*Untuk melihat semua artikel Sejarah Benteng Huraba di blog ini Klik Disini
Sejak
kehadiran pasukan Inggris di Indonesia dalam rangka membebaskan para interniran
Eropa/Belanda dan evakuasi militer Jepang, dan kembalinya orang Belanda (NICA),
telah memunculkan banyak perang di berbagai daerah. Namun dalam narasi sejarah
Indonesia masa kini tidak semua perang di berbagai daerah terinformasikan.
Dalam Kompas.com hanya mengangkat perang kemerdekaan di lima daerah.
Daftar 5 Pertempuran Mempertahankan Kemerdekaan di Sejumlah Daerah. Kompas.com. 01-08-2022. 1. Pertempuran Ambarawa. Pasukan Sekutu pimpinan Brigjen Bethel mendarat di Semarang 20 Oktober 1945. Pertempuran 12-15 Desember 1945 di Palagan Ambarawa, kemenangan TKR tanggal 15 Desember 1945. Tanggal itu dijadikan Hari Juang Kartika TNI-AD. 2. Pertempuran Surabaya. Sekutu pimpinan Brigjen AWS Mallaby tiba di Surabaya 25 Oktober 1945 dimana pertempuran tanggal 28 Oktober 1945 Brigjen AWS Mallaby tewas. Ultimatum 9 November 1945 sebelum pukul 18.00. Pertempuran 10 November 1945. Tanggal itu sebagai Hari Pahlawan. 3. Pertempuran Medan Area. Pasukan sekutu dipimpin Jenderal TED Kelly tiba di Medan 9 Oktober 1945. Insiden di sebuah hotel di Jalan Bali, Medan, akhirnya terjadi penyerangan dan perusakan oleh pemuda tanggal 13 Oktober 1945. Insiden ini menjadi awal Pertempuran Medan Area. 4. Pertempuran Bandung Lautan Api. Pasukan sekutu ke Bandung 13 Oktober 1945. Pada tanggal 27 November 1945 ultimatum untuk meninggalkan area Bandung Utara. Para pemuda melakukan bumi hangus. 5. Pertempuran Puputan Margarana. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pimpinan Gusti Ngurah Rai berupaya bertahan menyebabkan kematian seluruh pasukan. (https://regional.kompas.com)
Lantas bagaimana sejarah pertempuran benteng Huraba, benteng terakhir Indonesia? Seperti disebut di atas, banyak pertempuran dalam perang kemerdekaan di Indonesia diberbagai wilayah namun tidak semua terinformasikan. Dalam hal inilah mengapa perang kemerdekaan di Padang Sidempoean termasuk di dalam pertempuran di Benteng Huraba. Pertempuran ini terbilang salah satu sisa pertempuran sebelum pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Lalu bagaimana sejarah pertempuran benteng Huraba, benteng terakhir Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Pertempuran Benteng Huraba, Benteng Terakhir Indonesia; Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda
Pada tanggal 19 Desember 1948 Pemerintah Hindia Belanda (NICA) melakukan agresi militer (kedua) yang mana ibu kota Republik Indonesia di Djogjakarta menjaditarget utama. Dari lapangan terbang Maguwo, pasukan KNIL merangsek ke dalam kota. Para pemimpin (pejabat pemerintah) Republik ditangkap dan kemudian dievakuasi lalu diasingkan. Pasukan Siliwangi dibawah komando Abdoel Haris Nasoetion kembali ke wilayah Jawa Barat. Pasukan Soedirman juga menyusul bergerak ke arah selatan Jogja untuk bergerilya. Oleh karena ity, di Djogjakarta hanya tinggal Hamengkoeboewono sebagai kepada daerah dimana militer Belanda/KNIL berkuasa (gerak-gerik Hamengkoeboewono di kraton terus diawasi).
Pada pagi sebelum ditangkap
(saat pasukan KNIL baru menduduki lapangan terbang Magoewo), Jenderal Soedirman
meminta para pemimpin terutama Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad
Hatta mundur ke belakang (pindah dari Djogja) namun permintaan itu tidak
digubris. Boleh jadi Jenderal Soedirman berkesimpulan bahwa para pemimpin RI
telah menyerah sebelum terjadi. Lalu Jenderal Soedirman meminta pasukan
Siliwangi yang dipimpin Major Jenderal Abdoel Haris Nasution kembali ke Jawa
Barat untuk berjuang (bergerilya). Jenderal Soedirman juga telah meminta
Kolonel TB Simatoepang untuk melakukan gerilya di bagian utara Djogjakarta
(Jawa Tengah). Setelah itu Jenderal Soedriman dan pasukannya berangkat menuju
selatan ke arah Poerworedjo. Sebelum meninggalkan Djogja, Jenderal Soedirman
sempat memberi maklumat melalui Radio Djogja yang isinya mendelegasikan Dewan
Militer ke Bukittinggi dimana Major Jenderal Soehardjo berada. Lalu Jenderal
Soedirman tahu diri memposisikan diri di bawah komando militer di Sumatra saat
berangkat dari Djogjakarta saat memulai bergerilya dengan membelakangi para
pemimpin Indonesia yang wait en see di Djogjakarta. Tiga komandan militer
inilah yang check out dari Djogjakarta tidak mau menyerah dan lebih memilih
perang gerilya. Sejak inilah muncul bibit perselisihan Jenderal Soedirman
berawal dengan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta. Dalam hal ini,
pemerintahan boleh lumpuh, tapi para pemimpin di pengungsian adalah satu hal.
Namun negara Indonesia tetap harus berjalan. Masih ada para pemimpin tentara
Indonesia. Dimana-mana perang terus berkobar. Masih ada pemimpin tentara
berpengaruh di luar sana di hutan-hutan bergerilya. Paling tidak ada tiga yang
terhubung dengan Jogjakarta yakni Jenderal Soedirman, Major Jenderal Abdoel
Haris Nasution dan Kolonel TB Simatoepang.
Jogjakarta diduduki melalui udara dan kemudian pasukan darat KNIL yang dipersiapkan di Salatiga merangsek ke Jogjakarta melalui wilayah Soerakarta. Sementara itu nun jauh disana, di Sibolga (ibu kota Sumatra Utara) pada hari yang sama, dengan di kawal angkatan udara, pasukan angkatan laut mencapai pelabuhan Sibolga. Setelah mendapat gempuran bertubi-tubi dari laut, Sibolga akhirnya jatuh ke tangan pasukan Belanda tanggal 20 Desember 1948. Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli/Sumatra Utara, maka wilayah Republik di Tapanuli terjepit. Pasukan KNIL juga bergerak dari Permatang Siantar/Parapat (Sumatra Timur) memasuki wilayah Tapanuli Utara.
Tidak lama setelah pasukan
Sekutu/Inggris mendarat di Medan, pada hari Sabtu tanggal 13 pasukan Sekutu/Inggris
mendarat di Kota Padang (lihat Keesings historisch archief: geïllustreerd
dagboek van het hedendaagsch wereldgebeuren met voortdurend bijgewerkten
alphabetischen index, 14-10-1945). Disebutkan pada tanggal 13 Oktober pasukan
Sekutu mendarat di Padang (Pantai Barat Sumatera). Sejak inilah mulai kehadiran
Belanda/NICA (KNIL) di Padang. Bagaimana dengan di Sibolga? Kehadiran Sekutu/Inggris
yang kemudian diteruskan Belanda/NICA di pantai barat Sumatra hanya dipusatkan
di Padang. Pada bulan Februari 1946 kapal tunda dari Padang sempat singaah di
Sibolga dalam proses evakuasi militer Jepang dari Meulaboh ke Padang. Lalu pada
bulan Mei 1947 kapal perang Belanda memasuki teluk Tapanoeli dalam upaya mengejar
kapal dagang dari Singapoera bongkar muat di pelabuhan Sibolga. Kehadiran kapal
perang Belanda ini kemudian diusir Republik dengan menembakan mortar dari
darat. Lalu terjadi serangan balasan dari laut. Sejak itu tidak ada lagi
kehadiran kapal perang Belanda/NICA yang merapat ke pelabuhan Sibolga hingga terjadi
agresi militer tanggal 19 Desember 1948. Sementara itu di Padang, sejak 1945
Belanda/NICA hanya terbatas di kota Padang dan sekitar. Dalam upaya untuk
memimpin kota, Belanda/NICA pada tahun 1947 memanggil kembali Dr Abdoel Hakim Nasoetion
untuk menjadi Wali Kota Padang (lihat Algemeen Indisch dagblad, 09-08-1947). Dr
Abdoel Hakim Nasoetion sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945)
telah diangkat sebagai wali kota Padang, tetapi kemudian Sekutu/Inggris dan
Belanda/NICA mengganti Dr Abdoel Hakim Nasoetion dengan yang lain.
Setelah seminggu pendudukan Sibolga, dan dalam upaya untuk menghubungkan Sibolga di utara dan Padang di Selatan, pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan KNIL Belanda sudah berada di Batangtoru.
Untuk menahan akselerasi
pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan Republik (TNI) yang bebasis di Padang
Sidempuan eks anggota Kapten (anm) Koima Hasibuan untuk melakukan taktik
pencegatan dan bumi hangus. Jembatan Batang Toru dibom, seluruh jembatan menuju
Padang Sidempuan diruntuhkan. Pasukan Belanda tampaknya mengungguli pasukan
republik.
Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 1949 pasukan Belanda berhasil memasuki wilayah Padang Sidempuan (lihat Arnhemsche courant, 03-01-1949). Setiba di dalam kota, pasukan Belanda tampaknya 'kecele' karena menemukan ibukota Padang Sidempuan sudah dibumihanguskan (lihat De Maasbode, 06-01-1949). Ini mengingatkan seperti halnya di Bandung tangggal 24 Maret 1946. Pasukan Belanda juga menemukan kota dalam keadaan kosong karena telah ditinggalkan penduduk kota Padang Sidempuan mengungsi ke luar kota.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda: Serah Terima Tentara KNIL dan Tentara Nasional Indonesia
Tunggu dekripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar