduga adalah nama Angkola di Sumatra pada masa ini. Nama Tacola diidentifikasi sebagai suatu nama tempat (kota/huta) tepat berada di pantai barat Sumatra dalam peta Ptolomeus. Kota Tacola ini berada di wilayah Aurea Chersonesos.


Sebagaimana umumnya penamaan nama tempat (geografi) di masa lampau umumnya terkait dengan arti nama sesuatu (yang penting dan berguna) antara lain nama yang dihubungan dengan botani seperti nama padi-padian (Jawa), yang dihubungkan dengan nama tambang seperti nama emas/sere (pulau Sumatra, Chersonesos). Lantas mengapa Ptolomeus pada abad ke-2 menyebut pulau di timur India sebagai Chersonesos? Tentu saja emas dalam bahasa Yunani kuno disebut aurea (bahasa Latin: aurum). Sedangkan nesos dalam bahasa Yunani kuno adalah pulau. Jadi Aurea Chersonesos adalah pulau emas Cherso. Lalu apakah nama cherso yang mirip dengan nama sere dalam bahasa Batak menunjukkan hal yang sama?

Nama mirip Angkola pada masa ini ditemukan selatan India bagian barat (Ankola) dan di selatan Afrika bagian barat (Angola). Tentu saja dapat ditambahkan disini nama Angkona di bagian dalam teluk Bonedi Luwu. Nama Tacola di sebelah utara Sumatrra bagian pantai barat, apakah bisa diidentifikasi sebagai korting dari Ba[ta]ng Ang[kola] atau Bat[angkola]?. Fakta bahwa pelaut-pelaut Arab pada masa lampau menyebut orang Batak di bagian utara Sumatra dengan nama orang Batang (merujuk pada nama Batak). Sejak awal kehadiran pelaut Eropa nama Batak diidentifikassi sebagai Bateh, Battah dan Batac. Apakah nama Batahan di pantai barat Sumatra bagian utara adalah juga merujuk pada nama Batang atau Batak? Satu yang jelas, batang dalam bahasa Batak adalah sungai.


Penanda navigasi dari lautan terhadap daratan di zaman kuno umumnya adalah gunung (puncak) dan sungai (muara). Di wilayah Angkola Mandailing sungai disebut batang. Dalam hal ini batang adalah bagian utama dari suatu pohon. Oleh karena itu batang aek diartikan sungai air. Besar dugaan air merujuk pada sebutan aek. Mengapa? Di wilayah lain air disebut sebagaai aik (Bangka Belitung), air (Melayu), aer (Palembang dan Manado) aia atau aie (Minangkabau), ie (Aceh). Sebutan aek atau air juga diduga terkait dengan aru (sungai) seperti sungai Barumun di Padang Lawas (Batang Aru) dan sungai Batangtoru di Angkola (Batang T[aru]), sungai Batang Arau (di Padang) dan Batang Ari atau Batang Hari (di Jambi). Bagaimana dengan nama sungai Batang Angkola? Secara toponimi berdekatan dengan sungai Batang Taru (kini dieja Batang Toru).

Apalah arti suatu nama, demikian Willliam Shakespeare (1564-1616). Yang jelas dalam pendekatan toponimi masih diperlukan untuk memperkaya pemahaman terhadap sejarah masa lampau (zaman kuno) yang sangat minim data dan cenderung samar-samar. Hal itulah mengapa dalam kajian sejarah zaman kuno masih diperlukan analisis toponimi untuk meningkatkan pemahaman (arti) terhadap suatu nama. Namun demikian, pendekatan toponimi tidak cukup, harus dihubungkan arti suatu nama di satu tempat dengan di tempat lain (yang artinya bersesuaian).


Nama-nama tempat di Sumatra banyak yang berasal dari masa lampau (zaman kuno). Di wilayah Angkola Mandailing, seperti disebut nama navigasi sungai dan gunung diduga kuat berasal dari zaman kuno. Dalam hal ini nama sungai dan nama gunung serta nama tempat yang lama diwariskan (meski ada pergeseran ucapan tetapi secara alamiah tidak digantikan). Selain nama tempat Tacola, ada juga nama sungai (Batang Angkola, Batang Barumun dan Batang Pane serta Batang Gadis). Nama gunung Malea atau Maleya mirip nama gunung Himalaya dan nama gunung Lubu Raya (kini Lubuk Raya). Gunung dalam bahasa Angkola Mandailing adalah tor. Bagaimana dengan nama gunung Tursina (thur-sina) di wilayah Sinai. Ada juga nama Thor dalam mitologi Yunani Kuno sebagai nama dewa petir.

Wilayah Angkola Mandailing tidak hanya meenghasilkan emas (sere), juga banyak produk hasil-hasil hutan sepertti kayu dan biji-bijian, kulit dan getahnya. Dua produk zaman kuno yang berasal dari zaman kuno di wilayah Angkola Mandailing adalah kamper, kemenyan dan damar. Getah damar berguna untuk bahan bakar penerangan dan jelaganya menjadi bahan membuat tinta. Getah puli untuk bahan obat seperti halnya kamper dan kemenyan. Kemenyan juga berguna untuk bahan kosmetik. Kamper sendiri juga berguna untuk bahan obat dan bahan untuk pembalseman. Tentu saja wilayah Angkola Mandailing juga di masa lampau menghasilkan gading dan kulit harimau.


Kamper dalam bahasa Angkola Mandailing disebut hapur. Dalam hal ini kamperadalah getah pohon hapur yang beberntuk kristial putih bening (seperti kapur Barus). Habitat kamper di Sumatra (hanya) ditemukan antara Air Bangis dan Singkil. Dalam catatan geografis Ptolomeus abad ke-2 disebut kamper didatangkan dari Sumatra bagian utara (Aurea Chersonesos). Hapur dalam bahasaa Persia disebut kafura yang kemudian masuk ke dalam bahasa Arab. Di dalam Al-Quran sebagai kafura terdapat dalam surah 76 ayat 5. Sebagaimana sebutan tor/thur, bagaimana dengan sebutan surah itu sendiri? Apakah juga surah merujuk pada kosa kata surat (soerat Batak) atau sebaliknya? Aksara Fenesia lebih tua dari aksara Arab. Schröder (1927) menyatakan aksara Batak mirip aksara Fenesia (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder in Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Nama kafura dalam bahasa Aran kemudian masuk ke bahasa Yunani sebagi champora. Nama Latin kamper adalah Dryobalanops camphora. Nama kamper inilah kemudian muncul pada awal era perrdagangan Eropa ke Hindia sebagai kamper atau kapur Barus. Sementara itu kemanyan dalam bahasa Angkola Mandailing adalah hamindjon (lihat Nieuw plantkundig woordenboek voor Nederlandsch Indie: Met korte aanwijzingen van het nuttig gebruik der planten en hare beteekenis in het volksleven, en met registers der Inlandsche en wetenschappelijke benamingen door FSA de Clercq en M Greshoff. 1909. Drukker/Uitgever JH de Bussy). Di wilayah Toba, kemenyan disebut hamojan. Secara morfologi hamojan mirip dengan kemenyan. Bagaimana dengan hamindjon? Orang Arab menyebut kemenyan dengan nama lubaan Djawi (luban/bahan wewangian dari Sumatra), sementara orang Eropa/Portugis menyebutnya dengan benzoin. Besar dugaan nama hamindjon ini yang masuk ke dalam bahasa Eropa/Portugis merupakan lubaan hamindjon menjadi benzoin. Nama botani kemenyan Sumatra disebut Styrax benzoin. Sementaraa hamojan di Toba menjadi kemenyan dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Lantas bagaimana dengan nama-nama damar dan puli serta gading? Yang jelas di wilayah Angkola Mandailing banyak ditemukan nama tempat dengan menggunakan nama Puli seperti Huta Puli. Demikian juga nama tempat Oedjoeng Gading.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Candi di Simangambat hingga Percandian di Binanga: Bagaimana Peradaban Indonesia Bermula?

Ada candi tua berada di Simangambat (cukup dekat dengan Huraba). FM Schinitger (1936) menyebut candi Simangambat diduga kuat berasal dari abad ke-8. Candi tertua di Indonesia disebut berasal dari abad ke-5 ditemukan di daerah aliran sungai Tjitaroem (candi Jiwa di Karawang). Cadi Pandawa di Dieng berasal dari abad ke-7. Ketiga candi tersebut dianggap bercorak Hindoe. Candi-candi bercorak Boedha pertama berasal dari abad ke-8 seperti candi Sewu dan candi Borobudur. Candi Simangambat berada di daerah aliran sungai Batang Angkola. Secara geomorfologis Candi Simangambat dibangun di sisi timur suatu danau pada masa lampau (sebut saja: danau Siabu).


Ke dalam danau Siabu ini bermuara dua sungai besar yakni sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis. Sungai yang lebih kecil yang bermuara ke danau adalah sungai Muara Sada dari arah timurr (di Simangambat). Danau Siabu ini memanjang dari utara (sungai Batang Angkola) ke selatan (sungai Batang Gadis). Danau Siabu ini hanya memiliki jalur air ke luar (escape) yakni berupa celah yang berada beberapa ratus meter di hilir pertemuan sungai  Batang Angkola dan sungai Batang Gadis yang sekarang. Celah ini sekitar 100 M pada ketinggian 180 M dpl dimana permukaan sungai dengan elevasi 150M dpl (area Lumpatan Harimau). Dengan patokan permukaan danau Siabu pada masa lampau 180 M dpl, itu berarti ketinggian tepat berada ketinggian jalan raya 185 M dpl di sekitar Aek Badak, Sihepeng, Huta Puli, Simangambat dan Siabu. Sinonoan  dengan elevasi 195 M dpl, semakin ttinggi ke arah Panjaboengan. Lebar terpanjang danau berada antara Siabu dan Lumpatan Harimau. Lebar danau ke selatan dari Siabu semakin menyempit hingga ke Huta Bargot. Panjaboengan(Kota Siantar) berada di luar area danau.  Demikian juga danau semakin menyempit ke hulu hingga Aek Badak. Sayurmatinggi berada di luar area danau. Ketinggian permukaan sungai di Sayurmatinggi 188 M dpl. Boleh jadi inilah yang menyebabkan namanya dulu disebut  S-aru-matinggi (aru=sungai)

Simangambat, dimana terdapat candi di sisi timur danau kuno diduga menjadi pusat peradaban di Angkola Mandailing. Suatu wilayah tepat di pedalaman yang subur yang diapit dua garis perbukitan yang memanjang ke utara hingga gunung Lubuk Raya dan danau Siais (kawasan  pertambangan emas); ke selatan hingga gunung Kulabu dan danau Tinggal (kawasan pertambangan emas). Puncak tertinggi di garis perbukitan barat adalah gunung Sorik Marapi dan di garis perbukitan timur puncak tertinggi gunung Malea. Seperti disebut di atas, wilayah  Angkola Mandailing sejak zaman kuno sebagai sentra kamper, kemenyan, damar dan  puli. Nama  Huta Puli ada di Siabu dan di Kotanopan.


Seperti disebut di atas, Ptolomeus pada abad ke-2 menyebut pulau-pulau di timur India sebagai Aurea Chersonesos. Kota Tacola adalah kota terdekat di pulau Sumatra dari arah barat (India. Persia, Arab dan Eropa). Masih dalam catatan geografis Ptolomeus juga disebut bahwa kamper didatangkan dari Sumatra bagian utara. Lalu dalam catatan Eropa pada abad ke-5 disebut bahwa kamper diekspor dari kota yang disebut Baroussa. Nama Baroussa ini di Eropa diduga adalah Barus (di Sumatra bagian utara). Kamper dan emas di zaman kuno, suatu produk-produk kuno yang diperdagangkan. tampaknya menjadi andalan pulau Sumatra di pantai barat (bagian utara). Dalam catatan Tiongkok dinasti Leang pada abad ke-6 (502-556) disebut nama-nama tempat di pulau emas Kin-lin, Tu-k'un, Pien-tiu of Pan-tiu, Kiu-li of Ktu-tchiu dan Pi-song serta Mo-chia-man. Nama-nama tempat yang disebut dalam catatan Tiongkok pada abad ke-6 tersebut mirip dengan nama-nama tempat di pantai barat Sumatra seperti Tu-k'un sebagai Kunkun atau Tiku; Pien-tiu atau Pan-tiu sebagai Panti; Kiu-li atau Ktu-tchiu sebagai Puli; Pi-song sebagai Sipisang atau Hapesong; Mo-chia-man sebagai Pasaman. Keberadaan emas di Pasaman telah memperkuat nama Mo-chia-man dalam catatan Tiongkok pada abad ke-6 sebagai nama Pasaman. Dalam catatan Tiongkok pada abad ke-6 ini juga dicatat nama Pan-tiu dan nama Pi-song (keduanya sentra emas). 

Pantai barat Sumatra diduga menjadi pusat perdagangan zaman kuno dimana Barus menjadi pelabuhan internasional. Hal itu karena di dalam catatan Eropa pada abad ke-5 disebut kamper diekspor dari Barus. Informasi tentang Sumatra hanya ditemukan dalam sumber-sumber luar (Eropa dan Tiongkok). Teks tertua di Sumatra ditemukan pada prasasti-prasasti yang ditemukan di pantai timur. Prasasti-prasasti tersebut berasal dari abad ke-7 seperti prasasti Kedoekan Boekit (682) dan prasasti Kota Kapur (686).


Dalam prasasti Kedoekan Boekit disebutkan nama Minanga, nama yang diduga kuat adalah nama Binanga yang sekarang (di Padang Lawas, wilayah dimana ditemukan banyak candi). Binanga/Minanga tepat berada di pertemuan dua sungai besar yakni sungai Batang Sangkilon dan sungai Batang Pane. Dalam hal ini sungai Batang Sangkilon berhulu di gunung Malea (dekat danau Siabu dan candi Simangambat). Disebutkan dalam prasasti ‘svasti śrī śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śuklapakşa vulan vaiśākha Dapunta Hiyaṁ nāyik di Sāmvau maṅalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa vulan jyeşţha Dapunta Hiyaṁ maŕlapas dari Miṉāṅkā tāmvan mamāva yaṁ vala dua lakşa daṅan ko śa duaratus cāra di Sāmvau daṅan jālan sarivu tlurātus sapulu dua vañakña dātaṁ di Matajap sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vulan āsāḍha laghu mudita dātaṁ marvuat vanua’.[Terjemahan: Selamat! Tahun Śaka telah lewat 605, pada hari ke sebelas paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang Naik di Somba mengambil siddhayātra. pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Miṉāṅgā tomuan membawa bala dua laksa dengan lengkap perbekalan dua ratus cara di Somba dengan berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya datang di Matajap sukacita pada hari ke lima paro-terang bulan lega gembira datang membuat banua]. Sebelum Radja Dapunta Hiyaṁ berangkat dari Minanga, terlebih dahulu mendaki ke Somba untuk mengambil siddhayātra (doa pelayaran di laut). Somba dalam hal ini adalah suatu tempat peribadatan, Dalam hal ini jika Minanga adalah Binanga di mana sungai Pane dan sungai Sangkilon bertemu (Minanga tomuan), besar dugaan nama Somba ini adalah (kampong) Somba Dewata yang letaknya di hulu sungai Batang Pane (Sipirok Dolok Hole). Lalu apakah ada hubungan Somba dengan Hiyang? Mungkin yang menjadi asal usul kata sumbayang (sembahyang). Lantas dimana Matajap berada? Besar dugaan Matajap adalah tempat dimana prasasti Kedoekan Boekit ditemukan (Palembang).

Nama tempat yang disebut dalam prasasti Kedoekan Boekit (682) yakni Minanga diduga kuat adalah nama tempat Binanga di Padang Lawas. Demikian juga nama Somba diduga kuat adalah nama tempat Somba Dewata di Sipirok Dolok Hole. Lantas bahasa apa yang digunakan dalam prasasti Kedoekan Boekit? Apakah bahasa Angkola Mandailing? Yang jelas nama Minanga (Binanga) dan nama Somba (Somba Dewata) dalam prasasti Kedoekan Boekit berada di wilayah berbahasa Angkola Mandailing (wilayah dimana terdapat ditemukan banyak prasasti dan banyak candi).


Dalam teks prasasti Kedoekan Boekit banyak kosa kata yang digunakan mirip dengan bahasa Angkola Mandailing pada masa ini. Tatabahasa yang digunakan dalam teks juga mirip dengan tatabahasa bahasa Angkola Mandailing. Semua sebutan bilangan dalam teks prasasti mirip sebutan bilangan dalam bahasa Angkola Mandailing.   

Prasasti Kedoekan Boekit tampaknya menggunakan dua bahasa (dwi bahasa; seperti kita pada masa ini Bahasa Indonesia dan bahasa daerah) ditulis dengan aksara Pallawa. Seperti disebut di atas aksara Batak mirip aksara Fenesia. Lalu mengapa prasasti tidak menggunakan aksara Batak? Boleh jadi hanya aksara Pallawa yang dikenal di wilayah Matajap. Bagaimana dengan salah satu bahasa yang digunakan mirip bahasa Batak? Boleh jadi bahasa asli di Sumatra saat itu kurang lebih sama (Austronesia), namun kini bahasa tersebut hanya tersisa secara baik (lestari) di Tanah Batak.


I’tsing pada abad ke-7 yang berkunjung ke Sumatra, mencatat nama-nama tempat seperti nama Po-lu-sse dan nama Seng-ho-lo. Para peneliti era Hindia Belanda menyimpulkan nama Po-lu-sse diduga kuat adalah Barus. Lalu bagaimana dengan nama Seng-ho-lo? Apakah nama Seng-ho-lo adalah sebagai nama Sangkilon atau atau nama Sangkunur? Nama Sangkilon berada di pantai timur Sumatra (sungai yang bermuara di Minanga) sementara nama Sangkunur di pantai barat (sekitar muara sungai Batangtoru) dimana dulu diperkirakan letak Tacola dalam peta Ptolomeus abad ke-2.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: