Hanya
ada dua etnik di Indonesia yang heboh naik haji, yakni Orang Jawa dan Orang
Batak. Etnik lainnya biasa-biasa saja. Tentu saja itu dikaitkan dengan buku
berjudul Orang Jawa Naik Haji karya Danarto dan buku berjudul Orang Batak Naik
Haji karya Baharuddin Aritonang. Lantas mengapa dua judul buku itu muncul?
Inilah jawabnya! Orang Jawa dan orang Batak yang dimaksud memang benar-benar
naik haji, yakni: Presiden Soekarno dan Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin
Pohan. Dalam kapasitas mereka, Soekarno dan Zainul Arifin Pohan adalah dua
petinggi negara tertinggi Republik Indonesia yang pertama yang naik haji.
Karena itu, mereka disambut sukacita oleh Raja Arab Saudi.
***
Soekarno dan Zainul Arifin Pohan berangkat
naik haji ke Mekah setelah tiga urusan Negara yang sangat penting selesai.
Urusan Negara itu adalah: pertama, Zainul
Arifin Pohan telah berhasil meredakan pemberontakan di Jawa Barat (Kartosuwirjo),
Aceh (Daud Beureuh) dan Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar). Saat pemberontakan
itu terjadi yang menjadi panglima secara dejure adalah Presiden Sukarno tetapi
secara defacto yang menjadi panglima adalah Wakil Perdana Menteri, Zainul
Arifin Pohan. Kedua, persiapan pelaksanaan Pemilu 1955 yang
juga cukup menyita banyak perhatian, karena Zainul Arifin Pohan telah banyak
menangkis berbagai usulan yang tidak sesuai peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku dari peserta pemilu, terutama dari Partai PKI. Ketiga, Urusan lainnya yang tidak kalah
penting sebelum berangkat naik haji adalah bahwa proses pembangunan Masjid
Istiqlal sudah berjalan. Soekarno dan Zainul Arifin Pohan adalah dua orang
penting di depan yang memulai merealisasikan gagasan pendirian masjid besar di
Jakarta (yang kemudian dikenal sebagai Masjid Istiqlal).
Kebetulan dua hal yang pertama berada di
bawah tanggungjawab Zainul Arifin Pohan sebagai Wakil Perdana Menteri II.
Setelah Wakil Perdana Menteri I mengundurkan diri dan Zainul Arifin Pohan
menjadi Wakil Perdana Menteri urusan pendirian masjid Istiqlal menjadi otomatis
urusan Zainul Arifin Pohan. Dengan demikian, Sukarno dan Zainul Arifin Pohan
lega dan menjadi fokus untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Perjalanan Menuju Mekah
Sukarno adalah perancang masjid yang andal sejak
mahasiswa, sedangkan Zainul Arifin adalah anak santri yang menjadi Panglima
Hisbullah (di era perang melawan Belanda) yang menjadi ketua komisi pertahanan
di parlemen (pemimpin politik tertinggi dari kalangan NU).
Untuk tujuan utama Presiden Sukarno
menunaikan haji ke Mekah ada sejumlah agenda yang akan dilakukan sepanjang
perjalanan di India, Pakistan, Mesir dan Arab Saudi. Kebetulan empat Negara ini
termasuk yang merupakan penyokong utama kemerdekaan Indonesia, membantu dalam
perang kemerdekaan dan rakyat di empat negera itu terjanyata sangat
mengapresiasi hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia mengusir penjajah dan
merebut kemerdekaan.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
15-06-1955: ‘Presiden Naik Haji. Presiden Sukarno akan menunaikan ibadah haji ke
Mekkah pada 14 Juli tahun ini. Selain itu Presiden dan rombongan akan mengunjungi
Pakistan dan Mesir, juga singgah di New Delhi, dimana Presiden berada untuk
setengah hari sebagai tamu pemerintah India. Di New Delhi, Presiden Sukarno
akan berbicara kepada publik. Dari New Delhi, Presiden akan berangkat presiden
ke Karachi, dimana Presiden juga akan diterima sebagai tamu negara. Presiden
Soekarno bermaksud untuk melanjutkan perjalanan setelah dari Pakistan terus ke Kairo
dalam rangka memenuhi undangan dari Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser. Di
Mesir, Presiden Sukarno akan berada selama lima hari. Sekali lagi, presiden
akan menyampaikan pidato kepada publik. Presiden juga berencana untuk
mengunjungi piramida, sungai Nil, bekas istana Farouk dan lainnya. Setelah ini,
berangkat haji ke Mekkah dan akan diterima juga sebagai tamun Negara di Arab
Saudi yang akan mengadakan pidato. Rombongan Presiden akan terdiri dari sekitar
30 orang yang akan berangkat pada 14 Juli dan tanggal 5 Agustus kembali ke Jakarta’.
Setelah dari India, Presiden Sukarno ke
Pakistan Diibukota Karachi, Presiden mengatakan bahwa langkah-langkah lebih
lanjut pemerintah Indonesia akan melakukan pengembangan hubungan budaya antara
Pakistan dan Indonesia. Dalam kunjungan Presiden pada hari terakhir, Jumat di
Mesir Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser melakukan sholat
Jumat di Masjid Al Azhar yang telah berusia 1000 tahun. Di masjid ini Presiden sekaligus
berdoa sebelum berangkat ke tanah suci. Antara istana Gamal Abdel Nasser hingga
ke bandara dielu-elukan ribuan penduduk Mesir. Di bandara Presiden dan
rombongan diantar oleh Ketua Dewan Revolusi Mesir dan Rektor Universitas Al
Azhar. Rektor memberikan kepada Presiden Sukarno salinan Quran langka yang dicetak
di atas kertas linen (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 25-07-1955).
Setelah berakhir kunjungan di Mesir (Kamis),
rombongan Indonesia lainnya yang bergabung dengan rombongan Presiden Sukarno untuk
menunaikan ibadah haji dipimpin oleh Wakil Pernana Menteri Zainul Arifin Pohan.
Rombongan Wakil Perdan Menteri Zainul Arifin Pohan tiba di Kairo hari Jumat dan
secara bersama-sama berngkat dari Kairo ke Jeddah. Di Kairo Zainul Arifin Pohan
melakukan pembicaraan dengan Wakil Perdana Menteri Mesir, Gamal Salim.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-07-1955: ‘Wakil Perdana
Menteri Mesir diundang (Wakil Pernana Menteri Zainul Arifin Pohan) sebagai tamu
negara dari Pemerintah Indonesia untuk menghadiri 17 Agustus di Jakarta. (Gamal
Salim) akan tinggal di Indonesia dua minggu dimana Mesir juga akan
berpartisipasi dalam pameran perdagangan internasional ketiga di Jakarta yang
akan dibuka 18 Agustus sekaligus untuk mengkonsolidasikan hubungan perdagangan
antara Mesir dan Indonesia’.‘
Di Tanah Suci
Kehadiran Presiden dan Rombongan di Tanah
Suci tidak terlaporkan di surat kabar. Namun berita-berita di tanah suci baru
muncul kemudian. Satu hal yang menarik perhatian ketika Presiden Sukarno berada
di makam nabi Muhammad SAW.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 01-12-1955: ‘Presiden mengatakan sesuatu tentang
penemuannya selama ziarah ke Mekah. Presiden Soekarno mengatakan ia menangis
seperti anak kecil, ketika ia berada di makam Nabi dan sejak saat itu pikiran
presiden menjadi hidup untuk bekerja keras
pada pembangunan masjid. Menurut kepala negara syarat mutlak agar mampu
membangun konstruksi berkelanjutan masjid yang besar, seperti masjid-masjid di
Kairo yang sudah berusia ribuan tahun. Jadi, untuk membangun masjid Istiqlal di
Jakarta harus dibangun dari ‘batu hidup’, beton dan marmer dan fitur pintu dari
logam yang dapat menantang waktu’.
Ini berarti desain Masjid Istiqlal yang
dirancang oleh F. Silaban harus dibangun sangat kuat agar bisa dilihat
berpuluh-puluh generasi sebagaimana Masjid Al Azhar. Kekuatan hati Sukarno ini
terpancar saat Presiden berziarah ke makam nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana diketahui bahwa baru ada beberapa masjid
besar dan megah yang sudah lama dibangun di Indonesia yang berada di Medan
(Masjid Maimun) dan di Banda Aceh (Masjid Baiturrahman) serta Masjid Tandjongpoera
di Langkat. Namun ketiga masjid ini keterlibatan Belanda masih sangat dominan.
Dua masjid yang sudah dibangun di era Presiden Sukarno baru ada di Bandung dan
di Yogyakarta. Masjid besar di Jakarta yang tengah berproses direncanakan
menjadi masjid terbesar di Indonesia. Baru-baru ini, ketika Sukarno melakukan
kunjungan ke Semarang, Presiden juga membicarakan pendirian masjid besar yang
baru dengan Gubernur Jawa Tengah. Sebagai ketua panitia sudah ditunjuk Moch,
Bachrum (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 23-11-1955).
Dalam rangkaian kerja pertama petinggi Negara
(Sukarno dan Zainul Arifin) yang keduanya menganut paham kesatuan murni (NKRI),
Dua tokoh penting ini dapat dianggap sebagai tokoh pemersatu yang di awal rekonstruksi
pembangunan bangsa yang baru dapat dimplementasikan adalah pembangunan masjid.
Sebagaimana pernah dikatakan Presiden Sukarno saat meresmikan Masjid Suhada di
Yogyakarta bahwa masjid dari sudut pandang agama, karena masjid, meskipun
kecil, itu akan menjadi pusat kehidupan beragama. Sementara dari sudut pandang sosial-religigus
karena Islam bisa mengejar tujuan sosialnya, sedangkan dari sudut pandang
politik, karena masjid adalah merupakan pusat perjuangan nasional (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-09-1952).
Sebagaimana diketahui, ketika Zainul Arifin Pohan masih
di parlemen (menjadi ketua komisi pertahanan), Mantan Panglima Hisbullah (pasukan
sayap kanan Jenderal Sudirman) ini mempelopori dibentuknya Biro Konstruksi
Nasional dan menjadi ketua (untuk memulihkan para mantan pejuang perang baik yang
masih hidup maupun yang sudah gugur serta para keluarganya). Dua upaya biro ini
adalah mendirikan Masjid Suhada di Yogyakarta dan pembentukan Makam Pahlawan
Kalibata. Biro ini menunjuk Mr. Assaat (mantan Ketua KNIP) untuk Ketua Panitia
Pembangunan Masjid Suhada. Setelah Zainul Arifin Pohan diangkat menjadi Wakil
Perdana Menteri II, biro yang dulunya otonom ditransfer menajadi berada di
bawah Kementerian Dalam Negeri.
Zainul Arifin Pohan (Wakil Perdana Menteri RI) ‘Menemani’
Gamal Salim (Wakil Perdana Menteri Mesin) Selama di Jakarta
Gamal Salim, Wakil Perdana Menteri Mesir
benar-benar memenuhi undangan Wakil Perdana Menteri Indonesia, Zainul Arifin
Pohan. Di bandara Kemajoran Gamal Salim langsung disambut oleh Zainul Arifin
lalu melakukan kunjungan ke Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Setelah usai
tugas Gamal Salim di Jakarta, Presiden Sukarno mengajak Gamal Salim dan
rombongannya beristirahat ke Bogor di Istana Bogor.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 22-08-1955: ‘Gamal Salem di Bogor. Didampingi oleh Presiden
Soekarno, Wakil Perdana Menteri Mesir, Gamal Salem Jumat pagi tiba di Bogor.
Setelah beberapa waktu di Jakarta untuk berkesempatan ke istana di Bogor untuk santai.
Presiden Sukarno dengan tamu tinggi
Mesir berangkat ke masjid besar Empang di
Bogor untuk melaksanakan Salat Jumat. Jumat sore, Presiden dan tamunya membuat
tur sekitar satu setengah jam di dalam kota, juga termasuk di Kebun Raya Bogor.
Mobil Sukarno dan Gamal Salim sepanjang jalan berdiri warga Bogor menyambut sehingga
iring-iringan mobil Presiden dan tamnunya hanya bisa maju sangat lambat maju.
Jumat malam diadakan pegelaran seni istana’.
Sebagaimana diketahui, Wakil Perdana Menteri
Indonesia, Zainul Arifin Pohan yang tidak hanya fasih berbahasa Batak
(Mandailing/Angkola) juga fasih berbahasa Belanda, Inggris dan bahasa Arab.
Karenanya, dua Wakil Perdana Menteri dari dua Negara bersahabat itu menjadi
lebih akrab, tidak kaku karena komunikasi menjadi lancar. Kemampuan bahasa Arab dari Zainul Arifin
sudah ada sejak dari kampong halaman di Tapanuli.
Tentang Haji di Indonesia dari Masa ke Masa
Konon, orang pribumi pertama naik haji adalah
orang Batak (cf. MO Parlindungan (1964). Sebagaimana diketahui sebelum Belanda
menguasai Sumatera (traktat London 1824), salah satu pelabuhan terawal orang-orang
Inggris adalah pelabuhan Natal. Kapal-kapal Inggris yang lalu lalang antara
Sumatra, India dan Mesir adakalanya dimanfaatkan oleh orang Batak yang berada
di pesisir (khususnya di Natal) yang sudah beragama Islam untuk pergi naik
haji.
Oleh karenanya, tidak aneh, ketika Willem Iskander (orang
pribumi pertama studi ke Belanda, 1957) pernah menyatakan bahwa di Natal sudah
sejak lama terdapat sekolah agama yang terkenal. Kota Natal pada masa ini
dipandang strategis di masa lalu, karena dari kota inilah pendidikan agama
Islam berdifusi ke pedalaman Tanah Batak terutama di Mandaling dan Angkola
(kini Tapanuli Selatan). Orang Batak sendiri, dengan melihat sejarah kuno,
sebagian sudah beragama Islam: di sebelah barat menyebar dari Barus, dan di sebelah
timur menyebar dari Panai (Kerajaan Aru).
Boleh jadi para pembaca kaget dan tidak
sependapat. Tapi, jawabannya karena kita kurang mengetahuinya saja. Demikian
juga, para pembaca dulunya kaget ketika mengetahui bahwa yang mendesain Masjid
Istiqlah adalah orang Batak. Bahkan pembangunan masjid Suhada di Jogjakarta
(masjid pertama yang dibangun RI) dan Masjid Istiqlal paling besar di Indonesia
di Jakarta banyak yang tidak menyadarinya yang mempelopori adalah orang Batak
(Zainul Arifin Pohan). Lantas, semua itu, lambat laun dapat dibuktikan.
Daftar pionir orang Batak semakin banyak jika ditambahkan
hal berikut: siswa pertama dari luar Jawa yang kuliah di Docter Djawa School
(cikal bakal STOVIA) pada tahun 1854; pribumi pertama studi ke negeri Belanda
(1857); editor surat kabar pribumi pertama yahun 1897 (bukan Tirto Adhi Soerjo,
1903); pendiri pertama organisasi social di Padang, Medan Perdamaian tahun 1900
(bukan Boedi Oetomo, 1908); pendiri organisasi mahasiswa pertama di Belanda
tahun 1908 bernama Indisch Vereeniging (cikal bakal PPI); perempuan pertama berpendidikan
modern (sekolah Belanda); perempuan pertama bergelar doctor (PhD) tahun 1930 di
Leiden); dan lain-lain banyak lagi; termasuk orang Indonesia pertama ke Jepang
(1932), walikota pribumi Surabaya (1942); residen Lampung pertama (1945).
Namun bukan itu yang ingin dikatakan, tetapi
orang pertama yang menyusun buku panduan naik haji ke Mekah. Buku pedoman naik haji
itu ditulis oleh Haji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, alumni sekolah guru
di Padang Sidempuan (1884), seorang mantan guru yang menjadi editor surat kabar
pribumi pertama (1897). Buku pedoman itu awalnya diterbitkan pertama kali tahun
1900 di surat kabar Pertja Barat di Padang lalu dibukukan (semacam buku saku). Setelah
memperhatikan gunanya, pemerintah colonial Belanda mengadopsi buku tersebut sebagai
buku pedoman naik haji secara nasional. Buku tersebut dicetak secara massal dan
dikirimkan kepada masing-masing kota di nusantara untuk dibagikan kepada calon
jamaah haji. Buku pedoman naik haji ini juga pernah diterbitkan di majalah Bintang
Hindia yang terbit di Belanda secara berseri tahun 1904.
Orang Batak Naik Haji (foto di Jeddah tahun 1870) |
Sejak 1850an secara kasat mata orang Indonesia naik haji
sudah mulai kelihatan secara berkelompok pergi naik haji melalui kapal-kapal
dagang Arab, Persia baik yang melalui semenanjung Malaya (Singapore, Malaka dan
Penang) maupun pantai barat Sumatra (Bengkulu, Baros dan Singkel). Setiap
pelabuhan dokumen para jamaah dicatat oleh para sjahbanbdar. Dokumen-dokumen
inilah yang menjadi sumber statistik haji Indonesia di awal pencatatan haji
Indonesia. Oleh karena, jumlah jamaah haji dari nusantara meningkat dari tahun
ke tahun lalu pemerintah Belanda sejak 1870 mengambil alih fungsi kapal-kapal
dagang itu menjadi bagian dari pelayaran Belanda untuk haji yang berasal dari
Nusantara. Pada kloter pertama (1870) pusat pemberangkatan haji di pantai barat
ditempatkan di Padang. Jamaah haji asal Tapanuli (khususnya Mandailing dan
Ankola) menuju embarkasi di Padang.
Salah satu jamaah haji Indonesia tersebut
adalah Dja Endar Moeda. Namun demikian, pada saat itu, pemerintah colonial hanya
sekadar mengantarkan ke Jeddah dan mengembalikan ke Indonesia dan tentang
urusan haji, apa yang harus dipersiapkan, bagaimana gambaran tentang selama di
perjalanan ke Jeddah, perjalanan dari Jeddah ke Mekkah maupun selama menunaikan
haji di Mekah dan Madina menjadi urusan masing-masing (kelompok) jamaah haji.
Akibatnya, banyak jamaah yang tidak bisa kembali ke tanah air, karena
kekuarangan biaya, meninggal atau ingin berdiam di Arab Saudi. Melihat situasi
dan kondisi jamaah haji asal Indonesia ini Dja Endar Moeda menyusun buku
pedoman naik haji: buku pedoman yang tidak dimaksudkan untuk orang Batak naik
haji tetapi untuk seluruh jamaah Indonesia (buku pedoman ditulis dalam bahasa
Melayu dengan bahasa yang mudah dipahami).
Orang-orang Indonesia yang pergi naik haji
banyak juga diantaranya setelah berhaji tidak lantas pulang tetapi ingin
berdiam di Mekkah untuk belajar tentang (pendidikan) agama Islam. Bahkan ada
yang bertahun-tahun baru pulang ke tanah air dan bahkan ada juga yang berdiam
di tanah suci untuk selamanya. Salah satu jamaah haji Indonesia orang Batak
adalah Mustafa Husein: tidak hanya mengikuti pendidikan agama Islam di Mekkah
tetapi juga di Cairo, Mesir. Setelah lama tinggal di Mekkah, Sjech Mustafa
Husein kembali ke tanah air dengan maksud untuk mendirikan sekolah agama di
Mandailing tahun 1913. Sekolah itu kini dikenal sebagai Pesantren Purbabaru, Kotanopan,
afd. Padang Sidempuan sebuah pesantren terbesar di Sumatra sejak masa
pendiriannya hingga pada masa ini). Sekolah agama yang di jaman dulu berada di Kota
Natal (pelabuhan) kini telah bergeser ke Kotanopan (pedalaman)
Sejaman dengan pesantren Purbabaru ini juga bermunculan
pesantren di Jawa, khususnya di Jawa Timur, seperti Jombang dan Ponorogo. Boleh
jadi, para pendiri pesantren tersebut di Indonesia merupakan alumni-alumni yang
saling kenal satu sama lain baik di Mekkah maupun Cairo.
Di pesantren Purbabaru, Kotanopan inilah
Zainul Arifin Pohan mulai mendapat pendidikan agama Islam. Zainul Arifin Pohan
yang telah menjadi Wakil Perdana Menteri, ayahnya berasal dari Barus dan ibunya
berasal dari Kotanopan. Setelah remaja, Zainul Arifin Pohan hijrah ke Jawa di
Batavia. Sebagaimana diketahui, Zainul Arifin Pohan adalah pemimpin politik
tertinggi NU (Partai NU). Pada tahun 1954, dua kandidat NU dapil Sumatra Utara
dalam Pemilu 1955 hanya dua orang: Haji Muda Siregar dan Sjech Mustafa Husein.
Haji Muda Siregar saat itu adalah Walikota Medan dan Sjech Mustafa Husein
sebagai tokoh agama di Tapanuli Selatan.
Lantas mengapa muncul buku berjudul Orang Jawa Naik Haji
dan Orang Batak Naik Haji? Sepintas isi buku ingin menggiring pembaca bahwa
Orang Jawa dan Orang Batak sangat awam tentang naik haji. Hanya untuk tujuan
mengagetkan saja atau boleh jadi untuk tujuan komersil. Akan tetapi, di balik
judul buku itu terkandung pesan bahwa orang Jawa dan orang Batak
sungguh-sungguh memang naik haji. Tidak hanya pendiri pesantren yang sangat
besar tetapi juga pionir-pionir dalam urusan haji Indonesia dan bahkan untuk
usrusan pembangunan masjid.
Last but not least: Pada saat sholat Indul Adha
(hari raya Haji) tahun 1963 terjadi kejadian yang luar biasa di Masjid
Istiqlal. Sukarno dan Zainul Arifin Pohan (berdampingan) yang berada di barisan
depan tiba-tiba kaget: Sekelompok orang yang awalnya tidak dikenal yang ingin
menembak Presiden Sukarno tetapi yang tertembak adalah Kiai Haji Zainul Arifin
Pohan. Saat itu, Zainul Arifin Pohan, tidak lagi Wakil Perdana Menteri tetapi
Ketua DPR Gotong Royong (Ketua DPR yang pertama). Setelah sepuluh bulan Zainul
Arifin Pohan tertembak saat menunaikan salat Idul Adha dikebarkan telah
meninggal dunia (masih sebagai Ketua DPR).
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap dari
berbagai sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar