Selasa, Juni 04, 2024

Sejarah Dolok Malea (18): Gunung Tua di Padang Lawas, Gunung Tua di Mandailing; Nama Huta Siantar dan Pematang Siantar


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dolok Malea di blog ini Klik Disini

Nama kampong Gunung Tuas elain di Mandailing, juga ada nama kampong di Padang Lawas. Nama Gunung Tua mirip bahasa Melayu juga ada nama kampong di Jawa tepatnya di Subang. Nama Huta Siantar di Mandailing, juga ada nama kampong di Simalungun yakni Pematang Siantar. Di wilayah Simalungun juga ditemukan nama gununga Malela (mirip Dolok Malea).

 

Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal terdiri kelurahan Dalan Lidang, Kayu Jati, Kota Siantar, Panyabungan I, Panyabungan II, Panyabungan III, Pasar Hilir, Pidoli Dolok, Sipolu-Polu dan desa-desa Adian Jior, Aek Banir, Aek Mata, Darussalam, Gunung Barani, Gunung Manaon, Gunung Tua Jae, Gunung Tua Julu, Gunung Tua Tonga, Huta Lombang Lubis, Ipar Bondar, Kampung Padang, Lumban Pasir, Manyabar, Manyabar Jae, Pagaran Tonga, Panggorengan, Panyabungan Jae, Panyabungan Julu, Panyabungan Tonga, Perbangunan, Pidoli Lombang, Salam Bue, Sarak Matua, Sigalapang Julu, Sipapaga, Siobon Jae, Siobon Julu, Saba Jambu, Sopobatu. (Wikipedia)                                              

Lantas bagaimana sejarah nama Gunung Tua di Padang Lawas dan Gunung Tua di Mandailing? Seperti disebut di atas, nama Gunung Tua tidak hanya di Mandailing tetapi juga di Padang Lawas. Huta Siantar dan Pematang Siantar. Lalu bagaimana sejarah nama Gunung Tua di Padang Lawas dan Gunung Tua di Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Nama Gunung Tua di Padang Lawas dan Gunung Tua di Mandailing; Huta Siantar dan Pematang Siantar

Pada awal pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Angkola Mandailing, nama Jang Dipertoean Kota Siantar sangat penting. Mengapa? Yang jelas posisi penting itu sebagai suksesi dari tokoh Mandailing sebelumnya Radja Gadoembang (yang meninggal pada saat turut membantu militer Pemerintah Hindia Belanda dalam menaklukkan benteng Bondjol).


Dalam mengepung benteng Padri di Bondjol tahun 1837, pasukan pribumi dari Jawa dan Ambon serta Madoera turut membantu militer Pemerintah Hindia Belanda. Para hulubalang local juga disertakan yakni dari Mandailing yang dipimpin Radja Gadoembang dan para hulubalang dari Rao. Pada serangan terakhir yang dipimpin Letkol AV Michielsm benteng Bandjol dapat ditaklukan. Dalam fase inilah Radja Gadoembang terkena tembakan, yang kemudian meninggal. Para pengikut Padri yang melarikan diri ke Daloe-Daloe yang ditampung Toeankoe Tamboesai, militer Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk mengepung benteng Daloe-Daloe. Para hulubalang Mandailing dan Angkola dilibatkan yang dipimpin oleh Jang Dipertoean Kota Siantar. Benteng Daloe-Daloe berhasil ditaklukkan pada bulan Desember 1838. Peta 1847

Pasca perang Daloe-Daloe, Pemerintah Hindia Belanda membangun benteng pertahanan di Kota Siantar. Benteng yang diberi nama Fort Elout dibangun di suatu area antara kampong Kota Siantar dan kampong Goenoeng Toea (lihat Peta 1847). Benteng ini awalnya didirikan di sisi barat sungai Batang Gadis (Hoeta Bargot? Jang Dipertoean Kota Siantar memiliki pengaruh yang kuat di sisi timur gunung Dolok Malea (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 12-12-1863).


Nama Siantar juga ditemukan di wilayah pantai timur Sumatra (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 13-08-1864). Disebutkan delapan kerajaan yang memiliki perdagangan ke pantai timur, empat berada di dataran rendah yakni Tanah Djawa, Panei, Siantar dan Silau. Sementara di pegunungan adalah Baroesdjahai, Soeka-sembelang, Sabaja-lingga dan Raja Senembah. Peta 1838

Nama tempat dengan mengunakan nama Siantar adalah unik dan hanya ditemukan di dua tempat yakni di Mandailing sebagai Hoeta Siantar dan di pantai timur Sumatra (Simaloengoen). Hoeta Siantar adalah kampong yang terbilang sehat di lembah Mandailing, berbeda dengan wilayah Panjaboengan yang kurang sehat. Panjaboengan adalah pasar di wilayah.


Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-02-1867: ‘Paenjaboengan sudah lama dianggap sebagai tempat yang tidak sehat. Setiap pejabat yang akan ditempatkan ke sana selalu terdengar gentar. Tempatnya terletak di sebuah lembah, Tidak sedikit penyakit yang diderita warga Pasar disebabkan oleh kurangnya kualitas air mandi, sungai atau lahan tempat tinggal penduduk miskin Panjabocngan, mula-mula mengalir di bawah kandang kuda kotor dari Kotta Siautar atau melalui sawah. Menggali sumur tidak membantu; air yang dihasilkan di sana melalui sumur adalah air yang sedikit keruh. Hanya satu paal di utara Penjaboengan terdapat Goenoeng Toea, dimana terdapat sebuah sungai yang indah dan mengalir. Hampir di selatan Penjaboengan terletak Ptdoli, yang cuacanya cukup sehat, seperti di Goenocng Toea. Salah satu Asisten Residen sebelumnya pernah mengajukan usul kepada pengurus untuk memindahkan ibu kota ke Pidoli. Namun, usulannya tidak diterima. Mengapa? Karena di Penjaboengan sudah dibangun rumah asisten residen, yang tentunya tidak bisa dibongkar demi kesehatan petugas dan masyarakat’.Kantor Asisten Residen Angkola Mandailing di Panjaboengan, 1870.

Kampong Panjaboengan dipilih sebagai ibu kota bermula pada saat perang Padri mengepung benteng Daloe-Daloe di Panjaboengan dibangun benteng militer (kemudian disebut Fort Elout). Pasca perang, pada saat pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda (1840) dengan nama afdeeling Angkola Mandailing, pemerintah memilih ibu kota afdeeling di Panjaboengan (karena sudah ada benteng).


Pemerintah Hindia Belanda biasanya memilih ibu kota (biasanya dimulai dari benteng) tidak jauh dari kedudukan pemimpin local. Dalam hal ini pemimpin local (primus interpares) Mandailing berada di kampong Hoeta Siantar. Tentu saja militer Pemerintah Hindia Belanda (bagian zeni) memilih area ibu kota (benteng) di area yang sesuai untuk banyak aspek seperti komunikasi dengan pemimpin local, akses (mudah dijangkau dari berbagai arah wilayah) dan pertahanan. Hal itulah mengapa benteng di pilih di sisi utara sungai Aek Mata, yang berseberangan dengan kampong Panjaboengan (Djoeloe). Dalam hal ini kampong Hoeta Siantar, kampong Panjaboengan (Djoeloe) dan kampong Panjaboengan Djae sama-sama berada di sisi selatan sungai Aek Mata. Kampong Hoeta Siantar berada di arah hulu dan kampong Panjaboengan Djae berada di hilir kampong Panjaboengan (Djoeloe). Sungai Aek Mate bermuara di hilir kampong Panjaboengan Djae di sungai Batang Gadis (seberang kampong Hoeta Bargot; dimana awalnya benteng didirikan). Pemilihan area benteng di dekat kampong Panjaboengan juga menjadi tepat berada di antara kampong Goenoeng Toea di utara dan kampong Pidoli di selatan. Catatan: benteng Panjaboengan (Elout) awalnya di kampong Hoeta Bargot, yang mana hal serupa dan relative bersamaan benteng di Pidjor Koling di Padang Sidempoeang. Area benteng Padang Sidempoean (yang menjadi ibu kota onderafdeeling Angkola) dipilih di sisi sungai (Batang Ajoemi) yang mana letaknya dekat dengan primus interpares Patoean Radja Batoenadoea (di utara) dan strategis dengan Pidjor Koling di di timur, Sidangkal di selatan dan Hoetaimbaroedi barat. Peta: Panjaboengan, 1904

Dengan dijadikannya benteng fort Elout sebagai ibu kota afdeeling Angkola Mandailing di Panjaboengan, lalu pemerintah membangun pasar di seberang sungai di kanmpong Panjaboengan (tepat berada di empat akses penjuru angin). Benteng dan pasar inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kota Panajaboengan (yang sekarang). Sementara itu kampong Hoeta Siantar di arah timur kota tetap asri dan sehat (yang mana jalan akses ke kampong Goenoeng Baringi di hulu daerah aliran sungai Aek Pohon).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Huta Siantar dan Pematang Siantar: Gunung Malea di Mandailing Gunung Malela di Simalungun

Sebelum nama Panjaboengan popular di daerah aliran sungai Aek Mata di Mandailing, nama yang sudah terinformasikan lebih dahulu adalah kampong Hoeta Siantar dan kampong Goenoeng Toea. Mengapa? Boleh jadi kedua kampong ini diduga adalah kampong-kampong tua. Ini ditunjukkan bahwa pemimpin di Hoeta Siantar adalah primus interpares di lembah Mandailing. Dua kampong ini tepat berada di wilayah hulu dari lembah (yang dekat dengan pegunungan). Seperti nama (Hoeta) Siantar yang juga ditemukan di Simaloengoen, nama Goenoeng Toea juga ditemukan di wilayah Padang Lawas.


Nama Goenoeng Toea di Padang Lawas terinformasikan pada tahun 1845 (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1845). Disebutkan Goenoeng Toea dengan ketinggian 611 kaki (Boekit Simardona 1602; Boekit Sipalpal 1557, Soenggam 351 dan Portibi 219 kaki. Laporan ini dibuat oleh Jung Huhn. Sebagaimana diketahui bersamaan dengan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Angkola Mandailing (suatu afdeeling tahun 1840), Gubernur Jenderal mengirim ahli geologi dan botani Jung Hihn ke Tanah Batak dalam pemetaan. Jung Huhn sempat difungsikan sebagai perwakilan pemerintah di Padang Lawas dengan kedudukan di Goenoeng Toea (1841-1843). Foto: Panjaboengan, 1896

Lantas bagaimana nama Siantar ada di Mandailing juga ada di Simaloengoen, nama Goenoeng Toea di Mandailing dan nama Goenoeng Toea di Padang Lawas. Satu yang penting lainnya adalah bagaimana ada nama gunung Dolok Malea (di perbatasan Mandailing/Padang Lawas) juga ada nama gunung Dolok Malela di Simaloengoen; dan gunung Loeboek Raja di Angkola dan nama gunung Dolok Raja di Simaloengoen?


Kampong Hoeta Siantar di lembah Mandailing merupakan akses satu-satunya ke wilayah Padang Lawas. Akses ini melalui kampong Goenoeng Baringin sepanjang daerah aliran sungai Aek Pohon. Lalu dari kampong Pagoer ke kampong Tapian Nabara lalu dengan menyeberangi sungai Batang Loeboe dan sungai Soetam terus ke kampong Hoeta Nopan dan kampong Mondang di wilayah Sosa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar: