*Untuk melihat semua artikel Sejarah Benteng Huraba di blog ini Klik Disini
Pendidikan
modern di Indonesia bermula sejak introduksi penggunaan aksara latin di
sekolah-sekolah. Dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda sangat lamban dan baru
kemudian secara intens memperluas pendidikan, membangun banyak sekolah dan
kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kualitas guru. Seiring dengan
peningkatan mutu pendidikan pribumi mulai berkecambah pers diantara orang
pribumi. Dja Endar Moeda pada tahun 1897 menyatakan pendidikan dan pers sama
pentingnya, sama-sama mencerdaskan bangsa. Dalam konteks inilah kemudian
terbentuklah berbagai organisasi kebangsaan Indonesia.
Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging), dikenal juga sebagai Perhimpunan Indonesia atau PI (Bahasa Belanda: Indonesische Vereeniging), adalah organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda yang berdiri pada tahun 1908. Indische Vereeniging berdiri atas prakarsa Soetan Kasajangan Soripada Harahap dan R.M. Noto Soeroto. Sejak Cipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat masuk, pada 1913, mulailah mereka memikirkan mengenai masa depan Indonesia. Mereka mulai menyadari betapa pentingnya organisasi tersebut bagi bangsa Indonesia. Semenjak itulah Indische Vereeniging memasuki kancah politik. Waktu itu pula Indische Vereeniging menerbitkan sebuah buletin yang diberi nama Hindia Poetera, tetapi isinya sama sekali tidak memuat tulisan-tulisan bernada politik. Semula, gagasan nama Indonesisch (Indonesia) diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan Indonesiër (orang Indonesia). Pada September 1922, saat pergantian ketua antara Dr. Soetomo dan Herman Kartawisastra organisasi ini berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah pendidikan modern aksara latin di wilayah Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas, pendidikan dan pers sama pentingnya, sama-sama mencerdaskan bangsa. Dalam konteks inilah awal mula kebangkitan bangsa Indonesia. Lalu bagaimana sejarah pendidikan modern aksara latin di wilayah Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Pendidikan Modern Aksara Latin di Wilayah Angkola Mandailing; Pers dan Awal Mula Kebangkitan Bangsa Indonesia
Kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Angkola Mandailing ada sisi baik dan buruk dilihat orang pribumi. Sisi baiknya antara lain pengembangan kesehatan penduduk meningkat dan peningkatan pendidikan penduduk semakin cepat. Sisi buruknya, kepemimpinan para pemimpin lokal dikendalikan yang di satu sisi ada yang diuntungkan dan di sisi lain ada yang dirugikan. Hal inilah yang menyebabkan otoritas Pemerintah Hindia Belanda di Angkola Mandailing selalu ada yang menentang, bahkan sejak perlawanan Soetan Mangkoetoer di Mandailing (1840). Penduduk juga semakin terpelajar dengan adanya pendidikan modern aksara Latin di wilayah Angkola Mandailing.
Java-bode: nieuws,
handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-03-1870: ‘Sutan Habiaran
dan pengikutnya dari kampong ‘Tapian’ melakukan tindakan kriminal terhadap
dusun Pagaran Padang, antara Lantjat, Si Mangambat dan Si Pirok, suatu distrik
yang belum berada di bawah pemerintahan regular (terregister) yang berada di
perbatasan antara Sipirok dengan Bataklanden telah diamankan. Mereka ini
menggerebek dusun itu dan melakukan aksi penjarahan. Sebanyak 12 orang
ditangkap. Tindakan yang mereka lakukan itu oleh dewan (adat) pada tanggal 16
Februari 1870 akan dibawa (ditahan) ke Padang’.
Perlawanan Soetan Habiaran di Sipirok (Angkola Dolok) pada tahun 1870 menunjukkan pihak yang menentang otoritas Pemerintah Hindia Belanda masih hidup. Perlawanan pada tahun 1870 ini diduga karena berbagai aspek: ibu kota afdeeling Angkola Mandailing dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean; Pemerintah Hindia Belanda ingin mempercepat pembentukan cabang pemerintahan di Silindoeng dan Toba (afdeeling Bataklanden) dengan melumpuhkan perlawanan Sisingamangaradja dan pengikutnya. Sipirok - Saipar Dolok Hole di Angkola Dolok adalah batas afdeeling Angkola Mandailing dan afdeeling Bataklanden.
Pemerintah Hindia Belanda meski sudah terbilang aman di Jawa dan sebagian di Sumatra (Selatan dan Tengah) namun untuk tetap menjaga otoritas system pertahanan juga tetap dikonsolidasikan, ditingkatkan dan jangkauannya diperluas. Berdasarkan Besluiten van den Gouverneur- Generaal van Nederlandsch-Indie di Batavia 11 Desember 1860. (No. 5) (Staatsblad No. 115.), disetujui dan ditetapkan: Dengan dicabutnya keputusan 13 April 1853 No. 13 dan 12 Agustus 1857 no 1 (Staatsblad tahun 1853 No. 27 dan tahun 1857 No 73, yang dilampirkan pada keputusan ini: daftar benteng-benteng yang masih digunakan di Jawa-Madura dan di luar Jawa-Madura (lihat Javasche courant, 15-08-1857). Dalam beslit ini strata pusat pertahanan dibedakan dari yang tertinggi: vesting (benteng besar) seperti di Soerabaja dan Willem I di Ambarawa; defensief kampement (garnisun/markas militer); fort (benteng lebih kecil); redoute (kubu pertahanan) dan blokhuis (dinding pertahanan). Lantas mengapa ada defensief kampement dan jumlahnya dua buah di Padang Sidempoean dan di Sibolga. Hal ini karena perlawanan yang sangat berarti masih tersisa di Sumatra bagian utara (Tapanoeli. Oostkut van Sumatra dan Atjeh). Khusus di wilayah Tapanoeli, Pemerintah Hindia Belanda masih tetap mengantisipasi ancaman dari Padang Lawas, juga untuk memperluas cabang pemerintahan ke Bataklanden (Silindoeng dan Toba).
Dalam pengusutan terhadap Soetan Habiaran, terbukti dirinya telah bersalah dalam penjarahan properti milik pemerintah. Residen Tapanoeli, Canne memerintahkan militer membawa Soetan Habiaran ke Padang Sidempoean dan meminta kembali properti pemerintah dan diminta meminta pengampunan dan dipenjarakan di Padang Sidempoean. Sejak dilumpuhkannya Soetan Habiaran tercipta kepuasan umum, situasi dan kondisi tenang (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1870).
Sumatra-courant: nieuws-en
advertentieblad, 23-07-1870: ‘Pada tanggal 17 Juli 1870, Residen Tapanoeli, HD
Canne dari Padang Sidempoen diharapkan pada sore hari tiba di Sipirok. Mr.
Canne di Sipirok selama beberapa hari, karena masalah pelayanan pemerintah.
(Dalam koran ini juga diberitakan) van Daalen menulis tentang pertemuannya
dengan Soetan Mangaradja Mangamer’. Catatan: Canne sebagai Residen Tapanoeli awalnya
pejabat di Sumatra’s Westkust dan tahun 1869 diangkat menjadi Resident di
Tapanoeli. Bataviaasch handelsblad, 18-11-1871: ‘pada bulan Oktober penduduk
yang berada antara Si Paholon dan Hoetabarat (daerah Silidong) terjadi
permusuhan baru yang memerlukan langkah-langkah penghentian yang diambil oleh
Residen Tapanoelie. Menurut Sipirok menerima pesan dua desa di Pangariboeaan
(Toba) dengan satu sama lain dalam perang, dimana Oppoe Goemora vau
Pangariboean meminta bantuan pemerintah untuk meredakannya. Asisten Residen
dari Mandheling en Angkola ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini dan jika
perlu harus membawanya’.
Seperti disebut di atas, pada tahun 1870 ini telah dilakukan pemindahan ibukota afdeeling Angkola Mandailing dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean. Pelabuhan Loemoet dianggap tidak relevan lagi dan telah dipindahkan ke Djaga-Djaga (lihat Bataviaasch handelsblad, 14-03-1871). Sementara itu pengadministrasian wilayah Sipirok secara resmi diundangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 7, tanggal 7 Juni 1871 (Staatsblad No. 83). Dengan demikian, seluruh wilayah Angkola Mandailing telah diberlakukan pemerintahan.
Pemberontakan yang muncul selama ini seakan terus berulang. Pengulangan yang terjadi terkesan memiliki pola yang sama. Pada tahun 1833 Radja Gadoembang melakukan perlawanan kepada kaum Padri (dari pintu selatan) di ‘pintu selatan’ Mandailing; Ranggar Laoet pada tahun 1847 dengan mencoba menutup ‘pintu barat’ ke Angkola dengan menghancurkan jembatan (rambin) Batang Toroe. Kini, Soetan Habiaran seakan ingin menutup ‘pintu (masuk) ke utara’ ke Silindoeng/Toba. Untuk ‘pintu timur’ di Padang Lawas sudah sejak lama ‘dikunci’, Di wilayah Padang Lawas hanya terbentuk sekitar tiga tahun di era Jung Huhn (dan TJ Willer) lalu ditinggalkan karena tidak aman, dan bahkan hingga tahun 1870 belum terbentuk pemerintahan di Padang Lawas.
Setelah ibukota Mandailing dan Angkola dipindahkan ke
Padang Sidempoean diharapkan berbagai ketegangan di Mandailing dan Angkola
semakin berkurang. Sebab setelah AP Godon tidak ada seorang Asisten Residen
yang bertahan lama. Pada saat datangnya Asisten Residen yang baru untuk
menggantikan Mr Th AA Schonermarck
adalah JN Vosmaer, namun asisten residen yang dapat diterima masyarakat ini
segera dipindahkan ke tempat lain. AP Godon di Belanda sempat protes mengapa asisten residen harus dipindahkan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 26-04-1872). Bagaimana reaksi penduduk dapat
dilihat surat yang mereka kirimkan ke surat kabar.
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 14-02-1872 (surat dari pembaca di Ankola): ‘Kahadapan saripadoeka Toean Redacteur Sumatra-Courant! Djikaloe toean ada moeda moedahan hati dan ada tampat sadikit ijang tarboeka di dalam soerat chabar Sumatra haraplah saija toean tolong masoekkan pangabaran saija ijang amat katjil ini. Ijala pada sadikit hari ini kami orang Ankola mandapat chabar ijang babasa toean Assistent-Resident Vosmaer ijang mamarentah nagri ini mandapat prentah akan berpindah ke nagri Paija Coemboeh (Limapoeloe Kotta) tatkala chabar ini tardangar kapada Radja-Radja, ijala tarkadjoet dan hibo hatinja sabab toean ini soeda katoedjoe kapadanja, soenggoeh baroe sambilan boelan mamarentah nagri Ankola dan Mandhéling, akan tatapi di dalam boelan ijang sambilan itoe soeda banjak kami orang katjil dan Radja-Radja mandapat pangadjaran dan kabaikan dari baliou.
Djaoe lindoknja padi djambi,
Mangarang katjo di tapian;
Djaoe hibonja hati kami,
Mandangar chabar damikian.
Djadinja, toean Vosmaer saroepa oempama
makanan ijang manis dan enak, di soeroeh makan kapada orang Ankola, lantas di
makannja, dan sampei dilihiraja di tarik koembali, djadi soedanja orang Ankola
tartjakik, dan kita kasi salamat kapada orang Paija-Coemboeh, sabab soeda
mandapat toean ijang baik dan pantas pegang parentah. MR
Perpindahan asisten residen ini tampak terkesan bersifat politis. JN Vosmaer yang humanis, sehaluan dengan AP Godon, telah ditarik dan kemudian digantikan oleh JC Boyle yang lebih radikal. JC Boyle juga adalah seorang militer. Mengapa harus militer setelah lama hanya dipimpin oleh pejabat sipil? Pernyataan lama seakan dibangkitkan lagi: ‘sukses Willem Iskander adalah kegagalan pemerintah dalam mengatur Panjaboengan’. Yang jelas kini, JN Vosmaer telah disingkirkan.
Besar dugaan karena masih adanya
perlawanan di Angkola Mandailing, dan penduduk dari waktu ke waktu semakin
menderita dan para pejabat dan Pemerintah Hindia Belanda semakin makmur (kenyang)
Willem Iskander guru di sekolah guru di Mandailing menulis puisi di dalam
bukunya yang terbit tahun 1872. Puisi yang berjudul Mandailing mengindikasikan
rasa tidak senang Willem Iskander terhadap penjajahan. Willem Iskander mengajak
penduduk untuk mengentaskan otoritas Pemerintah Hindia Belanda dari Angkola
Mandailing. Willem Iskander tampaknya tidak peduli dengan pemerintah meski
Pemerintah Hindia Belanda telah menyamakannya setara orang Eropa/Belanda (lihat
Algemeen Handelsblad, 01-01-1872). Disebutkan
Gubernur Jenderal telah membuat keputusan, dimana kepala sekolah di sekolah
guru pribumi di Tanobato (pantai barat Sumatra). Willem Iskander dalam hal hak,
biaya dan kewajiban, sepenuhnya disamakan dengan orang Eropa. Keputusan ini
adalah yang pertama dari sifat semacam itu. Diketahui bahwa Willem Iskander
menyelesaikan pendidikannya di Belanda, berkat dukungan temannya, AP Godon,
mantan Asisten Residen, yang membawanya ke Belanda. Willem Iskander tidak lagi
melihat dirinya sendiri, Willem Iskander melihat lebih luas dan lebih bersifat hakikat
(memperjuangkan hak penduduk).
JC Boyle adalah seorang militer (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-02-1873). Pergantian sipil ke militer ini tidak hanya dikaitkan dengan kerapnya munculnya kerusuhan di Mandailing dan Angkola tetapi juga dikaitkan rencana ekspedisi ekspedisi militer ke Atjeh (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 26-03-1873). Berdasarkan keputusan (Stbl) tanggal 13 Maret No. 15 jabatan asisten Residen Mandailing di Padang Sidempoean dipindah ke Sibolga dan ibukota Residen dipindahkan ke Padang Sidempoean (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-04-1873). Asisten Residen JC Boyle dipindahkan ke Sibolga (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-04-1873). Itu berarti Residen HD Canne akan ke Padang Sidempoean.
Dari sudut pandang Batavia, pemindahan ibu kota dari Sibolga ke Padang Sidempoean cukup strategis. Pertama, Pemerintah Hindia Belanda sedang merencanakan invasi ke wilayah Atjeh. Dengan keberadan pejabat pemerintah di pedalaman (di Padang Sidempoean) setingkat Residen (yang diikuti pertahanan militer) lebih memungkinkan untuk meningkatkan tekanan kepada penduduk Batak yang memiliki potensi dan akan bereaksi terhadap pemerintah jika invasi ke Atjeh dilancarkan. Si Singamangaradja diketahui cukup dekat dengan para pemimpin di wilayah selatan Atjeh.
Dalam hubungannya dengan perubahan struktur pemerintahan
di wilayah Tapanoeli, terbitnya buku Willem Iskander dan pemerintah mengirim
ekspedisi militer ke Atjeh, tiba-tiba pemerintah memutuskan untuk mengirim
Willem Iskander ke Belanda. Keputusan Radja ini ditandatangani oleh Raja Willem III yang saat ini tengah berada di
Hindia Belanda. Kedatangan raja ini diduga terkait dengan keberhasilan militer
dalam ekspedisi kedua menghancurkan Atjeh (runtuhnya kraron dan masjid Atjeh).
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1874: ‘Dengan keputusan tanggal 6 ini, Radja mengambil keputusan yang diperlukan di bawah otorisasi untuk mengirim kepala sekolah di kweeksohcol untuk guru pribumi di Tanobato (Pantai Barat Sumatera), Willem Iskander, dan tiga guru pribumi lainnya, ke Belanda, agar untuk dilatih untuk studi lebih lanjut dua tahun untuk pendidikan inlaudsch. Tiga orang guru, yang dirancang untuk ditemani Willem Iskander, pemuda Batak Si Barnas, seorang Soenda Mas Ardi Sasmita, sekarang menjadi guru di sekolah asli Madjalengka (Cirebon) dan seorang Jawa Raden Soerono, guru di Solo, perguruan tinggi pelatihan guru pribumi. Sehubungan dengan keberangkatan Willem Iskander untuk sementara menutup sekolah guru di Tanobato’.
Willem Iskander sesungguhnya sulit memutuskan. Di satu pihak ia ingin terus memajukan sekolah guru yang telah dirintisnya dari bawah dan di pihak lain membantu tiga guru lagi (agar seperti dia) juga sangat penting. Tawaran beasiswa untuk akte kepala sekolah menjadi tambahan insentif baginya, apalagi di Padang Sidempuan akan dibangun sekolah guru yang lebih besar yang mana sepulang dari Belanda diplot sebagai direktur sekolah. Dalam konteks ini, tiga guru tersebut adalah program utama pemerintah dan program akte kepala sekolah menjadi sekunder. Dengan kata lain, Willem Iskander berangkat ke Belanda (kembali) karena tiga guru yang akan berangkat tersebut (yang juga merupakan usulannya). Keberangkatan Willem Iskander yang kedua ke Belanda ini bukanlah permintaan Willem Iskander melainkan permintaan pemerintah.
Bagi kelompok rasis, keberangkatan tiga guru muda tidaklah penting, tetapi tidak dengan Willem
Iskander. Kelompok rasis telah
menganggap Willem Iskander adalah musuh, seorang pribumi terdidik yang sudah
memainkan penanya dalam bukunya
yang memuat sajak-sajak perjuangan, perjuangan membebaskan kebodohan dan
perjuangan mengentaskan penjajahan. Sementara itu, penduduk di Surakarta dan di
Majalengka sangat berharap kepada dua guru muda karena inilah kesempatan yang
ditunggu-tunggu agar sekembalinya studi dari Belanda mutu pendidikan segera
meningkat di Jawa dan di Preanger.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Awal Mula Kebangkitan Bangsa Indonesia: Pendidikan dan Pers Sama Pentingnya, Sama-Sama Mencerdaskan Bangsa
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar