*Untuk melihat semua artikel Sejarah Muara Takus di blog ini Klik Disini
Gunung Sahilan adalah nama desa, nama kecamatan di Kabupaten Kampar, Riau. Kota ini
berada di daerah aliran sungai Kampar Kiri. Salah satu cabang sungai di wilayah
hulu sungai Kampar adalah sungai Singingi. Hulu sungai Singingi dekat dengan
daerah aliran sungai Koeantan. Kini kedua nama ditabalkan sebagai nama
kabupaten di provinsi Riau (kabupaten Kuantan Singingi). Sungai Koeantan
berhulu di Pagaroejoeng (disebut sungai Selo) dan di hilir sungai Kuantan disebut
sungai Indragiri.
Kecamatan Gunung Sahilan terdiri dari desa-desa Gunung Mulya, Gunung Sahilan, Gunung Sari, Kebun Durian, Makmur Sejahtera, Sahilan Darussalam, Subarak, Suka Makmur dan Sungai Lipai Do. Kabupaten Kuantan Singingi pemekaran kabupaten Indragiri Hulu (ibukota Teluk Kuantan) terdiri dari kecamatan-kecamatan Benai, Cerenti, Gunung Toar, Inuman, Hulu Kuantan, Kuantan Hilir, Kuantan Hilir Seberang, Kuantan Mudik, Kuantan Tengah, Logas Tanah Darat, Pangean, Pucuk Rantau, Sentajo Raya, Singingi, Singingi Hilir. Kabupaten Kuantan Singingi terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi kira kira 400 m di atas permukaan laut. Dataran tinggi berbukit mencapai ketinggian 400–800 m di atas permukaan laut dan merupakan bagian dari jajaran Bukit Barisan. Terdapat dua sungai besar yang melintasi wilayah Kabupaten Kuantan Singingi yaitu Sungai Kuantan dan Sungai Singingi. Daerah aliran sungai Kuantan melalui 9 kecamatan yaitu Hulu Kuantan, Kuantan Mudik, Gunung Toar, Kuantan Tengah, Benai, Pangean, Kuantan Hilir, Inuman dan Cerenti. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Gunung Sahilan dan sungai Singingi hulu sungai Kampar? Seperti disebut di atas Gunung Sahilan adalah nama desa dan nama kecamatan di daerah aliran sungai Kampar dan sungai Singingi dekat dengan sungai Kuantan (hulu sungai Indragiri). Lalu bagaimana sejarah Gunung Sahilan dan sungai Singingi hulu sungai Kampar? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Gunung Sahilan dan Sungai Singingi di Sungai Kampar; Sungai Batang Kuantan dan Hulu Sungai Indragiri
Setua apa nama Gunung Sahilan? Apakah nama Sahilan benar-benar suatu gunung. Tidak jauh dari Gunung Sahilan berada kampong Lipat Kain. Seberapa tua nama Lipat Kain? Kedua kampong itu sama-sama berada di daerah aliran sungai Kampar Kiri. Mengapa kampong Lipat kain di arah hulu sungai berada di sisi utara sungai, sedangkan kampong Goenoeng Sahilan berada di sisi selatan sungai?
Dalam menulis ini saya
teringat tahun 1989. Saat itu saya sedang melakukan survei social ekonomi dalam
hubungannya dengan studi kelayakan proyek pembangunan perkebunan (estate). Ada
beberapa kecamatan yang menjadi wilayah survei. Saat saya berada di LIpat Kain
(kos di rumah penduduk) saya juga melakukan kunjungan ke desa Gunung Sahilan.
Desa terjauh yang saya kunjungi adalah kampong/desa Domo (Kecamatan Kampar Kiri,
Kabupaten Kampar). Untuk mencapai desa ini saya harus menyeberangi sungai
Sibayang dengan sampan. Saat itu sungai lagi banjir dengan ada peningkatan arus
sungai. Seingat saya dari pangkalan sampan dikayuh dahulu di sisi pinggir
sungai ke arah hulu beberapa puluh meter lalu kemudian berbelok memasuki tengah
sungai hingga bersandar di tepian pangkalan seberangnya. Lalu naik ojek hingga ke
desa Domo termasuk ke dusun terjauh desa itu. Salah satu hal didata setiap desa
adalah statistic pendduduk dalam kerangka untuk melakukan estimasi potensi tenaga
kerja (beberapa kecamatan). Saya masih ingat bagaimana sejarah nama Domo
menurut cerita kepala desa hubungan wilayahnya dengan (kerajaan) Pagaroejoeng.
Sudah barang tentu posisi GPS suatu kampong penting dalam hubungannya dengan sejarah (masa lampau). Nama Lipat Kain sendiri sudah disebut Thomas Dias pada tahun 1682. Saat itu Thomas Dias melakukan ekspedisi dari Patapahan (di sungai Tapung Kanan/hulu sungai Siak) ke ibu kota Pagaroejoeng melalui kampong Air Tiris. Dalam perjlanan pulang, Thomas Dias juga melalui Lipat Kain sebelum ke Air Tiris/Patapahan.
Mengapa Thomas Dias dari
Lipan Kain terus ke kota Pekanbaru yang sekarang? Tentu saja kampong Pekan Baroe
saat itu belum ada. Pada tahun 1864 kampong Pekan Baroe baru memiliki populasi
sebanyak 60 tempat tinggal. Tentu saja selang waktu dua abad banyak yang berubah
di daerah aliran sungai Siak dan sungai Kampar Kiri dan sungai Kampar Kanan.
Lalu bagaimana dengan nama kampong Goenoeng Sahilan?
Kampong Lipat Kain saat Thomas Dias memiliki populasi sekitar 100 jiwa. Thomas Dias tidak menyebut nama Goenoeng Sahilan. Boleh jadi rute yang digunakannya tidak menyeberang sungai Kampar Kiri. Thomas menyebu setelah dari kota Oejom Boket (Ujung Bukit?) ke kota Damo (Domo?) dan selanjutnya ke kota Sava. Setelah itu ke kota Cuncto (Kuntu?) dan kota Lagumo dan seterusnya ke Liepa Kain (Lipat Kain). Setelah itu kota Padang dan selanjutnya ke Air Tiris. Seperti disebut di atas cerita kepala kampong Domo sangat masuk akal, fakta bahwa kampong/kota Domo sudah eksis sejak era Pagaroejoeng.
Thomas Dias
dari kampong Ujung Bukit (sisi timur sungai) terus ke Domo (sisi timur sungai)
dan terus ke Kuntu (sisi timur sungai) yang selanjutnya ke Lipat Kain. Thomas
Dias tampaknya menyeberangi sungai Silajang di Koentoe dengan sampan (sementara
saya menyeberangi sungai yang sama dengan sampan di kampong Domo). Catatan:
pada masa ini sudah ada jembatan di Kuntu. Bagaimana dengan di Domo saat ini?
Sungai Silajang bermuara di sungai Kampar Kiri di pebatasan kampong Lipat Kain. Seperti disebut di atas kampong Lipan Kain berada di sisi barat Sungai Kampar Kiri (yang mana di arah hulu sungai Silajang bermuara). Sebaliknya di hilir kampong Lipat Kain dimana kampong Goenoeng Sahilan berada di sisi timur sungai Kampar Kiri.
Pada masa Thomas Dias, dari kampong
Lipat Kain ke kampong Goenoeng Sahilan hanya dapat dicapai dengan menggunakan
sampan/perahu. Namun dalam perkembangan, seiring dengan kampong Pekan Baroe
menjadi pusat perdagangan yang penting, terbentuk jalan darat dari Lipat Kain
ke Pekan Baroe. Tidak jauh dari Lipat Kain harus menyeberangi sungai Batang
Lipai. Sungai Lipai berhulu di wilayah kota/kampong Padang dan bermuara di
sungai Kampar Kiri di kampong Goeneng Sahilan. Pada tempat yang mana jalan
memotong singai Batang Lipai (yang kemudian terbentuk kampong Kebon Durian) terbentuk
jalan ke kampong Goenoeng Sahilan sepanjang sisi selatan sungai Batang Lipai.
Kembali ke pertanyaan awal. Mengapa kampong Lipat Kain di sisi barat sungai sementara kampong Goenoeng Sahilan berada di sisi timur sungau Kampar Kiri? Kampong Lipat Kain memiliki elevasi 18 M dpl, sementara kampong Goenoeng Sahilan di hilir pada elevasi 19 M dpl. Peratanyaan selanjutnya mengapa kampong Goenoeng Sahilan yang berada di hilir kampong Lipat Kain memiliki elevasi lebih tinggi? Dalam hal inilah penting memahami posisi GPS kampong tempo doeloe dalam sejarah Goenoeng Sahilan (dan Lipat Kain) di daerah aliran sungai Kampar Kiri.
Di seberang kampong Lipat
Kain di sisi lain sungai Kampar Kiri memiliki elevasi 13 M dpl, sementara di
seberang sungai yang sama di kampong Goenoeng Sahilan dengan ketinggian 15 M
dpl. Dalam hal ini dapat dipasangkan: ketinggian kampong Lipat Kain (18 vs 13)
dan kampong Goenoeng Sahilan (19 vs 15). Sisi yang berseberangan antara kampong
Lipan Kain dan kampong Goenoeng Sahilan sebenarnya menggambarkan suatu lembah
dimana sungai Kampar Kiri mengalir dan sungai Batang Lipai bermuara di kampong
Goenoeng Sahilan.
Wilayah Goenoeng Sahilan ketinggian rata-rata adalah 61 M dpl dengan titik tertinggi pada elevasi 89 M dpl. Meski dapat dianggap perbukitan sangat rendah, lalu apakah itu yang menyebabkan kampong Sahilan disebut kampong Goenoeng Sahilan? Yang jelas di belakang kampong Lipat Kain ke sebelah barat memiliki elevasi 260 M dpl. Artinya perbukitan Goenoeng Sahilan sangat rendah dibandingkan perbukitan Lipat Kain. Lantas apakah dulunya lembah antara Lipat Kain dan Goenoeng Sahilan adalah suatu wilayah perairan/teluk?
Sungai Kampar Kiri tidak jauh dari kampong Goenoeng Sahilan ketinggian kedua sisi sungai drastic menurun mulai dari 10 Mdi dan terus turun menjadi 7 M dpl di kampong Rantai Kasik dan kampong Mentulik (6 M dpl). Seperti kita lihat nanti, di arah hilir sungai Kampar Kiri bertemu dengan sungai Kampar Kanan (di Langgam) dengan elevasi antara 6 ke 5M dpl (ketinggian yang sama dengan kampong Pekan Baroe).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sungai Batang Kuantan dan Hulu Sungai Indragiri: Kerajaan Pagaroejoeng Tempo Doeloe
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar