*Suatu sketsa Kota Padang Sidempuan
Ini adalah suatu sketsa (analisis sederhana) berdasarkan
fakta-fakta sejarah yang ada. Mungkin para generasi yang lebih muda tidak
menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui, bahwa Kota Padang Sidempuan masa
kini, ternyata di jaman doeloe memiliki dinamikanya sendiri. Bagaimana
anak-anak Padang Sidempuan berkembang dan menyebar ke semua penjuru angin di
masa doeloe? Mari kita lacak!
***
Satu-satunya perguruan tinggi di
masa doeloe di Nederlandsche Indie adalah Dokter Djawa School. Sekolah
kedokteran yang dibuka pada tahun 1851 ini kemudian di tahun 1905 menjadi
STOVIA (cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Untuk menjadi
mahasiswa sekolah kedokteran itu bukanlah hal yang mudah: selain sangat jauh dari
kota kecil Padang Sidempoean, juga seleksi masuk sangat ketat dan memiliki
kualifikasi yang tinggi. Namun begitu, ternyata cukup banyak anak-anak Padang
Sidempoean yang berhasil menjadi dokter di sekolah kedokteran tersebut.
***
Kampus 'Dokter Djawa School', 1900 (KITLV) |
Perguruan tinggi Dokter Djawa
School, meski namanya demikian, namun sesungguhnya semua dosen-dosen yang
mengajar di sekolah kedokteran ini adalah dokter-dokter berbangsa Belanda yang
memiliki izajah dokter di Negeri Belanda. Dalam perkembangannya, sistem
pendidikan dan seleksi penerimaaan siswa terus ditingkatkan sehingga pada
akhirnya (1890) siswa yang diterima haruslah lulusan sekolah-sekolah Eropa (tujuh
tahun). Beruntung di Padang Sidempoean terdapat sekolah Eropa.
Sekolah Eropa di Padang Sidempoean
didirikan pada awal tahun 1880-an. Pendirian sekolah ini pada awalnya dimaksudkan
untuk menyediakan fasilitas pendidikan dasar bagi anak-anak Belanda yang mana
pada masa itu populasi orang Belanda sudah terbilang banyak di Padang
Sidempoean. Namun dalam perkembangannya anak-anak pribumi juga dapat diterima. Lokasi
sekolah ini pada masa kini masih dapat dilihat situsnya yang merupakan gedung
Bank BPDSU/Bank Sumut yang berada di
depan kantor Pos Padang Sidempoean. Sekolah Eropa inilah yang menjadi milestone
anak-anak Padang Sidempoean untuk sekolah di fakultas kedokteran.
***
Siapa saja anak-anak Padang
Sidempoean yang berhasil meraih gelar dokter kala itu? Mari kita lacak!
Haroen Al Rasjid dan Mohamad Hamzah
Dua anak Padang Sidempoean Haroen Al
Rasjid dan Mohamad Hamzah. Haroen Al Rasjid adalah putra Mandailing yang
ayahnya meniti karir di pemerintahan mulai dari Panjaboengan, Padang Sidempoean
hingga ke Batavia. Mohamad Hamzah adalah cucu dari koeriahoofd Batoe na Doewa.
Haroen Al Rasjid menyelesaikan sekolah Eropa di Batavia sedangkan Mohamad
Hamzah menyelesaikan sekolah Eropa di Padang Sidempoean. Lantas keduanya
sama-sama masuk Dokter Djawa School.
Pada tahun 1901 kedua abak muda ini telah lulus Dokter Djawa School dan berhak meraih gelar dokter. Mohammad Hamzah dinyatakan lulus pada bulan Juni, dan Haroen Al Rasjid lulus pada November 1901. Dr. Mohamad Hamzah ditempatkan di Telok Betoeng dan Dr. Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 29-11-1901: ‘memberitakan sebanyak 10 siswa Dokter Djawa School telah berhasil dalam ujian tingkat akhir dan dipromosikan menjadi dokter (diantaranya) Haroen Al Rasjid’.
De
locomotief : Samarangschhandels- en advertentie-blad, 29-12-1902: ‘mengabarkan dokter-dokter baru yang lulus
tahun ini diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di kota-kota
yang berbeda. (Dalam berita ini disebutkan) Haroen Al Rasjid ditempatkan di
Padang dan Mohammad Hamzah di Telok Betoeng’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-01-1903: ‘kapal s.s. ‘Van Riemsdijk’ pagi ini pukul 08.30 melakukan pelayaran (dari Batavia) menuju Telok Betoeng, Kroe, Benkoelen, Padang en Atjeh. Di dalam manifest pelayaran ini terdapat nama yang disebut Dr. Djawa Mohammad Hamzah dan Dr. Djawa Haroen Al Rasjid’.
Haroen
Al Rasjid sejak Oktober 1904 dipindahkan untuk bertugas di Siboga. Setelah lebih
dari lima tahun bertugas di Siboga, Haroen Al Rasjid tidak memperpanjang
kontraknya dan memilih pension dini. Lalu, Haroen Al Rasjid mengusulkan pension
dini. Department Civieal mengabulkan permintaan Haroen Al Rasjid dan
diberitakan di dalam koran pada edisi 6 Oktober 1909. Namun efektifnya baru
berlaku jika sudah ada penggantinya. Haroen Al Rasjid berencana akan pindah ke
Telok Betoeng untuk membuka praktek dokter. Tampaknya yang menjadi pengganti Haroen Al Rasjid adalah teman lamanya, Moohamad Hamzah.
Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1909: ‘Selolong (Benkoelen) ke Siboga (Tapanoeli), dokter inlandsehe Mohamad Hamzah’.
Haroen
Al Rasjid tetap menetap hingga akhir hayatnya di Lampong. Anaknya yang sulung
bernama Ida Loemongga, setelah lulus HBS di Batavia meneruskan pendidikan
tinggi di bidang kedokteran di Belanda pada tahun 1918 hingga akhirnya berhasil
mencapai gelar Doktor tahun 1932. Ida Loemongga Haroen Al Rasjid Nasoetion
adalah perempuan pertama Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri dan
juga perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar doctor. Anaknya yang
kedua adalah Gele Haroen Al Rasjid sarjana hokum lulusan negeri Belanda dan
menjadi Residen Lampung yang pertama.
Sementara itu, Mohamad Hamzah gelar Soetan Batoe Nadoea menetap di Pematang Siantar dan pernah menjabat sebagai anggota dewan kota (gemeeteraad) Pematang Siantar tiga periode.
Sementara itu, Mohamad Hamzah gelar Soetan Batoe Nadoea menetap di Pematang Siantar dan pernah menjabat sebagai anggota dewan kota (gemeeteraad) Pematang Siantar tiga periode.
Abdul Karim dan Abdul Hakim
Abdul Karim dan Abdul Kasim
berangkat dari Padang Sidempoen dalam waktu yang berbeda. Abdul Karim diseleksi
langsung di Padang Sidempoean dan kemudian dibawa ke Batavia tahun 1898 dengan
pendampingan seorang dokter. Sementara Abdul Hakim direkrut pada tahun 1899.
Kedua siswa ini berasal dari sekolah yang sama (sekolah Eropa Padang
Sidempoean).
Bataviaasch
nieuwsblad, 12-03-1898: ‘telah berangkat dari
Padang dengan kapal s.s. Reael, Abdul Karim yang didampingi oleh dokter djawa
Sie Amat’.
Sumatra-courant
: nieuws- en advertentieblad,
28-01-1899: ‘seorang pemuda belia
bernama Abdul Hakim, murid sekolah Eropa di Padang Sidempoean akan diambil
sebagai murid sekolah untuk pelatihan dokter pribumi (docter djawa)’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 04-12-1901: ‘Ujian Dokter-djawaschool lulus dari tingkat dua ke tingkat ketiga sebanyak lima siswa (diantaranya) Abdul Hakim. Empat siswa gagal, dimana tiga siswa mengulang dan satu siswa diberhentikan dengan hormat karena kualifikasi tidak mencukupi’
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27-11-1902: ‘sejumlah siswa di Doktor Djawa School dipromosikan ke tingkat lima dan ke tingkat empat. Siswa yang dipromosikan ke tingkat empat (diantaranya) Abdul Hakim van Padang Sidempoean dan Abdul Karim van Padang Sidempoean’
Dari delapan siswa yang naik ke tingkat lima pada tahun 1902 terdapat tujuh siswa (satu gagal) adalah siswa-siswa yang berasal dari kota-kota di Jawa. Sedangkan yang naik ke tingkat empat sebanyak sembilan siswa dimana lima diantaranya berasal dari luar Jawa (dua dari Padang Sidempoean, masing-masing satu siswa dari Ambon, Padang dan Manado). Abdul Karim dan Abdul Hakim seangkatan dengan Tjipto Mangunkoesoemo. Pada tahun 1904 Abdul Karim dan Abdul Hakim naik dari tingkat lima ke tingkat enam. Sedangkan yang naik dari tingkat empat ke tingkat lima terdapat sembilan siswa yang mana tiga diantaranya dari luar Jawa (Manado, Ambon dan Padang).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1904: ‘di dokter djawa school yang naik dari tingkat empat ke tingkat lima terdapat sembilan siswa yang mana tiga diantaranya dari luar Jawa (Manado, Ambon dan Padang). Sedangkan yang naik ke tingkat enam sebanyak 10 siswa (diantaranya) Abdul Karim dan Abdul Hakim. Satu siswa mengulang.’
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1905: ‘Ujian Docter-Djawaschool yang lulus ujian akhir terdapat tujuah siswa (diantaranya) Abdul Hakim dan Abdul Karim’.
Abdul Hakim dan Abdul Karim akhirnya
lulus Dokter Djawa School November 1905 dan berhak mendapat gelar dokter.
Mereka berdua berdinas dan ditempatkan di kota yang berbeda. Dr. Abdul Karim
ditempatkan di Sawah Lunto Januari 1906, sedangkan Dr. Abdul Hakim ditempatkan
ke Padang Sidempoean, kampong halamannya.
Algemeen
Handelsblad, 07-01-1906: ‘Departed Batavia per
ss "Maetsuijcker" ke Telok Betong, Manna, Benkoeden, Indrapoera,
Padang, dll (diantaranya) Dokter Abdul Karim’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1906: ‘oleh Pelayanan Medis Sipil, ditempatkan dari Batavia ke Padang Sidempoeau, dokter asli Abdul Hakim’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 13-11-1906: ‘dengan kapal s.s. Baud berangkat ke Telok Betong, Padang dan lainnya, (diantaranya) Abdul Hakim’.
Dr. Abdul Karim berdinas di
Sawahlunto tidak sampai satu tahun, lalu kemudian Desember 1906 dipindahkan ke
Gunung Sitoli (Tapanoeli). Abdul Karim terbilang cukup lama di Goenoeng Sitoli
hingga akhirnya dipindahkan ke Fort van der Capellen Agustus 1912. Pada bulan
Maret 1914, Dr. Abdul Karim mengajukan pensiun dini’.
Bataviaasch
nieuwsblad, 31-12-1906: ‘oleh Pelayanan Medis
Sipil bahwa yang sekarang untuk sementara bekerja di pelayanan medis
(diantaranya) di Sawah Loento (Sumatra’s Westkust) ke Goenoeng Sitoli (Tapanoeli),
dokter asli Abdul Karim’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-04-1910: ‘dokter asli ke Bindjei (pantai timur Sumatera), Abdul Hakim’.
Bataviaasch
nieuwsblad, 06-08-1912: ‘van Goenoeng Sitoli
naar Fort van der Capellen de inlandsche arts, Abdul Karim’.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-03-1914: ‘Dokter asli di Sawahloento, Abdul Karim telah meminta pemberhentian dengan hormat dari dinas negara’.
***
Adik
kelas dari Abdul Karim dan Abdul Hakim yang berasal dari Padang Sidempoen
adalah Mohamad. Setelah lulus Mohamad Daulay ditempatkan di Ngawi dan juga
diperbantukan untuk di Semarang’.
Bataviaasch nieuwsblad,
28-11-1902: ‘hasil ujian transisi kelas persiapan dokter djawa school dari
tingkat dua diangkat ke tingkat tiga, Si
Mohamad van Padang Sidempoean’.
Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1909:
‘Layanan Medis Sipil mengumumkan bahwa di Ngawi (Madiun), dokter Inlandsche
Mohamad Daulay; juga diperbantukan dokter inlandsche Mohamad Daulaij di
Semarang’
Bataviaasch nieuwsblad, 22-04-1916: ‘pendirian rumah sakit swasta
bagi penderita kusta di Pulu Sitjanang (pantai timur Sumatera) dokter pribumi Mohamad
Daulay’.
Pada tahun 1902 Dokter Djawa School berganti nama menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).Pada saat ini sekurang-kurangnya ada lima anak Padang Sidempoean di kampus kedokteran ini.
Radjamin Nasoetion
Radjamin
Nasoetion gelar Soetan Koemala Pontas lahir di Barbaran Julu, Mandailing, tanggal
15 Agustus 1892. Untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, Radjamin masuk
sekolah berbahasa Belanda, ELS di Padang Sidempuan. Radjamin seorang anak
kepala kuria di Mandailing, setelah lulus ELS melanjutkan pendidikan ke
Batavia. Radjamin diterima di STOVIA. Radjamin Nasoetion lulus STOVIA dan
berhak memperoleh gelar dokter 1912.
Setelah
lulus pendidikan kedokteran, anehnya Radjamin tidak ditempatkan pemerintah di
dinas kesehatan melainkan akhirnya diposisikan menjadi pegawai pemerintah di
bidang pabean. Ini bermula ketika bulan Juli 1912 untuk sementara Radjamin
ditempatkan di kantor Bea dan Cukai di Batavia sebagai partikelir sambil
menunggu penempatan. Namun di bulan November apa yang terjadi? Beslit Radjamin
keluar, akan tetapi statusnya di kantor Bea dan Cukai di Batavia justru
ditingkatkan menjadi pegawai magang (masa kini CPNS). Tugas utamanya adalah
pengawas (opziener) untuk bidang pos, telegraf dan telepon. Sejak November
1913, Radjamin beberapa kali pindah tempat seperti Pangkalan Boen, Perbaungan,
Cilacap, Semarang, Batavia (kembali), Medan, Surabaija, Sampit, Surabaija
(kembali), Belawan, Djambi, Medan (kembali), Batavia (kembali), dan Surabaija
(kembali, September 1929).
Di
Surabaija November 1929, Radjiman dan kawan-kawan mendirikan Sarikat Pekerja
Bea dan Cukai. Pada tahun 1931 sebagaimana diberitakan koran-koran setempat,
bahwa salah satu anggota Dewan Kota yang berasal dari penduduk pribumi, bernama
Koesmadi telah berakhir masa jabatan untuk periode pertama. Untuk menjadi anggota dewan kota berikutnya
Koesmasi harus mengikuti pemilihan yang dilakukan oleh anggota dewan yang masih
aktif. Di satu pihak Koesmadi ternyata mencalonkan diri kembali. Di pihak lain,
nama Radjamin muncul ke permukaan untuk bersaing dengan Koesmadi. Pada hari
terakhir pencalonan ternyata hanya dua orang kandidat yakni Koesmadi dan
Radjamin—keduanya terbilang sebagai bangsawan, yang satu dari Jawa Timur, dan
satu lagi dari Tapanuli. Pada keesokan harinya, tanggal 25-02-1931 kedua calon
datang ke kantor panitera kota untuk pengesahan calon.
Namun
anehnya, hari berikutnya, Koesmadi mengundurkan diri sebagai calon dan
merekomendasikan dengan tulus dan hangat kepada Radjamin. Koesmadi beralasan
bahwa, Radjamin, selain anggota PBI (sarikat buruh) juga adalah tokoh Sumatra yang kuat dan
terkemuka di Surabaya dan yakin Radjamin akan lebih mampu untuk meningkatkan
aspirasi rakyat di Dewan Kota. Meski Koesmadi mengundurkan diri, dan hanya
tinggal satu kandidat, pemilihan tetap dilakukan. Pada tanggal 10-03-1931
diperoleh kabar bahwa Radjamin menang mutlak dengan jumlah perolehan suara
sebanyak 62 (suara perwakilan penduduk Surabaya). Berita keberhasilan Radjamin
ini cepat tersebar luas, utamanya di Batavia dan Medan. Boleh jadi berita ini
hanya sedikit rembesan cerita sampai ke Tapanoeli—kampung halaman Radjamin
Nasoetion. Mungkin Radjamin tidak terlalu dikenal di kampung halamannya, sebab
umur tujuh tahun Radjamin mengikuti sekolah dasar di Padang Sidempuan, lalu perguruan
tinggi di Batavia. Karir Radjamin terus meroket, sebagai pengurus partai dan
juga menjadi anggota Volksraad.
***
Singkat cerita, Radjamin di Surabaya tiba-tiba mendapat surat dari anak perempuannya, seorang
dokter yang bersuamikan dokter yang sama-sama berdinas di Tarempa, Tandjong
Pinang, Kepulauan Riau. Surat ini ditujukan kepada khalayak dan cepat beredar,
karena termasuk berita penting masa itu. Surat kabar Soeara Oemoem yang terbit
di Surabaya mempublikasikan isi surat keluarga (anak kepada ayahnya) tersebut
menjadi milik public sebagaimana dikutip oleh koran De Indische Courant tanggal
08-01-1942. Penyerangan oleh Jepang dimulai dengan pengeboman di Filipina dan
Malaya/Singapura. Pemboman oleh Jepang di Tarempa merupakan bagian dari
pengeboman yang dilakukan di wilayah Singapura. Tarempa sangat dekat dari
Singapura. Lantas, tanggal 3 Februari 1942
perang benar-benar meletus di Kota Surabaya. Suasana panik, mengakibatkan
Radjamin naik posisi. Koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 26-02-1942
melaporkan telah terjadi perubahan di Dewan Kota. Radjamin diangkat sebagai
wakil ketua (ketua masih bangsa Belanda).
Pada
tanggal 8 Maret 1942 pemerintahan Belanda di Indonesia benar-benar takluk tanpa
syarat kepada pasukan Jepang. Pada hari itu juga kekuasaan Gemeente
(Pemerintahan Kota) Surabaya berpindah tangan kepada militer (pasukan tentara)
Jepang. Lantas Dewan Kota dibubarkan. Namun demikian, pada fase konsolidasi
ini, pihak Jepang masih memberi toleransi dua kepemimpinan di dalam kota.
Walikota Fuchter masih dianggap berfungsi untuk kepentingan komunitas
orang-orang Eropa. Sementara walikota di kubu Indonesia dibawah
perlindungan militer Jepang ditunjuk dan diangkat Radjamin
Nasoetion--Wethouder, mantan anggota senior dewan kota yang berasal dari
bumiputra. Jepang memilih Radjamin dibandingkan yang lain karena Radjamin
satu-satunya tokoh pribumi di Surabaya yang memiliki portfolio paling tinggi.
Radjamin selain dikenal sebagai Wethouder (tokoh anggota dewan kota) yang pro
rakyat.
Radjamin juga diketahui secara luas sangat dekat dengan rakyat dan didukung
tokoh-tokoh ‘adat’ di Surabaya. Radjamin
juga berpengalaman dalam pemerintahan Belanda sebagai pejabat tinggi (eselon-1)
Bea dan Cukai. Jangan lupa, Radjamin juga seorang yang cerdas, dokter, lulusan
perguruan tinggi, Stovia di Batavia.
Sesuai
kebijakan Pemerintah Jepang di Indonesia, pada bulan September 1942 Jepang
menurunkan posisi walikota Radjamin menjadi Wakil Walikota, sementara Walikota
diisi dan diangkat dari bangsa Jepang sendiri. Walikota yang diangkat adalah
Takahashi Ichiro. Dalam hal ini, penurunan posisi Radjamin bukanlah karena
kualitasnya, tetapi semata-mata karena berubahnya misi dan kepentingan politik
Jepang di Indonesia. Sementara, Radjamin tetap bersedia karena ingin terus
mengontrol pemerintahan dari dalam dan mengawasi dan memastikan pembangunan pro
rakyat tetap pada relnya.
Pada bulan Agustus 1945 Hiroshima dan Nagasaki di bom, kemudian Jepang menyerah kepada sekutu. Pada saat tersebut Indonesia juga memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Takahashi Ichiro kemudian menyerahkan sepenuhnya kepala pemerintahan Kota Surabaya kepada wakilnya, Radjamin Nasution. Fungsi pemerintahan kota ini dijalankan oleh Radjamin. Terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 itu, Radjamin Nasution Pontas ditetapkan Pemerintah RI di Jakarta (nama Batavia hilang) sebagai Walikota Surabaya.Radjamin hingga akhir hayatnya tinggal di Surabaija dan telah menjadi ‘arek surabaija’. Dua anaknya mengikuti bidang keahlian ayahnya sebagai dokter. Anaknya yang pertama menjadi professor di FKUI, anak yang kedua menjadi dokter militer dengan pangkat letkol.
Pada bulan Agustus 1945 Hiroshima dan Nagasaki di bom, kemudian Jepang menyerah kepada sekutu. Pada saat tersebut Indonesia juga memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Takahashi Ichiro kemudian menyerahkan sepenuhnya kepala pemerintahan Kota Surabaya kepada wakilnya, Radjamin Nasution. Fungsi pemerintahan kota ini dijalankan oleh Radjamin. Terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 itu, Radjamin Nasution Pontas ditetapkan Pemerintah RI di Jakarta (nama Batavia hilang) sebagai Walikota Surabaya.Radjamin hingga akhir hayatnya tinggal di Surabaija dan telah menjadi ‘arek surabaija’. Dua anaknya mengikuti bidang keahlian ayahnya sebagai dokter. Anaknya yang pertama menjadi professor di FKUI, anak yang kedua menjadi dokter militer dengan pangkat letkol.
***
Setelah
Radjamin Nasoetion, sejumlah mahasiswa asal Padang Sidempoean di STOVIA antara lain Gindo
Siregar (1922-); Aminoedin Pohan (1919-); Diapari Siregar (1921-); Moerad
Loebis (1920-); Amir Hoesin (1918-); Soleiman Siregar; Amijn Pane (1924-), Daliloeddin Lubis (1923-), Amir
dan Moenir Nasoetion bersaudara. Namun diantara mereka hanya Diapari Siregar
dan Aminoedin Pohan yang melanjutkan
pendidikannya ke Negeri Belanda untuk memperoleh akte dokter spesialis. Amimoedin
Pohan sendiri memiliki riwayat yang sangat spesial, karena dialah satu-satunya
sarjana yang pernah pulang kampong.
Aminoedin Pohan dan Diapari
Siregar
Aminoedin
Pohan kelahiran Sipirok memulai pendidikan di HIS Padang Sidempuan dan kemudian
melanjutkan sekolah dan mendaftar di sekolah elit Wilhelmina School di Batavia
1916 lalu masuk STOVIA. Setelah lulus ia menjadi dokter pemerintah dan kemudian
studi ke Negeri Belanda dan mendapat akte dokter spesialis di Leiden 1931
dengan judul skripsi: ‘Abortus, voorkomen en behandeling’. Sepulang dari
Belanda Aminoedin mengundurkan diri dari pegawai pemerintah, tetapi kemudian
diusulkan oleh Abdul Rasjid (anggota Volksraads) dan bersaing dengan
dokter-dokter Belanda dan akhirnya yang dipromosikan Menteri Kesehatan ke
Padang Sidempuan adalah Amidoedin Pohan untuk menjabat sebagai Direktur
rumahsakit yang baru dibangun (1936). Setelah dua tahun menata rumah sakit
Padang Sidempuan Aminoedin Pohan dipindahkan ke Semarang dan penggantinya di Padang
Sidempuan adalah Dr. M.M. Hilfman. Pada tahun 1940, Aminoedin dipindahkan ke
Departemen Kesehatan di Batavia. Sedangkan Diapari Siregar mendapat akte dokter
spesialis di Leiden 1932. Setelah berhenti pegawai pemerintah, Diapari Siregar
pulang kampong tapi hanya sampai di Pematang Siantar. Diapari Siregar lebih
memilih membuka prakter dokter swasta di Pematang Siantar.
***
Pada
tahun 1924 siswa yang diterima di STOVIA haruslah lulusan MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs). Selanjutnya pada tahun 1927 STOVIA berganti nama menjadi Geneeskundige
Hoogeschool ((Sekolah Tinggi Kedokteran. Pada tahun 1934 siswa yang diterima
haruslah lulusan AMS (Sekolah Lanjutan Atas) atau HBS (Sekolah Menengah
Belanda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar