Baca juga:
Bag-8. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Dr. Ida Loemongga, PhD, Dinasti Guru dan Dokter: Like Son, Like Father; Like Girl, Like Mother’
Bag-11. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Marah Halim, Anak Petani yang Meniti Karir Militer Mulai dari Bawah hingga Menjadi Gubernur Sumatera Utara’
Ini adalah suatu sketsa (analisis sederhana) berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Mungkin para generasi yang lebih muda tidak menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui, bahwa Kota Padang Sidempuan masa kini, ternyata di jaman doeloe memiliki dinamikanya sendiri. Bagaimana anak-anak Padang Sidempuan berkembang dan menyebar ke semua penjuru angin di masa doeloe? Mari kita lacak!
***
Dr.
Ida Loemongga, PhD adalah dokter bergelar Doktor pertama di negeri ini. Ida
Loemongga Haroen Al Rasjid meraih PhD ini di Universiteit Amsterdam, 1932. Ida Loemongga Haroen Al
Rasjid br Nasoetion dalam mempertahankan disertasinya di hadapan guru besar dengan
judul ‘Diangnose en Prognose van aangeboren Hartgebreken’ (Diangosa dan
Prognosa Cacat Jantung Bawaan) mendapat sambutan yang luar biasa baik di Negeri
Belanda maupun di Nederlandsche Indie (Hindia Belanda). Namun sebelumnya, direcall kembali dua diantara anak-anak Padang Sidempoean yang meraih PhD di Negeri Belanda.
Alinoedin gelar
Radja Enda Boemi, anak Batang Toroe, Padang Sidempoean memperoleh gelar doctor (PhD) di bidang hokum
di Leiden 1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden:
Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi
adalah ahli hukum pertama dari Tanah Batak dan kedua dari Sumatra dan salah
satu dari delapan ahli hukum pribumi yang ada di Nederlancsh-Indie. Radja Enda
Boemi sebelum ke Negeri Belanda menyelesaikan tingkat sarjana hokum (Mr) di Rechts
School, Batavia. Sepulang dari Belanda, Radja Enda Boemi ditunjuk sebagai Kepala Pengadilan di Semarang.
Todoeng gelar
Soetan Goenoeng Moelia setelah lulus sarjana di Negeri Belanda 1915 kembali ke
tanah air. Todoeng Harahap memulai karir
sebagai guru Eropa. Setelah beberapa tahun Todoeng Harahap kelahiran Padang Sidempuan ini kembali ke
Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan. Todoeng Harahap gelar Soetan
Goenoeng Moelia meraih gelar PhD di Rijks
Universiteit pada tahun 1933 dalam bidang bahasa dan sastra dengan desertsi berjudul:
‘Het primitive denken in de modern wetenschap’. Todoeng Harahap pernah menjadi
anggota Volksraad di Batavia (bahu membahu dengan Husni Tamrin, pahlawan Betawi)..
Dr. Ida Loemongga Nasoetion, PhD, 1932 (De Tijd) |
Di
jaman itu, hanya segelintir orang pribumi yang mampu meraih gelar doktor (pendidikan tertinggi). Namun, secara khusus dalam artikel ini, IDA LOEMONGGA Nasoetion adalah seorang yang sangat fantastis. Gadis boru Suti ini yang
lahir pada tanggal 22 Maret 1905 muncul ke permukaan, ketika ia diterima di
Prins Hendrik School, afdeeling HBS (pendidikan menengah) di Batavia tahun 1918.
Setelah lulus, Ida Loemongga pada tahun 1923 langsung melanjutkan pendidikan ke
Negeri Belanda. Ida Loemongga Nasoetion adalah seorang brilian dan pemberani.
Ketika baru berusia 18 tahun, gadis yang cantik ini berangkat sendiri dan
mendaftar di Universiteit Leiden. Setelah lulus sarjana, anak seorang dokter
ini, lalu mengambil dokter spesialis di Universiteit Utrecht. Di Negeri Belanda,
ahli jantung ini diminati oleh banyak institute. Setelah beberapa tahun menjadi
asisten Dr. Caroline de Lange, Ida Loemongga memperoleh kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan. Setelah meraih gelar PhD tahun 1932 gadis yang sudah matang ini baru
berkesempatan pulang kampong ke tanah air untuk mengunjungi keluarganya. Siapakah dia? Mari kita lacak!
***
Ketika
Ida Loemongga baru berumur tiga bulan, Radjioen gelar Soetan Casajangan anak Batoe na Doewa,
Padang Sidempoean berangkat dari Batavia 5 Juli 1905 dan tiba di Rotterdam 30
Juli 1905. Sehari kemudian Soetan
Casajangan berkunjung ke rumah mantan gurunya (pernah menjadi direktur sekolah guru Kweekschool
Padang Sidempoean) yang sudah menjadi guru besar di Universiteit Leiden yakni
Profesor Charles Adriaan van Ophuijsen. Soetan Casajangan memulai kuliah di
Rijkskweekschool (setingkat IKIP sekarang) di Haarlem untuk mengambil akte guru.
Soetan Casajangan Soripada merupakan akademisi kedua pribumi yang datang ke
negeri Belanda untuk menempuh pendidikan tinggi.
Setelah
melihat prospek pendidikan di Negeri Belanda dan jumlah orang pribumi yang
belajar di Negeri Belanda hanya beberapa orang saja, Soetan Casajangan Soripada,
mantan kepala sekolah dasar negeri di Simapil-Apil, Padang Sidempoean coba menggugah
pemuda-pemudi pribumi di tanah air yang diceritakannya dalam sebuah artikel
singkat di majalah Bintang Hindia yang terbit di Negeri Belanda tahun 1905 untuk
datang menuntut ilmu jauh ke negeri Belanda. Sejak itu sejumlah pemuda mulai
tertarik dan pelan tapi pasti mulai berdatangan
Pada akhir tahun 1905, jumlah mahasiswa pribumi di negeri Belanda memang
baru berjumlah enam orang. dan pada tahun 1907 diperkirakan jumlahnya sudah
mencapai duapuluhan akademisi muda. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan
Soripada adalah penggagas Perhimpunan Hindia Belanda (Indische Vereeniging) di
Negeri Belanda yang didirikan pada tahun 1908 sekaligus presiden pertama. Indische
Vereeniging kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1925.
Setelah memperoleh akte guru, Soetan Casajangan tidak pulang, tetapi melanjutkan untuk mendapat akte kepala sekolah untuk tujuan ganda. Tujuan pertama adalah misi nasionalis agar orang pribumi bisa menjadi direktur kweekschool di tanah air dan tujuan kedua adalah misi budaya untuk menuntaskan cita-cita 'maha guru' Willem Iskander, pionir pendidikan di Tapanoeli yang tertunda pada tahun 1976. Misi ganda ini membuat energi Soetan Casajangan berlipat ganda. Pada tahun 1910 Soetan Casajangan mendapat dukungan moral sehubungan dengan kedatangan 'dongan sahuta' di Negeri Belanda, Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon anak Panyanggar, Padang Sidempoean yang mengambil sekolah hukum dan kemudian disusul oleh kedatangan anak Padang Sidempoean tahun 1911, Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia yang mengambil bidang pendidikan. Ida Loemongga Nasoetion yang datang ke Negeri Belanda tahun 1923, sejauh informasi yang ada adalah perempuan pertama pribumi yang menuntut ilmu di Negeri Belanda. Bagaimana ini semua terkait, mari kita perdalam riwayat asal-usulnya mulai dari kota kecil Padang Sidempoean di Mandheling en Ankola.
Setelah memperoleh akte guru, Soetan Casajangan tidak pulang, tetapi melanjutkan untuk mendapat akte kepala sekolah untuk tujuan ganda. Tujuan pertama adalah misi nasionalis agar orang pribumi bisa menjadi direktur kweekschool di tanah air dan tujuan kedua adalah misi budaya untuk menuntaskan cita-cita 'maha guru' Willem Iskander, pionir pendidikan di Tapanoeli yang tertunda pada tahun 1976. Misi ganda ini membuat energi Soetan Casajangan berlipat ganda. Pada tahun 1910 Soetan Casajangan mendapat dukungan moral sehubungan dengan kedatangan 'dongan sahuta' di Negeri Belanda, Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon anak Panyanggar, Padang Sidempoean yang mengambil sekolah hukum dan kemudian disusul oleh kedatangan anak Padang Sidempoean tahun 1911, Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia yang mengambil bidang pendidikan. Ida Loemongga Nasoetion yang datang ke Negeri Belanda tahun 1923, sejauh informasi yang ada adalah perempuan pertama pribumi yang menuntut ilmu di Negeri Belanda. Bagaimana ini semua terkait, mari kita perdalam riwayat asal-usulnya mulai dari kota kecil Padang Sidempoean di Mandheling en Ankola.
***
Pada
tahun 1848 di Jawa mulai dibuka sekolah dasar negeri. Guru-gurunya merupakan
orang pribumi yang dilatih melalui kursus-kursus singkat. Dalam perkembangannya, untuk memenuhi
kebutuhan guru yang lebih kontinu dan terstandarisasi, pemerintah Hindia Belanda mulai membuka
sekolah guru (kweekschool) negeri di Soerakarta tahun 1852. Pada saat itu, di Kresidenan
Tapanoeli belum dikenal apa itu sekolah. Namun suatu keajaiban benar-benar
terjadi di Afdeeling Mandheling en Ankola. Istri Asisten Residen A.P. Godon tergugah melihat
kecerdasan anak-anak di sekitarnya ketika mendampingi suaminya blusukan ke berbagai tempat. Nyonya A.P. Godon ini lalu berinisiatif
untuk mengumpulkan beberapa anak potensial untuk dilatih membaca, menulis dan
berhitung. Tentu saja proses belajar dan mengajar dalam bahasa Belanda. Diluar dugaan, Ny. Godon sangat kaget ternyata
anak-anak itu menurutnya dalam tiga tahun saja sudah memenuhi kualifikasi lulus
sekolah dasar.
Sang
istri yang pernah jadi guru di Belanda ini lantas mengusulkan kepada suaminya agar dua
orang anak didiknya dikirim ke Batavia untuk mengikuti pendidikan kedokteran di
Dokter Djawa School (sekolah kedokteran untuk anak-anak pribumi ini dibuka 1851). Pada tahun 1854 Si Asta dan Si Angan sebagaimana dilaporkan koran yang terbit di Batavia sudah tiba dari Padang di Batavia
untuk mengikuti pendidikan kedokteran. Ternyata kemudian, dua anak Mandailing
ini merupakan siswa pertama di luar Djawa yang diterima di sekolah kedokteran
ini. Satu lagi murid Ny. Godon bernama Si Sati (adik kelas Si Asta dan Si
Angan) memiliki kemampuan dan kecakapan linguistik yang fantastic. Setelah Si Sati dianggap
memenuhi kualifikasi lulus sekolah dasar, Ny. Godon meminta Si Sati
menggantikan posisinya untuk menjadi guru. Si Sati menerima dengan senang hati
dan antusias.
Terinspirasi dari kakak kelas yang melanjutkan pendidikan kedokteran di Batavia, Si Sati nyaris mati langkah karena baru Dokter Djawa School yang dianggap satu-satunya perguruan tinggi di Nederlansch Indie, sementara minatnya pada pedagogik. Lalu pikiran Si Sati tertuju ke luar negeri. Setelah beberapa tahun menjadi guru bagi adik-adik kelasnya, pada tahun 1857 Sati Nasoetion gelar
Soetan Iskandar sudah berangkat dari Batavia untuk melanjutkan pendidikan
sekolah guru (kweekschool) di Negeri Belanda. Ini berarti Si Sati gelar Soetan Iskandar adalah orang pertama pribumi yang kuliah di luar negeri. Singkat cerita, Sati
gelar Soetan Iskandar yang mengubah namanya dengan Willem Iskander (nama raja
Belanda waktu itu) lulus dan mendapat diploma guru dan kembali ke kampong
halaman dan tiba di Mandailing tahun 1862. Mengetahui kweekschool kedua sudah
dibuka di Fort de Kock (1856), Willem Iskander berinisiatif mendirikan sekolah
guru di Tanobato dan kemudian sekolah guru ini diakuisisi pemerintah sebagai
kweekschool negeri. Keajaiban terjadi lagi. Ternyata anak-anak didik Willem
Iskander cepat memahami apa yang diajarkan dan setiap tahunnya murid-muridnya lulus
ujian akhir (ujian Negara) 100 persen. Kweekschool Tanobato menjadi yang
terbaik di Sumatra.
Di
Departemen Pendidikan Batavia, muncul kabar bahwa Kweekschool Tanobato akan ditingkatkan
kapasitasnya (25 murid) yang setara dengan di Djawa (Soerakarta dan
Probolinggo) tetapi lokasinya dipindahkan ke Padang Sidempoean (sehubungan
dengan pindahnya ibukota Afdeeling Mandheling en Ankola dari Panyaboengan ke
Padang Sidempoean). Untuk menjadi kepala sekolah ‘Akreditasi A’ harus memiliki
akte kepala sekolah (hoofdacte). Willem Iskander diproyeksikan akan menjadi Direktur
Kweekschool Padang Sidempoean yang akan dibuka tahun 1879 lantas diberi beasiswa untuk
melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda dan diberi tugas sekaligus mentor
untuk membawa beberapa guru pribumi di Nederlandsche Indie untuk mendapatkan
diploma guru di Negeri Belanda. Ketika Willem Iskander berangkat yang kali kedua, Kweekschool
Tanobato harus ditutup. Akan tetapi sangat disayangkan, Willem Iskander tidak pernah
kembali, karena meninggal di Negeri Belanda tahun 1876. Namun demikian, Willem
Iskander sudah meninggalkan nama baik dan telah melahirkan puluhan guru yang hebat-hebat di Mandheling en Ankola. Alumni Kweekschool
Tanobato inilah pionir dalam membuka sekolah-sekolah rakyat di Kresidenan
Tapanoeli yang kemudian beberapa diantaranya diakuisisi pemerintah menjadi
sekolah dasar negeri seperti di Padang Sidempoean,
Simapil-apil, Batu na Doewa, Pagarutan, Sipirok dan Boenga Bondar, Panjaboengan,
Tanobato, Moearasoma, Goenoeng Baringin, Kota Nopan, Hoeta Godang, Manambin,
Batang Toroe dan Siboehoean (serta
Baroes, Singkel, dan Siboga).
***
Pada
tahun 1879 Kweekschool Padang Sidempoean dibuka dan direktur sekolah bernama
L.K. Harmsen. Oleh karena standarnya tinggi maka penerimaannya sangat ketat.
Selain kemampuan pembiayaan oleh orangtua juga kemampuan akademik calon siswa.
Meski jumlah calon siswa yang mendaftar cukup banyak tetapi jumlah siswa yang
memenuhi syarat dan diterima pada tahun pertama Kweekschool Padang Sidempoean
hanya 18 murid. Dalam pembukaan sekolah baru ini, tiga pihak yang ‘mengkobar’
menuju podium. Selain L.K. Harmsen, satu-satunya guru yang sudah install di
sekolah ini, juga Asisten Residen Mandheling en Ankola mewakili Residen
Tapanoeli. Dari kalangan masyarakat adalah Mangaradja Soetan, koeriahoofd Batoe
na Doewa, ayah dari Soetan Casajangan.
Salah
satu diantara murid baru Kweekschool Padang Sidempoean ini adalah Si Saleh. Si
Saleh adalah anak seorang kepala koeria (koeriahoofd) di Saboengan yang lahir pada tahun 1861. Sementara,
guru-gurunya makin bertambah dan salah satu diantaranya guru yang berdedikasi
tinggi yang ditransfer dari Probolinggo adalah Charles Adrian van Opuijsen yang kemudian menjadi kepala sekolah selama
lima tahun. Pada fase van Opuijsen menjabat direktur, Kweekschool Padang Sidempoean
dinobatkan sebagai kweekschool terbaik di Nederlansche Indie. Salah satu murid
terbaik van Opuijsen adalah Si Radjioen gelar Soetan Casajangan Soripada.
Wisuda
pertama Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1884. Semua lulusan perdana langsung
diangkat pemerintah menjadi guru sekolah negeri dengan gaji tetap. Si Saleh
gelar Dja Endar Moeda ditempatkan di Batahan, Natal tahun 1885 dengan gaji f 75
plus perumahan f 25. Dja Endar Moeda yang kesepian di kompung Batahan terpencil
yang muridnya hanya enam orang dan paling banyak 10 orang mengisi waktunya
untuk mengarang dan menulis buku-buku pelajaran. Menurut koran Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad edisi 22-05-1886 yang terbit di Padang, Dja Endar
Moeda sangat cakap menulis dalam bahasa Belanda. Dja Endar Moeda kemudian dipindahkan
ke Air Bangies dan Singkel. Kegiatan mengarang dan menulis buku terus dilakukan
dan juga pernah menjadi editor eksekutif majalah pendidikan yang diterbitkan di
Probolinggo. Sementara Si Radjioen gelar Soetan Casajangan ditempatkan di
Simapil-Apil dan kemudian menjadi kepala sekolahnya.
***
Singkat
cerita, setelah sekian lama, Dja Endar Moeda pension dini menjadi guru. Dja Endar
Moeda kini berada di Padang, tetapi bukan hadir sebagai guru, melainkan dengan
profesi baru sebagai pengarang.
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-10-1897: 'Percetakan
Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baiimer & Co) menerima sebuah buku
kecil yang ditulis tangan terampil dari Dja Endar Moeda. Editor Pertja Barat,
Penerbit Winkeltmaatschappij menganggap buku itu layak. Buku kecil itu berjudul
‘Hikayat Dendam taq Soedah Kalau Soedah Menawan Hati’. Namun demikian, tentang konten,
kami belum bisa menilai, itu nanti saja. Tapi kami tidak ragu bahwa isi dan
ruang lingkup cerita juga akan memenuhi tuntutan layak terbit. Oleh karena itu
kami akan mengembangkan buku itu bersama penulis agar memiliki karakter yang
solid'.
Namun
tidak lama kemudian, nama Dja Endar Moeda muncul kembali di surat kabar Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad edisi 04-12-1897. Nama yang dilaporkan dalam koran
ini bukan sebagai pengarang. Akan tetapi di bagian kepala surat kabar Pertja Barat, koran berbahasa Melayu bertiras
nomor satu di Sumatra ini, nama editornya adalah Dja Endar Moeda. Semua orang
terkaget-kaget, karena selama ini yang menjadi Editor adalah bangsa Belanda.
Ini berarti Dja Endar Moeda menjadi editor pertama koran berbahasa Melayu yang
investasinya bangsa Belanda di Nederlansche Indie. Dalam kolom editorial yang
ditulis sang editor mengulas seputar tentang perayaan penobatan Ratu Wilhelmina.
Ratu baru, editor baru. Meski koran milik orang Belanda, perjuangan Dja Endar
Moeda tentang pendidikan tidak habis-habisnya. Dja Endar Moeda terus
mengkritisi pemerintah terutama yang terkait pengembangan pendidikan pribumi.
Anehnya,
para investor Pertja Barat yang notabene bangsa Belanda tidak keberatan, sejauh
tiras terus meningkat. Hukum bisnis berlaku dan benar-benar diterapkan di
perusahaan yang menerbitkan koran Pertja Barat ini. Perusahaan ini juga
memiliki percetakan sendiri yang juga mencetak koran Pertja Barat. Pamor Pertja
Barat terus meningkat di komunitas Belanda, karena koran Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad kerap mengutip berita-berita yang bersumber dari
Pertja Barat. Anehnya lagi, koran Sumatra-courant tetap memberi label guru kepada Dja
Endar Moeda, meski sang editor Pertja Barat sudah lama pension jadi guru. Untuk
urusan pendidikan, editorial yang digawangi oleh Dja Endar Moeda sangat kritis
dan membuat gerah pemerintah bahkan pemerintah di Batavia. Sebaliknya investor
Belanda di Sumatra-courant senang karena para pembacanya juga respek terhadap
pendidikan pribumi. Koran Sumatra-courant dengan sendirinya juga mendapat
berkah karena tirasnya terdongkrak naik atas kehadiran Dja Endar Moeda di
Pertja Barat. Karenanya, Sumatra-courant tetap memberi label guru untuk Dja
Endar Moeda. Disamping itu, Sumatra-courant pernah mengutip ucapan Dja Endar
Moeda bahwa sekolah dan media sama pentingnya.
Guru
tetaplah guru. Kebijakan Belanda waktu itu, jika pegawai pemerintah termasuk guru
sudah mengabdi delapan tahun akan mendapat jaminan hari tua (uang pension).
Oleh karena itu, Sumatra-courant tetap melabeli Dja Endar Moeda sebagai guru.
Kekayaan Dja Endar Moeda terus membengkak, karena gaji editor jelas sangat
besar, apalagi royalty buku-bukunya baik novel maupun buku-buku pelajaran
sekolah. Pelan tapi pasti, posisi Dja Endar Moeda sebagai editor terus
merangsek ke atas, popularitasnya di kalangan Belanda makin menggema, juga
posisi finansialnya juga mulai diperhitungkan, tetapi tetap membumi untuk
mengangkat pendidikan pribumi. Dja Endar Moeda akhirnya mengakuisisi koran
Pertja Barat setelah sahamnya juga terus bertambah di koran ini. Juga dalam
tempo singkat sudah pula memiliki koran berkala Insulinde dan Tapian Naoeli
***
Dja
Endar Moeda setelah sukses di rantau, teringat kampung halaman di Padang
Sidempuan. Dja Endar Moeda cuti dua minggu dan tidak ada pemberitaan di media.
Orang-orang di Pertja Barat menganggap pulang kampong adalah lumrah, karenanya
tidak perlu meliput perjalanan sang bos. Akan tetapi sebaliknya koran Sumatra-courant
yang berbahasa Belanda dan beredar di kalangan orang-orang Belanda dan
pejabat-pejabat pemerintah dari golongan pribumi (ambtenar) menganggap
perjalanan pulang kampong ‘radja persoeratkabaran baroe’ adalah good news.
Wartawan Sumatra-courant berhasil menguntit Dja Endar Moeda hingga ke Padang
Sidempoean. Laporannya sebagai berikut:
Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 01-05-1900: ‘'pada
bulan Maret aktor terkenal koran Pertja Barat bersama anak dan istri telah
datang ke sini (Padang Sidempuan). Pada tanggal 24 Maret, Dja Endar Moeda telah
mengundang teman-temannya untuk sebuah reuni di Cafe Biljart milik Marczak.
Banyak yang hadir, selain rekan-rekannya juga para ambtenaar dan pejabat pemerintah.
Di pintu Cafe terpampang ucapan sukacita dalam dua bahasa: "Selamat Dja
Endar Moeda anak istri' / 'Leve Dja Endar Moeda en familie". Tentu saja
hadir koeriahoofd dari Batoe na Doewa, Losoeng Batoe dan Si-Mapil-Apil dan
Hoofd Djaksa van Sibolga*. Acara dibuka, Dja Endar Moeda memberi kata sambutan,
kemudian kembang api dinyalakan, lalu diikuti musik akordion, biola dan
tamborin. Lalu kemudian dilanjutkan dengan hidangan. Acara yang dimulai pukul
8.30 malam berakhir tidak lama setelah pukul 9.30. Para tamu pulang dengan
puas. Lantas pada tanggal 31 Maret, koeriahoofd Batoe-na Doewa, Pertoewan
Soripada mengundang Dja Endar Moeda dengan horja dengan margondang dengan
Gondang Batak. Banyak pejabat pemerintah yang diundang. Di sela-sela acara itu,
Dja Endar Moeda diajak oleh kepala koeria berburu rusa ke arah Sipirok. Hari
berikutnya April, Dja Endar Moeda dilakukan cara pesta rakyat oleh kepala
koeria dengan 'manyambol horbo' untuk menyambut kedatangan Dja Endar Moeda di
Padang Sidempuan dengan karangan bunga, acara manortor, lalu pukul satu siang
dihidangkan makanan dan minuman yang melimpah. Terakhir pada tanggal 7 April
sebelum pulang, Dja Endar Moeda ditraktir oleh Mr. Marczak di Cafe miliknya'.
Sejumlah
pejabat-pejabat yang datang dalam jamuan Koeriahoofd Batoea na Boewa meliputi
pejabat yang berbangsa Belanda maupun yang pribumi. Pejabat yang terkenal waktu
itu yang cukup dikenal luas adalah Si Epram dari Sipirok. Si Epram adalah
alumni sekolah yang didirikan oleh para misionaris di Sipirok yang menjadi
sekretaris sejak era Controleur Ankola hingga era Asisten Residen Afdeeling
Mandheling en Ankola di Padang
Sidempoean. Si Epram ini kemudian diangkat menjadi adjunct Djaksa. Beberapa
jaksa diangkat di Padang Sidempoen (Asisten Residen) dan Siboga (Residen).
Dari banyak jaksa yang diangkat yang paling terkenal adalah Soetan Abdoel Azis
dan Mangaradja Salamboewe. Selain itu puluhan opziener (pengawas) dan guru diangkat
menjadi pegawai pemerintah dan dikirim ke berbagai tempat di Nederlansche Indie.
***
Di Batavia, koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 29-11-1901 memberitakan sebanyak 10 siswa Dokter Djawa School telah berhasil dalam ujian tingkat empat dan dipromosikan menjadi dokter, diantaranya ada yang bernama Haroen Al Rasjid. Dalam pertengahan tahun ini juga telah dilakukan wisuda terhadap lulusan Dokter Djawa School yang salah satu diantaranya Mohammad Hamzah. Sebulan kemudian koran De locomotief: Samarangschhandels- en advertentie-blad edisi 29-12-1902 mengabarkan dokter-dokter baru yang lulus tahun ini diangkat menjadi pegawai pemerintah dan di tempatkan di kota-kota yang berbeda. Dalam berita ini disebutkan Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang dan Mohammad Hamzah di Telok Betoeng. Selanjutnya koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 03-01-1903 memberitakan kapal s.s. ‘Van Riemsdijk’ pagi ini pukul 08.30 melakukan pelayaran (dari Batavia) menuju Telok Betoeng, Kroe, Benkoelen, Padang en Atjeh. Di dalam manifest pelayaran ini terdapat nama yang disebut Dr. Djawa Mohammad Hamzah dan Dr. Djawa Haroen Al Rasjid.
***
Siapakah Dr. Mohammad Hamzah dan Dr. Haroen Al Rasjid? Mohammad Hamzah adalah cucu dari kepala koeria Batoe na Doewa, Pertoewan Soripada yang pernah mengundang Dja Endar Moeda ketika pulang kampong pada tahun 1900 dalam suatu hordja. Sedangkan Haroen Al Rasjid adalah anak dari seorang pejabat pemerintah yang memulai karir dari Padang Sidempoean hingga menjadi ajudan Demang Kebajoran di Residentie Batavia yang bernama Soetan Abdoel Azis.
***
Dalam
perjalanan dua dokter djawa, dua sekawan Mohammad Hamzah dan Haroen Al Rasjid,
mereka harus berpisah di pelabuhan Telok Betoeng, dimana Mohammad Hamzah memulai tugas baru di Telok Betoeng,
sementara Haroen Al Rasjid meneruskan perjalanan dan turun di pelabuhan Padang
untuk bertugas di Kota Padang. Namun dibalik penempatan kedua orang ini
sesungguhnya ada sebuah tanda tanya. Yang lulus Dokter Djawa School tahun 1902
yang berasal dari Sumatra hanya kedua anak muda ini, sementara tempat yang
ditunjuk ada empat kota di Sumatra yakni Medan, Padang, Palembang dan Telok
Betoeng. Mengapa Haroen Al Rasjid memilih ke Padang dan Mohammad Hamzah ke
Telok Betoeng.
Pertanyaan
ini sebenarnya mudah ditebak, karena Haroen Al Rasjid telah dijodohkan dengan
boru (putri) dari Dja Endar Moeda di Padang yang bernama Alimatoe Sadiah.
Sedangkan Mohammad Hamzah memilih Telok Betoeng dibanding Medan dan Palembang karena alasan praktis lebih
mudah akses jika sewaktu-waktu pulang kampong di Bataoe na Doewa, Padang
Sidempoean. Lantas siapa yang menjodohkan? Yang menjodohkan adalah oppung dari Mohammad
Hamzah, Pertoean Soripada. Mungkin bagi orang yang kurang paham adat Batak akan bertanya mengapa
bukan Mohammad Hamzah yang dijodohkan oppungnya dengan putri seorang yang kaya
raya, Dja Endar Moeda. Dalam adat Dalihan Na Tolu, Dja Endar Moeda dari
Saboengan/Losoeng Batoe dan ayah Mohammad Hamzah dari koeria Batoe na Doewa
adalah sama-sama marga Harahap, sementara ayah Haroen Al Rasjid dari Mandailing
bermarga Nasoetion. Ini dengan sendirinya, Alimatoe Sadiah adalah ito dari Mohammad
Hamzah dan sangat senang jika itonya itu dilamar oleh Haroen Al Rasjid—agar
mereka berdua menjadi ipar-lae.
***
Dr.
Haroen Al Rasjid sesungguhnya memilih ke Padang pada dasarnya dengan dua tujuan: bertugas
dan melamar. Oleh karenanya tidak lama Haroen Al Rasjid berada di Padang, sudah
diselenggarakan rangkaian hordja sejak akhir Februari 1903 yang dimulai upacara adat (terbatas) dan
tentu saja dilanjutkan dengan acara peresmian perkawinan (secara umum) yang
spektakuler. Konon party di Padang ini jauh melebihi hordja besar yang
diselenggarakan kepala koeria Batoe na Doewa ketika Dja Endar Moeda pada tahun 1900 pulang kampong. Fiesta
yang maha besar ini adalah wajar karena Alimatoe Sadiah adalah putri seorang
aktor kaya terkenal di Padang, sementara Dr. Haroen Al Rasjid adalah anak
mantan pejabat tinggi pemerintah, Soetan Abdul Azis di Batavia.
***
Soetan Abdoel Azis lahir di Mandailing pada tahun 1850. Ketika Si Sati berangkat ke luar negeri 1857 untuk sekolah, usia Abdoel Azis baru tujuh tahun atau duduk di sekolah rakyat yang dibangun oleh penduduk yang guru-gurunya adalah mantan anak didik Si Sati. Sekembalinya Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander dengan izajah/akte guru sekolah membuka sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, Mandailing 1862. Murid-murid dari sekolah swadaya penduduk inilah yang direkrut Willem Iskander menjadi murid-murid di Kweekschool Tanobato. Salah satu murid sekolah guru itu adalah Soetan Abdoel Azis.
Lulusan
Kweekschool Tanobato umumnya menjadi guru dan menyebar ke seluruh Afdeeling
Mandheling en Ankola. Namun tidak demikian dengan Abdoel Azis. Kecerdasan dan
kemampuan dalam berbahasa Belanda Abdoel Azis diperlukan Asisten Residen
Mandheling di Panjaboengan untuk membantu tugas-tugas administratif. Kemudian dalam perkembangannya, ketika ibukota
afdeeling dipindahkan dari Panjaboengan 1871, Asisten Residen A.A. Schonermarck
juga menyertakan Soetan Abdoel Azis pindah ke Padang Sidempoean. Ini seakan proses
berulang, ketika dulu Asisten Residen A.P. Godon dengan Si Sati alias Willem
Iskander (1857), kini antara A.A. Schonermarck dengan Soetan Abdoel Azis.
Selama
di Padang Sidempoean Abdoel Azis berkenalan banyak dengan tokoh-tokoh penting
seluruh Afdeeling Mandheling en Ankola. Salah satu sahabat karibnya adalah
Mangaradja Soetan, kepala koeria Batoe na Doewa, Padang Sidempoean yang doeloe pernah
sama-sama sekolah di Kweekschool Tanobato. Mangaradja Soetan adalah ayah dari Soetan
Casajangan. Kesetiaan Soetan Abdoel Azis
sebagai pegawai di kantor Asisten Residen Mandheling en Ankola di Padang
Sidempoean berbuah manis. Ketika diperlukan sejumlah jaksa wakil pribumi
(adjunct-djaksa) di sejumlah tempat, Soetan Abdoel Azis salah satunya yang
diangkat. Profesi baru Abdoel Azis inilah yang membuat dirinya pindah dari satu
tempat ke tempat lain hingga akhirnya menjadi asisten demang di Kebajoran, Residentie
Batavia (1888).
***
Anak
Abdoel Azis bernama Haroen Al Rasjid lahir di Padang Sidempoean pada tahun 1884.
Pada tahun ini juga Kweekschool Padang Sidempoean melakukan wisuda pertama, yang
mana salah satu siswa yang lulus menjadi guru adalah Dja Endar Moeda. Di kemudian
hari, dua anak Padang Sidempoean beda generasi, Dja Endar Moeda dan Haroen Al Rasjid
menjadi ‘tulang-bere’. Sementara persahabatan
antara Dr. Haroen Al Rasjid dengan Dr. Mohamad Hamzah adalah pertemanan yang diawali
antar orang tua mereka dulu di Padang Sidempoean. Oleh karenanya, pernikahan Dr.
Haroen Al Rasjid dengan putri Dja Endar Moeda, Alimatoe Sadiah di Padang pada tahun
1903 bukanlah suatu kejadian bersifat random dan bukan pula sekadar pesta pernikahan biasa, tetapi adalah sebuah tatacara adat perkawinan yang termasuk horja—suatu horja
terbesar di rantau.
***
Akhir tahun 1890-an dan awal 1900-an, dunia
persuratkabaran pada masa itu lagi naik daun. Tidak terkecuali suratkabar yang
berbahasa Melayu. Koran-koran berbahasa Melayu makin populer karena dipicu oleh dua hal: semakin banyak penduduk pribumi yang terpelajar dan kritis; juga semakin banyak orang-orang Belanda yang peduli pada masalah-masalah sosial Tiga terbitan berbahasa Melayu saat itu yang berada pada
papan atas adalah Pertja Barat di Padang (Sumatra’s Westkust), Pertja Timoer di
Medan (Sumatra’s Oostkust) dan Bintang Hindia di Negeri Belanda (Nederland).
Ketiga terbitan yang awalnya adalah investasi orang-orang Belanda, tapi seperti diketahui
dari De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad edisi 02-05-1901
bahwa koran Pertja Barat telah diakuisisi oleh Dja Endar Moeda. Pada bulan
April 1903 ada berita mengagetkan di Medan, sebagaimana di Padang sebelumnya
ketika manajemen Pertja Barat meminta Dja Endar Moeda untuk menjadi editor.
Berita apa itu?
***
Abdul
Hasan lahir di Salamboewe, Mandailing adalah anak dari Dr. Asta (lulusan Dokter
Djawa School yang pertama dari luar Jawa). Abdul Hasan setelah menyelesaikan
sekolah pribumi di kampungnya, melanjutkan pendidikan guru di Kweekschool
Padang Sidempuan. Setelah dua tahun di kweekschool (sekolah guru) Padang
Sidempoean, Abdul Hasan gelar Mangaradja Salamboewe tidak bisa menuntaskan
pendidikannya, karena sekolah guru itu benar-benar ditutup 1893. Ketika
sejumlah murid yang belum lulus diminta transfer dan melanjutkan ke Kweekshool
di Fort de Kock. Abdul Hasan tampaknya tidak berminat karena jauh dan memilih smenjadi
siswa magang dan menjadi penulis di Kantor Residen Tapanoeli di Siboga. Setelah
beberapa tahun, Maharadja Salamboewe tidak menjadi guru, namun melamar menjadi
pegawai pemerintah dan kemudian diangkat menjadi adjunctdjaksa (wakil jaksa) di
Natal (Tapanoeli) pada tahun 1897. Dari Natal Maharadja Salamboewe dipindahkan
dengan tugas yang sama ke Air Bangis (Bovenlanden) tahun 1899.
Tidak
lama menjadi jaksa, Mangaradja Salamboewe ‘desersi’ dan lalu dipecat. Ia malah
bangga. Abdul Hasan gelar Mangaradja Salamboewe tidak senang dengan
kesewenang-wenangan pemerintah terhadap rakyat. Tahun 1903, Mangaradja
Salamboewe pindah haluan dan merantau ke Sumatra Timur di Medan. Di kota ini,
Mangaradja Salamboewe segera ditunjuk dan ditetapkan oleh penerbit J.
Haliermann menjadi editor koran Pertja Timor. Para pemilik penerbitan itu
ternyata tertarik kepada Mangaradja Salamboewe karena mereka sudah lama
mempelajari kecerdasannya sewaktu menjadi jaksa. Anehnya, para petinggi
penerbitan yang menerbitkan koran yang terbit dua kali seminggu ini sudah tahu
pula mereka bahwa Mangaradja Salamboewe sudah lama tidak berbicara dengan
orang-orang Belanda bahkan di Medan—dia lebih dekat dengan rakyat. Namun bisnis
tetaplah bisnis. Investor Belanda di Pertja Timoer membutuhkan daya kejut agar
tiras meningkat. Pilihan terhadap Mangaradja Salamboewe bagaikan gayung
bersambut. Pertja Timoer butuh ‘peluru’, sedangkan Mangaradja Salamboewe
membutuhkan ‘senapan’. Kehadiran Mangaradja Salamboewe langsung meningkat
tirasnya.
Di kemudian hari, koran
Sumatra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad (keduanya koran
berbahasa Belanda) mengakui bahwa Mangaradja Salamboewe memiliki keingintahuan
yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik yang hebat. Koran ini juga mengakui
bahwa Mangaradja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis
yang jauh lebih baik dibanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya
lagi, masih pengakuan koran ini, Mangaradja Salamboewe selain sangat suka
membela rakyat kecil, Mangaradja Salamboewe juga sering membela insan pers (dunia
jurnalistik) baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia,
demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran
Bataviaasch nieuwsblad.
Abdul
Hasan gelar Maharadja Salamboewe adalah manusia langka di jaman itu, apalagi
sudah jamak diketahui umum bahwa penindasan pemerintah terhadap rakyat di
Sumatra Timur kala itu sangatlah kejam. Mangaradja Salamboewe datang dan berada
di tempat yang tepat. Sebagai editor koran berbahasa Melayu yang dimiliki
orang-orang Belanda tidak ada kurangnya. Mangaradja Salamboewe adalah anak
dokter, calon guru yang tidak menjadi guru, tetapi penulis yang piawai di
kantor pemerintah, berpengalamannya di bidang justitie ketika dia masih
menjabat sebagai adjunctdjaksa di Natal. Apakah Mangaradja Salamboewe terinspirasi dari Multatuli
yang pernah menjadi Conroleur di Natal?.
Namun
sangat disayangkan, Abdul Hasan gelar Mangaradja Salamboewe tidak berumur
panjang. Mahangaradja Salamboewe meninggal pada usia muda pada tanggal 28 Mei
1908. De Sumatra post edisi 29-05-1908 memberitakan kematian wartawan pemberani
ini. Dalam berita koran ini, editor juga mengungkapkan rasa duka cita yang
dalam, karena Mangaradja Salamboewe tidak hanya membela rakyatnya tetapi juga
dunia jurnalistik (yang sebagian besar wartawan pada waktu itu berbagsa
Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa
"Di dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe
brani’. Saat mana Mangaradja Salamboewe
di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir termasuk yang berbangsa
Belanda. Koran Pertja Timor waktu itu adalah koran yang benar-benar koran.
Setelah Mangaradja Salamboewe tiada, 'pakem' koran ini tidak berkurang.
Wartawannya ‘hilang satu tumbuh seribu’. Setelah Mangaradja Salamboewe, muncul
Soetan Parlindoengan dan Parada Harahap. Kedua yang disebut terakhir ini adalah
memiliki ‘darah’ delik pers yang kuat. Sama-sama kritis terhadap pemerintah
sebagaimana Dja Endar Moeda, namun Soetan Parlindoengan lebih berani lagi dan yang
paling berani adalah Parada Harahap.
***
Heboh
dua koran berbahasa Melayu di Sumatra mengundang ketertarikan Dr A. A. Fokker dari Negeri Belanda untuk
datang langsung ke Padang dan Medan. Fokker adalah advisor koran Bintang
Hindia. Boleh jadi Fokker ingin belajar dari Pertja Barat dan Pertja Timoer,
spesifiknya belajar khusus dari Mangara(Dja) Endar Moeda dan Mangaradja
Salamboewe. Apa hasil kunjungan Fokker ini mari simak berita di koran Algemeen
Handelsblad.
Algemeen Handelsblad, 16-07-1903: .'Dr A. A. Fokker dari Amsterdam yang baru-baru ini berkunjung ke
Sumatra mengirimkan tulisan berjudul: Perjalanan ke (pantai) Barat. Fokker mengatakan bahwa masih
dalam bulan ini ada tiga pemuda dari Padang (di antaranya adalah seorang guru)
datang ke Amsterdam. Yang dimaksud Fokker dan diluruskan oleh koran ini, guru
tersebut adalah Dja Endar Moeda (rupanya,
predikat baru Dja Endar Moeda, tidak menghilangkan profesinya sebagai guru di
mata orang Belanda). Koran ini
menyebutkan bahwa anak Batak di Padang ini terkenal dan terampil, adalah
editor dua bilah koran (berbahasa) Melayu dan (satu buah) majalah Batak, akan
berkesempatan untuk mengunjungi negara kita. Pria ini akrab dengan bahasa kita
dan teman baik peradaban kita. Kita sudah lihat--dalam imajinasi kita--sudah
ada koloni Melayu di Amsterdam dan pusat kehidupan Indo-Belanda di Batavia, di
mana ruang besar (di Belanda) akan mampu memancarkan peradaban jauh ke tanah
musim panas abadi di Asia Tenggara (maksudnya
Nederlandsche Indie). Fokker dalam tulisan ini juga menyebut saat ini tujuh
belas Melayu dari Straits (mungkin maksudnya koloni Inggris—Malaya dan
Singapura) telah berada di London. Apakah anak asuh (maksunya pribumi) kita, akan segera seperti England? Kami tidak
percaya. (Dr A. A. Fokker: Amsterdam, 6 Juli 1903).
Dr
A. A. Fokker ternyata kemudian, tidak hanya belajar dari dua ‘anak Padang
Sidempoean’, tetapi juga untuk menjajaki peluang dan pengembangan bisnis koran
Bintang Hindia sendiri. Selain Dja Endar Moeda yang diundang ke Negeri Belanda,
siapa dua orang lagi? Satu orang kemungkinan besar adalah Dr. Abdoel Rivai,
alumni Dokter Djawa School yang kemudian diketahui menjadi editor eksekutif
Bintang Hindia. Satu lagi, siapa ya? Masih dilacak. Motif kehadiran Dja Endar Moeda diundang ke Negeri Belanda dapat dilihat dari berita iklan di Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 26-04-1904 yang memuat iklan Bintang Hindia, dimana disebutkan Dja Endar Moeda menjadi koresponden di Padang, sedangkan Dr A. A. Fokker, PhD sebagai Advisor.
***
Ada
dua hal penting lainnya di dalam tulisan Fokker tersebut yakni soal adanya
koloni Melayu di Amsterdam dan ketidakpercayaan Fokker terhadap kemampuan
belajar pribumi di Nederlandsche Indie untuk sekolah di Negeri Belanda,
sebagaimana pribumi dari Malaya atau Singapura yang sudah ada 17 orang tengah
studi di London. Soal kemampuan pribumi ini, Fokker mungkin keliru dan tidak
mengetahui riwayat Willem Iskander, anak Mandailing yang pernah studi di Leiden
tahun 1857. Memang sejak itu, tidak pernah ada lagi pribumi yang melakukan
studi ke Nederland, dan itu artinya ada jarak 45 tahun antara kedatangan Willem
Iskander ketika Fokker bicara di tahun 1903. Mungkin Fokker belum lahir ketika
Willem Iskander lulus sekolah guru di Leiden, karena itu Fokker tidak terlalu
salah sekali meremehkan kaum pribumi Nederlanche Indie.
***
Seorang
guru di tempat terpencil di kaki Gunung Loeboek Raja, Simapil-Apil boleh jadi
membaca sikap meremehkan dari Dr A. A. Fokker, PhD itu di surat kabar. Guru
yang sudah mengabdi selama 11 tahun yang seharusnya sudah pension yang bernama
Soetan Casajangan, alumni sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean terbakar
semangatnya. Tidak lama, Soetan Casajangan menyingkirkan prospek untuk pengganti ayahnya Mangaradja Soetan menjadi
kepala koeria yang bergaji tinggi. Lantas, Soetan Casajangan mempersiapkan diri
dengan belajar privat bahasa Belanda. Soetan Casajangan semakin termotivasi
karena keinginannya yang menggelora untuk meningkatkan pendidikan anak bangsa. Soetan
Casajangan mulai melakukan perjalanan jauh ke Negeri Belanda yang sangat
memilukan dari halaman bagas godang di Batoe na Doewa. Ketika supir padati
berteriak ‘haiyaa’ untuk memberi tanda pada kerbaunya untuk menghela padati,
Soetan Casajangan tidak kuasa melihat ke belakang ketika anak tunggalnya
terisak-isak dan istrinya mengangguk godang di belakang.
Inilah
awal pengorbanan Soetan Casajangan yang sesungguhnya sudah tidak muda lagi dan berusia
31 tahun yang seharusnya sudah pension, tetapi berani menghadapi tantangan
Fokker dan mengambil risiko meninggalkan anak istri di kampong. Saat melintas di depan gedung Kweekschool yang
sudah kosong (kini menjadi SMA N 1), Soetan Casajangan sempat tertegun karena
tidak ada kegiatan lagi di sekolahnya itu karena sudah ditutup sejak 1893. Setelah
sampai di Loemoet diteruskan dengan perahu ke Siboga. Di Siboga Soetan
Casajangan menghadap Residen Tapanoeli. L.C. Welsink. Dari Siboga melanjutkan
perjalanan dengan kapal kecil ke Padang, dan di Padang singgah cukup lama
menunggu kapal dan menginap di rumah Dja Endar Moeda, kakak kelas di
Kweekschool Padang Sidempoean (Dja Endar Moeda lulus 1884; Soetan Casajangan
lulus 1891). Pertemuan Soetan Casajangan dengan kakak kelas ini semakin menarik
karena baru-baru ini Dja Endar Moeda telah ke Negeri Belanda. Sebelum
berangkat, Soetan Casajangan beberapa kali menggendong cucu semata wayang dari
Dja Endar Moeda, karena teringat anak semata wayang di kampong.
Kemudian
perjalanan dilanjutkan dari Padang dengan menumpang kapal yang lebih besar ke
Batavia. Di Batavia, Soetan Casajangan sambil menunggu keberangkatan kapal, singgah dan menginap beberapa hari di rumah
kawan karib ayahnya, Soetan Abdoel Azis, mantan pejabat tinggi yang juga ayah
dari Haroen Al Rasjid. Soetan Abdoel Azis adalah besan dari Dja Endar Moeda di
Padang. Selama di Batavia coba mencari tahu alamat mantan gurunya yang kini
menjadi guru besar di Leiden, Profesor C.A. vam Ophuijsen. Setelah tiba
waktunya, perjalanan lintas benua dimulai dari Batavia tanggal 5 Juli 1905.
Perjalanan ini membutuhkan sekitar tiga minggu dengan singgah di Sabang,
Colombo, Fort Said, Southhampton. Akhirnya kapal s.s. Prinses Juliana merapat
dan Soetan Casajangan tiba dengan selamat di pelabuhan Rotterdam pada tanggal 30
Juli 1905.
Di
Rotterdam, Soetan Casajangan di jemput oleh Dr. Abdoel Rivai, alumni STOVIA,
Batavia yang untuk sementara bekerja sebagai editor Bintang Hindia di bawah
advisor Dr A. A. Fokker, PhD. Sehari kemudian Soetan Casajangan menghubungi
mantan gurunya Prof. C.A. van Ophuijsen. Kemudian, setelah cukup lama berdaptasi
dan sudah menemukan sekolah yang sesuai, Soetan Casajangan mulai rileks. Soetan
Casajangan ingat bagaimana Fokker merendahkan semangat belajar pribumi. Soetan
Casajangan lalu membuat konsep tulisan yang isinya ajakan kepada pribumi untuk
studi ke Negeri Belanda. Dalam tulisan ini termasuk apa yang perlu
dipersiapkan, prosedur dan jenis-jenis sekolah yang ada. Konsep ini langsung
diantar Soetan Casajangan ke kantor Bintang Hindia. Sayang Fokker tidak ada di
kantor Bintang Hindia dan hanya menemui Abdoel Rivai. Mungkin dalam pikiran
Sotean Casajangan, tulisan ini paling tidak dibaca oleh Fokker bahwa pelajar
pribumi bisa studi ke luar negeri.
Sekadar
diketahui, Soetan Casajangan lulus dan mendapat akte guru di Rijkskweekschool, Haarlem, 1909. Namun aneh tapi nyata, Bintang
Hindia yang dipimpin Dr A. A. Fokker, PhD
bangkrut dan berhenti beredar pada tahun 1909. Pada tahun ini juga
investasi Bintang Hindia diambil alih oleh investor lain dan menerbitkan majalah
baru sejenis dengan nama Bendera Wolanda. Yang diminta para investor untuk menjadi
editor adalah guru Soetan Casajangan. Fokker menghilang, Soetan Casajangan muncul
ke permukaan dan semakin diperhitungkan di seluruh antero Nederland. Soetan
Casajangan telah melengkapi daftar para editor yang diperhitungkan pers Belanda
yang mana sebelumnya Dja Endar Moeda di Pertja Barat di Padang dan Mangaradja
Salamboewe di Pertja Timoer di Medan. Tiga editor top yang dikenang kala itu
adalah sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean.
***
Pada
tahun 1910 Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon sudah berada di Negeri
Belanda untuk studi bidang hokum. Kemudian
pada tahun 1911 menyusul datang Todoeng gelar Soetan Goenong Moelia untuk studi
bidang pendidikan. Kisah Abdoel Firman Siregar sangatlah menarik. Abdul Firman
tiba-tiba menjadi terkenal di Negeri Belanda karena namanya diberitakan di
koran-koran yang terbit sekitar Maret 1912. Apa pasal? Dua imigran dari Madura
terlibat perkelahian dengan sesama imigran dari Jawa (oost java), korban
akhirnya meninggal dunia akibat tusukan. Di pengadilan Amsterdam terdakwa
disidangkan dan menghadirkan saksi-saksi. Aparat pengadilan bingung, karena
para imigran (terdakwa dan saksi-saksi) tidak bisa berbahasa Belanda. Untuk
mencari penerjemah sekaligus untuk pemandu sumpah (secara Islam) ternyata tidak
mudah. Dari sejumlah mahasiswa yang ada hanya Abdul Firman yang bersedia dan
sukarela (tanpa paksaan). Dari namanya memang pantas tetapi ternyata juga Abdul
Firman adalah orang yang alim. Karenanya masyarakat Belanda menganggap Abdul
Firman adalah pemimpin Islam dari para imigran dari Hindia Belanda. Abdul
Firman tidak keberatan.
***
Soetan
Casajangan telah memulai babak baru kiprah para pelajar dari Zuid Tapanoeli. Soetan
Casajangan telah membalikkan prediksi Dr A. A. Fokker, PhD. Soetan Casajangan
telah merintis jalan menuju studi di luar negeri bagi semua pribumi (artikel di
Bintang Hindia 1905). Soetan Casajangan telah mempelopori perhimpunan pribumi
(Indisch Vereeniging) di Negeri Belanda (1908). Soetan Casajangan sudah
berhasil memperoleh diploma guru pada tahun 1909. Soetan Casajangan telah diundang
oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa
Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para
anggotanya dengan makalah berjudul 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan
pendidikan pribumi) pada tahun 1911. Soetan Casajangan sudah pula berhasil
memperoleh akte kepala sekolah
(hoofdacte) pada tahun 1912.
Berita
kelulusan Soetan Casajangan ini dimuat di koran De Sumatra Post yang terbit di
Medan tanggal 26 September 1912. Sebelum pulang ke tanah air untuk mengabdi di
bidang pendidikan, Soetan Casajangan telah menerbitkan buku berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander'
(negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi) yang diterbitkan
di Baarn oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Soetan Casajangan Soripada dinobatkan
oleh para akademisi Belanda sebagai pelopor pribumi di Belanda (Een Inlandsch
pionir in Nederland)—lihat, Weekblad voor Indië, tevens damesweekblad voor
Indië (11 May 1913). Soetan Casajangan Soripada Harahap sendiri kemudian
kembali ke tanah air bulan Juli 1913. Siapa menyusul? Mari kita lacak!
***
Mari
kita kembali ke riwayat Haroen Al Rasjid dan Mohamad Hamzah. Pertemanan kedua orang
ini adalah spesial. Haroen Al Rasjid adalah anak dari Soetan Abdoel Azis dari
Mandheling, Mohamad Hamzah cucu dari Pertoean Soripada dari Bataoe na Doewa,
Ankola. Soetan Abdoel Azis berkawan karib dengan Mangaradja Soetan. Soetan
Casajangan adalah anak dari Mangaradja Soetan. Hubungan antara Mohamad Hamzah
dengan Mangaradja Soetan adalah sepupu. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja
Endar Moeda dan hubungan keduanya juga spesial karena keluarga koeria dari
Saboengan (Dja Endar Moeda) dan keluarga koeria Batoe na Doewa (Soetan
Casajangan) adalah bersaudara dari marga Harahap. Oleh karenanya, Soetan
Casajangan sangatlah dekat dengan keluarga Soetan Abdoel Azis dan keluarga Dja
Endar Moeda.
Ketika
Soetan Casajangan dalam perjalanan sekolah ke luar negeri di Negeri Belanda
sempat singgah di Padang dan menginap di rumah Dja Endar Moeda. Soetan
Casajangan sesaat sebelum pamit, meminta untuk menggendong cucu pertama dari
Dja Endar Moeda dan buah hati pernikahan Alimatoe Sadiah dengan Haroen Al
Rasjid yang baru beberapa bulan itu. Saat Soetan Casajangan menerima bayi itu
dari itonya Alimatoe Sadiah, Soetan Casajangan menanyakan siapa nama dan
dijawab secara spontan bersamaan oleh Dja Endar Moeda, Haroen Al Rasjid dan
Alimatoe Sadiah. Namanya adalah Ida
Loemongga, lahir pada tanggal 22 Maret 1905. Soetan Casajangan menggendong
sambil bersenandung satu bait puisi Willem Iskander lalu memberikannya kepada
Haroen Al Rasjid. Saat bayi itu sudah di tangan Haroen Al Rasjid, Soetan
Casajangan berucap dengan penuh harap: ‘susul au bere, dah’.
Kebetulan
selama Soetan Casajangan berada di rumah 'koum sisolkot' itu, menantu Dja Endar
Moeda, Haroen Al Rasjid tengah menjenguk anak dan istri di rumah mertuanya. Sebab,
Haroen Al Rasjid sejak Oktober 1904 sudah pindah tugas ke Siboga. Artinya
Haroen Al Rasjid hanya bertugas selama sekitar satu tahun di Padang. Oleh
karena istrinya sudah hamil tua saat pindah dinas ke Siboga, maka Haroen Al
Rasjid tidak membawa istrinya ke Siboga tetapi membawanya ke rumah mertua.
Haroen Al Rasjid setiap dua minggu datang ke Padang. Jadi ketika Soetan
Casajangan singgah di Padang ini secara kebetulan dapat bertemu semuanya:
abang/uda, kakak/inanguda, ito, lae dan babere. Dan ucapan Soetan Casajangan ‘susul au
bere, dah’ dapat didengar oleh semuanya dan mudah dipahami maksudnya.
***
Haroen
Al Rasjid dan keluarga (anak dan istri) cukup lama tinggal di Siboga. Namun
karena orang tua ada di Batavia dan mertua ada di Padang, maka posisi tinggal
di Siboga menjadi agak menyulitkan. Karena sudah berdinas sebagai pegawai
pemerintah lebih dari lima tahun, Haroen Al Rasjid tidak memperpanjang
kontraknya dan memilih pension dini. Lalu, Haroen Al Rasjid mengusulkan pension
dini. Department Civieal mengabulkan
permintaan Haroen Al Rasjid dan diberitakan di dalam koran pada edisi 6 Oktober
1909. Namun efektifnya baru berlaku jika sudah ada penggantinya. Haroen Al
Rasjid berencana akan pindah ke Telok Betoeng untuk membuka dokter praktek.
Pilihan
Telok Betoeng karena dua alasan: pertama karena tempatnya berada di tengah antara
orang tua di Batavia dan mertua di Padang. Alasan kedua, karena rekomendasi
kawan karib dan lae Dr. Muhamad Hamzah yang akan sudah pension dini dan lebih
memilih pindah ke Pematang Siantar agar lebih dekat dengan orangtua. Dr.
Mohamad Hamzah sudah bertugas di Telok Betoeng sejak 1903. Dr. Haroen Al Rasjid
dan Dr. Mohamad Hamzah berencana membuka praktek dokter untuk sasaran utama untuk
orang-orang Eropa yang sudah banyak berdomisili baik di Telok Betoeng maupun
Pematang Siantar.
Namun
pengganti Haroen Al Rasjid tidak kunjung datang, mungkin karena penugasan
dokter baru lebih mendesak di kota-kota lain yang membutuhkan. Haroen Al Rasjid
tampaknya tidak keberatan, apalagi mertua dari Padang sering berkunjung ke
Siboga baik karena urusan bisnis persuratkabaran maupun dalam rangka pulang
kampong ke Padang Sidempoean. Selama mereka di Siboga, keluarga Haroen Al Rasjid kerap pulang
kampong ke Padang Sidempoean, kota dimana tempat lahir Haroen Al Rasjid dan
Alimatoe Sadiah. Anak mereka Ida Loemongga juga pernah diajak pulang kampong di
Padang Sidempoan, namun frekuensi pulang kampong ini mulai berkurang karena
Alimatoe Sadiah sudah hamil lagi. Pada tanggal 6 Desember 1910 anak kedua
Haroen Al Rasjid lahir yang diberi nama Gele.
***
Akhirnya
pengganti Haroen Al Rasjid datang juga. Keluarga Haroen Al Rasjid bersiap-siap
untuk pindah ke Lampung. Di Telok Betoeng keluarga muda ini memulai hidup baru,
dan Dr. Haroen Al Rasjid membuka praktek dokter swasta. Anak pertama Haroen Al
Rasjid, Ida Loemongga dimasukkan ke sekolah Eropa, ELS di Telok Betoeng.
Setelah lulus ELS, pada tahun 1918 Ida Loemongga didaftarkan di sekolah elit di
Batavia, Prins Hendrik School, afdeeling HBS.
Kemudian keluarga Haroen Al
Rasjid pindah ke Tanjong Karang karena ada keinginan keluarga (termasuk Dja Endar Moeda) untuk membuka
klinik baru dan agar cakupannya menjadi lebih luas untuk mampu menjangkau
masyarakat biasa. Kepedulian Dja Endar Moeda yang selama ini
focus bidang pendidikan, kini tampaknya sudah mulai menyentuh bidang kesehatan. Investasi Dja Endar Moeda yang selama ini di bidang media mulai dialokasikan di bidang kesehatan.
Di Padang sendiri industri media sudah mulai ada tanda-tanda kurang memberi prospek bagus lagi karena pertumbuhan jumlah orang-orang Belanda di Sumatr's Westkust sudah stagnan, sebaliknya pertumbuhan jumlah orang-orang Belanda/Eropa di Sumatra's Oostkust sedang kencang-kencangnya. Ini sehubungan dengan berkembangnya perkebunan skala besar di Medan dan sekitarnya. Oleh karena pendapatan iklan menjadi sumber terbesar koran-koran, maka yang merasakan lebih awal dampak ini adalah koran berbahasa Belanda. Koran Sumatra Courant akhirnya tahun akhir tahun 1900 pindah dari Padang ke Medan dengan menguibah wajah dengan nama yang baru Sumatra Post. Setelah sekian tahun, akhirnya koran berbahasa Melayu yakni Pertja Barat mati suri. Lantas keluarga Dja Endar Moeda mengalihkan investasi bisnisnya ke Aceh di bidang media dan ke Lampong di bidang kesehatan. Praktis nilai finansial Dja bEndar Moeda tidak ada lagi di Padang.
Pilihan Aceh karena wilayah Aceh baru kondusif setelah perang dan dipandang perlu untuk meraih peluang pasar media untuk pendidikan bagi penduduk Aceh, sementara di Medan sudah ketat persaingan koran berbahasa Melayu. Dja Endar yang sudah mulai menua ingin memberi estafet kepemilikan media kepada anak-anaknya, sementara dia ingin lengser. Daerah Aceh yang merupakan pasar media yang masih terssa waktu itu akan sesuai bagi anak-anaknya yang baru mulai menekuni industri media persuratkabaran. Dja Endar Moeda tampaknya ingin hidup selamanya di tanah serambi mekah ini.
Di Padang sendiri industri media sudah mulai ada tanda-tanda kurang memberi prospek bagus lagi karena pertumbuhan jumlah orang-orang Belanda di Sumatr's Westkust sudah stagnan, sebaliknya pertumbuhan jumlah orang-orang Belanda/Eropa di Sumatra's Oostkust sedang kencang-kencangnya. Ini sehubungan dengan berkembangnya perkebunan skala besar di Medan dan sekitarnya. Oleh karena pendapatan iklan menjadi sumber terbesar koran-koran, maka yang merasakan lebih awal dampak ini adalah koran berbahasa Belanda. Koran Sumatra Courant akhirnya tahun akhir tahun 1900 pindah dari Padang ke Medan dengan menguibah wajah dengan nama yang baru Sumatra Post. Setelah sekian tahun, akhirnya koran berbahasa Melayu yakni Pertja Barat mati suri. Lantas keluarga Dja Endar Moeda mengalihkan investasi bisnisnya ke Aceh di bidang media dan ke Lampong di bidang kesehatan. Praktis nilai finansial Dja bEndar Moeda tidak ada lagi di Padang.
Pilihan Aceh karena wilayah Aceh baru kondusif setelah perang dan dipandang perlu untuk meraih peluang pasar media untuk pendidikan bagi penduduk Aceh, sementara di Medan sudah ketat persaingan koran berbahasa Melayu. Dja Endar yang sudah mulai menua ingin memberi estafet kepemilikan media kepada anak-anaknya, sementara dia ingin lengser. Daerah Aceh yang merupakan pasar media yang masih terssa waktu itu akan sesuai bagi anak-anaknya yang baru mulai menekuni industri media persuratkabaran. Dja Endar Moeda tampaknya ingin hidup selamanya di tanah serambi mekah ini.
***
Pada
tahun 1922 Ida Loemongga lulus afdeeling-B (IPA) di Prins Hendrik School,
lantas diterima ujian masuk di STOVIA. Namun karena Ida Loemongga tergolong cerdas,
maka Ida Loemongga termasuk yang direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan
ke Negeri Belanda. Keluarga Ida Loemongga tidak keberatan dan sangat mendukung.
Haroen Al Rasjid dan Alimatoe Sadiah menjadi ingat pesan dari 'tulang' Ida Loemongga, Soetan
Casajangan saat bertolak ke negeri Belanda doeloe. Ida Loemongga yang diterima di Universiteit Leiden didukung semua
keluarga besar ompungnya Dja Endar Moeda dan keluarga besar Soetan Abdul Azis. Ida
Loemongga lantas berangkat sendiri pada tahun 1923. Sebelum berangkat, Ida Loemongga sempat menemui 'tulang' Soetan Casajangan yang kini menjadi Direktur Normaal School di Meester Cornelis (Batavia). Sebab belum lama berselang, Soetan Casajangan baru pulang berkunjung dari Nageri Belanda.Proses berulang, dulu ketika Soetan Casajangan ketika hendak ke negeri Belanda, Dja Endar Moeda (ompung Ida Loemongga) baru pulang dari Negeri Belanda.
***
Ketika
Ida Loemongga memulai perkuliahan bidang kedokteran di Leiden, ada beberapa
anak-anak Padang Sidempoean yang juga tengah studi di Belanda. Di kampus yang
sama dengan Ida Loemongga, sudah ada abang Alinoedin Pohan gelar Radja Enda
Boemi, anak Batang Toroe yang tengah sibuk mempersiapkan desertasi. Radja Enda
Boemi menyelesaikan studi dan memperoleh gelar doctor (PhD) di bidang hokum di Universiteit
Leiden 1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden:
Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Radja Enda Boemi ke Belanda untuk
sekolah doctoral yang mana sebelumnya ia
telah menyelesaikan tingkat sarjana hokum (Mr) di Rechts School, Batavia. Kemudian anak Padang Sidempoean yang datang adalah Amir Sjarifoedin Harahap anak Pasar Matanggor yang mengambil bidang hokum. Amir Sjarifoedin di kemudian hari dikenal sebagai salah satu dari tiga founding father Indonesia (Soekarno, Amir dan Hatta).
Ida
Loemongga kemudian berhasil memperoleh gelar sarjana kedokteran pada tahun
1927 di Universiteit Utrecht. Setelah dipromosikan menjadi dokter di universitas tersebut, Ida
Loemongga pada tahun berikutnya mengambil dokter spesialis di Universiteit
Lieden. De Tijd :godsdienstig-staatkundigdagblad,
21-03-1929: 'Mij. I. Rasjid kelahiran Padang Sidempoean (tercetak,
seharusnya Padang) dinyatakan lulus dan berhak sebagai dokter. Lantas kemudian, Ida Loemongga ternyata diminati oleh banyak
institute. Setelah beberapa waktu sebagai asisten Dr. Caroline Lang, Ida
Loemongga meneruskan pendidikan doktoral di Universiteit Amsterdam. Sementara itu, Radja Enda Boemi setelah meraih doktor bidang hukum pada 1925 kembali ke tanah air lalu kemudian datang guru Todoeng Harahap gelar Soetan Moelia untuk mengambil doktor di bidang pendidikan.
Pada tahun 1931, Ida Loemongga dipromosikan sebagai doctor di bidang kedokteran dengan promotor Dr. Lang sendiri. Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931 memberitakan bahwa Nona Haroen Al Rasjid yang dalam hal ini Mej. I.L. Haroen Al Rasjid yang menandai dari sisi adat sebagai perempuan pribumi pertama yang meraih doctor di bidang kedokteran. Di dalam berita ini disebut Mej. Haroen adalah putri seorang dokter pribumi di Padang Sidempoean (mungkin mengacu pada tempat lahir Dr. Haroen Al Rasjid).
Pada tahun 1931, Ida Loemongga dipromosikan sebagai doctor di bidang kedokteran dengan promotor Dr. Lang sendiri. Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931 memberitakan bahwa Nona Haroen Al Rasjid yang dalam hal ini Mej. I.L. Haroen Al Rasjid yang menandai dari sisi adat sebagai perempuan pribumi pertama yang meraih doctor di bidang kedokteran. Di dalam berita ini disebut Mej. Haroen adalah putri seorang dokter pribumi di Padang Sidempoean (mungkin mengacu pada tempat lahir Dr. Haroen Al Rasjid).
Pada
tahun ini juga di koran-koran Belanda, nama Padang Sidempoean beberapa kali
disebut. De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 08-05-1931 memberitakan
bahwa Aminoedin Pohan (lahir di Sipirok) dipromosikan menjadi dokter
(spesialis) dengan judul tesis: ‘Abortus, voorkomen en deproefshrift’ (Aborsi,
pencegahan dan pengobatan’. Dalam beberapa bulan kemudian Algemeen Handelsblad,
17-12-1931 memberitakan bahwa di Leiden, dipromosikan menjadi dokter
(spesialis), Diapari Siregar (lahir di Sipirok). Dr. Aminoedin Pohan dan Dr,
Diapari Siregar menyelesaikan tingkat sarjananya di STOVIA, Batavia. Pada tahun
berikutnya, adik kelas mereka, anak Batang Toroe yang langsung datang ke
Belanda untuk studi tingkat sarjana—seperti Ida Loemongga doeloe—yakni Parlindoengan
Loebis yang sudah diterima dalam bidang kedokteran di Universiteit Leiden. 1932. Selama kuliah, Parlindoengan waktunya banyak tersita untuk kegiatan organisasi
kemahasiswaan dan pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia, 1938. Pada masa
perang, Dr. Parlindoengan Loebis, ditangkap militer Jerman dan lalu ditahan di
kamp konsentrasi NAZI.
Dengan demikian, Ida Loemongga yang mungkin satu-satu perempuan pribumi yang studi di Negeri Belanda waktu itu sesungguhnya merasa tenang, aman dan menggembirakan. Ida Loemongga yang fasih berbahasa Batak ini secara tak langsung dan dengan sendirinya mendapat 'pengawalan' secara adat di rantau orang baik oleh seniornya maupun juniornya yang silih berganti berasal dari Padang Sidempoean. Apalagi sudah diketahui umum bahwa Soetan Casangan adalah tulang dari Ida Loemongga. Dan tentu saja pengaruh Soetan Casajangan masih ada sebagai pelopor dan presiden pertama perhimpunan Indonesia, apalagi di tengah-tengah komunitas anak-anak Padang Sidempoen di Negeri Belanda. Padang Sidempoean adalah tempat lahir ayah dan ompungnya, dan sewaktu kecil dan mereka tinggal di Siboga kerap berkunjung ke Padang Sidempoean..
Dengan demikian, Ida Loemongga yang mungkin satu-satu perempuan pribumi yang studi di Negeri Belanda waktu itu sesungguhnya merasa tenang, aman dan menggembirakan. Ida Loemongga yang fasih berbahasa Batak ini secara tak langsung dan dengan sendirinya mendapat 'pengawalan' secara adat di rantau orang baik oleh seniornya maupun juniornya yang silih berganti berasal dari Padang Sidempoean. Apalagi sudah diketahui umum bahwa Soetan Casangan adalah tulang dari Ida Loemongga. Dan tentu saja pengaruh Soetan Casajangan masih ada sebagai pelopor dan presiden pertama perhimpunan Indonesia, apalagi di tengah-tengah komunitas anak-anak Padang Sidempoen di Negeri Belanda. Padang Sidempoean adalah tempat lahir ayah dan ompungnya, dan sewaktu kecil dan mereka tinggal di Siboga kerap berkunjung ke Padang Sidempoean..
***
Di
Telok Betoeng dan di Tandjong Karang, keluarga Ida Loemongga mulai sibuk
setelah mendengar kabar atas keberhasilan Ida Loemongga meraih gelar doctor
bidang kedokteran. Dr. Haroen Abdoel Al Rasjid mulai tersenyum dan semringah.
Tersenyum karena Ida Loemongga sudah sukses mencapai sekolah kedokteran level tertinggi dan juga karena sang penerus, Gele baru saja pulang dari Batavia karena baru lulus sekolah
menengah. Jagoan dari Abdoel Al Rasjid belum berpikir untuk mau kuliah apa
selanjutnya, sang ayah sudah memikirkannya (like son, like father). Untuk itu, lantas Abdoel Rasjid mengutus Gele
untuk segera berangkat ke Belanda untuk menemui kakaknya Ida Loemongga yang
sudah 10 tahun tidak berkesempatan pulang. Mungkin ‘lungun’ sang ayah terhadap ‘boru
panggoaran’ ini sudah pada puncaknya. Keberangkatan Gele lebih awal mungkin
dimaksudkan ayahnya agar Gele dapat memperkuat 'tondi' kakaknya saat sidang
terbuka nantinya, juga sekaligus memberi kesempatan bagi Gele untuk beradaptasi.
Sang ayah akan menyusul sekaligus akan memastikan sekolah terbaik buat Gele di
Negeri Belanda. Gele Haroen Al Rasjid berangkat ke Negeri Belanda. De Sumatra
Post edisi 11-09-1931 melaporkan kapal m.s. Baloeran telah berangkat dari
Batavia menuju Rotterdam yang mana di dalam manifest kapal terdapat nama yang
ditulis sebagai Gele Haroen Al Rasjid.
***
Beberapa
bulan kemudian keluarga Haroen Al Rasjid berangkat dari Telok Betoeng menuju
Batavia dan selanjutnya melakukan pelayaran ke Amsterdam. Dalam perjalanan
untuk mengikuti sidang terbuka dan wisuda ‘boru panggoaran’ ini, Haroen Al Rasjid datang beserta istri Alimatoe
Sadiah dan anak laki-laki mereka yang ketiga. Sukes Ida Loemongga tidak sempat lagi didengar oleh oppung/nenek Soetan Abdoel Azis dan oppung/nenek Dja Endar Moeda, karena mereka semua telah tiada. Di Nederland maupun di Nederlandsche Indie, Ida Loemongga dokter bergelar doktor perempuan pertama menjadi berita besar dan dilansir semua koran.
Bataviaasch nieuwsblad, 20-04-1932 melaporkan bahwa sebuah promosi pertama doctor di bidang kedokteran seorang gadis pribumi yang melansir berita dari kantor berita Aneta dari Amsterdam 22 September lalu dengan desertasi akademik yang berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’ (Diagnosa dan prognosis cacat jantung bawaan). Ms. Ida Loemongga Haroen lahir di Padang, sekarang secara internal adalah asisten di Rumah Sakit Wilhelmina dan mengkhususkan diri dalam penyakit anak.
***
Ida Loemongga dikawal dua adiknya saat sidang terbuka di Amsterdam, 1932 |
***
Setelah
kepulangan keluarga, Ida Loemongga mulai lagi dengan kesibukan sebagaimana
akademisi sambil bekerja di tempat dimana dulu dia bekerja di Rumah Sakit
Wilhelmina, Amsterdam. Demikian juga dengan adiknya, Harun mulai dibimbing dan
diarahkan oleh kakaknya arti penting pendidikan dan bagaimana cara seharusnya diperoleh
dengan benar. Sebagaimana adatnya, arahan seorang kakak sulit dibantah jika
dibandingkan dengan jika punya abang. Gele tampaknya menurut. Inilah yang
diinginkan oleh sang ayah mengapa Gele sesegera mungkin ‘diungsikan’ ke negeri
Belanda ketika keluarga besar Haroen Al Rasjid sudah berada pada taraf
pencapaian 'hamoraon', 'hagabeon' dan 'hasangapon'. Haroen Al Rasjid sebagai dokter
dan juga masih dekat dengan tradisi ajaran yang diperolehnya dari orangtuanya,
Soetan Abdoel Azis dari Mandheling en Ankola bahwa anak yang karakter keras harus dipertemukan dengan karakter yang lembut. Ida Loemongga adalah perempuan berkarakter lembut yang diturunkan dari ibunya, Alimatoe Sadiah br Harahap (like girl, like mother). Sedangkan Gele yang berkarakter keras diturunkan dari ayahnya dan ompungnya Soetan Abdul Azis (like son, like father). Strategi
ini ternyata jitu.
Ida Loemongga, sudah saatnya pulang kampung. Ida Loemongga yang berfungsi sebagai wakil orangtua untuk membimbing
jalan menuju kesuksesan Gele di kemudian hari sudah dijalankan dengan baik, juga Ida
Loemongga sudah selesai kegiatan post doctoralnya, Ida Loemongga pun
bersiap-siap untuk pulang kampong dan kembali ke keluarganya di
Nederlandsche Indie. Disamping itu, hal yang menggembirakan adalah bahwa Gele juga sudah register di Universiteit
Leiden untuk perkuliahan tahun 1935. Pada bulan November 1934, Ida Loemongga
pulang kampong setelah lebih dari 10 tahun di negeri Belanda dan setelah dua tahun
memperoleh gelar Doktor.
Het nieuws van den dag voorNederlandsch-Indië, 12-11-1934: ‘Doktor pribumi pertama, Dr. Ida Loemongga Haroen Al Rasjid akan
tiba via Singapura dengan s.s. Houtmam van de KPM dari Belanda dimana ia pernah
belajar lebih dari 10 tahun. Dr. Ida
Loemonga Harun Al Rasjid kembali. Dia adalah putri dari seorang dokter pribumi yang berdomisili di
Lampoengs dan pribumi pertama yang menerima gelar doktor dengan desertasi. Itu
terjadi di Amsterdam, di tempat dimana dia adalah seorang asisten selama
beberapa tahun bersama Dr. Caroline de Lange. Setelah menyelesaikan dari H.B.S.
di Batavia ia berangkat tahun 1923 ke Belanda untuk belajar dalam bidang
kedokteran di Leiden dan Utrecht, dimana ia akhirnya mendapatkan gelar dokter,
setelah itu ia pergi ke Amsterdam untuk mencapai derajat academischen
tertinggi. Untuk sementara, Dr. Ida akan praktizeeren belum diketahui, karena ia
akan pergi ke Lampoengs untuk
mengunjungi keluarganya’.
***
Di Tanjong Karang Ida Loemongga berkumpul kembali dengan keluarganya. Kabar bahwa ompung Soetan Abdoel Azis dan ompung Dja Endar Moeda sudah lama meninggal sudah lama pula diketahuinya, tetapi sesaat tiba di Tanjung Karang Ida Loemongga mengingat kembali semuanya (malungun). Setelah cukup lama di Tanjong Karang berkumpul bersama keluarga, Ida Loemongga kemudian memilih tinggal di Batavia dan akan membuka prkatek dokter. Di dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 22-12-1934 Ida Loemongga memasang sebuah iklan dimana disebutkan dirinya Dr. Ida Loemongga Haroen buka praktek dokter yang beralamat di Kinderarts Koningsplein Noord 9 Telefoon 625 Weltevreden. Tidak lama kemudian di dalam Bataviaasch nieuwsblad, 02-01-1935 dilaporkan bahwa izin praktek dokter Ida Loemongga di Nederlandsche telah diberikan.
***
Dr.
Ida Loemongga yang membuka praktek dokter anak, sehari-hari tampak sibuk
karena pasiennya umumnya datang dari kalangan orang Belanda dan keluarga
terpandang di Batavia. Sebagai gadis asli Indonesia tentu saja Ida Loemonggo
ingin berumahtangga dan menjadi seorang ibu. Perasaan itu semakin dirasakannya
ketika para ibu-ibu yang datang ke tempat prakteknya merupakan ibu-ibu muda yang
membawa anak-anak yang lucu-lucu. Namun saat itu, perasaan Ida Loemongga ciut
juga mengingat umurnya kini sudah jelang ulang tahun yang ke-30 dan tentu saja
sulit mendapatkan jodoh (pasangan) apalagi dengan gelar doctor yang hanya
satu-satunya di Nederlansche Indie. Berharap terus, bukanlah solusi, karena
berpacu dengan waktu. Pertanyaannya apakah Ida Loemongga sudah pernah memiliki
cinta di Negeri Belanda? Atau paling tidak ada seseorang yang satu sama lain dengan dia sudah ada
perasaan saling memperhatikan? Kita tidak tahu. Namun yang jelas pada bulan
September 1935, Ida Loemongga sudah berada kembali di Negeri Belanda.
De Indische
courant, 18-09-1935: ‘Doktor pribumi di Belanda: Dr. Ida Loemongga Haroen,
satu-satunya dokter Inlansche perempuan, yang tahun lalu telah dari Belanda dan
tiba di Batavia lalu membuka praktek dokter anak terlihat pada hari Sabtu
dengan perahu 'Tabinta' yang turun dari kapal 'The Nederland’ kembali ke Belanda dan akan
berdiam di Amsterdam. Mej. Dr. Loemongga Harun adalah Bataksche’.
Kembalinya
Dr. Ida Loemongga ke Negeri Belanda, tidaklah sendiri, sebagaimana saat
pertama kali datang ke Negeri Belanda 1923. Kini, di Leiden masih ada adiknya,
Gele Haroen yang tengah kuliah bidang hukum. Dan jangan lupa, selama Ida Loemongga di Negeri Belanda sudah silih berganti anak-anak Padang Sidempoean yang datang. Sudah barang tentu, Ida Loemongga--yang beberapa kali pulang kampung ke Padang Sidempoan ketika mereka masih tinggal di Sibolga--kerap bertemu dengan anak-anak yang berasal dari Padang Sidempoean (ibukota Mandheling en Ankola) ini. Oppung mereka doeloe sudah pasti berteman satu dengan yang lain. Sewaktu ompung Ida Loemongga, Dja Endar Moeda pulang kampung tahun 1900, semua tokoh-tokoh penting di Mandheling en Ankola diundang untuk menyambut kedatangan Dja Endar Moeda yang telah sukses di rantau. Kini era para cucu bagaikan musim semi berulang di luar negeri. Sebagaimana adatnya, tradisi berteman ala 'ompung' turun ke 'pahompu'. Apalagi, tulangnya Ida Loemongga, Soetan Casajangan di tahun 1908 telah mempelopori berdirinya Perhimpunan Hindia Belanda (yang kini berubah menjadi Perhimpunan Indonesia).
***
Pada akhir tahun 1935, Dr. Ida Loemongga dilaporkan telah menikah dengan Dr. Hans Reerink (yang sama-sama dokter (yang boleh jadi teman kuliahnya di Amsterdam). Gele
Haroen Al Rasjid pun akhirnya lulus kuliah dan mendapat gelar sarjana hokum (Mr).
Berita ini dimuat pada Nieuwsblad van het Noorden, 27-11-1937 yang memberitakan
bahwa sejumlah mahasiswa telah lulus ujian doctoraal rechten (hak doctor) termasuk
diantaranya yang disebut sebagai G. Haroen
Al Rasyid. Yang sangat mengejutkan dalam berita ini adalah Gele lulus bersamaan
di bidang yang sama dengan Charles Adrian van Ophujsen. Apakah ada orang yang bernama sama? Charles
Adrian van Ophujsen adalah guru dan
pernah menjadi direktur Kweekschool Padang Sidempuoen (1884-1993) yang
merupakan guru yang dikenal baik oleh Soetan Casajangan. Oppung dari Gele, Dja
Endar Moeda adalah angkatan pertama Kweekschool Padang Sidempoean yang lulus
dan diwisuda tahun 1884. Boleh jadi professor bahasa dan sastra ini, memerlukan
bidang keahlian yang lain di usia senjanya sebagai ahli hokum. Di dalam dunia akademik adakalanya hal yang tak lazim terjadi.
Setelah
pamit sama kakaknya, Ida Loemongga yang telah menetap dan membuka praktek dokter anak di Amsterdam, kemudian
Gele pulang ke tanah air dan akan meniti karir sebagai pengacara. Kepulangan
Gele ini diketahui sebagaimana di dalam De Sumatra post, 19-10-1938 yang
melaporkan bahwa kapal “Dempo’ berangkat dari Rotterdam 12 Oktober dan
diperkirakan tanggal 10 November di Tanjong Priok yang mana di dalam manifest
terdapat nama yang disebut Mr. G. Haroen Al Rasjid. Sesampai di Batavia, Gele
langsung pulang ke Lampong untuk menemui keluarganya. Tidak menunggu lama, Gele Haroen
sudah membuka kantor pengacara swasta di Telok Betoeng, sebagaimana dilaporkan
oleh Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-12-1937.
Dua anak Dr. Haroen Al Rasjid ini, karena situasi dan kondisi saat itu, akhirnya kakak dan adik menemukan dimana mereka seharusnya berada dan menjalani hidup masing-masing. Ida Loemongga, istri dari dokter ini mengikuti dimana suaminya berada tetapi ia sendiri masih dapat menekuni bidangnya. Ida Loemongga, sebagai dokter anak melayani para ibu-ibu di Belanda yang memerlukan pengetahuannya demi kesehatan anak mereka. Sedangkan Gele Haroen keahliannya sangat dibutuhkan di tanah air. Banyak permasalahan-permasalahan sosial yang mencul di Lampong akhir-akhir ini dan memerlukan orang pribumi yang ahli di bidangnya. Ayahnya, Haroen Al Rasjid telah memulai perjuangan mengangkat derajat kesehatan penduduk di Lampong, kini giliran Gele Haroen seharusnya mengikuti garis perjuangan ayahnya di bidang yang lain, yakni justitie.
Dua anak Dr. Haroen Al Rasjid ini, karena situasi dan kondisi saat itu, akhirnya kakak dan adik menemukan dimana mereka seharusnya berada dan menjalani hidup masing-masing. Ida Loemongga, istri dari dokter ini mengikuti dimana suaminya berada tetapi ia sendiri masih dapat menekuni bidangnya. Ida Loemongga, sebagai dokter anak melayani para ibu-ibu di Belanda yang memerlukan pengetahuannya demi kesehatan anak mereka. Sedangkan Gele Haroen keahliannya sangat dibutuhkan di tanah air. Banyak permasalahan-permasalahan sosial yang mencul di Lampong akhir-akhir ini dan memerlukan orang pribumi yang ahli di bidangnya. Ayahnya, Haroen Al Rasjid telah memulai perjuangan mengangkat derajat kesehatan penduduk di Lampong, kini giliran Gele Haroen seharusnya mengikuti garis perjuangan ayahnya di bidang yang lain, yakni justitie.
***
Di
Lampong, ayah dan anak saling bergandengan (like son, like father): Sang ayah berjuang untuk
meningkatkan kesehatan penduduk; sang anak berjuang untuk demi keadilan. Dr.
Haroen Al Rasjid yang awalnya buka praktek dokter untuk kalangan atas, tetapi
lambat laun sudah mencakup kalangan rakyat biasa. Kini, usaha klinik mereka
tidak hanya di Telok Betoeng dan Tanjong Karang, tetapi juga telah meluas ke
pelosok-pelosok. Semuanya itu untuk memperluas jangkauan pengobatan modern dan
memperpendek akses bagi penduduk yang memerlukan layanan kesehatan. De banier:
staatkundig gereformeerd dagblad, 29-08-1936
melaporkan baru-baru ini Haroen Al Rasjid membuka rumah sakit swasta Wai Lima (Lampong District) dan Haroen Al Rasjid sendiri
yang menjadi direkturnya. Sementara, Mr. Gele Haroen mulai memahami perlunya
keadilan untuk semua lapisan masyarakat, Belanda atau pribumi, kaya atau
miskin, perkotaan atau pedesaan.
***
Makam, Ida Loemongga Haroen Al Rasjid Nasoetion di Goor |
Singkat
cerita, Dr. Haroen Al Rasjid sudah mulai menua. Namun sang ‘boru panggoaran’
Ida Loemongga tidak pernah kembali. Sang adik, Gele Haroen Al Rasjid terus berjuang
demi keadilan dan ikut berperang untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Ketika sang ayah meninggal pada tahun 1945 di Tanjong Karang hati Ida Loemongga tercabik-cabik.
Ida Loemongga tidak berdaya. Ida Loemongga tidak bisa pulang karena akses antara Rotterdam ke Jakarta sudah tertutup--hubungan diplomatik terputus.
Ida Loemongga meninggal dunia di Belanda pada tanggal 9 Maret 1960 dan dimakamkan di pemakaman Goor. Sementara kepedulian
Gele Haroen Al Rasjid terhadap rakyatnya membuat dirinya didaulat sebagai Residen
Lampong. Gele Haroen Al Rasjid Nasoetian adalah Residen Lampong yang pertama dan pernah menjadi Menteri Kehakiman RI.
Darah pejuang dalam diri Gele Haroen Al Rasjid adalah darah pejuang dari ompungnya Dja Endar Moeda sebagai pejuang pendidikan dan ayahnya, Haroen Al Rasjid sebagai pejuang kesehatan. Kisah tiga generasi ini bermula di Padang Sidempoean. Sedangkan semangat belajar yang tinggi dan talenta sebagai pionir pada diri Ida Loemongga sudah tentu bersumber dari spirit 'maha guru' Willem Iskander, pelopor pendidikan di Nederlansche Indie, dan tulangnya Soetan Casajangan, pelopor pribumi di Nederlandsche. Kisah tiga generasi ini bermula dari Mandheling en Ankola.__________
*Para undangan yang hadir: Kepala kuria Batunadua adalah kakek dari Soetan Casajangan dan Dr. Muhammad Hamzah. Kepala kuria Losungbatu adalah saudara Dja Endar Moeda yang menggantikan ayahnya. Jaksa Sibolga adalah Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea, kakek dari Amir Sjarifoeddin (the founding father RI), Kepala kuria Simapil-api (kemungkinan) ditemani oleh Soetan Casajangan yang saat itu menjadi kepala sekolah di Simapil-apil yang mana Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean.
**Haroen Al Rasjid Nasution dan Alimatoe Sadiah br Harahap memiliki anak tidak saja Ida Loemongga dan Gele, tetapi masih ada empat lagi. Ida Loemongga adalah anak sulung (boru panggoaran) dan Gele Haroen adalah anak yang keempat.
(bersambung)
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama, antara lain:
- Topographisch Bureau, Batavia, Batavia: Kaart van Padang Si Dimpoewan en Omstreken (1880).
- Kaart van het Gouvernement Sumatra's Westkust : opgenomen en zamengesteld in de jaren 1843 tot 1847 / door L.W. Beijerink met medehulp van C. Wilsen... et al. Beijerink, L.W., Topographisch Bureau, Batavia, 1852.
- Peta 1830
- Peta 1908
- Peta 1943
- Etappekaart Sumatra's West Kust, 1845
- Almanak Pemerintahan Belanda berbagai tahun
- Koran-koran Belanda berbagai edisi
- Laporan Tahunan Pemerintahan Belanda berbagai tahun
- Observasi pribadi
2 komentar:
ini wajib disebarluaskan, untuk menginspirasi generasi muda di eks Keresidenan Tapanuli (Mandailing, Angkola, Sipirok), mantaps!
Horas Bapatua...
senang sekli membaca artikel ini.. saya Doharni br Pasaribu lahir di P.Sidimpuan, skrg berdomisili di Medan. salam kenal Bapatua.
Posting Komentar