Minggu, Juni 16, 2024

Sejarah Muara Takus (11):Jalan Darat Tempo Dulu di Wilayah Pedalaman; Jalan Tol Ruas Bangkinang dan Pangkalan Baru Masa Kini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Muara Takus di blog ini Klik Disini

Apakah ada sejarah jalan? Tampaknya kurang mendapat perhatian. Dalam sejarah nusantara, khususnya di pulau Sumatra, yang pertama dicatat adalah jalan air melalui laut/pesisir dan sungai. Meski sangat minim data, jalan darat dapat ditelusuri secara geomorfologis. Jalan darat jaman kuno (jalan tradisi) ini terhubung dengan sungai atau pantai. Tempo doeloe candi Muara Takus hanya bisa dilihat dari perahu di sungai, kini candi dapat dilihat dari atas jalan tol.


Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsum) jalan raya/jalan nasional di pulau Sumatra. Berdasarkan rute berdasarkan letaknya di Pulau Sumatra, terdapat 3 rute utama yaitu Jalan Raya Lintas Timur, Jalan Raya Lintas Tengah, dan Jalan Raya Lintas Barat. Kota-kota yang dilintasi Jalan Raya Lintas Timur: Sumatera Utara: Tebing Tinggi, Indrapura, Lima Puluh, Kisaran, Aek Kanopan, Rantau Prapat, Kota Pinang, Cikampak. Riau: Balam, Banjar 12, Ujung Tanjung, Duri, Kandis, Minas, Pekanbaru, Bandar Sei Kijang, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Kuras, Pangkalan Lesung, Sorek Satu, Sorek Dua, Ukui, Lirik, Pematang Reba, Belilas, Seberida, Keritang dan Selensen. Jambi: Merlung, Sengeti, Kota Jambi, Tempino. Kota-kota yang dilintasi Jalan Raya Lintas Tengah: Sumatera Utara: Tebing Tinggi, Pematang Raya, Pematang Siantar, Parapat, Porsea, Balige, Siborong-borong, Tarutung, Sipirok, Padang Sidempuan, Sibuhuan, Panyabungan, Kota Nopan, Muara Sipongi. Sumatera Barat: Lubuk Sikaping, Bonjol, Bukittinggi, Padang Panjang, Solok, Sawahlunto, Kiliran Jao, Sungai Dareh. Jambi: Muara Bungo, Bangko, Pamenang Barat, Pamenang, Sarolangun. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah jalan darat rempo doeloe di wilayah pedalaman? Seperti disebut di atas catatan pertama hanya tentang jalan air (navigasi) tetapi juga dapat ditelusuri jalan darat yang dimulai di pedalaman. Jalan tol ruas Bangkinang dan Pangkalan Baru masa kini. Lalu bagaimana sejarah jalan darat rempo doeloe di wilayah pedalaman? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Jalan Darat Tempo Doeloe di Wilayah Pedalaman; Jalan Tol Ruas Bangkinang dan Pangkalan Baru Masa Kini

Pada masa ini dimana jalan tol dibangun di (pulau) Sumatra pada dasarnya diprioritaskan di (jalur) pantai timur Sumatra (garis merah dalam peta). Mengapa? Untuk pembangunan jalan tol prioritas kedua terdapat di tiga wilayah: Pelembang-Bengkulu; Pekanbaru-Padang; dan Tebingtinggi-Sibolga. Namun di masa lampau, pembangunan jalan (khususnya pada era Pemerintah Hindia Belanda) mengikuti jalan tradisi.


Dalam sejarah pembangunan jalan di pulau Sumatra, sejatinya permulaan tidak sama dengan sebangun dengan jalur dimana jalan tol diletakkan. Jalan tol adalah era masa kini, sedangkan jalan non-tol dibangun sedari dulu bersifat random. Pembangunan jalan pertama adalah ruas Padang ke Sibolga melalui Fort de Kock (Bukittinggi), Rao, Panjaboengan dan Padang Sidempoean. Sebaliknya di jalur jalan tol yang sekarang pembangunan jalan raya justru terjadi belakangan. Pembangunan jalan ruas Padang-Sibolga tidak sepenuhnya mengikuti jalan terdahulu atau jalan tradisi (jalan yang sudah terbentuk sejak zaman kuno).

Jalan tradisi adalah jalan yang dilalui dari waktu ke waktu berupa jalan setapak, jalan yang juga dapat dilalui oleh kuda. Oleh karena itu, jalan mengikuti wilayah darat/kering meskipun jaraknya lebih jauh dan harus mendaki/menuruni bukit (pegunungan). Jalan tradisi terbentuk secara alamiah.


Jalan tradisi karena sifat alamiahnya, umumnya terbentuk di wilayah pedalaman/pegunungan. Jalan tradisi menjadi arah lalu lintas orang dan barang. Di wilayah dataran rendah yang basah dan pesisir pantai (rawa-rawa/perairan) umumnya lalu lintas orang/barang melalui sungai/laut menggunakan angkutan sampan, perahu atau kapal. Dua fungsi lalu lintas tersebut (moda transportasi darat dan air) saling terintegrasi satu sama lain. Orang asing memasuki wilayah pedalaman dari pantai melalui jalan sungai atau teluk.

Peta detail pulau Sumatra belum lama dibuat. Itu dibuat pada era Pemerintah Hindia Belanda oleh dinas topografi. Peta detail pertama di Sumatra diterbitkan pada tahun 1852 yang meliputi wilayah Residentie Padangsch dan residentie Tapanoeli. Mengapa? Tentu saja peta semacam ini sudah lebih dahulu dilakukan di Jawa di era Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811).


Untuk peta laut sejatinya baru dimulai pada tahun 1850an yang dilakukan oleh angkatan laut Hindia Belanda. Peta laut ini tidak hanya telah mengidentifikasi pulau-pulau kecil, juga telah mengidentifikasi tanjung dan teluk serta kedalaman laut. Peta ini menjadi penting dalam pembangunan mercusuar. Peta laut juga sudah dilakukan sejak awal era VOC/Belanda untuk wilayah laut dimana terdapat jalur kapal perdagangan VOC, namun yang memiliki presisi baru sebatas kedalaman laut.    

Dalam peta detail tahun 1852 di wilayah Padangsch dan Tapanoeli diidentifikasi jalan darat dari kota Padang ke berbagai tempat, termasuk jalan lintas ke wilayah Tapanoeli hingga ke Sibolga. Jalam yang diidentifikasi dari Padang melalui Pariaman, Padang Pandjang, Fort de Kock, Bondjol, Loeboek Sikaping, Batoe Bedindit, Loeander (Panti), Rao, Pinyonge, Botoeng, Kotanopan, Maga, Panjaboengan, Siaboe, Sajoer Matinggi, Tolang, Pidjor Koling, Padang Sidempoean, Tobing, Hoeraba, Tapolong. Sipoeltak, Aek Badiri, Siboeloean dan Sibolga. Dari Padang ada juga jalan ke Solok dan ke Pagaroejoeng/Fort van der Capellen melalui Singkarak, Samawang dan Soeroaso; dari Fort de Kock ke Pajacombo yang mana diantarnya ada jalan ke Fort vann der Capellen. Juga ada jalan dari Pariaman melalui Loeboek Basoeng melalui Matoea ke Fort de Kock. Ruas lainnya adalah dari Air Bangie ke Moera Kiawai; dan dari Natal ke Tapoes lalu ke Moeara Parlampoengan dan Air Namale serta Tanobato terus ke Panjaboengan.


Pada peta Sumatra tahun 1825 identifikasi jalan hanya terdapat di beberapa ruas dan terbatas. Memang peta jalan pada pet aini tidak memiliki presisi, tetapi hanya mengindikasikan adanya suatu jalan dari satu tempat ke tempat lain. Dalam peta ini jalan yang dimaksud, dan satu-satunya adalah ruas jalan darat dari Loemoet ke Hoeta Lamboeng, Hoetarimbaroe, Simasom, Hoeta Morang (di wilayah Angkola) hingga ke Batang Onang dan Pangkal Dolok (di wilayah Padang Lawas). Mengapa baru hanya jalur ini yang telah teridentifikasi dalam peta Sumatra? Besar dugaan karena itu yang terinformasikan pertama. Pada tahun 1772 Charles Millier seorang Inggris melakukan ekspedisi ke padalaman Sumatra. Charles Miller adalah orang Eropa pertama yang memasuki pedalaman Sumatra melalui jalan darat. Rute yang dilalui dan dilaporkan oleh Charles Miller bersesuain dengan yang diidentifikasi dalam Peta 1825. Catatan: orang Eropa pertama memasuki pedalaman Sumatra adalah Thomas Dias dari Siak ke Pagaroejoeng pada tahun 1682.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Jalan Tol Ruas Bangkinang dan Pangkalan Baru Masa Kini: Dari Jalan Setapak hingga Jalan Tol

Candi Muara Takus berada di hulu daerah aliran sungai Kampar, di suatu lembah sempit dengan elevasi rata-rata 73 M dpl. Candi dibangun di sisi selatan sungai. Pada sisi selatan sungai inilah terbentuk jalan darat. Di sisi utara sungai di kampong Kota Toea dan juga kampong Batoe Besorat ada jalan ke arah utara ke Rokan.


Seperti disebut di atas, sejatinya sejak dari doeloe moda transportasi darat teringrasi dengan moda transportasi air. Namun integrasi ini hanya terjadi dimana sungai dapat dinavigasi yang umumnya berada jauh di pedalaman. Dalam hal ini tidak hanya pertemuan dua sisi wilayah geografis yang berbeda, juga menjadi wilayah terjadinya interaksi orang dan barang dari populasi penduduk pedalaman dan orang asing yang datang dari wilayah pantai/lautan. Dalam konteks inilah penting untuk memahami keberadaan candi dan mengapa candi dibangun di area tersebut.

Jalan sisi sisi selatan sungai di arah hilir di kampong Moeara Mahit jalan bergeser sisi utara sungai di kampong Kota Pandjang. Mengapa? Hal iti jalan yang terbentu bergeser mengikuti posisi kampong-kampong di sekitar sungai. Sudah barang tentu pergeseran jalan ini dari sisi selatan ke utara dibangun jembatan penghubung berupa jembatan suspensi (rambin) tepat berada di lebar sungai tersempit. Posisi jalan bergeser lagi dari utara ke selatan sungai di kampong Rantaoe Barangan hingga kampong Koeok.


Pada masa ini sungai Kampar Kanan dibendung untuk membangun waduk. Bendungaan ini berada di kampong Kota Pandjang (antara kampong Moeara Mahit dan kampong Rantaoe Barangan). Pembendungan ini menyebabkan ketinggian permukaan sungai meninggi hingga menggenangi sungai Kampar hingga ke kampong Moera Takoes (dekat candi). Genangan ini juga meliputi daerah aliran sungai Mahit). Dalam hal ini area kampong Batoe Basoerat dan area kampong Kota Toea tempo doeloe kini telah turut terbenam (tamat). Namun jalan yang sudah terbentuk sedari doeloe baik di selatan atau utara sungai tetap lestari.

Wilayah candi Moeara Takoes secara geografis tidak hanya terhubung melalui sungai ke arah timur (Bangkinan dan Taratak Boeloeh), juga terhubung dengan jalan darat, yakni: jalan darat dari Kampong Moeara Takoes dan kampong Batoe Besoerat ke arah utara di Rokan dan Padang Lawas; jalan darat dari kampong Koeok ke arah selatan ke Kota Padang dan Koentoe (perbatasan wilayah Pagaroejoen).


Keberadaan candi di wilayah Moera Takoes menjadi penting untuk memahami sejarah jalan di masa lampau. Hal ini karena secara teoritis bukti sejarah yang ada di wilayah yang sulit berubah adalah topografi, aliran sungai dan bangunan candi itu sendiri. Sebagaimana diketahui candi Moera Takoes adalah candi tua yang dibangun di masa lampau. Lalu dengan demikian akan memudahkan kemudian untuk dapat memahami tentang terbentuknya kampong dan jalan.

Lantas mengapa candi Moera Takoes dibangun di sisi selatan sungai Kampar Kanan? Yang jelas area kampong Batoe Besoerat dan kampong Kota Toea berada di sisi utara sungai (dua kampong yang terhubung dengan jalan darat ke utara di Rokan/Padang Lawas). Sementara di sisi selatan sungai tidak ada jalan terhubung ke selatan, kecuali di Koeok. Apakah ini ada hubungannya dengan serangan Chola pada abad ke-11?


Prasasti Tanjore (1030) yang mengindikasikan serangan Chola ke Sumatra tahun 1025 adalah catatan yang dapat dianggap pasti. Namun kapan candi dibangun tidak pernah diketahui secara pasti, apakah sebelum atau sesudah itu. Oleh karena itu sulit dipahami relasi kebedaan candi Moeara Takoes dengan serangan Chola. Satu yang pasti adalah bahwa letak candi Moera Takoes cukup dekat (ada jalan darat) dengan candi-candi di Padang Lawas. Sementara di arah selatan tidak ditemukan peninggalan/situs candi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: