Ida Nasoetion, kritikus dan esais (1948) |
Siapa
kritikus sastra yang paling hebat di tanah air pada jamannya? Bukan H.B. Jassin,
dia belum apa-apa. Jawabnya adalah Ida Nasution. Anak Padang Sidempoean ini juga memiliki keahlian khusus yang oleh para profesor sastra Belanda disebut penulis esai paling berbakat, berinteligensia tinggi dan kritis. Ulasan dan artikelnya dimuat dalam sejumlah koran dan majalah bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Ida Nasoetion berjuang
dengan caranya sendiri: menulis cerdas dengan pena yang tajam. Sejumlah artikelnya bertabur dengan kata-kata 'merdeka'. Ida Nasution adalah mahasiswa angkatan pertama Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van Indonesie). Di dalam kampus, Ida Nasoetion juga aktif berjuang dengan caranya sendiri. Ida Nasoetion (departemen sastra) dan G. Harahap (dari departemen jurnalistik) menggagas didirikannnya persatuan mahasiswa Indonesia yang diresmikan tanggal 20 November 1947 dengan nama Perhimpunan
Mahasiswa Universitas Indonesia (PMUI). Setelah empat bulan menjadi presiden (ketua) PMUI, Ida Nasoetion dilaporkan koran Nieusgier diculik tanggal 23 Maret 1948. Ida Nasoetion hilang selamanya dan diduga
kuat dibunuh oleh intelijen dan tentara Belanda. Wanita muda berbakat ini juga adalah redaktur beberapa majalah berhasa Indonesia dan berbahasa Belanda serta menerjemahkan buku-buku berbahasa Perancis. Kehilangan wanita pejuang yang masih berumur 26 tahun ini adalah sebuah misteri yang belum terungkapkan hingga kini.
***
Ida
Nasoetion lahir tahun 1922 dan mengikuti pendidikan
dasar Eropa (ELS) di Sibolga. Keluarga mereka pindah ke Batavia sehubungan
dengan ayahnya pindah tugas dari Sibolga ke Batavia. Pada tahun 1934 Ida
Nasoetion didaftarkan di Koningin Wilhelmina School. Di sekolah elit Belanda
ini Ida Nasoetion menempuh pendidikan enam tahun (SMP dan SMA). Bataviaasch
nieuwsblad, 05-06-1935 melaporkan ujian transisi di K. W. III School yang mana
diantaranya Ida Nasoetion dipromosikan dari kelas pertama ke kelas dua. Bataviaasch
nieuwsblad, 29-05-1937 melaporkan siswa-siswa K.W. III School yang naik ke
kelas empat yang mana terdapat nama I. Nasoetion (m), Pada pertengahan tahun 1940
Ida Nasoetion lulus ujian akhir di K. W. III School dan direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Negeri Belanda.
Ida Nasoetion tidak tertarik kuliah ke negeri Belanda. Ida Nasoetion yang sudah menulis sejak sekolah menengah lalu mendaftar
dan diterima di Jurusan Sastra Bahasa (letteren faculty) Universiteit van
Indonesie. Fakultas
Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) di
Universitas Indonesia (Universiteit van Indonesie) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940. Ida Nasoetion termasuk mahasiswa angkatan pertama di Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (awal pendiriannya bernama Fakultas Sastra dan Filsafat, kini bernama
Fakultas Ilmu Budaya). Ida Nasoetion sangat menikmati sekolah tinggi ini karena
bakatnya di bidang sastra sejak masuk di K.W. School. Soerabaijasch
handelsblad 28-08-1941 melaporkan Ida Nasoetion lulus ujian preliminary (kelas
satu) di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte.
***
Ida
Nasoetion yang baru kuliah satu tahun, tiba-tiba situasi dan kondisi di Indonesia berubah. Pada akhir
Desember 1941 pasukan Jepang telah melakukan pemboman di Tarempa, Kepulauan
Riau yang membuat Belanda mengalami sok. Satu per satu kilang minyak di
Kalimantan dan Sumatra diduduki tentara Jepang. Di Batavia semuanya menjadi
berhenti termasuk kampus Ida Nasoetion. Pada tanggal 1 Maret 1942
kapal-kapal perang Jepang telah merapat di luar Batavia di teluk Banten dan Cirebon.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang
dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura setelah diadakan perundingan di
Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Setelah tanggal tersebut maka berakhir sudah pemerintahan
Belanda di Indonesia dan Universiteit van Indonesie ditutup. Ida Nasoetion
berhenti pula kuliah.
***
Setelah
suasana menjadi tenang, pemerintahan militer Jepang memberikan izin untuk
pendidikan tinggi dibuka kembali. Pada tanggal 29 April 1943 Fakultas Sastra
dan Filsafat melakukan aktivitas kembali. Namun karena dosen-dosen sebelumnya adalah
orang Belanda, kini mereka pulang ke Negeri Belanda, maka aktivitas perkuliahan
tidak berjalan semestinya. Lagi pula jumlah mahasiswa yang ada hanya dapat
dihitung dengan jari. Mahasiswa yang beberapa orang ini, salah satunya Ida
Nasoetion lebih banyak belajar mandiri dan melakukan aktivitas sastra di luar
kampus. Pada masa ini Ida Nasoetion banyak berinteraksi dengan
sastrawan-sastrawan angkatan Poejangga Baroe (nama majalah menggantikan Balai
Poestaka), seperti Soetan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Sedangkan angkatan
Balai Poestaka antara lain Merari Siregar dan Sanusi Pane plus Muhammad Kasim dan Suman Hs. Semua nama-nama yang disebut tersebut berasal dari kampungnya di Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli. Dengan demikian, Ida Nasoetion tidak kekurangan mentor.
***
Sejak
perang (1942) banyak sastrawan-sastrawan muda bermunculan bagaikan jamur di
musim hujan. Ini berbeda dengan era Belanda. Pada era Jepang, para pemuda lebih
menggebu untuk meraih kemerdekaan.
Semangat ini terasa di dalam jiwa raga para sastrawan muda. Sementara itu, karena
Jepang memberikan bahasa local (Bahasa Indonesia), yang di satu sisi para
pemuda yang berminat sastra tidak perlu membuang waktu untuk belajar bahasa
asing untuk menjadi penyair, penulis prosa dan penulis esai dan sebagainya. Di
sisi lain dirasakan adanya rasa bebas dan sedikit chauvinism. Tiga diantara para
pemuda yang menonjol mewakili entitas sastrawan muda Indonesia adalah Chairil
Anwar (penyair), Idroes (prosa), Ida Nasoetion (esai) dan Usmar Ismail (drama).
Keutamaan
Ida Nasoetion dalam masa ini karena Ida Nasoetion merupakan satu-satunya
sastrawan (muda) yang berlabel mahasiswa. Meski kuliah sastra tidak menentu,
bukan hanya senin-kemis tapi bahkan Januari-Mei, Ida Nasoetion tetaplah terdaftar
sebagai mahasiswa yang ingin menjadi sarjana sastra. Dengan didukung tingkat
inteligensia yang memadai dan berasal dari sekolah elit Belanda (Koniging
Wilhelmina) kurikulum yang dibuatnya sendiri tidak terlalu sulit untuk
dilaksanakannya. Ida Nasoetion dalam keterbatasan system perkuliahan itu
dilihatnya sebagai suatu tantangan. Selain tetap belajar sendiri, Ida Nasoetion
juga bekerja keras menulis dan mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media
khususnya majalah-majalah sastra. Namanya semakin menggema di kalangan pegiat
sastra, apalagi kemampuannya untuk melakukan kritik sastra dan menyajikan esai
yang sudah sempurna (mungkin berkat didikan di KWS). Tidak butuh waktu lama,
Ida Nasoetion sudah diakui sebagai kritikus sastra dan penulis esai yang
berbakat. Adakalanya Ida Nasoetion menulis namanya sebagai samaran dengan nama
Ida Anwar (nama ayahnya Anwar Nasoetion).
Para
sastrawan muda ini lebih taktis dibanding senior mereka dari angkatan Poejangga
Baroe. Jika angkatan sebelumnya menulis lebih menggunakan gaya retorika
keindahan, tidak demikian dengan sastrawan muda yang hidup di awal era revolusi—lebih
nyata dan lebih bergelora (sastra revolusi). Chairil Anwar (lahir di Medan,
1922) dan Ida Nasoetion yang sama-sama seusia lebih tajam dan mengena. Chairil
Anwar sangat piawai dalam puisi-puisinya yang hampir seluruhnya dalam bahasa
Indonesia dan hampir semua majalah Indonesia ada karyanya. Semua puisinya itu
kemudian dikumpulkan menjadi satu buku yang berjudul ‘Deroe Tjampoer Deboe’.
Ida Nasoetion lebih fokus pada pengembangan kritik dan esai dan
artikel-artikelnya dikirimkan ke koran dan terutama majalah baik yang berbahasa
Indonesia maupun yang berbahasa Belanda, seperti Het Inzicht, Siasat, Sadar,
Pemabroean, Opbouw. Ida Nasoetion juga menerjemahkan beberapa buku bahasa
Perancis (Malraux). Di dalam tulisan-tulisan Ida Nasoetion seperti pada ‘Indonesie
Culturaal’ kata-kata ‘merdeka’ kerap ditemukan.
Redaktur: Ida Nasoetion |
***
Sejak kedatangan kembali Belanda, perang terus terjadi antara tentara Belanda dan pasukan gerilyawan
republic, para sastrawan muda tetap terus berpikir dan bekerja serta
menghasilkan karya-karya. Pada tanggal 21 Januari 1946 kampus Universiteit Indonesie dibuka kembali dengan status Nood Universiteit (Universitas Darurat). Ida Nasoetion
berada dalam situasi dilemma: di satu pihak jiwa revolusioner sudah memuncak
(sisi republic), di pihak lain suksesi Jepang dengan Belanda akan membuat
perkuliahan di Universiteit van Indonesie akan memungkinkan berjalan normal
seperti sediakala (awal pendiriannya tahun 1941).
Prof. dr. R.F. Beerling |
Ketika
situasi perkuliahan di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Universiteit van
Indonesie sudah mulai kondusif, Ida Nasoetion langsung sumringah, sebab ada kebijakan baru setelah perang karena sulitnya ekonomi dan pembiayaan bagi angkatan 1940 dan 1941 uang kuliah akan digratiskan (lihat Het
dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-11-1946). Meski ini dari sudut Belanda semacam politik membuju, namun demikian, sekali lagi:
jiwa merdeka Ida Nasoetion tetap bergelora. Dengan dimulainya otonomi kampus, Ida Nasoetion bersama G. Harahap
dari jurusan jurnalistik melihat celah ini dengan menggagas dan mendirikan perhimpunan mahasiswa. Dengan
kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan organisasi mereka dengan nama
Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20
November 1947. Pada awal organisasi mahasiswa ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa dan lambat
laun sebelum ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100 mahasiswa
(hanya memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion adalah presiden pertama
perhimpunan mahasiswa Indonesia. Gelagat Ida Nasoetion dibalik
memersatukan mahasiswa ini tercium juga oleh intelijen Belanda.
Pada saat dibukanya kembali 'Universitas Darurat' Universitas Indonesia terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin lembaga (institute) yang semua di bawah naungan Universitas Indonesia (lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 24-10-1947). Fakultas yang ada terdiri dari Fakultas Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian (faculteit van landbouw wetenschap) di Bogor. Selain itu terdapat Fakultas Hukum (faculteiten der rechts), Fakultas Ilmu Sosial (faculteiten der sociale weten), Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte). Fakultas lainnya adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap) dan Fakultas Teknik (faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng. Lembaga/institut yang ada dan yang akan diadakan antara lain: pendidikan jasmani (instituut voor lichamelijke) di Bandung, dental institute (tandheelkundig instituut) di Surabaija dan pelatihan meteorologi di Bandoeng dan pelatihan guru yang akan diadakan. Dalam hubungan ini, mahasiswa-mahasiswa yang ada di Indonesia hanya yang berada di fakultas dan institut tersebut di bawah naungan Universiteit Indonesie sehingga organisasi yang diprakarsai Ida Nasoetion dan G. Harahap sesungguhnya merujuk pada mahasiswa seluruh Indonesia. Jadi, PMUI dalam interpretasi sekarang adalah perhimpunan mahasiswa seluruh Indonesia.
Iklan penerimaan Universiteit Indonesie, 24-10-1947
***
Danau Tjigombong, 1941 |
Tunggu deskripsi
lebih lanjut.
Lihat juga:
Sejarah Kota Medan (71): Ida Nasution dan Chairil Anwar, Kritikus Sastrawan Terkenal; Ida Nasution Dibunuh Intel Belanda, 1948
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar