Senin, Juni 17, 2024

Sejarah Muara Takus (12): Wilayah Mapat Tunggul Batas Hulu Sungai Kampar; Antara Muara Sungai Takus dan Muaro Sungai Lolo


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Muara Takus di blog ini Klik Disini

Wilayah Muara Takus berbatasan dengan kecamatan Mapat Tunggul dan kecamatan Mapat Tunggul Selatan, kabupaten Pasaman, kecamatan Kapur IX dan kecamatan Pangkalan Koto Baru kabupaten Lima Puluh Kota provinsi Sumatra Barat. Keutamaan kecamatan Mapat Tunggul Selatan dalam hal ini karena menjadi hulu sungai Kampar Kanan, sungai yang mengalir melalui Muara Takus.


Mapat Tunggul dan Mapat Tunggul Selatan adalah dua kecamatan di kabupaten Pasaman, provinsi Sumatera Barat. Batas wilayah di timur/utara           kabupaten Kampar dan kabupaten Rokan Hulu provinsi Riau; di barat kecamatan Rao dan kecamatan Rao Selatan. kecamatan Mapat Tunggul terbagi atas 3 nagari dan 15 jorong. Nagari Lubuk Gadang terdiri dari jorong Lubuk Gadang, Marapen dan Guo Siayung; Nagari Pintu Padang terdiri jorong Pintu Padang, Malancar dan Koto Sawah; Nagari Muarao Tais terdiri jorong Rumbai, Sungai Belut, Muaro Tais, Kampung Tengah, Benai, Botung Busuk, Sibintayan, Kubu Baru, dan Soma. Kecamatan Mapat Tunggul Selatan batas wilayah di utara kecamatan Mapat Tunggul, di timur kabupaten Kampar provinsi Riau dan kabupaten Lima Puluh Kota; di selatan         kecamatan Bonjol dan kecamatan Lubuk Sikaping; di barat kecamatan Panti, kecamatan Padang Gelugur dan kecamatan Rao Selatan. Kecamatan Mapat Tunggul Selatan terdiri Muaro Sungai Lolo terdiri jorong Muaro, Sungai Lolo, Pangian, Rotang Getah, Pertemuan, dan Sopan. dan Nagarri Silayang terdiri jorong Titian Batu, Aua Kuniang, Batang Silayang, Tigo Koto, Bangkok (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah wilayah Mapat Tunggul batas hulu sungai Kampar? Seperti disebut di atas ada keutamaan wilayah Mapat Tunggil karena hulu sungai Kampar yang memlalui Muara Takus. Wilayah antara kampong Muara Takus dan kampong Muaro Sungai Lolo. Lalu bagaimana sejarah wilayah Mapat Tunggul batas hulu sungai Kampar? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Wilayah Mapat Tunggal Batas Hulu Sungai Kampar; Wilayah Antara Muara Takus dan Muaro Sungai Lolo

Candi Muara Takus di Sumatra telah menarik perhatian berbagai pihak. Palembang mengklaim candi Muara Takus sebagai peninggalan Sriwijaya. Riau (pulau Bintan) juga mengklaim, demikian juga Bangkok mengklaimnya. Mengapa bisa demikian? Yang jelas klaim Palembang dan klaim Bangkok menjadi terkesan memisahkan candi sendiri di satu sisi dan wilayah di sekitar (seperti Rokan dan Mapat Tunggul) di sisi lain. Fakta bahwa kedua wilayah ini bersinggungan dengan wilayah situs. Wilayah Mapat Tunggul juga memiliki hak untuk mengklaim candi Muara Takus. Namun siapa yang peduli.


Sungai Kampar/Kanan bermuara ke pantai jauh di timur, sebaliknya sungai Kampar/Kanan berhulu dekat di barat di pegunungan di wilayah Mapat Tunggul. Bagaimana merelasikan wilayan candi Muara Takus dengan wilayah Palembang dan wilayah Bangkok? Candi terdekat dengan candi Muara Takus terdapat di wilayah yang begitu dekat juga di utara di wilayah Padang Lawas. Tentu saja wilayah Muara Takus juga dekat dengan wilayah Pagaroejoeng. Mengapa hingga ini hari para ahli selalu mengaitkan candi Muara Takus dengan Palembang dan Bangkok dan mengabaikan wilayah Mapat Tunggul, Padang Lawas dan Minangkabau?

Area kampong Muara Takus berada pada elevasi 75 M dpl. Kampong Muara Sungai Lolo di arah barat di pegunungan dengan elevasi 694 M dpl. Kedua kampong ini berada kurang lebih sama pada garis horizontal dengan jarak hanya 48 Km.


Oleh karena hulu sungai Kampar/Kanan berbebelok-belok, jarak antara kampong Muara Takus dan kampong Muara Sungai Lolo melalui sungai menjadi lebih jauh. Dalam hal ini hulu sungai Kampar/Kanan dari Muara Takus ke Muara Sungai Lolo berbelok ke utara dan kemudian ke arah barat di kampong Muara Sungai Lolo. Sungai memgitari pegunungan tinggi dengan titik tertinggi sekitar 1000 M.  

Sejajar dengan kampong Muara Takus di sebelah barat hulu sungai Kampar/Kanan adalah kampong Goenoeng Melela dengan elevasi 139 M. Kemudian sungai mengarah ke barat laut di kampong Sibaroeang dan kemudian kampong Bandar Pitjak dengan elevasi 147 M. Kampong Bandar Pitjak dapat dikatak kampong tertinggi dari Muara Takus sebelum melalui pegunungan hingga kampong Muara Sungai Lolo.


Kampong Muara Takus adalah kampong yang tepat berada di muara sungai Takoes di sungai Kampar Kanan. Takus diduga dalam bahasa Angkola Mandailing sebagai takos yang diartikan sebagai tanah liat (bahan dasar untuk membuat buta bata/candi). Kampong Muara Sungai Lolo tepat berada di muara Sungai Lolo di sungai Kampar Kanan. Kampong Muara Sungai Lolo berada di sisi utara sungai, yang mana dari kampong ada jalan kea rah utara.

Kampong Sungai Lolo diakses dari utara menuju selatan ke sungai Batang Kampar/Kanan. Kampong dihubungkan dengan sungai Lolo hingga ke muara di sungai Kampar Kanan (kampong Muara). Kampong Sungai Lolo sendiri bukanlah kampong paling ujung. Dari muara sungai di sungai Kampar Kanan masih ada kampong lain ke arah hilir sungai Kampar Kanan yakni kampong Soengai Dapoer, kampong Kota Tengah (sisi selatan sungai), kampong Galoegoer dan kampong Tandjoeng Djadjaran.


Kampong Tandjoeng Djadjaran dan Galoegoer adalam kampong terjauh dari kampong Sungai Lolo. Sementara itu ke arah utara kampong Sungai Lolo adalah kampong Pangean, kampong Hoeloe Silajang, kampong Kampong Tengah, kampong Parit, kampong Moeara Apan hingga kampong Loeboek Godang. Sebagaimana diketahui pada masa ini kampong Loeboek Gadang menjadi ibu kota kecamatan Mapat Tunggul dan ibu kota kecamatan Mapat Tunggul Selatan di kampong Silayang. Catatan: dua kecamatan ini awalnya satu kecamatan yang kemudian dimekarkan dengan membentuk kecamatan Mapat Tunggal Selatan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Wilayah Antara Muara (Sungai) Takus dan (Muaro) Sungai Lolo: Jalan Darat Antara Batoe Besoerat dan Panti

Secara toponimi, banyak nama geografi di wilayah Muara Takus dan wilayah Mapat Tunggul. entah kebetulan, banyak bersesuaian dengan bahasa Angkola Mandailing. Tentu saja banyak nama tempat di kedua wilayah tersebut memiliki kemiripan dengan nama-nama tempat di wilayah Angkola Mandailing dan Padang Lawas. Secara geografis wilayah Mandailing, Padang Lawas, Mapat Tunggul dan Muara Takus saling berdekatan.


Nama kampong Muara Takus merujuk pada nama sungai Batang Takoes yang bermuara di sisi utara sungai Batang Kampar. Dalam bahasa Angkola Mandailing ‘batang’ diartikan sungai; takos diartikan sebagai tanah liat. Nama Takos diduga bergeser menjadi Takoes, suatu nama tempat dimana terdapat candi yang dibangun dengan batu bata berbahan dasar tanah liat. Bagaimanan dengan nama Mapat Tunggul? Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing door Eggink tahun 1936 ‘toenggoel’ diartikan sebagai pohon tinggi yang tidak bercabang yang dipercaya tempat tinggal roh halus. Nama kampong terjauh di pegunungan di wilayah Mapat Tunggul adalah Sungai Lolo, dimana sungai ini bermuara di sisi utara sungai Batang Kampar (kampong Moeara). Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing ‘lolo’ diartikan sebagai alang-alang yang mana mangalolo diartikan sebagai menghancurkan rumput alang-alang yang tinggi. Sialang, nama pohon yang diatasnya terdapat sarang lebah; Sibaroeang adalah nama kerbau yang berwarna putih lingkaran di sekitar mata dan memiliki atau putih garis-garis di atas. Bandar Pitjak yang mana pitjak diartikan sebagai selangkangan pada celana; Goenoeng Malela yang mana di perbatasan Mandailing dan Padang Lawas terdapat gunung Dolok Malea; Galoegoer adalah nama pohon asam; Siaboe dan Moera Tais, dua nama kampong yang juga ditemukan di daerah aliran sungai Batang Angkola.

Nama Mapat Tunggul bukanlah nama baru, tetapi nama lama. Suatu wilayah yang berbatasan langsung dengan dataran rendah pantai timur Sumatra. Wilayah Mapat Tunggul adalah wilayah pegunungan yang memisahkah daratan timur (Rokan dan Muara Takus) dengan lembah Rao dan Panti. Akses menuju wilayah Mapat Tunggul sejatinya hanya dari arah utara yakni kampong Loeboek Godang di daerah aliran sungai Batang Sumpur (sungai Rokan).


Di Muara Asik bermuara sungai Batang Asik di sungai Batang Sumpur (sungai yang berhulu di Lubuk Sikaping). Di muara ini juga bermuara sungai Aek Sibinail. Sungai Batang Asik berhulu di utara di perbatasan Rao dan Padang Lawas; sungai Sibinail berhulu di barat laut di Muara Sipongi/Mandailing. Tidak jauh dari peremuan tiga sungai ini berada kampong Loeboek Godang. Dalam hal sungai Sumpur di hulu dan di hilirnya disebut sungai Rokan. Kampong Loeboek Gadang adalah kampong terakhir di daerah aliran sungai Sumpur dan kampong terawal di daerah aliran sungai Rokan adalah kampong Tibawan. Wilayah antara Loeboek Gadang dan Tibawan adalah pegunungan dengan tebing sungai yang terjal yang tidak ada permukiman penduduk. Rute yang dapat dilalui adalah dari kampong Loeboek Gadang ke tumur laut melalui kampong Marantjar dan kampong Roembai. Ada jalan dari kampong Roembai ke arah barat di kampong Moeara Tais. Dari kampong Roembai ke arah selatan menuju kampong Tibawan (sungai Rokan) dan kemudian dari Tibawan ke arah timur sepanjang aliran sungai hingga kampong Rokan. Seperti disbut pada artikel sebelumnya dari kampong Rokan melalui kampong Pandalian ke selatan hingga kampong Moeara Takoes. Catatan: dari wilayah Pagaroejoeng ke Moera Takoes di hulu sungai Batang Kampar hanya dapat diakses dari kampong Moara Mahit (dekat Koeok) dengan menyusuri sungai ke arah hulu. Kampong Moera Mahit sendiri adalah kampong di sisi selatan sungai Kampar Kanan yang dapat diakses dari wilayah Pagaroejoeng melalui sungai Mahit di kampong Pangkalan Kota Baroe (Pajakoemboeh).

Tiga nama kampong terawal yang diidentifikasi pada era kolonial Belanda di District Mapat Toenggoel adalah Moeara Tais, Pintoe Padang dan Silajang. District Mapat Tunggul tempo doeloe adalah remote area (tergantung pencet yang mana). Mengapa? District Mapat Toenggoel berbatasan dengan District Mandailing, District Rao dan District Loender (Panti).


District Mapat Toenggoel sempat diklaim pada awal pembentukan Pemerintah Hindia Belanda (1846) dan dianggap sebagai bagian dari District Rao. Namun dalam perkembangannya District Rao dan District Mapat Toenggal adalah dua district yang terpisah. Meski demikian, district Mapat Toenggal tetap dianggap sebagai distrik yang dimasukkan ke wilayah Residentie Padang (yang berpusat di Padang).  Boleh jadi hal ini karena pemimpin lokal dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda berasumsi bahwa wilayah Mapat Toenggoel dimasukkan ke pemerintahan yang baru dibentuk Belanda karena alasan penduduknya berasal dari Mandailing, Padang Lawas dan Rao. Namun ketika dibentuk pemerintahan yang baru di Sumatra’s Oostkust (yang berpusat di Siak Indrapoera) ternyata district Mapat Toenggoel juga dimasukkan ke dalam wilayah Sumatra’s Oostkust (1870). Oleh karena berbagai faktor, terutama faktor hambatan geografis, pada tahun 1882 district (lanskap) Mapat Toenggoel disatukan dengan Onderafdeeling Rao, Panti en Loeboesikaping, Afdeeling Air Bangis (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-05-1882). Disebutkan lanskap Melayu Moeara Sei Lolo dan Mapat Toenggoel berdasarkan Keputusan tanggal 10 Mei No. 7 (Stbl. No. 132) menetapkan akan menjadi bagian dari (pemerintahan) Onderafdeeling Rao, Panti en Loeboesikaping, Afdeeling Air Bangis, Residentie Padangsche Benedenlanden.

Mengapa wilayah Mapat Tunggul diperebutkan timur (Melayu/Riau) dan barat (Minangkabau/Sumatra Barat)? Bagaimana dengan sudut pandang utara (Batak/Mandailing Tapanoeli)?


Persoalan serupa ini bukan baru. Pada awal pembentukan pemerintahan di pantai barat Sumatra, district-district Rao, Mapat Toenggoel, Loender (Panti), Ophir, Pasaman dan Air Bangis dan sebagian district Bondjol (Loeboeksikapaing) tidak termasuk Residentie Padangsche Benelanden maupun Residentie Padangsche Bovenlanden, melainkan residentie tersendiri yang disebut Residentie Noordelijke Afdeeling (Tapanoeli) yang beribu kota di Natal. Oleh karena alasan hambatan geografis dan alasan efektvitas pemerintahan di bawah Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1846 secara keseluruhan Rao, Loender, Mapat Toenggoel dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden; Air Bangis dan Ophir Districten dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden.

Dalam hal batas-batas pemerintahan pada era Pemerintah Hindia Belanda berbeda dengan batas-batas kedaulatan (teritorial) pada jaman kerajaan-kerajaan (era VOC). Pemerintah Hindia Belanda tidak lagi mengikuti pembagian wilayah pada jaman kuno (berdasarkan historis), tetapi menerapkan kebijakan baru dalam rangka mengefektifkan pemerintahan dan pembangunan wilayah (berdasarkan futuris). Namun demikian, sejarah adalah satu hal, penataan administrasi (wilayah) pemerintahan (Belanda) adalah hal lain lagi.


Wilayah Mapat Toenggoel (ibu kota Moeara Tais) yang dimasukkan ke onderafdeeling Rao, Loeboesikaping en Panti memiliki penduduk sebanyal 2.050 jiwa yang meliputi 19 negori yang terdiri dari 29 kampung (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 27-03-1883). Dalam beslit ini juga district Moeara Sei Lolo (ibu kota Silajang) dan district VI Kota (ibu kota Loeboek Godang) dimasukkan ke onderafdeeling Rao, Loeboesikaping en Panti yang meliputi enam negorij yang terdiri dari delapan kampung dengan total penduduk sebanyak 1.423 jiwa. Tiga district ini kemudian dijadikan satu district bernama District Mapat Toenggoel. Orang yang berperan dalam membujuk tiga district tersebut dimasukkan ke onderafdeeling Rao, Loeboesikaping en Panti adalah Radja Bagarno gelar Jang Dipertoean, kepala Padang Nunang dan Soko gelar Radja Koeamang, kepala Laras Panti (lihat De locomotief, 28-08-1883). Kepala Silajang District Mapat Toenggoel adalah Si Soedin gelar Toeankoe Besar. Catatan: Nama-nama kampong Moeara Tais, Loeboek Godang dan Silajang adalah nama-nama yang umum dikenal di Afdeeling Mandailing en Angkola. Namun sejak 1886 tiga wilayah ini diabaikan. Padahal tiga district ini adalah penghasil emas. Dalam situasi dan kondisi ini tiga pemimpin di Mapat Toenggoel (kepala Loeboek Godang dan Moeara Tais) disingkirkan (dibunuh semuanya) oleh orang yang tidak dikenal yang menentang otoritas Pemerintah Hindia Belanda (pengikut Padri?). Lalu muncul rezim baru di tiga district ini yang secara eksplisit menentang otoritas Belanda. Situasi di tiga district ini seakan mengingatkan kembali pada fase 1819-1837) saat mana terjadi perseteruan antara rezim pengikut Padri dengan rezim para pangeran Pagaroejoeng (Mainangkabau) yang dibantu oleh (rezim) Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1891 terjadi penataan kembali wilayah administrasi pemerintah di Province Sumatra’s Westkust. Onderafdeeling Rao, Loeboesikaping en Panti dipisahkan dari Residentie Padangsche Benelanden dan kemudian statusnya ditingkatkan menjadi afdeeling yang dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden. Wilayah onderfadeeling Rao, Loeboesikaping en Panti sebelumnya diubah dengan nama tunggal sebagai Afdeeling Loeboeksikaping. Namun persoalan di Mapat Toenggoel tidak mendapat perhatian. Pada tahun 1902 J Ballot (Asisten Residen Loeboeksikaping yang baru) telah menormalisasikan kembali situasi di District Mapal Toenggoel dan para pemimpin lokal yang sah (berhak) telah diposisikan kembali.


Para petualang yang selama 10 tahun berkeliaran di wilayah tersebut telah ditangkap dan diasingkan (selama sepuluh tahun) dan sebagian di hukum kerja paksa (lihat Algemeen Handelsblad, 25-03-1905). Hukuman bagi mereka yang terdakwa telah diputuskan oleh rapat yang diadakan di Mapat Toenggoel (lihat De Telegraaf, 04-06-1903). Dengan demikian, wilayah yang tahun 1882 bersedia bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda telah dipulihkan kembali (setelah selama 16 tahun menderita). Boleh jadi kasus ini adalah sisa (pengikut) Padri yang terakhir. Namun demikian pemerintah Padangsche Bovelanden dipersalahkan dalam kasus ini karena mengabaikan selama belasan tahun (dianeksasi oleh kelompok yang tidak dikenal).

Kasus Mapat Toenggoel mendapat perhatian di Medan (ibu kota Residentie Sumatra’s Oostkust). Selain kasus Mapat Toenggoel juga terdapat kasus yang mirip yang mana sejumlah district lainnya di dekat Limapoeloeh Kota yang diserahkan ke Padangsche Bovenlanden digugat (lihat De Sumatra post, 13-06-1906). Diusulkan bahwa distrik-distrik yang masuk Lima Poeloeh Kota dimasukkan ke Kampar dan sejumlah district lainnya dimasukkan ke Rokan. Hal ini karena ada dukungan dari orang Melayu demi mencapai keadilan. Juga disebutkan bila perlu semua district di Rau dan Loeboek Sikaping dimasukkan ke wilayah Residentie Tapanoelie atau ke Rokan.


Pada tahun 1879 lanskap-lanskap di utara Siak (dipisahkan dari afdeeling Siak Indrapoera) dan kemudian disatukan menjadi satu afdeeling (dengan afdeeling Oost van Sumatra) yang terdiri dari district Bengkalis, Laboehan Batoe, Asahan, Batubara dan Deli dengan ibu kota di Rantau Pandjang (Bengkalis) dimana asisten residen berkedudukan. Ini mirip dalam pembentukan Afdeeling atau Residentie Air Bangis tempo sebelumnya di pantai barat Sumatra. Pada tahun 1887 afdeeling Oost van Sumatra ini ditingkatkan menjadi residentie. Celakanya, ibu kota residentie di relokasi dari Bengkalis ke Medan dimana residen berkedudukan. Saat inilah district Bengkalis jauh di Riau lalu diintegrasikan dengan afdeeling Siak Indrapoera. Lalu pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust menjadi residentie yang berdiri sendiri (sebagaimana Residentie Oost van Sumatra). Resident Oost van Sumatra sejak tahun 1905 adalah J Ballot (yang dulu pernah membebasakan District Mapat Toenggoel dari kezaliman). Pada tahun 1905 kota Medan sudah lebih maju jika dibandingkan kota Padang. Kelak pada tahun 1815 Residentie Oost van Sumatra dipromosikan menjadi province. Celakanya, Province Sumatra’s Westkust terpaksa didegradasi (dilikuidasi).

Lantas mengapa muncul klaim dan pengakuan dalam pembentukan pemerintahan di era Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda dapat meratifikasi klaim dan pengakuan di dalam perjanjian. Klaim dalam hal ini yang besar terhadap kecil sedangkan pengakuan yang kecil terhadap besar. Kerajaan Pagaroejoeng boleh saja mengklaim district Mapat Toenggoel tetapi penduduk district Mapat Toenggoel tidak mengakui kerajaan Pagaroejoeng sebagai atasannya, akan tetapi lebih mengakui atasannya kerajaan Melayu (Djohor, Riau atau Siak). Dalam hal ini bisa saja kerajaan Pagaroejoeng menghormati klaim Siak dan pengakuan dari radja-radja Mapat Toenggoel (atau sebaliknya).


Ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk pemerintahan yang dimulai dari klaim kerajaan Pagaroejoeng terhadap district-district tertentu (yang menjadi dasar legitimasi Pemerintah Hindia Belanda). Dalam perkembangannya radja-radja Mapat Toenggal memindahkan pengakuannya dari Melayu ke Pemerintah Hindia Belanda (sehubungan dengan wilayah Minangkabau sudah berada di bawah otoritas Pemerintah Hindia Belanda). Pengakuan penduduk Mapat Toenggal kepada Pemerintah Hindia Belanda ini terjadi tahun 1846. Namun, para pejabat Belanda kurang intensi di Mapat Toenggal (mengabaikan). Dalam pembentukan pemerintahan di Sumatra’s Oostkust, Mapat Toenggoel diklaim kerajaan Melayu sebagai bagian dari pemerintahan yang bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda (1865). Dalam hal ini, district Mapat Toenggoel terdapat tumpang tindih antara barat dan timur. Lalu pada tahun 1879 radja Rao dan kepala laras Panti membujuk raja-raja Mapat Toenggoel untuk bergabung dengan pemerintah (residenie) Padangsche Benelanden yang kemudian diratifikasi pada tahun 1882. Namun sekali lagi district Mapat Toenggoel diabaikan lagi hingga terjadinya ‘kudeta’ di Mapat Toenggoel oleh rezim yang menentang otoritas Belanda. Baru pada tahun 1902 district Mapat Toenggoel dipulihkan oleh pemerintah Padangsche Bovenlanden (saat mana Asisten Residen Loboek Sikaping J Ballot).

Pengakuan dan klaim ini sesungguhnya merujuk pada proses evolusi pemerintahan kerajaan-kerajaan tempo doeloe. Pada jaman doeloe, kerajaan besar di sekitar adalah Kerajaan Aroe, Kerajaan Malaka dan Kerajaan Minangkabau (Pagaroejoeng). Kerajaan-kerajaan ini adalah estafet dari suatu pemerintahan yang lebih kuno di masa lampau (di era Budha Hindu). Kerajaan-kerajaan kuno ini dapat ditafsirkan dengan wujud adanya percandian apakah di Portivie (Padang Lawas) atau di (Moeara) Takus (Kampar). Dalam hal ini, kehidupan di sekitar Mapat Toenggoel diduga sudah eksis sejak jaman kuno. Nama Mapat Toenggoel, Rao, Takus, Taloe adalah nama-nama yang dikaitkan dengan jaman kuno, jaman sebelum adanya kerajaan Aroe, Malaka dan Pagaroejoeng. Bagaimana bisa? Di district itu banyak ditemukan emas.


JB Neumann dalam artikelnya berjudul Het Pane- en Bila-stroomgebied op het eiland Sumatra (Studiën over Batahs en Batahsche landen) yang dimuat dalam Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1887, menyatakan wilayah Batak paling selatan jauh berada di selatan Mandailing yakni wilayah tradisi Batak maupun tradisi Melayu. Orang Melayu bermigrasi melalui sungai Siak dan sungai-sungai yang berada jauh di selatannya, karena letaknya di daratan. dari sana telah dihuni oleh suku Batak, yang akan memberikan kemungkinan lebih besar kepada tradisi suku Batak, yang menyebut Dolok Pasoman atau Ophir di Taloe sebagai perbatasan paling selatan Tanah Batak. Pada pertengahan abad ke-13, Tanah Batak meluas sedikit ke barat dari bagian Sungai Siak yang dapat dilayari, dan oleh karena itu terdapat banyak alasan untuk menguji tradisi-tradisi tersebut. Orang Batak, yang menyebut Dolok Pasoman sebagai perbatasan wilayah mereka, adalah orang yang kredibel. Mereka juga sebagian dikonfirmasi oleh ahli etnologi. Di Sungei Aoer sebelah utara Ajarbangis (terletak di sebelah barat Dolok Pasoman), Bahasa Batak dan bahasa Melayu masih digunakan hingga saat ini, sedangkan dari empat laras yaitu Si Kilang, Sontang, Ajar Hadji dan Soengei Aoer, hanya yang terakhir ini yang dihuni oleh orang Melayu. Di Laras Tjoebadak (utara Dolok Pasoman), sebagian penduduknya orang Batak. Distrik Rau dulunya adalah Tanah Batak, seperti yang dilaporkan oleh tradisi Melayu (legenda) yang ada, yang mengatakan bahwa wilayah itu ditaklukkan dari Batak oleh beberapa kepala suku Menangkabau. Wilayah di sebelah timur Rau juga wilayah Batak. JB Neumann mengutip laporan E.Th. van Delden bahwa dalam cerita sehari-hari (legenda) di Galoegoer VI Kota menyatakan “Moeara Takoes dihancurkan oleh Batak yang datang dari Koeamang (Panti)”. “Selain aksara Batak yang ditemukan pada batu bertulis dekat Kota Gloegoer (kampong Batoe Besoerat) juga kisah terkait asal usul kepala suku pertama di pemukiman Kampar Kanan, menunjukkan adanya kemiripan dengan adat istiadat Mandailing dan berkontribusi pada asal usul penduduk disana". Lebih lanjut JB Neumann menyatakan lanskap (bentang alam) Mapat Tunggul dan Moeara Sungei Lolo VI Kota, negeri-negeri tersebut diyakini dihuni oleh suku Batak pada zaman dahulu, hal ini ditegaskan oleh tradisi yang ada di situ yang mana di Djepang Kanan dan Djepang Kiri di pertemuan sungai Loeboe dan Soempoer mempunyai tradisi yang sama dengan Mapat Tunggul, maka dapat diasumsikan pula adanya pemukiman Batak yang lebih awal di wilayah tersebut. Oleh karena itu, pada suatu kurun waktu tertentu di masa lalu, tanah di sekeliling bagian utara Dolok Pasoman, daerah sumber sungai di Rokan, yaitu sungai Siak dan sungai Kampar, berada di tangan kaum Batak, yang kemudian daerah tersebut ditinggalkan orang Batak, yang selanjutnya masuknya emigrasi Minangkabau, yaitu pada pertengahan abad ke-13. Tanah Batah---pada saat emigrasi Minangkabau pada pertengahan abad ke-13---sudah berada pada tingkat peradaban yang tinggi. Saya bisa berasumsi bahwa wilayah Batak juga meluas hingga Malaka sebelum pertengahan abad ke-13. Nampak dari tradisi Mantra di semenanjung Malaya bahwa Batak Sumatera pernah menaklukan negerinya. Hal ini pasti terjadi sebelum berdirinya Malaka pada tahun 1252. JB Neumann juga menyatakan bahwa tradisi di kalangan masyarakat (legenda) Aceh, bahwa populasi 22 Mukim merupakan keturunan (sisa) Batak yang mana selebehihnya mengundurkan diri ke wilayah pedalaman. Oleh karena itu, saya dapat menyimpulkan bahwa suku Batak sebagai penduduk asli Pulau Sumatera. Penelitian ini telah menghasilkan manfaat lain, yakni menambah pengetahuan tentang asal muasal suku Loebo dan Talanger yang dulunya tinggal di Groot-Mandheling dan Padang Lawas, suku Talanger di daerah sumber Tapoeng dan di daerah Rokan. Sejauh yang saya tahu, belum pernah ada tulisan tentang suku terakhir ini, bahwa mereka merupakan penduduk lama wilayah tersebut, yang pada suatu saat terpaksa terpaksa masuk ke pedalaman karena invasi sebelumnya, atau yang beremigrasi ke sana. Terlebih lagi, untuk menghindari tekanan dari Siak dan Pelalawan, mereka berpindah-pindah di hutan mereka yang luas. JB Neumann merujuk kepada Willer bahwa suku Loeboe termasuk penduduk asli Sumatera, berdasarkan tradisi mereka membentuk satu suku dengan suku Melayu Dataran Tinggi Sumatra, namun kemudian diusir akibat perang saudara. Lebih lanjut ia berasumsi bahwa bahasa mereka sama dengan bahasa yang digunakan di Pagarroejoeng berabad-abad yang lalu. Menurut tradisi yang dilaporkan oleh suku Loeboe, mereka awalnya tinggal di Semenanjung Malaya dan pertama kali menetap di sungai Rokan di Sumatera. Tradisi suku Talang lainnya, yang lebih liar dari suku Loeboe, adalah mereka datang melalui jalur laut dan kemudian selalu tinggal di kaki pegunungan di kawasan Rokan. JB Neumann merujuk CA van Ophuysen yang mengatakan tentang suku Loeboe bahwa tempat tinggal tertua mereka terletak di kampung Rambah dekat Padang Lawas (daerah aliran sungai Batang Loeboe). Namun, saya tidak memberikan lebih dari sekedar petunjuk. Untuk memberikan kepastian terhadap pendapat saya, pertama-tama kita perlu menyelidiki tidak hanya bahasa orang Loeboe, tetapi juga bahasa berbagai suku liar di semenanjung Malaka, yang banyak diantaranya berbicara bahasa Melayu, yang di beberapa suku banyak persamaannya dengan bahasa Menangkabouw. Konon bahasa Loeboe juga mirip dengan itu. 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: