Pada awal pengakuan kedaulatan RI, sejumlah
daerah resah dan melakukan pemberontakan. Di Aceh, timbulnya pemberontakan karena
janji M. Hatta tidak ditepati. Orang Aceh telah banyak membantu Pemerintah
Republik. RI berutang kepada orang Aceh. Sementara orang Aceh berutang kepada
orang Tapanuli, karena sejak era Belanda banyak guru-guru dan dokter-dokter sari Tapanuli Selatan yang dikirim ke Aceh
(termasuk ayah dari SM Amin Nasution, Gubernur Sumatera Utara yang pertama). Ketika terjadi pemberontakan di Aceh,
Soekarno dan Hatta tidak berani datang. Yang dikirim adalah Zainul Arifin Pohan
(Wakil Perdana Menteri II). Untuk lebih memulihkan keamanan di Aceh, Zainul Arifin
Pohan mengusulkan agar SM Amin diangkat menjadi Gubernur Sumatera Utara untuk
menggantikan Abdul Hakim Harahap. Keutamaan SM Amin Nasution karena dianggap
lebih memahami social budaya Aceh, selain bisa berbahasa Aceh juga SM Amion
Nasution adalah kelahiran Aceh. .
***
Pada saat mulai kerja Zainul Arifin,
riak-riak munculnya isu federalism juga muncul, terutama dari Sulawesi Selatan
(Kahar Muzakkar). Negara kesatuan menurut Zainul Arifin adalah harga mati.
Namun begitu, majelis konstituante harus menetapkan kesatuan atau federal.
Zainul Arifin akan merawat dengan baik kelopok-kelompok yang ada agar tetap
tercipta kesatuan, Jika tidak dilakukan perawatan justru akan menjadi ancaman.
Untuk mengakomodir mungkin sudah waktunya dilakukan pemilihan umum. Dengan
begitu, meski ada kelompok yang berbeda tetap satu kesatuan: een unitaris!
(lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 11-08-1953).
Wakil Perdana Menteri I focus pada program
nasional pemerintah, Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana Menteri II akan focus
pada rekonstruksi nasional (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-08-1953).
Ini mengindikasikan bahwa Zainul Arifin akan mendapat
tugas berat. Karena setelah perang (revolusi fisik) tatanan Indonesia telah
hancur dan nyaris tidak berbentuk. Zainul Arifin (sebagai tuan rumah) harus
menjadi mencuci piring sendiri ketika pesta Belanda (tamu yang tidak diundang) telah
usai.
Zainul Arifin juga menghadapi tantangan yang
justru datang dari kalangan internalnya. Presiden Soekarno menginginkan
pembukaan duta besar di Moskow, tetapi mantan partainya, Masyumi melihat dari
sudut pandang politik sah-sah saja tetapi dari sudut pandang agama ada masalah.
Zainul Arifin seakan terjepit. Namun Zainul Arifin tahu apa yang harus
dilakukan dengan menawarkan jalan keluar (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-08-1953).
Duta besar yang dikirim adalah Mononutu dari Manado
(Sulawesi). Dalam perkembangannya diketahui bahwa di Moskow diperkenalkan
Islam. Pembangunan masjid di Moskow merupakan salah satu wujud pemerintah
Moskow mengakomodir kepentingan dari kelompok (Islam) Indonesia di Jakarta.
Zainul Arifin telah berperan sebagai penyeimbang dalam gonjang-ganjing politik.
Setelah kabinet kondusif, kunjungan pertama
Soekarno ke luar Jakarta adalah ke Medan. Kebetulan di Medan akan dibuka PON
III tanggal 19-09-1953 (PON pertama di luar Jawa). Het nieuwsblad voor Sumatra,
19-09-1953 melaporkan Soekarno di Medan hanya kunjungan dua hari. Di bandara
Kemayoran, Presiden Soekarno dilepas oleh Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin
Pohan dan di bandara Medan (yang baru saja diperluas) disambut Gubernur
Sumatera Utara Abdul Hakim Harahap.
Sebagaimana diketahui, Abdul Hakim Harahap dan Zainul
Arifin Pohan sama-sama ikut membesarkan Masyumi. Dalam perkembangannya, NU
keluar dari Masyumi (dan membentuk partai sendiri). Meski begitu kedua partai
ini tetap terjalin erat. Saat ini Abdul Hakim Harahap adalah dari partai
Masyumi, sedangkan Zainul Arifin Pohan dari Partai NU.
Zainul Arifin Pohan adalah Panglima Hisboelah di Jawa
Barat pada angresi militer Belanda pertama, sedangkan Abdul Hakim Harahap
sebagai residen Tapanuli di fase agresi militer Belanda kedua. Keduanya
sama-sama memegang tampuk pimpinan dalam perang gerilya dengan militer Belanda.
Kini kedua tokoh asal Tapanuli ini mengawal Soekarno di Jakarta dan di Medan.
Setelah situasi disintegrasi agak mereda di
Sulawesi, tiba-tiba muncul masalah baru di Aceh (Tengku Daud Beureuh) dan telah
terjadi pemberontakan di tiga tempat Langsa, Lhoksumawe dan Meulaboh. Adanya
gangguan di Aceh tidak menghalangi Soekarno untuk membukan PON III Medan.
Pemerintah pusat agak sedikit khawatir karena tidak mampu
mengendalikan (namun Aceh Tengah dan Aceh Selatan masih terkendali). Situasi di
Medan juga menjadi terganggu dan menimbulkan ketegangan (lihat Algemeen
Handelsblad, 22-09-1953).
Zainul Arifin Pohan berinisiatif untuk langsung
berkunjung ke Aceh. Sambil mempersiapkan di pusat, Zainul Arifin Pohan satu lebih
awal telah lebih dahulu meminta sobatnya sesama satu komisi dulu di parlemen,
yakni komisi pertahanan (yang kebetulan berasal dari Aceh: Zainul Baharudin).
De nieuwsgier, 28-09-1953: ‘Hari Minggu, Wakil Perdana
Menteri II, Zainul Arifin dan rombongan bertolak dengan pesawat ke Medan. Mereka
hanya ke Aceh dan mereka tidak memberi komentar ketika diminta wartawan.
Komandan territorial Sumatra Utara (Kol. Simbolon) hari Jumat telah mengumumkan
press release tentang kronologi peristiwa di Aceh. Beberapa pelanggaran hokum
dari kelompok kecil yang dipimpin oleh Teungku Daud Muhatnmed Beureuh. Dalam
pamphlet yang dutemukan di Kota Radja berbunyi dan ditandatangani Gubernur Militer
Negara Islam Indonesia di Aceh’.
Kekacauan di Aceh ini telah membawa korban.
Tidak hanya di pihak TNI tetapi juga penduduk.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-09-1953: ‘Lhoksumawe dan
Bireuen sudah diduduki dari laut. Pasukan dan komando teritorial ‘Bukit Barisan’
kemarin sore mengeluarkan komunike perkembangan di Aceh. Dalam hal ini,
Batalion 103 dari Resimen Infantri Ketiga dibawah Kapten A. Manap Lubis yang
diperkuat dengan peleton lapius baja dikerahkan. Batalion ini telah berhasil ke
garis pertahanan pemberontak di Bajeuen, Peureula, Idi dan Lho "Sukon
seperti yang diharapkan. Sementara itu, Batalyon 118 oleh ALRI dimasukkan ke
darat di Lhoksumawe. Pasukan ini telah berhasil mendapatkan Seumawe, seluruh
kota Lhoksumawe di bawah control. Tujuan utama dari tindakan ini adalah untuk
melindungi pasukan yang diserang oleh pemberontak dan penduduk yang telah
mengungsi dibawah perlindungan tentara. Hingga hari Minggu kerugian tentara
tiga tewas dan 14 luka-luka. Sedangkan gerombolan menyerang ratusan orang penduduk
tewas dan ratusan luka-luka.
Dalam kunjungan ke Aceh, berbagai fakta telah
dikumpulkan. Pejabat-pejabat berangsur-angsur pulang ke Jakarta. Dalam rapat
cabinet semua aspek telah dibahas. Hasil pertemuan kemudian diumumkan bahwa
pemberontakan telah menyebar di Aceh dan pemerintah mengambil tindakan untuk
melindungi penduduk yang terjebak di antara para pemberontak.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-09-1953: ‘Menteri
Pertahanan, Mr Iwa Kusuma Sumantri, yang tiba Sabtu di Medan, kembali kemarin
ke Jakarta. Selama tinggal di sini, Menteri telah mengumpulkan data yang
diperlukan kabinet, yang hari ini akan menyerahkan. Wakil Perdana Menteri II,
Zainul Arifin, dan Menteri Agama, KH. Masjkur akan kembali besok ke Jakarta.
Menteri Masjukur malam ini akan focus dengan berbicara di radio kepada umat
Islam’.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-10-1953: ‘Dalam pertemuan
Kabinet malam terakhir yang juga dihadiri Wakil Perdana Menteri II, Zainul
Arifin, dan Menteri Agama, Kiai Hadji Masjkur, Setelah akhir pertemuan, Wakil
Perdana Menteri I, Mr. Wongsonegoro, mengatakan kepada pers bahwa pelaku
oposisi telah tersebar di Aceh, yang mereka katakan tidak hanya melawan
merah-putih, tapi juga palu-arit. Menteri Informasi, Dr. FL. Tobing,
menjelaskan bahwa pemerintah sekarang menaruh perhatian kepada penduduk, yang
terjebak di antara para pemberontak’.
Aceh mulai berangsur-angsur terkendali.
Presiden Soekarno dan para anggota Kabinet mulai agak lega. Soekarno terus
berdiam di Jakarta selama pemulihan keamanan di Aceh. Soekarno terakhir keluar
Jakarta ketika ke Medan membuka PON III. Di Aceh sendiri penerbangan GIA ke
Banda Aceh dinormalkan kembali. Kini Soekarno malakukan kunjungan ke Sulawesi.
Di bandara Kemajoran, Zainul Arifin Pohan mengantar kepergian Soekarno ke
wilayah Indonesia Timur.
De nieuwsgier, 08-10-1953: ‘Kemarin pagi di 10:30,
Presiden Soekarno dengan pesawat Rajawali dari Kemajoran berangkat untuk
perjalanan ke Sulawesi. Di bandara presiden diantara oleh sejumlah pejabat
tinggi Negara, antara laian: Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan dan
Menteri Informasi Dr. F. Lumban Tobing, (berita lain) Setelah rapat kabinet,
Menteri Informasi Dr. F. L. Tobing kepada pers bahwa link udara GIA dengan
Kutaraja mulai dibuka Rabu setelah beberapa waktu telah terhenti karena
pemberontakan di Aceh’.
Peristiwa Aceh juga menjadi perhatian
parlemen. Sebagai Negara yang baru lepas dari perang (agresi militer Belanda
dan pengakuan kedaulatan RI, Desember 1949), untuk mengantisipasi seperti
gangguan domestic di Aceh pemerintah segera membutuhkan undang-undang
pertahanan disamping begitu banyaknya hal-hal yang perlu diselesaikan oleh
parlemen.
De nieuwsgier, 13-10-1953: ‘Parlemen bersidang kembali.
Ada 121 anggota yang hadir. Pidato Mr. Sartono dimulai pada pukul 10.00. Pemerintah
yang hadir Perdana Menteri Mr. Ali Sastroamidjojo dan Wakil Perdana Menteri II,
Zainul Arifin Pohan dan para menterinya. Sartono mengatakan dalam sambutannya
bahwa dalam beberapa waktu terakhir parlemen banyak pekerjaan di bidang
legislasi tertunda. Banyak isu lain yang menjadi perhatian parlemen. Dalam
hubungan ini, kata Mr Sartono adalah proposal mengenai hukum dasar untuk
pertahanan, yang akan digunakan pemerintah dalam jangka pendek. Selanjutnya,
kata Mr Sartono masih memulihkan keamanan, mencapai daerah-otonomi, masalah
Aceh, konteks persatuan Indonesia-Belanda dan
perjanjian bilateral dengan Jepang’.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 20-10-1953:
‘Mustafa Pane dipromosikan menjadi Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Barat
(sebelumnya sebagai Wakil Kepala). (Berita lainnya): Kepala Staf Teritoruial
VII Let. Kol. Warouw mengultimatum agar pengikut Kahar Muzakkat melaporkan diri
ke pos terdekat aparatur negara 20 Oktober s/d 1 November 1953. Berita lainnya:
Gerangan, yang baru-baru ini melakukan kunjungan ke Wakil Perdana Menteri I, Mr.
Wongsonegoro meminta izin untuk agar Kartosmrtrjo diberikan kembali hidup
normal atau dapat dibebaskan’.
Sementara itu, pemberontakan di Aceh telah
membawa korban tidak langsung di Medan. Setelah rapat kabinet, pemerintah pusat
memanggil SM Amin Nasution yang sudah pension untuk menjalankan tugas (Negara)
pasca pemberontakan di Aceh. SM Amin Nasution adalah mantan Gubernur Sumatera
Utara yang pertama: pasca proklamasi 1945 dan selama fase agresi militer
Belanda pertama. Keutamaan SM Amin Nasution adalah, kelahiran Krueng, Banda
Aceh yang selain berbahasa Mandailing/ Angkola juga fasih berbahasa Aceh.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 20-10-1953: ‘Masalah
Aceh, Amin dengan kebebasan besar untuk mengendalikan Sumatera Utara…… terus.
Akan hadir Mr S. M.
De nieuwsgier,
22-10-1953 Gubernur Amin ke Medan. Gubernur baru dari Sumatera Utara Mr. SM.
Amin Nasution Krungraba, kemarin sore tiba dengan pesawat GIA dari Jakarta ke
Medan. Mr Amin dijempuat di bandara oleh, Residen Binanga Siregar dan lainnya.
Gubernur
Abdul Hakim Harahap pada tanggal 23 Oktober 1953 diserahterimakan kepada
penggantinya, SM Amin Nasution. Abdul Hakim Harahap dilantik menjadi Gubernur
Sumatera Utara pertama pasca pengakuan kedaulatan RI pada tanggal 25 Januari
1951. Abdul Hakim Harahap sangat memahami pergantian mendadak ini.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar