Kamis, Juni 06, 2024

Sejarah Muara Takus (1): Nama Muara Takus di Hulu Daerah Aliran Sungai Kampar; Candi Sangkilon Candi Manggis Candi MuaraTakus


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Muara Takus di blog ini Klik Disini

Sebelum kembali ke dolok (gunung) sebagai hulu sungai, ada baiknya memahami wilayah hilir sungai di muara. Serial artikel ini akan mendiskiripsi tentang sejarah Muara Takus, dan serial artikel berikutnya tentang sejarah gunung (dolok) Lubuk Raya. Dalam hal ini, salah satu tempat muara terpenting adalah (kampong) Muara Takus dimana terdapat situs candi Muara Takus (di hulu sungai Kampar). Candi Muara Takus satu garis berdekatan dengan candi Manggis dan candi Sangkilon (Padang Lawas).


Muara Takus desa di kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, provinsi Riau. Desa Muara Takus dapat diakses dari Kota Pekanbaru ibu kota provinsi Riau 135 km. Candi Muara Takus, situs budaya Buddha, terletak di desa ini. Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus, pertama diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Pendapat lain kata Takus berasal dari bahasa Mandarin, Ta=besar, Ku=tua, Se=candi. Letak desa sebelumnya berada 1 km di bawah candi, direlokasi karena satu dari 11 desa ditenggelamkan dalam pembangunan proyek PLTA Koto Panjang pada 90-an. Delapan di antaranya masuk wilayah XIII Koto Kampar, tiga lainnya masuk wilayah Sumbar, yakni Muara Mahat, Pulau Gadang, Tanjung Alai, Batu Bersurat, Binamang, Pongkai, Koto Tuo, Tanjng Alai, Gunung Bungsu, Tanjung Balit, dan Tanjung Pauh. Sebelah utara desa adalah desa Pangkalan, Kecamatan Pangkalan (Sumbar). Kecamatan XIII Koto Kampar terdiri dari kelurahan Batu Bersurat dan desa-desa Balung, Binamang, Gunung Bungsu, Koto Mesjid, Koto Tuo, Koto Tuo Barat, Lubuk Agung, Muara Takus, Pulau Gadang, Pongkai Istiqamah, Ranah Sungkai dan Tanjung Alai (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah nama Muara Takus di hulu daerah aliran sungai Kampar? Seperti disebut di atas di kampong Muara Takus terdapat situs candi Muara Takus (di hulu sungai Kampar). Candi Sangkilon, candi Manggis dan candi Muara Takus. Lalu bagaimana sejarah nama Muara Takus di hulu daerah aliran sungai Kampar? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Nama Muara Takus di Hulu Daerah Aliran Sungai Kampar; Candi Sangkilon, Candi Manggis, Candi Muara Takus

Candi dibangun tempo doeloe di kampong Moera Takoes yang sekarang (kini disebut candi Muara Takus). Candi Muara Takus secara geografis tidak terlalu jauh dari tiga candi yang lebih dulu ada di kampong Manggis, kampong Sangkilon dan kampong Simangambat. Praktis keempat candi tersebut di pedalaman (pulau) Sumatra saling berdekatan.


Pada masa Pemerintah Hindia Belanda, dibuat garis wilayah yang membedakan wilayah (residentie) Padangsche Bovenlanden, Tapanoeli dan Riouw. Pembagian wilayah sejatinya tidak semata berdasarkan wilayah budaya, tetapi lebih mempertimbangkan perencananaan pembangunanan administrasi ekonomi/perdaganga dengan pusat partumbuhan yang baru di Fort de Kock (Bukittingi), Padang Sidempeoan dan Pakan Baroe. Akibatnya di wilayah kawasan kuno ini, candi Muara Takus menjadi berada di wilayah Riouw (candi-candi selebihnya berada di wilayah Tapanoeli).

Nama Moeara Takoes sendiri pertama kali terinformasikan pada tahun 1867 (lihat Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1867). Moera Takoes adalah nama sebuah kampong. Nama kampong lainnya disebut kampong Batoe Besoerat. Dalam laporan ini juga disebut nama Siaboe.


Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1867: ‘Saya dapat melanjutkan penyelidikan saya di sepanjang Sungai Kampar, khususnya di wilayah antara Kampar kanan dan Kampar-kiri. Wilayah tersebut tidak hanya memiliki lokasi yang baik untuk drainase, namun saya juga menerima sampel bijih timah yang sangat bagus dari tiga tempat, yaitu Sungai Lipei, Siaboe dan Kasan-laki, yang sehubungan dengan laporan-laporan lain yang diterima dari sana, memiliki kualitas yang sangat baik. manfaat yang diharapkan dari lanskap itu. Oleh karena itu saya memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan saya ke arah yang terakhir, yang jika dilihat dari lokasi wilayah itu, tidak menimbulkan kesulitan besar, karena saya hanya berada di Kota Renah 8.3 mil dari hulu Sungai Kampar dan dengan berlayar menyusurinya dapat mencapai wilayah tersebut dalam waktu dua hari. Saya telah diberitahu bahwa saya mungkin akan menemui banyak kesulitan di sana dari penduduk lanskap (sukoe) Lima Kota, namun laporan ini bertentangan dengan laporan lain, itulah sebabnya saya memutuskan untuk sementara waktu membawa orang-orang dan peralatan saya untuk pergi ke sana di hulu Sungai Kampar dan dapatkan informasi lebih lanjut disana. Pada tanggal 20 Desember saya meninggalkan Kota Renah menuju Batoe Besoerat, terletak di batang Kampar, cabang utara Kampar-kanan. Jalan antara tempat-tempat ini, yang panjangnya lebih dari 8 mil panjangnya mencapai dari tempat terakhir, di atas daerah perbukitan, di mana hanya sedikit formasi geologi yang terlihat; awalnya batupasir lempung dan selanjutnya, di dekat sungai Boeloe, batupasir kerikil, merupakan formasi batuan utama yang terdapat di sana. Batoe Besoerat adalah nama negorij (negri), yang terdiri dari beberapa kampong kecil dan besar yang terletak di kedua tepi sungai, yang terpenting adalah Kota Pandjang, Temoelon, Matjan, Pinang Moeda dan Loeboe Agong. Namanya diambil dari batu tertulis yang ada di tepi kiri sungai, 3,7 mil di bawah tempat itu. Tidak ada yang terlihat lagi pada tulisan ini, yang diukir pada batupasir tanah liat yang lepas. Disebutkan berasal dari penduduk Batak yang pada masa lalu berperang dengan penduduk di sini. Batoe Besoerat, yang berpenduduk lebih dari 1.000 jiwa, merupakan salah satu tempat terpenting dalam lanskap Kota Duwablas atau Kota XII, yang terletak di barat daya pegunungan Seligi; desa-desa lain yang termasuk dalam lanskap ini juga semuanya terletak di sepanjang tepian Batang Kampar; sungai-sungai utama yang bermula ke bawah adalah: Poeloe Gedang, Tandjong Alei, Kota Tengah, Ponkei, Kota Toewah, Moewara Takoes, Goenoeng Boengsoe, Tandjong, Tebing, Melillah dan Sibawang. Masing-masing tempat ini diatur oleh beberapa panghoulus; panghulu laras atau kepala seluruh lanskap tinggal di Moewara Takoes. Hanya di desa Batu Besurat saja terdapat sekitar dua puluh kepala atau panghulu, yang berkumpul di setiap kejadian luar biasa dan berlama-lama membicarakan hal-hal yang paling remeh, tanpa mencapai suatu kesimpulan tertentu’.

Kampong Batoe Besoerat tampaknya lebih penting dari kampong Moeara Takoes. Di kampong Moera Takoes oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai ibu kota wilayah dimana kepala Laras berkedudukan. Sementara untuk tempat berkumpulnya para pemimpin kampong (penghoeloe) diadakan di kampong Batoe Besoerat. Dalam kinteks inilah kampong Batoe Besoerat dianggap penting. Kepala Laras (di Jawa disebut kepala distrik) ditunjukkan oleh pemerintah dengan mendapat gaji.


Kampong Batoe Besoerat diduga adalah kampong lama/kuno dimana ditemukan batu besurat (prasasti) yang dijadikan nama kampong. Batu besurat disebutkan menurut pengakuan penduduk berasal dari penduduk Batak (aksara Batak) namun teks yang tertulis tidak terbaca lagi. Tulisan (aksara) diukir pada batupasir tanah liat (semacam batu bata?). Masyarakat Batak yang tinggal di wilayah tampaknya telah digantikan oleh masyarakat yang baru. Catatan: di wilayah Panti juga ditemukan prasasti (batu bersurat) dalam aksara Batak.

Pasca perang Padri wilayah Moeara Takoes telah diklaim oleh orang Minangkabau (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1876). Disebutkan di Moeara Takoes di distrik XII Kota, pada tanggal 26 Januari 1859, lanskap ini dikunjungi oleh panitia kepala suku pribumi dari Padangsche Bovenlanden dan kemudian tidak kurang dari lima puluh negorij mengucapkan sumpah tunduk dan setia kepada Pemerintah Hindia Belanda.


Pada tahun 1872 para pemimpin Pangkallan Kotta Baroe telah berulang kali menyatakan kepada pihak berwenang di Pantai Barat Sumatra bahwa mereka ingin berada di bawah pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda, dan pihak berwenang tersebut beberapa kali diyakinkan bahwa sikap serupa juga terjadi di V Kotta. Pada tahun 1874 kepala djaksa di Padang telah melakukan kontak dengan para kepala V Kotta, Masih pada tahun 1874 oleh seorang pedagang pribumi terkenal, yang, ketika kembali dari wilayah ini ke Padangshe Bovenlanden menerima sebuah pesan dari kepala-kepala di Kuwo, Loelo (Sallo) dan Bangkinan menandatangani surat sebagai bukti ingin menjalin hubungan dengan pejabat pemerintah.

Secara politik wilayah Moeara Takoes telah bergabung dengan wilayah Padangsche Bovenlanden (Minangkabau). Lantas secara budaya bagaimana adat dan budaya di wilayah Moera Takoes. Tampaknya di wilayah Moeara Takoes pernah didiami oleh penduduk Batak dengan bukti peninggalan situs kuno beraksara Batak. Penduduk Batak mengalami serangan dari luar, yang kemudian ditinggalkan oleh orang Batak. Penduduk Moeara Takoes yang sekarang adalah masyarakat/penduduk baru, apakah orang Minangkabau (dari barat) atau orang Melayu (dari timur).  Hingga sejauh ini keberadaan candi Muara Takus berlum terinformasikan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Candi Sangkilon, Candi Manggis, Candi Muara Takus: Satu Garis Candi Berdekatan di Pedalaman Sumatra

Kampong Muara Takoes berada di sisi selatan sungai Kampar (Kanan) dan kampong Batoe Besoerat berada di sisi utara sungai di arah hilir. Antara dua kampong ini di sisi utara sungai terdapat kampong-kampong Pangalasan dan kampong Kotatoea. Di arah hulu kampong Moeara Takoes terdapat nama kampong Goenoeng Malela, Kampoeng Sibaroeang dan kampong Bandjar Siaboe. Ketiga kampong ini berada di sisi utara sungai.


Di arah hulu kampong Sibaroeang terdapat kampong Galoegoer dan kemudian kampong Sungai Lolo (yang menjadi hulu sungai Kampar/Kanan di sekitar suatu wilayah pegunungan yang berbatasan dengan Panti). Ada jalan akses dari Sibaroeang ke utara di Rokan (sungai Soempoer/sungai Rokan).

Kampong Moeara Takoes berada adalah muara dari sungai Takoes di sungai Kampar. Nama kampong Moeara Takoes merujuk pada nama sungai Takoes. Apa arti takus? Lalu apa pula arti Batang Kampar? Batang dalam bahasa Angkola Mandailing adalah sungai. Bagaimana dengan arti Kampar?


Seperti disebut di atas, ada nama kampong Bandjar Siaboe di arah utara sungai Kampar. Di wilayah kampong Bandjar Siaboe inilah hulu dari sungai Takoes. Wilayah kampong Bandjar Siaboe ini juga menjadi hulu sungai Siaboe yang mengalir ke arah utara yang bertemu dengan sungai Siassam. Semenatara di sisi barat mengalir sungai Pandalian mengalir ke utara bertemu dengan sungai Siassam di kampong Pandalian. Ke hilir Pandalian disebut sungai Siassam yang bermuara ke sungai Rokan (Kiri) di hilir kampong Rokan. Salah satu sungai yang bermuara ke sungai Siassam di hilir kampong Pandalian adalah sungai Garingging.

Kampong Moera Takoes menjadi hub perdagangan dari arah utara sungai Batang Kampar. Dua kampung terpenting di arah utara (hulu sungai) Moeara Takoes adalah kampong Bandjar Siaboe dan kampong Pandalian. Hub perdagangan dalam hal ini adalah pertemuan arus perdagangan dari utara (kampong Pandalian/wilayah pegunungan) dari arah tenggara (sungai Batang Kampar/wilayah pesisir pantai). Dalam perkembangannya di masa lalu pusat perdagangan bergeser ke Bangkinang.


Berdasarkan toponimi nama-nama kampong yang disebut di atas mungkin berasal dari bahasa Angkola Mandailing. Nama Siaboe adalah nama unik yang menjadi nama kampong, dalam hal ini Bandjar Siaboe. Nama Siaboe juga menjadi nama tempat di wilayah Mandailing dimana terdapat candi Simangambat. Takoes diduga merujuk pada takos yang dalam bahasa Angkola Mandailing adalah tanah liat (boleh jadi dulunya diartikan sebagai muara tanah liat/muara sungai yang banyak tanah liat). Bukankah di kmapong Moera Takoes terdapat candi Moeara Takoes, candi yang terbuat dari tanah liat yang dibakar (batu bata)? Bagaimana dengan nama Pandalian, dalam bahasa Angkola Mandailing dali adalah kacang, jadi pa-kacangan-an=perkacangan. Lalu bagaimana dengan nama Bankinang? Boleh jadi merujuk pada bahasa Angkola Mandailing yang mana bangkunang diartikan sebagai pangkal tandan aren yang dipotong untuk menampung air nira (bangkunan di bargot). Last but not least, apa yang dimaksud dengan Kampar? Kampat diduga merujuk pada hapur (kamper) yang kemudian bergeser menjadi kapur, lalu masuk ke dalam bahasa Fersia/Arab sebagai kafura yang di Eropa disebuat champer dan sterusnya pedagang Portugis menyebutnya sungai Kamper/Kampar. Wilayah Tanah Batak adalah penghasil kamper dan kemenyan. Sungai Kampar pada era Portugis diduga masih lalu lintas perdagangan kamper (yang berasal dari hulu sungai Kampar).

Kampong Moeara Takoes menjadi tempat dimana ditemukan candi (candi Muara Takus) dapat dikatakan tempat yang memiliki candi dengan jarak dekat dengan candi-candi di Padang Lawas (candi Sangkilon dab candi Manggis). Dalam hal ini candi Muara Takus berada satu garis candi berdekatan di pedalaman Sumatra (diantara perbatasan Riau, Sumatra Barat dan Sumatra Utara).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: