Zainul Arifin Pohan adalah figur yang lengkap dan kuat. Mantan Panglima Perang di era perang (masa agresi militer Belanda) yang pintar berdiplomasi dan santu berkomunikasi. Zainul Arifin Pohan yang pernah santri di Pesantren Purba Baru, Kotanopan adalah tokoh yang disenangi di kalangan NU karena mampu mengakomodir keingingan NU di dalam kiprahnya sebagai parlementer. Zainul Arifin Pohan adalah pemimpin politik yang utama di kalangan NU. Zainul Arifin Pohan sebagai tokoh Islam di level pemimpin tinggi Republik Indonesia menggagas dibangunnya masjid besar di Jakarta (yang kelak disebut Masjid Istiqlal). Zainul Arifin Pohan adalah tokoh Islam yang tegas tetapi memiliki toleransi yang tinggi.
Pendirian Akademi Hukum Militer, Pembangunan
Masjid Istiqlal dan Awal Mula Pembebasan Irian Barat
Dari
kasus pemberontakan di Aceh dan peran militer dalam menumpas gerakan, untuk
mengantisipasi ke depan, dipandang perlu untuk membentuk Akademi Hukum Militer.
Pengurus dan dosen akademi tersebut telah ditetapkan (De nieuwsgier,
30-10-1953). Dalam pembentukan akademi ini hadir Wakil Perdana Menteri II,
Zainul Arifin Pohan. Juga hadir Kepala Staf AD Jenderal Simatupang. Direktur
akademi ini ditetapkan Mr. Basaruddin Nasution.
Sebagai
tokoh Islam dan pemimpin politik NU, peran Zainul Arifin Pohan sangat menentukan
didirikannya masjid besar di Jakarta yang beralamat Wilhelmina. De nieuwsgier, 30-11-1953
melaporkan Jumat telah diadakan pertemuan dan dibentuk komite pembangunan
masjid besar di Jakarta. Dalam pertemuan itu hadir tokoh Isalam dan dan
perwakilan organisasi. Pertemuan tersebut dipimpin Wakil Perdana Menteri II,
Zainul Arifin yang juga dihadiri Menteri Dalam Negeri, Prof. Hazairin. Susunan
komite pembangunan masjid besar Jakarta ini adalah Anwar Tjokroaminota (ketua)
dan anggota Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Assaat dan KH Taufiquarrahman.
Masjid besar
Jakarta ini kemudian diberi nama Masjid Istiqlal. Sebagaimana diketahui masjid
itu dirancang oleh arsitek Fredrerich Silaban. Penetapan F. Silaban karena
berhasil dalam sayembara pada tanggal 5 Juli 1955. Peletakan batu pertama
dilakukan Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961. Masjid besar Jakarta itu
selesai tahun 1978.
Dalam
hubungannya dengan pengakuan kedaulatan RI (hasil KMB), disebutkan bahwa Irian
Barat akan diserahkan pada waktunya. Namun sebelum waktunya Wakil Perdana
Menteri II, Zainul Arifin Pohan kedatangan tamu dari Irian Barat. De waarheid,
06-01-1954 melaporkan bahwa Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan telah
menerima Sultan Machmud Rumagessan yang menceritakan situasi dan kondisi
terkini di Irian Barat. Dalam penerimaan
ini juga hadir Menteri Luar Negeri dan Menteri Pendidikan. Sultan menyatakan
bahwa penduduk menuntut langkah-langkah lebih aktif untuk Irian Barat yang
kembali ke Republik Indonesia. Rumagessan telah beberapa kali ditangkap oleh
imperialis Belanda sehubungan dengan dirinya sebagai oposisi untuk pemerintahan
kolonial.
Sebagaimana
diketahui Zainul Arifin Pohan adalah pejabat tinggi Negara yang selalu
mengusung NKRI harga mati. Tampaknya Sultan Machmud Rumagessan tahu persis
kepada siapa dia harus melaporkan situasi dankondisi terkini di Irian Barat
sebagai bagian dari NKRI (hasil KMB, 1949). Zainul Arifin Pohan segera pula ke
Makassar dan pemerintah merespon positif dan mendirikan Biro Irian Barat.
Algemeen Indisch
dagblad: de Preangerbode, 09-01-1954: ‘Hari Kamis tiba di bandara Mandai di
Makassar, Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin. Dia dan rombongan, termasuk
sekretarisnya, Mr. Sumardi tiba di Makassar menggunakan pesawat GIA.
Algemeen
Handelsblad, 27-01-1954: ‘Pemerintah Indonesia membentuk Biro Irian Barat yang
terdiri dari Perdana Menteri, Mr. Ali
Sastroamidjojo. Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, Menteri Luar Negeri,
Mr. Sunarjo, Menteri Dalam Negeri, Prof. Hazairin dan Menteri Pendidikan, Mr. Moh.
Yamin’.
Zainul Arifin
Pohan dan Burhanuddin Harahap
Zainul
Arifin Pohan adalah mantan Panglima Perang di era perang kemerdekaan, mantan
ketua komisi pertahanan parlemen RI dan kini menjadi Wakil Perdana Menteri II
(urusan dalam negeri termasuk bidang pertahanan). Peraturan dan keputusan
pemerintah di bidang pertahanan mulai diuji. Sang penguji adalah Burhanuddin
Harahap.
Algemeen Indisch
dagblad: de Preangerbode, 28-01-1954: ‘Parlemen Rabu pagi ini mengadakan sidang
paripurna publik membahas draft gerakan Mr. Burhamuldin Harahap et al.
Rancangan resolusi berusaha pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 35 dan
pencabutan semua peraturan, keputusan dan tindakan dari menteri pertahanan,
termasuk yang telah dibuat staf umum tentara. Dalam Sidang ini dihadiri oleh
134 anggota. Dari pihak Pemerintah hadir Pertama Perdana Menteri I, Mr
Wongsonegoro, Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin dan Menteri Informasi,
FL. Tobing’.
Ini
berarti Zainul Arifin Pohan akan berhadapan dengan Burhanuddin Harahap.
Sebagaimana diketahui keduanya pada awalnya adalah tokoh penting di Partai
Masyumi. Dalam perkembangannnya NU keluar dari Masyumi. Kini, Zainul Arifin
Pohan sebagai pemimpin politik NU akan berhadapan dengan Mr. Burhanuddin Harahap,
pemimpin politik Masyumi. Apakah ada ‘perang’ diantara dua tokoh politik dari
kalangan Islam asal Sumatera Utara? Burhanuddin Harahap kelahiran Medan
(Sumatera Timur) dan Zainul Arifin Pohan kelahiran Baros (Tapanuli). Sumatera
Utara sendiri terdiri dari Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur.
Mr. Burhanuddin Harahap menjadi Perdana Menteri RI
(menggantikan Mr. Ali Sastroamidjojo) sejak tanggal 12 Agustus 1955. Pada masa
jabatani Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dilaksanakan Pemilihan Umum
(Pemilu) di Indonesia yang pertama kali sejak masa kemerdekaan. Sebagaimana
diketahui, Pemilu 1955 adalah satu-satunya penyelenggaraan Pemilu yang pernah
dilaksanakan semasa Pemerintahan Republik Indonesia di bawah Presiden Soekarno.
Setelah kunjungan Zainul Arifin Pohan ke Aceh
(tidak sempat ke Medan, hanya transit saja) di awal pengendalian pemberontakan
Aceh, di Jakarta, Zainul Arifin Pohan sungguh sibuk menghadapi banyak masalah,
seperti Sulawesi Selatan, rekonstruksi nasional. Masalah teranyar adalah
menerima desakan (demonstrasi) untuk membebasakan Irian Barat dan ekstradisi
Westerling) serta demonstrasi yang menuntut pemerintah DKI Jakarta menjadi
daerah yang penyelenggaraannya mengikuti demokrasi (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 23-02-1954). Tentu saja soal mosi dari Burhanuddin Harahap tentang
pertahanan di parlemen yang menyita waktu banyak dari Zainul Arifin Pohan.
Kini, Zainul Arifin Pohan berkunjung ke Medan (tempat kelahiran Burhanuddin
Harahap, Zainul Arifin Pohan sendiri adalah BTL). Anehnya, kunjungan Zainul Arifin
Pohan ke Medan tidak diketahui persis agendanya: Apakah urusan internal NU?
Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-03-1954: ‘Wakil Perdana
Menteri II, Zainal Arifin tiba di Medan. Kemarin sore pukul tiga tiba Wakil
Perdana Menteri II, Zainul Arifin, dengan pesawat dari Jakarta ke Medan.
Awalnya, Mr Zainul Minggu sudah diharapkan di Medan. Ia menyatakan bahwa ia
harus menunda kedatangannya sehubungan dengan kunjungan yang sangat penting
untuk Soerabaja. Mr Zainul Arifin dikatakan telah datang ke Medan untuk memeriksa
situasi keamanan di daerah ini. Dia menambahkan bahwa dia tidak mengartikan
bahwa hal itu tidak aman di Sumatera Utara. Namun menurutnya lebih baik untuk
mengunjungi daerah langsung daripada menerima laporan dari jauh. Wakil Perdana
Menteri II ketika ditanya, ia menyatakan bahwa, tidak mengagendakan untuk
mengunjungi Aceh. Mr Zainul mengatakan bahwa ia akan membiarkan keadaan
tergantung pada berapa lama dia tinggal di Medan’.
Sebagaimana diketahui di Aceh sudah kondusif
atas usaha keras dari Gubernur Sumatera Utara, SM Amin Nasution. Juga, Zainul
Arifin Pohan tidak dalam posisi berseteru dengan Burhanuddin Harahap (yang
mosinya ditolak di parlemen). Zainul Arifin Pohan juga tidak dalam rencana
pulang kampong, sebab kampungnya jauh berada di Tapanuli.
De nieuwsgier, 08-04-1954: ‘Militer merupakan
perpanjangan dari "bantuan militer" tidak lagi dibutuhkan di Aceh,
kata gubernur SM Amin Nasution. Namun demikian, ia diminta untuk memberikan
bantuan militer ini sampai akhir April. Amin mengingat kurangnya senjata dan
amunisi membuat pemberontak melemah dan tidak ada bukti ada pasokan dari luar
negeri. Menurut Amin, pemberontak dapat dibagi menjadi dua groep, orang yang
ingin menyerah, dan satu yang akan bertahan dalam perlawanan. Terutama di
kalangan pemimpin junior, ada banyak yang sudah muak dengan pemberontakan. Tapi
juga di antara para pemimpin penting ada yang ingin menyerah. Gubernur menilai
bahwa seruannya pada pemberontak untuk menghentikan perlawanan bersenjata
melalui pamphlet 20.000 lembar yang dikeluarkan telah berbuah hasil. Hal ini
menunjukkan kecenderungan meningkat dari pemberontak untuk menyerah’.
Lantas untuk tujuan apa, apalagi tenggat
waktu di Medan tidak ditentukan (hanya sesuai dengan yang diinginkannya). Boleh
jadi Zainul Arifin Pohan dalam agenda mengunjungi konstituen. Sebagaimana
diketahui di Sumatera Utara ada tiga tokoh NU: Muda Siregar (Residen Sumatera
Timur) dan AM Jalaluddin (Walikota Medan) serta Ketua NU Padang Sidempuan
(Sjech Mustofa Husin). Tentu saja mengunjungi sanak keluarga di Medan yang
berasal dari Tapanuli utamanya dari Baros (Tapanuli Tengah) dan Kotanopan
(Tapanuli Selatan).
Sebelum ke Medan, Zainul Arifin Pohan telah membentuk
komite untuk melakukan misi ke sembilan negera Islam di Asia dan Afrika. Ketua komisi
muhibah itu dipimpin oleh Harsono Tjokroaminbito. Setelah usai kunjungan,
rombongan muhibah ini melapor ke Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan
(Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-04-1954).
Di Jakarta, demonstrasi semakin marak dari
waktu ke waktu. Berbagai isu bisa muncul kapan saja dan diimplementasikan
melalui demonstrasi. Pemerintah Kabinet Ali makin lama makin tertekan. Secara
pribadi, mungkin tidak terlalu berat bagi Zainul Arifin Pohan. Perbedaan
penafsiran tentang demostrasi pun menyeruak diantara para pemimpin. Zainul
Arifin Pohan mungkin merasa tidak urgen mengatasi demonstran jika dibandingkan
dengan masalah pertahanan Negara. Mantan Panglima Perang ini menganggap NKRI
lebih penting dari segalanya.
De nieuwsgier, 06-04-1954: ‘Larangan Demonstrasi. Wakil
Perdana Menteri Zainul II, Arifin, atas pertanyaan PIA, mengatakan bahwa
demonstrasi dan pertemuan massa tidak dilarang. (tetapi di pihak lain) Setelah
demonstrasi dari Badan Kontak Organisasi2 Islam Jakarta, dimana insiden
terjadi, Kantor Kepala Kejaksaan telah mengeluarkan larangan pengorganisasian
demonstrasi’.
De nieuwsgier, 08-04-1954: ‘Pemerintah meminta Wakil
Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan untuk mengendalikan provinsi Sunda
Ketjil (Nusa Tenggara) dan melakukan inspeksi langsung’.
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 09-04-1954:
‘Untuk keselamatan Sulawesi Selatan tiga ratus juta dialokasikan. Zainul Arifin
Pohan mendapat kritikan dari parlemen karena dianggap terlalu besar. Menurut
Zainul alokasi tidak hanya untuk menjaga tahanan tetapi juga untuk menangani
para tahanan yang jumlahnya mencapai
20.000 orang untuk ditransmigrasikan plus keluarga mereka. Biaya itu untuk
meminimalkan perang namun pemerintah
telah demikian tidak diabaikan kebutuhan daerah lain. Dari tiga ratus juta
rupiah disahkan oleh Departemen Keuangan. Ketika rencana ini dilaksanakan,
pemerintah berharap bahwa "cadangan kontingensi’ ini akan memulihkan
situasi keamanan dan akan terus memiliki kemajuan di Sulawesi Selatan. Namun,
pemerintah harus mengakui dengan penyesalan bahwa situasi keamanan saat ini di
Sulaivesi Selatan, pada kenyataannya, belum sepenuhnya normal’.
De vrije pers: ochtendbulletin, 03-05-1954: ‘Infiltrasi
di Sumbawa. Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, yang baru saja kembali ke
Jakarta pada kunjungan orientasi ke Sumbawa, Minggu sebagian pengikut Kahar
Muzakkar di Pulau Sumbawa. Sekitar dua atau tiga bulan lalu menyusup elemen
Kahar Muzakkar dari Sulawesi (Celebes) ke Sumbawa melalui Bima. Infiltrasi kata
Wakil Perdana Menteri II masih menunjukkan tahap awal. Sudah ada menangkap
beberapa orang untuk penyelidikan’.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar