Minggu, Juni 23, 2024

Sejarah Lubuk Raya (4): Nama Lumut dan Jago Jago, Pelabuhan Tempo Dulu di Daerah Aliran Sungai Lumut; Tentang Danau Pandan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lubuk Raya di blog ini Klik Disini

Lumut adalah nama lama, yang namanya menjadi nama sungai. Kampong Lumut pernah menjadi pelabuhan wilayah Angkola sebelum relokasi ke Jaga-jaga. Kini di daerah aliran sungai Lumut terbentuk kecamatan Lumut dan kecamatan Sibabangun di hulu serta di hilir kecamatan Pinang Sori dan kecamatan Badiri. Bagaimana dengan wilayah kecamatan Sukabangun? Yang jelas ada danau Pandan di kecamatan Pinangsori.


Lumut adalah sebuah kecamatan di kabupaten Tapanuli Tengah ibu kota di kelurahan Lumut. Kecamatan Lumut terdiri kelurahan Lumut dan desa-desa Aek Gambir, Lumut Maju, Lumut Nauli, Masundung, Sialogo. Kecamatan Pinangsori ibu kota di kelurahan Pinangsori. Kecamatan Pinangsori terdiri dari kelurahan Albion Prancis, Pinang Baru, Pinangsori, Sitonong Bangun, Sori Nauli dan desa-desa Danau Pandan, Gunung Marijo, Parjalihotan Baru, Sihaporas, Toga Basir. Kecamatan Badiri ibu kota di desa Lopian. Kecamatan Badiri terdiri kelurahan Huta Balang, Lopian dan desa-desa Aek Horsik, Gunung Kulambu, Jago Jago, Kebun Pisang, Lubuk Ampolu, Pagaran Honas, Sitardas. Kecamatan Sibabangun dengan ibu kota di kelurahan Sibabangun. Desa-desa lainnya adalah Anggoli, Hutagurgurm Mombang Boru, Muara Sibuntuon, Sibio-bio, Simanosor. Kecamatan Sukabangun ibu kota di desa Pulo Pakkat. Kecamatan terdiri dari desa-desa Janji Maria, Pulo Pakkat I, Pulo Pakkat II, Sihadatuon, Sihapas dan Tebing Tinggi (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah nama Lumut dan Jago Jago, pelabuhan tempo doeloe di daerah aliran sungai Lumut? Seperti disebut di atas kampong Lumut adalah pelabuhan di hulu sungai Lumut. Bagaimana dengan danau Pandan. Lalu bagaimana sejarah nama Lumut dan Jago Jago, pelabuhan tempo doeloe di daerah aliran sungai Lumut? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Nama Lumut dan Jago Jago, Pelabuhan Tempo Doeloe di Daerah Aliran Sungai Lumut; Tentang Danau Pandan

Sungai Batang Toru adalah sungai besar bermuara di pantai barat Sumatra di wilayah Angkola (dekat dengan gunung Lubuk Raya). Sungai-sungai lainnya yang berdekatan adalah sungai Sangkunur di timur dan sungai Lumut di barat (melalui kampong Lumut). Sungai Aek Pinangsori mengalir melalui kampong Pinangsori yang kemudian bermuara di sungai Aek Lumut.


Nama-nama yang sudah eksis jaman kuno antara lain Angkola, Barus, Hapesong dan Sangkunur. Pelabuhan penduduk Angkola awalnya di Hapesong/Sangkunur dan dengan moda transportasi air/laut ke Barus, Namun karena dalam perkembangannya terjadi proses sedimentasi di muara sungai Batang Toru dan muara sungai Sangkilon, lalu pelabuhan dari Sangkunur relokasi ke Lumut melalui Hapesong dengan membangun jembatan di atas sungai Batang Toru. Dari Lumut dapat dilakukan melalui sungai Lumut ke laut dan melalui jalan darat ke Baroes. Pada awal Pemerintah Hindia Belanda, kampong Loemoet masih menjadi pelabuhan wilayah Angkola (Afdeeling Angkola Mandailing). Sehubungan dengan dibentuknya residentie Tapanoeli dengan ibu kota di Sibolga, afdeeling Sibolga en Onderh, ditambahkan dengan mengurangi bagian barat wilayah (onderafdeeling Angkola). Namun kemudian wilayah distrik Batangtoru dikembalikan ke wilayah Angkola (wilayah Aek Loemoet, Aek Pinangsori dan Aek Badiri tetap di afdeeling Sibolga en Onderh. hingga sekarang).

Jalan darat antara Angkola dan Barus sudah terbentuk sejak jaman kuno. Jalan darat di daerah kering di sepanjang sisi pantai barat Sumatra. Tentu saja kampong Sibolga belum terbentuk. Mengapa? Jarak tempuh dari Angkola ke Baroes dengan jalan kaki sekitar 10 hari perjalanan. Kampong Tapian Na Uli tampaknya sudah terbentuk (di sisi barat laut teluk). Jalan darat inilah yang menjadi predecessor (pendahulu) jalan darat yang sekarang antara Padang Sidempoean dan Baroes.


Di sepanjang jalan darat jaman kuno antara Angkola dan Barus ini dilintasi oleh sungai Batang Toru, sungai Lumut, sungai Pinangsori dan sungai Aek Badiri. Di perpotongan sungai dan jalan inilah terbentuk kampong Batang Toru, kampong Loemoet, kampong Pinangsori dan kampong Parbiraan (di daerah aliran sungai Aek Badiri). Di sisi barat jalan darat ini adalah wilayah perairan/laut danm sisi timur adalah darata yang semakin tinggi ke arah pedalaman. Tambahan: diantara kampong Batang Toru dan Loemoet terdapat kampong Anggoli dan kampong Garoga (di daerah aliran sungai Aek Garoga).

Kampong Loemoet berada diantara sisi timur sungai Aek Loemoet dengan sisi barat lereng bukit Dolok Sidjodjang (116 M dpl) yang mana di timur kampong Anggoli (99 M) dan di barat laut Pinang Sori (63 M) serta Parbiraan di barat laut dengan elevasi 44 M dpl. Sungai Aek Loemoet yang melintasi kampong Loemoet berhulu di gunung Dolok Salean (997). Di sisi timur gunung juga menjadi hulu dari Aek Garoga. Sungai Aek Loemoet kemudian mengalir ke arah barat laut di kampong Jaga-jaga.


Seperti disebut di atas, sungai Aek Pinangsori (yang dihilir disebut sungai Aek Tapoes) bermuara ke sungai Aek Loemoet. Selepas muara Aek Tapoes tersebut daerah aliran sungai Aek Loemoet berawa-rawa, tidak hanya ke hilir di barat daya hingga laut di Jaga-jaga tetapi juga ke utara ke garis jalan darat dan juga ke selatan garis pantai dan daerah aliran sungai Batang Toroe. Diantara rawa-rawa yang luas ini (diduga dulunya adalah perairan/laut) terdapat sejumlah daratan yang diduga dulunya adalah pulau-pulau. Daratan tersebut adalah bukit-bukit di sebelah barat daya garis jalan (dari Loemoet, Pinangsori dan Parbiraan) yakni: Dolok Patoean (381 M) yang menjadi satu kesatuan perbukitan dengan Dolok Si Marlean di tenggaranya (dimana sungai Batang Toru mengalir) dan Dolok Aek Pandan (215 M) di barat laut; di sebelah barat Dolok Si Marlelan adalah Dolok Taroetoeng Bolak (222 M) yang mana di selatannya mengalir sungai Batang Toru; di sebelah selatan hilir sungai Aek Loemoet (Jaga-jaga) adalah satu kesatuan daratan Dolok Kaboen (320 M) yang berbatasan laut dan Dolok Bonggal (315 M); Di sebelah barat Dolok Kaboen dan Dolok Bonggal adalah Dolok Djambak Toba (418 M); di sebelah selatan danau Pandan adalah Dolok Sitardas (237 M); di sebelah selatan daratan Dolok Dhambak dan Dolok Sitardas, suatu daratan yang menjadi satu kesatuam yang sejajar dengan garis pantai adalah Dolok Batoe Miting (273 M) yang paling barat dan yang kea rah timurnya adalah Dolok Boeloe (285 M); Dolok Gindoeang (361 M); Dolok Pantjang Sitardas (358 M), Dolok Sihapas (331 M) dan Tor Bolasan (261) yang mana sungai Batang Toru mengalir.

Secara geomotfologis di selatan garis jalan yakni hilir daerah aliran sungai Aek Loemoet (mengarah ke barat laut dan hingga garis pantai di selatan awalnya adalah suatu perairan/laut dimana diantaranya terdapat pulau-pulau. Salah satu yang pentingc dalam hal ini di Kawasan adalah keberadaan danau Pandan yang berada di lereng selatan Dolok Aek Pandan (215 M).


Secara geomorfologis, terbentuknya danau Pandan mengindikasikan danau ini awalnya merupakan bagian dari perairan/laut. Perairan danau ini sekan terjebak dalam proses sedimentasi jangka panjang. Peraian danau ini tetap eksis diduga karena menjadi wilayah tangkapan air dari sungai-sungai kecil yang berada di Dolok Aek Pandan dan Dolok Aek Pandan. Aliran sungai dari danau yang terbentuk kemudian mencari jalan ke laut ke arah barat yang membentuk sungai Aek Loeboe yang bermuara diantara Dolok Kaboen dan Dolok Djambak Toba (membentuk suatu teluk kecil). Last but not least: di dalam danau Pandan dulunya teridentifikasi pulau kecil (dekat saluran air ke luar). Catatan: pada masa ini pulau kecil telah meluas dan juga telah menyatu dengan daratan pada sisi timur. 

Proses sedimentasi jangka panjang di kawasan perairan/laut, selain menyisakan perairan/danau (danau Pandan); juga hilir sungai Aek Loemoet telah memanjang ke arah barat, yang menjauhi kampong Loemoet yang mana di muara baru hilir sungai Aek Loemoet inilah kemudian terbentuk kampong Jaga-Jaga; dan membentuk sungai Aek Loboe dan sungai Toenggal. Hulu sungai Toenggal ini berada di Dolok Sitardas dan bermuara ke laut ke arah barat diantara Dolok DjambakToba dan Dolok Boeloe (yang juga membentuk teluk kecil yang berada di muara sungai Toenggal yang kemudian di area tersebut terbentuk kampong Djambak Toba).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tentang Danau Pandan: Danau Siais di Muara Sungai Batang Toru Tempo Doeloe

Danau Siais adalah danau kuno (mungkin sejak pembentukan permukaan bumi), sementara danau Pandan adalah danau yang terbentuk baru. Dua danau ini meski berbeda generasi dapat dijadikan sebagai penanda navigasi waktu bagaimana sejarah masa lampau antara Angkola dan Barus. Pendekatan geomorfologis dalam penyelidikan sejarah masa lampau (jaman kuno) masih jarang digunakan. Yang umum digunakan adalah pendekatan arkeologis.


Pada bulan Desember 2021 diberitakan penemuan harta karun di wilayah Tapanuli Tengah di (desa) Jago-Jago, kecamatan Badiri (yang kemudian disebut situs Bongal). Penemuan warga tersebut antara lain pecahan gerabah, keramik, gelas-gelas, patung kayu, batu-batuan, koin-koin kuno yang diperkirakan berasal dari masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah pada abad ke-6. Untuk menemukannya, para warga menyelam di kanal dengan kedalaman satu hingga tiga meter bermodal sekop dan ember. Lantas bagaimana menjelaskan penemuan arkeologis tersebut?

Orang Eropa pertama memasuki Tanah Batak hingga Angkola adalah botanis Inggris Charles Miller tahun 1772. Pada era Charles Miller ini pelabuhan di Teluk Tapanuli berada di kampong Tapian Naoeli, sedangkan pos perdagangan Inggris berada di pulau Pontjang Ketjil. Pada saat ekspedisi Miller ke Angkola, Miller berganti perahu dengan sampan di muara sungai Aek Loemoet lalu menyusuri sungai dimana kampong pertama ditemukan Pinangsori. Miller mengakhiri pelayaran sungainya di kampong yang lebih besar di Lumut. Dari Lumut dengan menyeberangi sungai Batangtoru di atas jembatan gantung menuju wilayah Angkiola. Jembatan gantung ini diduga mengindikasikan Lumut adalah pelabuhan (terdekat) Angkola pada saat itu.


Pada tahun 1693 seorang pedagang Cina dari Batavia melalui Malaka memasuki wilayah pedalaman Sumatra melalui muara daerah aliran sungai Baroemon. Pedagang Cina ini cukup lama berdagangan di wilayah Angkola. Setelah 10 tahun pedagang Cina tersebuy yang sudah menikah dengan gadis Angkola kembali ke Batavia. Dari Angkola pedagang Cina dengan istri bersama anak perempuan mereka usia 4 tahun melakukan perjalanan darat ke Baroes selama 10 hari perjalanan. Lalu dari Barus dengan perahu Cina ke Padang dan seterusnmya dengan kapal ke Batavia (lihat Daghregister Kasteel Batavia, 01-03-1703). Ini mengindikasikan jalan darat antara Angkola dan Barus sudah lama terbentuk, jalan yang dilalui oleh pedagang Cina 1703 dan botanis Inggris tahun 1772. Rure Charles Miller ini diikuti oleh FW Jung Huhn pada tahun 1840 (saat permulaan pembentukan pemerintahan Hindia Belanda di Tapanoeli). 

Lantas bagaimana dengan penemuan benda-benda kepurbakalaan di situs Bongal? Satu yang jelas nama Bongal dalam peta-peta lama disebut sebagai Bonggal (nama suatu bukit dengan titik tertinggi 315 M). Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing oleh Eggink tahun 1936 kata ‘bonggal’ diartikan sebagai dikenal dan tersebar luas. Tidak ada kata ‘bongal’ dalam kamus tersebut. Dalam hal ini perlu ditambahkan kara ‘hapar’ dalam kamus yang sama diartikan sebagai daun-daun kering yang terletak di atas permukaan tanah.


Seperti disebut di atas, sungai Aek Loemoet mengalir dari kampong Loemoet yang bermuara ke barat di kampong Jaga-Jaga melalui sisi timur Dolok Bonggal. Di kawasan ini sungai Aek Hapar bermuara ke sungai Aek Loemoet. Sungai Aek Hapar berhulu di bukit kecil Tor Hapar (47 M). Di sungai Aek Hapar ini juga bermuara sungai Aek Parmaldoan yang berhulu di utara di Dolok Tindjoan Laoet (424 M) yang melalui sisi timur sungai Aek Badiri (kampong Parbiraan).   

Area di pertemuan sungai Aek Hapar di sungai Aek Loemoet, di sisi barat sungai dengan elevasi 3 M.  Sementara area di situs Bongal dengan elevasi -1 M (minus 1 M). Jarak antara situs dengan pertemuan sungai tersebut 550 M. Jika diukur dari situs ke area sisi sungai terdekat sekitar 390 M dengan elevasi tertinggi 4 M dekat sisi sungai. Lalu dari area situs ke arah yang berlawanan pada jarak 750 M memiliki elevasi 4 M (semakin meninnggi dari situs, hingga ke atas bukit).


Area situs Bongal dengan titik terendah minus 1 M diduga awalnya suatu persairan/laut. Seiring dengan pembentukan sungai akibat proses sedimentasi jangka panjang, sungai Aek Loemoet membentuk tebing sungai mencapai 4 M. Situs Bongal dalam hal ini seakan suatu perairan yang terjebak oleh tebing sungai (area rawa-rawa) tetapi kemudian mengering hingga mencapai titik terendah minus 1 M.  Dari arah sungai melalui situs ke barat daya semakin meninggi dengan titik tertinggi 315 M (sesuai dengan identifikasi pada peta lama). Catatan: dari situs garis lurus ke kampong Jaga-jaga di pantai sejauh 2.3 Km.  Dari situs garis lurus ke bandara Pinang Sori dengan jarak 5 Km yang mana ketinggian bandara 8 M (dibuat lebih tinggi yang mana di kedua sisi luar dengan elevasi 7 M. Jalan raya yang melintasi kota Pinangsori dengan elevasi 10-29 M. Dari situs garis lurus ke jalan raya terdekat 2,3 Km dengan ketinggai jalan 5 M. Dengan demikian wilayah antara sekitar situs dengan sekitar bandara dulunya diduga adalag suatu perairan/laut.

Lantas apakah penemuan arkeologis di situs Bongal yang berasal dari masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah pada abad ke-6 masuk akal? Secara geomorfologis bisa iya. Mengapa? Situs Bongal dan area bandara dulunya diduga suatu perairan/laut. Dalam berita penemuan disebut benda-benda arkeologis di kedalaman 3 M. Artinya, bahwa dulunya perairan di sekitar situs Bongal sekitar 3 M (suatu kedalaman yang cukup untuk navigasi pada masa itu). Apakah pada masa itu kapal dagang Arab mengalami karam (akibat badai atau dirompak/perang)?


Seperti disebut dalam artikel sebelumnya, dalam catatan Tiongkok pada masa dinasti Leang (502-556) disebut nama-nama tempat di pulau emas Kin-lin, Tu-k'un, Pien-tiu of Pan-tiu, Kiu-li of Ktu-tchiu dan Pi-song serta Mo-chia-man. Nama nama tempat yang disebut dalam catatan Tiongkok pada abad ke-6 mirip dengan nama-nama tempat di pantai barat Sumatra seperti Tu-k'un sebagai Tiku, Pien-tiu of Pan-tiu sebagai Panti, Kiu-li of Ktu-tchiu sebagai (Aek/Huta) Puli dan dan Pi-song sebagai Sipisang atau Hapesong serta Mo-chia-man sebagai Pasaman.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: