(bagian kelima)
Selama
awal pendudukan Jepang di Surabaya, propaganda Jepang terus menerus
dilancarkan. Bahkan setiap hari ada pesan-pesan yang berbau propaganda. Di
koran Soerabaijasch Handelsblad juga pesan-pesan ini dikemas dalam berbagai
bentuk seperti berita, cerita dan maklumat. Bulan-bulan awal kedatangan Jepang,
di koran Surabaya ini dipampang bendera Jepang, lagu kebangsaan Jepang dengan
not baloknya, dan kisah-kisah tentang Jepang dan maksud-maksud Jepang dengan
motif mempersatukan Asia dengan pusat di Jepang (matahari terbit).
Koran
Soerabaijasch Handelsblad yang berbahasa Belanda ditangani oleh orang-orang
Belanda sejak puluhan atau ratusan tahun telah distir oleh pemerintah
pendudukan Jepang di Surabaya. Di edisi-edisi yang terakhir koran ini, sejumlah
berita atau feature berbahasa Indonesia sudah dimasukkan. Lambat laun koran ini
hilang identitasnya sendiri, dan mungkin karena itu koran ini akhirnya hilang
selamanya dari peredaran. Koran ini jua yang menjadi sumber utama dalam artikel
bagian pertama hingga bagian keempat tentang kisah Radjamin ini.
***
Radjamin
sendiri di kantornya sangat sibuk dengan berbagai urusan, di satu sisi silih
berganti menerima tamu-tamu Jepang, di sisi lain harus melakukan rapat
koordinasi dengan pejabat-pejabatnya yang baru (hampir semuanya pribumi) dalam
rangka menjaga kesinambungan pemerintahan dan pembangunan fasilitas kota yang
di sana sini banyak rusak akibat perang Jepang terhadap Belanda. Radjamin juga
sibuk memantau urusan pendaftaran orang asing atas permintaan ‘juragan’nya.
Juragannya yang orang Jepang entah itu mereka ada dimana. Singkat cerita, tidak
ada waktu baginya lagi untuk menerima rakyat yang antri di balai kota.
Tapi
Radjamin tidak kaku dan memang cerdas dan selalu memandang lain terhadap orang
asing, baik Belanda maupun Jepang. Radjamin yang tidak lupa dekat dengan
rakyatnya, tetapi hampir selalu ada waktu luang bagi Radjamin untuk menemui
rakyatnya. Waktu senggangnya di luar dinas dimanfaatkannya tetap dengan gayanya
melakukan blusukan ke mana-mana untuk mendeteksi keluhan masyarakat apalagi
yang terkait dengan permasalahan kebutuhan pokok.
Gaya
blusukan ini tampaknya dilakukan diam-diam (di luar area balai kota), karena
pihak Jepang tidak merestui cara blusukan gaya Radjamin. Pihak Jepang lebih
menginginkan komunikasi satu arah saja dengan penduduk, seperti radio, koran,
maklumat-maklumat, upacara-upacara dan sebagainya. Radjamin jelas tidak bisa
sepenuhnya dikendalikan oleh para ‘juragan’. Demikianlah keseharian Radjamin,
dari minggu ke minggu, bulan ke bulan dan tahun ke tahun.
***
Hiroshima
dan Nagasaki, bulan Agustus 1945 di bom, kemudian Jepang menyerah kepada
sekutu. Pada saat tersebut Indonesia juga memproklamasikan kemerdekaannya
tanggal 17 Agustus 1945. Takahashi Ichiro kemudian menyerahkan sepenuhnya
kepala pemerintahan Kota Surabaya kepada wakilnya, Radjamin Nasution. Fungsi
pemerintahan kota ini dijalankan oleh Radjamin. Terhitung sejak Proklamasi
Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 itu, Radjamin Nasution Pontas ditetapkan
Pemerintah RI di Jakarta (nama Batavia hilang) sebagai Walikota Surabaya.
J.C.G. Becht |
Namun
dalam perkembangannnya, Belanda mendelegasikan urusan pemerintahan ini ke
orang-orang Indonesia yang boleh jadi dibilang pro-Belanda. Walikota yang
menggantikan Bcht adalah Indra Koesoema. Sementara Radjamin, Walikota pro
Republik yang masih berada di pengasingan (di luar kota Surabaya). Selanjutnya,
Indra Koesoema digantikan oleh Soerjadi dari tahun 1946 hingga1950. Periode
Walikota Soejadi ini terjadi ketika Negara Jawa Timur dibentuk--Negara Jawa
Timur adalah sebuah wilayah bentukan Belanda yang didirikan pada tanggal 26
November 1948 dan pada tanggal 9 Maret 1950 bergabung kembali dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Radjamin, Walikota Republik dan perangkat
pemerintahannnya tetap berada di pengasingan.
***
Selama
di pengungsian, Radjamin tetap menjaga korpsnya dan bertindak sebagaimana
seharusnya menjadi walikota (pimpinan). Semuanya ikut membantu perjuangan.
Meski berada di pengasingan, kepemimpinan Radjamin Nasution terbilang baik.
Radjamin sangat memperhatikan pejabat dan karyawannya. Radjamin selama perang
tetap menganggap Kota Surabaya sebagai wilayahnya, hanya saja Radjamin
bolak-balik antara Surabaya dengan Mojokerto dan Tulungagung. Hal ini karena
pusat pemerintahan kota sudah dipindahkan ke Mojokerto dan Tulungagung,
sementara pasukan republic masih berjuang di Surabaya.
Oleh
karena itu, sembari melaksanakan tatakelola pemerintahan, Radjamin juga sibuk
menghimpun kekuatan dan mendukung perlawanan terhadap gempuran sekutu ke pihak
republik. Radjamin bersama pemuda dan karyawan yang masih bertahan di Surabaya,
bahu membahu memfasilitasi keperluan pejuang di medan pertempuran. Dalam hal
inilah peran pemerintahan (di luar kota) berfungsi dalam pertempuran (di dalam
kota).
Radjamin
sendiri dalam situasi dan kondisi perang ini menjadi berfungsi ganda. Selain
mengkoordinasikan fungsi pemerintahan di belakang dalam membantu pejuang di
garis depan, Radjamin juga mengambil alih peran kepala Dinas Kesehatan, seakan
dia yang menjadi Kadis Kesehatan, sedangkan pejabatnya seakan menjadi wakil.
Radjamin yang seorang dokter Stovia dan lebih senior dari dokter-dokter lainnya
tentu tahu apa yang harus dilakukan ketika save and rescue dibutuhkan para
pejuang yang terluka dalam pertempuran. Inilah kelebihan lain Radjamin sebagai
walikota yang berlatar belakang dokter.
***
Agresi
Militer Belanda selesai dan kemenangan ada di pihak Indonesia, serta adanya
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda. Tapi, tak dinyana situasi
dan kondisi yang dihadapi Radjamin berubah. Konfigurasi pemerintahan mengalami
distorsi. Ketika NKRI berproses (pasca pengakuan kedaulatan), sesungguhnya
terdapat dua tatakelola pemerintahan, yakni: pemerintahan republik (anti
Belanda) yang umumnya berada di pengungsian, dan pemerintahan federal (bentukan
Belanda) di wilayah yang sudah dikuasai oleh militer Belanda.
Box: Untuk wilayah Jawa Timur, Belanda membidani berdirinya Negara Jawa Timur, sedangkan lawannya pemerintahan republik berada di luar yang disebut wilayah Negara Jawa Timur. Pemerintahan Kota Surabaya bermarkas di Mojokerto dan Tulungagung. Di Jawa, daerah yang tidak membentuk daerah Federal adalah Jawa Tengah, termasuk di dalamnya Yogyakarta. Untuk wilayah Sumatra Utara, berdiri negara federal (bentukan Belanda) bernama Negara Sumatra Timur yang merupakan wilayah melayu, sedangkan pemerintahan republik ikut mengungsi ketika pasukan Belanda mengempur pasukan republik dan bermarkas di Pematang Siantar dan Tapanuli. Daerah Panyabungan, di Tapanuli Selatan, kampung halaman Radjamin Nasoetion adalah markas terakhir Bupati Tapanuli Selatan (setelah berpindah-pindah dari ibukota Padang Sidempuan waktu itu) yang tidak pernah tersentuh oleh Belanda hingga akhirnya ada pengakuan kedaulatan RI—lihat Benteng Huraba dalam blog ini.
Radjamin
yang secara de facto masih dianggap rakyat sebagai Walikota Surabaya (sekalipun
berada di pengasingan), namun secara de jure Gubernur Militer Soengkono justru
mengakui Indra Koesoema sebagai Walikota. Untuk ini, tampaknya Gubernur Militer
memberikan konpensasi bagi Radjamin dengan ditunjuk sebagai Koordinator Bea dan
Cukai Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya. Koran De vrije pers:
ochtendbulletin tanggal 10-01-1950 yang memberitakan pelatikan Ir. Sardjono
sebagai Direktur Pelabuhan oleh Gubernur Militer, terlihat Radjamin turut hadir yang disebut koran itu Radjamin
sebagai Koordinator Bea dan Cukai Jawa Timur yang sudah diangkat beberapa waktu
sebelumnya. Boleh jadi dalam hal ini berbeda apa yang dipikirkan Radjamin yang
menggap dirinya masih walikota (dan tidak pernah dipecat) dengan apa yang
dipikirkan oleh Gubernur Militer.
***
Ketika
Indonesia dalam proses penyatuan, sesungguhnya tetap muncul adanya dua faksi
pemerintahan di Surabaya: republik dan federal (Negara Jawa Timur), Radjamin
yang secara de facto masih bertindak sebagai walikota republik di pengungsian
(bersama para pejabatnya), jelas-jelas menganggap dirinya masih walikota
(karena Radjamin diangkat oleh Pemerintahan Republik di Jakarta pasca
Proklamasi dan merasa belum pernah dipecat selama ini). Koran Het nieuwsblad
voor Sumatra, 12-01-1950 mengutip pernyataan Radjamin:
‘ketika Negara
Jawa Timur telah berasosiasi dengan republik, maka walikota efektif di Surabaya
maka saya adalah satu-satunya yang bisa mengklaim berfungsi pada bulan
September 1945, saya diangkat dan tidak pernah dipecat. Ketika saya baru-baru
ini mengunjungi Yogya, dimana saya diterima, saya mengajukan pertanyaan kepada
Presiden, apa status saya, Presiden Sukarno menjawab bahwa saya masih sebagai
Walikota Surabaya’.
Koran
ini juga mengutip Radjamin: ‘hari-hari terakhir ini, saya juga menerima telegram
dari Yogya (ibukota RI di pengungsian) yang diberitahu bahwa pejabat saya dan
saya mulai bulan ini sekitar seribu pegawai akan kembali menerima gaji.
Orang-orang ini (maksudnya pegawainya) membutuhkan uang, saya tidak, saya
pensiunan petugas bea cukai (mungkin maksudnya tabungannya masih ada) dan
selain itu, saya diangkat pekan lalu oleh Gubernur Militer Kolonel Soengkono
untuk menjabat sebagai Koordinator Pabean Jawa Timur di Surabaya’. Juga koran
ini mengutip Radjamin: ‘ketika nanti saya efektif kembali menjadi Walikota
Surabaya, saya akan menempatkan mereka (pejabat-pejabat sebelumnya) pada pos
masing-masing (pos lama) di kotamadya, agar pejabat lamanya kembali bekerja
lagi dan supaya proses pemerintahan dan pembangunan cepat berlangsung’.
Dari
pengakuan itu, jelas Radjamin mencerminkan seorang figur pemimpin yang
benar-benar pro republik, dan merasa masih memerankan tupoksi walikota di area
pertempuran dari pengasingan memang bisa dikatakan seorang yang cerdas dan
berpikir efektif, bagaikan seorang dokter. Radjamin adalah citra seorang
pejuang tulen, tidak berpikir mendua dan sangat-sangat setia kepada NKRI.
Radjamin tahu persis apa yang menjadi tanggungjawabnya, sekalipun itu dalam
situasi darurat perang, tetapi Radjamin juga perlu mendapatkan haknya. Radjamin
tetap berjuang untuk memperoleh haknya sebagai Walikota Surabaya.
***
Koran
De Gooi- en Eemlander: nieuws-en advertentieblad yang terbit tanggal 31-01-1950
menulis: ‘satu bulan kemudian, ketika pasukan Inggris mulai membersihkan kota
(Kota Surabaya), Radjamin bersama pasukan republik ikut minggat dengan membawa
sekitar dua ribu pejabat kota hingga pegawai yang paling rendah ke pedalaman
(mengungsi). Radjamin baru-baru ini kembali ke Surabaya, setelah merasa yakin
situasi kondisi kota mulai membaik dan ia merasa masih dianggap oleh rakyat
Surabaya sebagai Walikota. Lantas, Radjamin menginventarisir bahwa pejabatnya
yang masih tersisa sekitar 1000an orang. Namun sempat Radjamin terlihat
bingung, bagaimana nanti membayar pejabat sebanyak itu, ketika situasi dan
kondisi nyata yang dihadapi pemerintahan Surabaya kini sudah begitu miskinnya
akibat perang. Padahal Radjamin beranggapan bahwa pejabat-pejabat ini telah
ikut berjuang bersama dengan pasukan/laskar republik.
***
Soekarno, berpidato di Surabaya, Januari 1950 |
***
Koran
De vrije pers: ochtendbulletin, 04-03-1950 memberitakan kedatangan
Wongsonegoro, Sekjen Departemen Dalam Negeri Urusan RIS ke Surabaya yang
mengumumkan dalam waktu tiga bulan ke depan, bahwa Indonesia adalah negara
kesatuan (NKRI). Dalam pengumuman di rumah Gubernur Jawa Timur, turut hadir
Indra Kasoema, yang kini diketahui menjadi komisaris pemerintah dalam pelayanan
umum dan juga Mr Radjamin Nasoetion, Walikota Surabaya di pihak republik (dari
pengasingan).
De
vrije pers: ochtendbulletin, 07-03-1950, sehari sebelumnya memberitakan
maklumat Gubernur Militer Jawa Timur dalam suatu pertemuan bahwa akan sesegera
mungkin melakukan perubahan pemerintahan. Salah satu yang diutarakan adalah
membubarkan dewan kota dan akan menunjuk seorang walikota atau yang bertindak
sebagai walikota Surabaya secepatnya. Pertemuan tersebut dihadiri antara lain
oleh Kapten Sujudono, mewakili Gubernur Militer dan Mr Radjamin Nasoetion,
Walikota Surabaya Republik di pengungsian. Dalam pertemuan ini juga maklumat
Gubernur Militer juga menginformasikan bahwa daerah Negara Jawa Timur akan
diterima menjadi provinsi Republik Indonesia. Sekarang Negara tidak berfungsi,
membuat Kota Surabaya telah menjadi. milik bagian dari Provinsi Republik
Indonesia dengan pemerintah baru; yang mana pemerintah baru untuk menunjuk
seorang walikota atau walikota bertindak sesegera mungkin dan juga untuk
membentuk sebuah dewan baru yang diselenggarakan dengan pemilihan umum secara
demokratis. Dewan yang dipilih tahun 1948 yang ketuanya Pranoto diminta
mengundurkan diri yang jumlah 33 anggota (26 orang dipilih dan tujuh orang
ditunjuk).
***
Indikasi
dari maklumat Gubernur Militer yang mengarah kepada Radjamin Nasution sebagai
walikota, sehari sesudahnya di koran sangat berlainan. Koran De vrije pers:
ochtendbulletin, 08-03-1950 menulis judul berita: De heer Radjamin op de
burgemeestersstoel; Heer Dul Arnowo Benoeming van de niet erkend. Dalam koran
ini disebutkan bahwa Mr Dul Arnowo atas perintah Gubernur Jawa Timur, Bapak
Samadikun ditunjuk pelaksana Walikota Surabaya. Mr Radjamin yang tengah berada
di ruang walikota, diberitahu keputusan penunjukan Arnowo justru menjawab pers
bahwa dirinya tidak pernah dipecat dan segera akan ke Yogya, sebab baru-baru
ini saya terima ada jaminan diberikan kepada saya oleh Yogya, aku masih walikota
di pengungsian. Sementara itu, dari berita koran ini diberitakan bahwa Mr Dul
Arnowo telah mengisyaratkan adanya penunjukan dirinya oleh Mr Samadikun seperti
ditunjukkan di dalam koran yang dipegangnya di tangan kirinya.
Ini
adalah sebuah polemik. Koran ini juga menulis bahwa Radjamin mengakui telah menemui Soengkono (Gybernur Militer)
kemarin; sebaliknya Dul Arnowo juga telah mengakui telah menemui Samdikun
(Gubernur). Soekono menyebut pagi ini Radjamin akan duduk di kursi walikota,
sedangkan Samadikoen menyebut Dul Arnowo sebagai walikota. Sebagaimana di koran
ini dikatakan, bahwa tindakan. Mr Samadikun benar-benar tidak bisa dimengerti.
Indikasi pernyataan Samadikun ini sudah ada ketika Sekjen Kementerian Dalam
Negeri, RIS, Mr Wongsonegoro datang ke Surabaya beberapa waktu yang lalu, Mr
Samadikun mengatakan dewan federalis (penghianat?) harus berpartisipasi dalam proses ini,
sebab sejak kemerdekaan Radjamin Nasution tidak pernah walikota (bukankah republik memang masih
di pengungsian?). Koran iini juga menulis bahwa Mr Soeroso, seorang menteri
telah mengkonfirmasi bahwa Mr Radjamin masih dianggap sebagai walikota
Surabaya.
Koran
De vrije pers: ochtendbulletin, 09-03-1950 memberitakan dengan judul berita: De heer Radjamin
telegrafeert. Kita diberitahu oleh Radjamin Nasoetion kemarin sehubungan dengan
penunjukan Mr Dul Arnowo sebagai penjabat walikota, bahwa ini (salinan telegraf
di tangan kanannya), bahwa Presiden, Menteri, dan Sekjen telah mengirim telegram membaca kepada saya sebagai
berikut: pada pasal 6 adalah
Stadsgemeenteraad sudah dibubarkan tetapi saya ditunjuk sebagai walikota. Namun
anehnya, Samadikun justru menunjuk Dul Arnowo. Hal ini bertentangan dengan
pemberitahuan dari Menteri Susanto,dan dr Mr Suroso (dari Parindra) yang mana
Surabaya kembali ke Republik Indonesia tidak ada orang lain dari Mr Radjamin
Nasoetion untuk fungsi Walikota Surabaya.
Di
koran De vrije pers: ochtendbulletin, 09-03-1950 memberitakan juga dengan judul
Dewan Gubernur Samadikun mengambil alih masalah kepemimpinan. Di dalam koran
ini disebut bahwa Kolonel Sungkono tidak mau berpolemik ketika gubernur
Samadikun telah mengambil alih masalah ini. Sementara akan berjuang untuk
fungsi tertentu, tidak sekarang, untuk mengambilalih pemerintahan kota. Saya
harus mengambil keputusan. Ini semua berlandaskan bahwa Negara Jawa Timur sudah
dibubarkan dan masuk menjadi bagian Republik.
Koran
Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
09-03-1950 melaporkan bahwa Gubernur Jawa Timur, telah menunjuk Dul Arnowo
sebagai walikota yang yang juga berdasarkan keputusan Gubernur Militer.
Penunjukan ini telah dibuat sambil menunggu pengangkatan walikota oleh
Pemerintah RI. Untuk masalah pembubaran dan pengunduran diri Dewan Kota
Surabaya tidak ada. Untuk itu, pemerintah baru (walikota) secepat mungkin
memilih anggota dewan dengan demokratis. Sementara itu dalam koran ini Radjamin Nasution, mengatakan
tidak mengakui Surat Keputusan untuk menunjuk Dul Arnowo. Radjamin tetap kukuh,
bahwa ia diangkat oleh Pemerintah Republik pada tahun 1945 sebagai walikota dan
tidak pernah dipecat. Juga Radjamin telah mengirimkan telegram kepada
pemerintah Republik dimana ia telah meminta persetujuan keputusannya untuk
mengambil tempat sah Walikota Surabaya lagi.
Box. Di Sumatra
Utara, sejauh yang diketahui, setelah pengakuan kedaulatan RI, pihak republik
mengambil seluruh peran pemerintahan di Sumatra Utara. Pejabat-pejabat federal
(sebagian orang menganggap penghianat) semasa ada Negara Sumatra Timur yang
dibubarkan disingkirkan dari peran pemerintahan baru. Dalam proses awal NKRI
ini, lain daerah lain pula masalah dan caranya. Memang semuanya menjadi NKRI,
tetapi berbeda kisahnya, ada yang hangat berada di pelukan Belanda, ada pula
yang harus mengungsi, makan umbi-umbian di siang hari, tidur kedinginan di
hutan-hutan. Ada yang legowo, ada pula yang tidak legawa.
Radjamin
Nasution, tampaknya tidak legawa ketika kedudukan yang seharusnya atas nama
rakyatnya diambil alih oleh pihak lain. Radjamin tidak gila jabatan, Radjamin
hanya menuntut hak, ketika kewajibannya sudah ditunaikan. Radjamin orang
berpendidikan, seorang dokter Stovia yang sama-sama dengan Dr. Soetomo
membentuk Boedi Oetomo, mantan pejabat tinggi bea dan cukai yang berkecukupan,
satu-satunya anggota dewan kota Surabaya dari kalangan pribumi yang berani
menegor walikota Surabaya yang bangsa Belanda karena tidak pro rakyat, ikut
berjuang besama pasukan republik/laskar rakyat melawan Belanda di
Surabaya, tentu cerdas membedakan mana
yang hak, mana yang bathil.
De
locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 10-03-1950 memberitakan
Dul Arnowo tidak buru-buru ke Balai Kota sekalipun sudah ditunjuk. Arnowo, wait
and see, selama Radjamin ke Yogya. Untuk mengisi kekosongan administrasi
pemerintahan Kota Surabaya, Gubernur Samadikun telah mentrasfer administrasi
kota ke gubernuran. Koran De vrije pers: ochtendbulletin, 21-03-1950
meberitakan dari Yogya, bahwa keputusan tentang Radjamin tampaknya alot.
Desas-desus di sekitar ibukota RI itu, Radjamin tampaknya tidak akan disahkan,
di satu sisi Radjamin adalah benar yang berhak menjadi Walikota Surabaya, tetapi
di sisi lain, dengan melihat situasi terkini di Surabaya akan membuat Radjamin
untuk sulit diterima. Dari lingkaran dalam pemerinatah RI di Yogya ada
terdengar desas-desus, bahwa Mr Iskak Tjokroadisurjo yang akan diajukan menjadi
Walikota Surabaya. Iskak adalah teman Radjamin di Parindra Surabaya, yang
mereka berdua sama-sama terpilih wakil Jawa Timur untuk Volksraad di Batavia.
Koran
De vrije pers: ochtendbulletin, 29-03-1950 memberitakan dari Yogya mengutip
sumber yang diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya bahwa belum ada
keputusan diambil tentang Radjamin. Radjamin sendiri tengah bersiap-siap ke
Yogya. Radjamin juga masih menunggu keputusan. De vrije pers: ochtendbulletin,
04-04-1950 melaporkan bahwa keputusan Radjamin belum ada.
De
vrije pers: ochtendbulletin, 08-04-1950 melaporkan bahwa kemarin Dul Arnowo
ditunjuk untuk menjabat sementara Gubernur Jawa Timur. Tentang Radjamin, Arnowo
tidak bersedia menjawab, tetapi mengiyakan bahwa administrasi Pemerintah Kota
Surabaya menjadi tanggungjawabnya karena sebelumnya Gubernur Samadikun telah
mengambil alih sementara fungsi administrasi Pemerintah Kota Surabaya. Arnowo
hanya menjawab bahwa dia mendengar Radjamin menemui yang berwenang Kementerian
Dalam Negeri di Yogya. Setelah berita ini, tidak pernah muncul lagi pemberitaan
tentang posisi Radjamin sebagai Walikota Surabaya. Ada apa? [catatan: Dul Arnowo sesungguhnya adalah rekan seperjuangan Radjamin di sisi republik, tetapi pihak-pihak federalis terkesan membenturkan antar Radjamin dengan Dul Arnowo. Namun masalahnya, mengapa Arnowo mengambil atau menerima yang menjadi hak Radjamin? Boleh jadi Dul Arnowo lebih dapat diterima oleh federalis maupun republiken, sedangkan Radjamin, republik sejati hanya didukung republiken dan kurang disukai federalis].
______
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber utama tempo doeloe. Sumber pendukung:
+http://basundoro-fib.web.unair.ac.id/artikel_Sejarah
Pemerintah Surabaya Masa Kolonial Belanda Sampai Masa Penjajahan Jepang.
+Yousri
Nur Raja Agam M.H, ‘Radjamin Nasution, Walikota Pertama Surabaya’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar