PON
III di Medan adalah Pekan Olahraga Nasional yang pertama diselenggarakan di
luar Jawa yang berlangsung dari tanggal 20 September hingga 27 September 1953. Tanpa mengurangi nilai
historis PON I, sesungguhnya Pekan Olahraga Nasional baru dilaksanakan dua
kali. Pertama di Jakarta (PON II, 1951) dan kedua di Medan (PON III, 1953).
PON I di Solo
sesungguhnya tidak dapat dikatakan sebagai Pekan Olah Raga Nasional. PON I ini
diselenggarakan selama empat hari dari tanggal 9 hingga 12 September 1948 hanya
diikuti oleh kota-kota (13 kota) di Jawa Tengah dan Jawa Timur plus Jakarta.
Kota-kota di Jawa Barat tidak satu pun yang terwakili, bahkan Kota Bandung
sendiri tidak ikut serta.
Penunjukkan
Kota Medan sebagai tempat penyelenggaraan PON III (pertama di luar Jawa) karena
di Medan sendiri telah terjadi proses politik yang dinamik yang dimenangkan
oleh RI. Sementara itu, dari sudut pandang pusat (Yogyakarta/Jakarta) Medan
adalah kota kedua (setelah Jakarta) yang memiliki gengsi dimana RI berada, baik
keluar (terhadap penjajah Belanda) maupun di dalam negeri (terhadap
orang/kelompok yang tidak menginginkan kesatuan dan persatuan RI).
Penunjukkan
pusat (Presiden Sukarno dan KONI) mendapat respon positif di Medan karena dua
tokoh penting di Medan sangat siap. Dua Tokoh penting ini adalah Gubernur Abdul
Hakim Harahap, Residen Sumatera Timur, Muda Siregar dan Ketua Front Nasional
Medan, GB Josua. Ketiga tokoh politik ini (sejak era colonial Belanda) sangat
intens membina olahraga khususnya sepakbola. Dalam perang kemerdekaan (angresi miter
Belanda) tiga tokoh olahraga ini berjuang habis-habisan mengusir Belanda dalam
posisi: Abdul Hakim Harahap sebagai Residen Tapanuli, Muda Siregar, Bupati
Tapanuli Selatan, dan GB Josua Batubara sebagai Ketua Front Nasional Medan.
Kota Medan pada
Masa Perang
Kota
Medan adalah kota internasional yang di level penduduk pribumi memiliki
karakteristik yang berbeda dibanding kota-kota lain di Indonesia. Kota Medan
memiliki dua faksi penduduk yang berimbang: pro kemerdekaan dan anti
kemerdekaan. Pada masa pendudukan Jepang, kota Medan tenang-tenang saja, tetapi
ketika Belanda kembali, penduduk pro kemerdekaan bereaksi keras: puncaknya
terjadi perang Medan Area. Beberapa tokoh muda dalam perang ini, antara lain: Martinus
Lubis dan Marah Halim Harahap.
Namun
kekuatan senjata asing (Inggris/Belanda) dengan senjata modern bukan tandingan
pejuang pro kemerdekaan yang menggunakan sisa-sisa persenjataan Jepang, lalu
lambat laun terdesak ke luar Kota Medan, kemudian bergeser ke Pematang Siantar
dan akhirnya ke Tapanuli, terutama di Tapanuli Selatan. Lalu semua kekuatan
pejuang pro kemerdekaan (laskar dan tentara) konsentrasi di Padang Sidempuan
dan sekitarnya. Sementara di Kota Medan sendiri elemen laskar dan tentara
terkikis habis oleh kekuatan Belanda yang semakin terus menguat. Penduduk Kota
Medan anti kemerdekaan mulai berbunga-bunga. Namun demikian, masih ada dua tokoh
sipil pejuang Republik yang tersisa di Medan yang berjuang di bidangnya, yakni:
Dr. Djabangun Harahap dan Mr. GB Josua Batubara.
Dr. Djabangoen
Harahap adalah alumni STOVIA (seangkatan dengan Dr. Mansur). Setelah lulus,
Djabangoen Harahap ditempatkan di laboratorium RS Batavia (kini RS Tjipto) lalu
ditempatkan di beberapa tempat sebelum ditempatkan di kampong halamannya di
Padang Sidempuan. Ketika di Kabanjahe tahun 1930 dibangun sanatorium, Dr. Djabangoen
diangkat sebagai asisten dokter Belanda yang mengepalai sanatorium. Lembaga ini
telah berhasil menyelamatkan penduduk Karo dan Simalungun dari endemic penyakit
TBC. Pada tahun 1933, Dr. Djabangoen Harahap dipindahkan ke Medan untuk
mengatasi TBC di Medan dan Sumatera Timur. Karena itu dibuka biro penanganan
TBC di RS Medan (kini RS Pirngadi). Sementara itu di Medan, GB Josua Batubara belum
lama pulang studi dari Belanda dan telah mendirikan sekolah swasta (HIS dan
MULO) yang dikenal sebagai Joshua Institute (kini perguruan ini masih ada).
Sekolah ini dalam tempo singkat dapat mengimbangi kualitas sekolah-sekolah
negeri (binaan pemerintah colonial Belanda). GB Josua sebelumnya alumni sekolah
guru di Bukitinggi, kemudian sekolah guru yang lebih tinggi di Poerworejo lalu
setelah lulus pulang kampong di Sipirok untuk mengajar di HIS Sipirok.
Pemerintah colonial mengangkatnya sebagai guru pemerintah dan dipindahkan ke
Medan 1924. GB Josua tidak nyaman mengajar di sekolah pemerintah di Medan, lalu
para pengusaha Balige yang ada di Medan memintanya untuk merekonstruksi sekolah
HIS yang ada di Tapanuli Utara. Ternyata berhasil dan berita ini diketahui
pemerintah dan memberinya beasiswa untuk melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi ke Belanda. Setelah lulus di Belanda dan pulang ke tanah air di Medan,
GB Josua tidak bekerja untuk pemerintah tetapi lebih memilih untuk mendirikan
sekolah swasta (karena menurut GB Josua sekolah negeri tidak cukup untuk semua
siswa yang ingin bersekolah).
Selama
kekosongan pemimpin politik dan tentara republic di Medan kedua tokoh ini
(Djabangoen dan GB Josua) mengambil peran yang strategis dan signifikan. Dr.
Djabangoen Harahap, siang malam berkeliling untuk mengatasi penduduk republic di
Medan dan Sumatera Timur yang kesehatannya telah jauh menurun karena kekurangan
pangan. Semuanya dapat teratasi dan penduduk republik dapat diminimalkan
tingkat morbiditas dan tingkat mortalitasnya.
Sedangkan
GB Josua Batubara juga sangat sibuk, untuk tetap menyelamatkan pendidikan
anak-anak dari penduduk republic, sekolahnya dan lingkungan sekolahnya menjadi
pusat pendidikan satu-satunya bagi peduduk republik di Medan dan Sumatera
Timur. Sekolah ini di masa pendudukan Jepang disita untuk dijadikan markas
militer Jepang. Setelah Jepang takluk dan Indonesia merdeka, sekolah ini
dikembalikan kepada GB Josua dan meneruskan lembaga ini sebagai pusat
pendidikan. Tetapi belum lama Jepang hengkang, Belanda kembali ke Medan. GB
Josua Batubara tetap tekun menjadi guru dan membina Josua Institute.
Sementara kawan-kawan
Dr.Djabangoen Harahap dan Mr. GB Josua terus berjuang di Tapanuli (Selatan)
mempertahankan kemerdekaan, mereka berdua bahu-membahu di Medan dan Sumatera
Timur untuk menyelamatkan generasi anak-anak republic (yang umumnya berasal
dari Tapanuli). Mereka berdua tidak peduli meski aktivitas mereka kerap
dihalangi oleh pemerintah/militer kolonial maupun pemimpin politik pribumi yang
anti kemerdekaan. Lambat laun, dua guru dan dokter itu menggulung lengan baju
dan mulai ikut memegang senjata.. Atas jiwa patriotic GB Joshua di bidang
pendidikan lalu GB Josua didapuk menjadi Ketua Front Nasional Medan (di
belakangnya berdiri Dr. Djabangoen Harahap).
Kota Medan Pasca
Pengakuan Kedaulatan RI
Setelah
adanya pengumuman pemerintah pusat bahwa situasi menjadi genjatan senjata. Di
Tapanuli Selatan perang harus diakhiri (satu-satunya daerah di Sumatera Utara
yang tidak sepenuhnya dikuasai oleh militer Belanda). Di Medan dan Sumatera
Timur, kesehatan dan pendidikan penduduk pribumi tetap terjaga. Lalu persiapan untuk
konferensi di Belanda (KMB di Den Haag) dimulai. Kekosongan pemerintahan di
Sumatera Utara kemudian dipersiapkan ketika penduduk anti kemerdekaan RI telah
membentuk Negara Sumatera Timur (NST). Pemerintah pusat lalu melikuidasi NST
(yang mana dalam proses likuidasi ini GB Josua salah satu anggota panitia yang
ditunjuk pusat).
Untuk delegasi RI
Sumatera Utara ke KMB salah satu tokoh penting adalah Abdul Hakim Harahap
(Residen Tapanuli). Abdul Hakim Harahap menjadi penasehat delegasi RI ke Den Haag
yang dipimpin M. Hatta. Keutamaan Abdul Hakim Harahap dalam delegasi ini adalah
seorang ekonom, mantan pejabat ekonomi di era Belanda di Indonesia Timur (di
Makassar) yang menguasai tiga bahasa asing: Belanda, Inggris dan Perancis.
Setelah
pengakuan RI (akhir 1949) di Sumatera Utara terjadi kekosongan pemerintahan.
Pemerintah pusat menunjuk Sarimin Reksodihardo (pekabat di Kementerian Dalam
Negeri) sebagai pejabat gubernur Sumatera Utara untuk mempersiapkan pemerintahan
di seluruh kabupaten kota di Sumatera Utara (Tapanuli, Aceh dan Sumatera
Timur). Dalam persiapan ini, Sarimin dibantu oleh Binanga Siregar (mantan Wakil
Residen Tapanuli).
Peringatan
kemerdekaan secara spontan dimulai tanpa menunggu perintah siap-siapa. GB Josua
bertindak sebagai Ketua Panitia Peringatan 17 Agustus 1945. Ini berbeda dengan
tahun 1945, orang yang ditunjuk untuk menyampaikan kemerdekaan RI sudah
diproklamirkan memain-mainkannya
(menunda-nudanya). Atas desakan masyarakat baru proklamasi diumumkan bulan
Oktober 1945. Pada tahun 1950 ini (pasca pengakuan kedaulatan RI) GB Josua
tidak tanggung-tanggung menggerakkan massa untuk datang ke Lapangan Merdeka
pada hari tanggal 17 Agustus 1950.
Het
nieuwsblad voor Sumatra, 03-08-1950: ‘Di Medan telah dibentuk untuk perayaan 17
Agustus 1945. Komite ini diketuai oleh GB Josua’. Het nieuwsblad voor Sumatra,
16-08-1950 memberitahukan kronoligis acara perayaan hari 17 Agustus sebagai
berikut:
Pagi pada pukul
setengah enam, warga Medan dikumpulkan di Lapangan Merdeka (ex Esplanade).
Pukul enam akan terdengar selama lima menit lonceng gereja, surine dan klakson
lokomotif. Pada saat yang sama para prajurit akan meniup trompet. Lalu kemudian
menggerek bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. disertai dengan band
militer. Lalu kemudian hening cipta satu menit untuk menghormati para pahlawan,
kemudian pukul tujuh lewat lima menit mendengarkan relay radio dari Jakarta untuk
mendengar pidato presiden pertama Soekarno di parlemen atas nama seluruh bangsa
Indonesia. Bunyi lonceng gereja dan sirine meraung selama dua menit, dimana
semua lalulintas dihentikan, selama pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945 dan
doa bagi keselamatan negara. Pada pukul sembilan setelah relay dari Radio
Jakarta, pidato akan disampaikan di Espalanade oleh Bapak GB Josua, ketua
komite perayaan untuk Sumatera. Timur, lalu Kolonel M. Simbolon, Gubernur
Militer, dan Mr. Sarimin Reksodihardjo, ketua panitia persiapan negara bersatu
untuk Sumatera Timur. Akhirnya, menanam pohon di Esplanade pukul sepuluh. Pada
11:30 dilakukan pawai mulai sepanjang rute berikut: Esplanade, Kesawan. Dj.
Istana, Dj. Tukang Besi. Dj. Kapten, Dj. Sutomo, Dj. Serdang, Dj. Balai Kota,
Dj. Rumah Bola Esplanade. Pada pukul satu siang akan mengunjungi pahlawan yang
cacat. Pada pukul tiga dimulai parade. Setelah ini berbaris pasukan dengan
rute. Dj Merdeka, Dj. Wali Kota, Dj Sulthan Maamun Alrasjid, Dj Tukang Besi, Dj
Kapten, Dj Sutomo, Dj Serdang, Dj Balai Kota Kesawan, Sukamulia, Dj Jakarta, Dj
Merdeka. Pukul 5 sore, akan dilakukan final turnamen sepakbola antara Medan
Putera dan Sahata yang akan berlangsung di lokasi Kebun Bunga sementara pukul
lima sore juga diadakan pertunjukan musik di Esplanade, yang kemudian disusul
mulai pukul enam pertunjukan teater. Untuk Radio Medan (Gelombang 60,85 m).
Pada pukul enam tigapuluh di Esplanade akan ada pidato oleh Mr GB Joshua,
Kolonel M. Simbolon dan Bapak Sarimin Reksodihardjo. Di malam hari akan
dilanjutkan upacara keagamaan di masjid-masjid dan gereja.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 18-08-1950: ‘Kemerdekaan dirayakan di Medan. Empat pembicara pada
pertemuan massa. Diperkirakan 55.000 orang menghadiri pertemuan massa pagi di
Esplanade. Pada sore dilakukan parade militer besar dan di malam hari otoritas
sipil dan militer tertinggi melakukan resepsi hari bersejarah ini. Keempat
pembicara pada pertemuan massa di Esplanade: Mr. GB Josua, Sugondo, Kolonel M.
Simbolon dan Sarimin Reksodihardjo’.
Setelah
selesai pembentukan pemerintahan (eksekutif dan legislative) tugas Sarimin
selesai dan kemudian diangkat Gubernur Sumatera Utara secara definitif, yakni
Abdul Hakim Harahap. Pengangkatan Abdul Hakim Harahap ini sangat tepat, Abdul
Hakim Harahap banyak pengalaman di beberapa tempat di Jawa, Kalimantan dan
Sulawesi. Abdul Hakim Harahap tidak hanya mantan Residen Tapanuli dan penasehat
delegasi RI ke KMB, Abdul Hakim Harahap juga pernah selama tujuh tahun sebagai
anggota dewan kota (gementeeraad) selama kehadirannya sepuluh tahun di Medan
(1927-1937). Dengan demikian, saat itu kandidat utama Gubernur Sumatera Utara
hanyalah Abdul Hakim Harahap, karena dia yang memiliki portofolio tertinggi. Gubernur
Sumatera Utara, Abdul Hakim Harahap adalah gubernur pertama Sumatera Utara
secara definitive (pasca pengakuan kedaulatan RI).
Abdul Hakim dan
GB Josua Satu Panggung
Abdul
Hakim dan GB Josua, dua anak Padang Sidempoean pernah sama-sama duduk di
Gementeeraad Medan (lihat De Sumatra post, 04-04-1936). Kini, kedua tokoh ini
berbeda posisi. GB Josua tahun ini tetap menjadi ketua komite perayaan 17
Agustus, seperti tahun lalu. Yang membacakan proklamasi di Medan dalam perayaan
tahun lalu adala Ir. Soekarno melalui radio. Perayaan yang kedua kali ini, yang
membacakan teks proklamasi adalah Gubernur Sumatra Utara, Abdul Hakim—teman GB
Josua yang sama-sama berjuang di Dewan Kota Medan.
Sebagaiman
dilaporkan Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1951, GB Josua sebagai ketua
panitia juga berpidato dalam acara peraayaan ini. Isinya adalah menunjuk bahaya
yang mengancam sekarang masyarakat dalam bentuk korupsi, dll, dan mengimbau
masyarakat sendiri bersatu untuk memberantasnya. ‘Jika terus seperti ini, kita
menyebut diri kita imperialisme kembali’ sebagaimana Mr Joshua memperingatkan
Persiapan PON
III Medan
GB
Josua ditunjuk sebagai Ketua Panitia penyelenggara Pekan Olahraga Nasional
(PON) yang ketiga di Medan. Dalam kepantiaan ini termasuk Abdoel Wahab Siregar
(Kepala Dinas Informasi di Medan) dan Mustafa Pane (Kepala Kepolisian di Medan).
Mr GB Joshua berterima kepada Gubernur atas amanah ini dan akan menunjukkan dan
meyakinkan bahwa anggota komite akan mengerahkan upaya terbaik untuk PON III
sukses (Het nieuwsblad voor Sumatra, 24-01-1952).
Setelah perang,
PON pertamakali dilaksanakan di Djakarta (PON II) yang berlangsung antarta (21
October - 28 October 1951. PON III di Medan, kedua setelah perang dan pertama
di luar Djawa dilangsungkan antara 20 September - 27 September 1953. PON I
dilaksanakan di Solo sebelum perang (8 September - 12 September 1948).
Dalam
masa persiapan PON III ini, Ketua Komite Olimpiade Indonesia, Sultan Hamengku
Buwono IX (Sultan Djogja) berkunjung di Medan. Di bandara pagi ini (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 30-01-1952) HB IX disambut Residen Sumatra Timur, Muda
Siregar mewalili Gubernue dan Ketua Panitia PON III, GB Josua. Tujuan
kedatangan untuk melakukan pembicaraan dengan Gubernur Sumatra Utara, Abdul
Hakim Harahap tentang pembangunan stadion, perumahan atlet dan pembiayaan.
Jumlah peserta dalam kompetisi multi sport event ini akan diharapkan, bahkan
lebih besar daripada di Jakarta, di mana 2.500 atlet ambil bagian di PON II.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 15-04-1952: ‘PON III kemungkinan akan diselenggarakan di Medan
pada bulan Juni atau Juli 1953 yang ditetapkan di Stadion Jalan Radja. Rencana
lokasi stadion ini berada di selatan dari pemakaman di jalan Radja (sebelah
kiri ke arah Tandjong Morawa) yang akan membangun stadion permanen, yang
diproyeksikan menelan biaya sekitar Rp 5 juta. Hal ini diumumkan oleh Mr GB
Joshua, ketua panitia PON, kemarin sore pada konferensi pers sehabis
pembicaraan dengan delegasi Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dengan panitia
PON. Azis Saleh (bertindak sekretaris Komite Olimpiade Indonesia) menjelaskan
bahwa organisasi PON III sepenuhnya keputusan panitia. KOI hanya menyediakan
pedoman, semua keputusan akan diambil oleh Bapak Joshua c.s. Bulan September
1953 adalah target untuk PON III (seperti yang terjadi dengan PON I dan PON
II), tetapi karena hujan di Sumatra Timur, mereka berharap untuk menjaga
festival olahraga di sini dua atau tiga bulan sebelumnya. Sekretaris KOI ini
menekankan tujuan PON melampaui olahraga itu sendiri, yakni meningkatkan
persatuan nasional merupakan faktor yang tidak kalah penting. Dengan PON ribuan
orang muda dari seluruh bagian negara akan bersama-sama dan mereka melihat
wilayah Indonesia, di mana mereka mungkin sebelumnya tidak pernah datang. Di
Jakarta sekitar 2500 atlet ambil bagian dalam PON II; jumlah peserta dalam PON
III mungkin akan melebihi 3.000. Mr GB Joshua menyatakan bahwa mereka
diharapkan 50.000 orang, dan lebih dari 4.000 tamu dari tempat lain (atlet,
pejabat, dll) yang membutuhkan perumahan selama di Medan. Bagaimana cara di
mana menyelesaikan masalah perumahan, Mr. Joshua masih belum bisa memberikan
informasi yang pasti. Juga tentang anggaran dan cara bagaimana untuk
mendapatkan dana yang diperlukan, tidak ada rincian yang dapat diberitahu. Agaknya,
secara total diperlukan sebanyak Rp 7 juta. Pemerintah hanya menyediakan
sebanyak Rp 750.000.
GB
Josua adalah orang yang sangat bersahaja dan datang dari keluarga biasa di
Sipirok, Afdeeling Padang Sidempoean. Lahir di Hoetapadang, selolah rakyat di Sipirok,
sekolah guru (kweekschhol) di Fort de Kock, Hogere Kweekschhol di Poeworedjo,
dan mendapat akte Lager Onderwijs di Groningen. GB Josua tidak hanya cerdas,
tetapi juga konsisten sebagai republic. Seorang guru, mantan anggota Dewan Kota
Medan, sekretaris PMI, pemilik Josua Instituut dan kini tengah menjabat sebagai
Ketua PON III. Itu ternyata tidak cukup, atas dedikasinya sebagai pejuang
pendidikan di Sumatra Utara, GB Josua diangkat pemerintah sebagai Kepala Dinas
Pendidikan Sumatra Utara.
De nieuwsgier,
29-04-1952: ‘Dengan keputusan Gubernur Sumatra Utara, GB Josua, direktur SMP
Josua Instituut di Medan terhitung sejak Mei tahun 1952, diangkat sebagai
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Noord Sumatra
GB
Josua adalah kepala dinas pendidikan yang kedua di Sumatra Utara. Inilah
jabatan paling tinggi bagi seorang guru. GB Josua telah mendapatkannnya dan
layak untuk memperoleh itu. GB Josua sebagai Ketua PON III tidak menghalangi GB
Josua rangkap jabatan. GB Josua adalah tipikal anak-anak Padang Sidempoean. GB
Josua mendapatkan hak ini tidak karena Abdul Hakim (Harahap) sebagai Gubernur
Sumatra Utara, tetapi kedua orang bersahabat ini memang sudah sama-sama
berjuang di Dewan Kota Medan tahun 1934-1938.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 06-05-1952: ‘Kemarin, Mr GB Yosua diangkat sebagai Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara, menggantikan Mr. Ismail Daulay, yang
menjalani studi ke Amerika. Banyak pihak berwenang menghadiri upacara tersebut,
diantaranya: Gubernur Abdul Hakim, Residen Binanga Siregar, Kepala Informasi
Abdul Wahab Siregar, Bupati Wan Umaruddin Barus, Walikota. Djaidin Poerba, Mr
GB Joshua menyatakan pengangkatannya diadakan pertimbangan yang lama, karena
alasan sulit baginya meninggalkan sekolah yang ia didirikan dan memimpinnya
bertahun-tahun untuk mengucapkan selamat tinggal. GB Josua lalu kemudian
membahas kesulitan pengajaran di Sumatera Utara. Di provinsi ini sekarang ada
sekitar 3.000 sekolah dengan 650.000 siswa dan tingkatnya jauh di bawah sebelum
perang. Sekarang puasa dan dengan demikian pendekatan awal program baru,
perhatian tentang masalah ini, bahwa perbaikan yang dibuat, ada kekurangan guru
dan jumlah besar, serta kualitas. Mr Joshua juga menekankan kelemahan perawatan.
M. Siregar, Inspektur Pendidikan di Sumatera Utara, mewakili teman-teman yang
lain diminta memberikan sambutan. Akhirnya, Pak Joshua disumpah di hadapan
Residen sumpah jabatan’.
Sangat
berat bagi GB Josua melepaskan fungsinya di Josua Instituut. Akan tetapi
masalah dan tantangan pendidikan Sumatra Utara juga tidak mudah dilakukan
setiap orang. Hanya GB Josua yang pantas untuk itu. Inilah saatnya kembali bagi
GB Josua berjuang kembali di bidang pendidikan pasca perang (pengakuan
kedaulatan Republik Indonesia).
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 03-07-1952: ‘Dalam rangka persiapan PON III di Medan tahun depan
(1953) diadakan pasar malam dari tanggal 9 sampai 24 Agustus di Tanah Lapang
Merdeka (Esplanade). Komite pasar malam ini diketuai oleh GB Josua.
Pembangunan
Stadion Teladan Medan
Gubernur
Abdul Hakim dan GB Josua bahu membahu menyukseskan PON III di Medan. Duo anak
Padang Sidempoean ini sudah sangat akrab sejak era Belanda ketika duduk bersama
sebagai angota Gementeeraad Medan. Orang-orang Eropa khususnya Belanda masih
banyak yang berdiam di Medan untuk mengurusi perkebunan. Abdul Hakim dan GB
Josua ingin lapangan sepakbola di Medan dibuat dengan konsep stadion
internasional. Tujuannya untuk melengkapi tradisi sepakbola di Deli dan Oost
Sumatra dan juga untuk menunjukkan harkat bangsa di mata para eskpatriat di
Medan. Untuk mewujudkan itu, Abdul Hakim dan GB Josua meminta arsitek terkenal
di Batavia untuk membangun stadion mewah di Medan.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 18-08-1952 (Gubernur meletakkan batu pertama untuk stadion):
‘Kemarin sore selama satu jam, Gubernur Abdul Hakim dalam upacara singkat,
meletakkan batu pertama untuk fondasi stadion PON yang akan dibangun di tempat
di Jalan Raja Medan yang bertempat di kampung Teladan. Walikota Djalaluddin
mengucapkan terima kasih kepada warga Kampung Teladan untuk kesediaan mereka
untuk pindah ke tempat lain untuk memungkinkan pembangunan stadion layak bagi
pecan olahraga nasional tahun depan di Medan. Setelah itu ia meminta gubernur
Abdul Hakim meletakkan batu pertama. Akhirnya, Mr GB Josua, ketua komite PON
menyampaikan beberapa pernyataan tentang stadion baru. Desainnya dibuat oleh
Ir. Bwan Tjie Lim, yang juga merancang stadion Ikada di Jakarta (venue PON II).
Persiapan pembangunan sudah dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum Sumatera
Utara bekerjasama dengan otoritas yang relevan dan dengan bantuan badan resmi
dan pribadi. Biaya konstruksi diperkirakan sekitar Rp 5 juta. Stadion ini akan
memiliki kapasitas tempat duduk sebanyak 30.000 penonton’.
Penggalangan
Dana PON III
Banyak
cara yang dilakukan oleh Panitia PON untuk mengumpulkan uang untuk dana PON.
Selain sumbangan awal pemerintah, juga menjajaki dari pengusaha dan melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya seperti pasar malam, fashion show.
Ketua Panitia
PON, GB Josua telah menerima cek sebesar 20 718,95. Uang ini merupakan
penghasilan dari bulan sebelumnya diadakan untuk kepentingan pekan olahraga
nasional ketiga di Medan kegiatan fashion show’.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 06-08-1953: ‘Komite untuk perayaan 17 Agustus adalah sebagai
berikut: Gubernur Abdul Hakim Sumatera Utara, Presiden: komandan teritorial,
Kolonel Simbolon; ketua eksekutif, Mr Amir Jusuf (PNJ.) Anwar Darma (PKI);
Sekretaris-1 Hindun Rashid (PWR) Sekretaris-2 N. Pane (DSU.); bendahara-1 J.
Pohan (DEIP); bendahara-2 MD Harahap; Anggota: Dr. Sahar (Masyumi). GB Josua
(PPKSU); SM Tarigan (Org. Tani); S. Darsono (Pemuda Rakyat) dan Amir (P1R)’.
Akhirnya
stadion yang dicita-citakan Abdul Hakim menjadi terwujud. Penyerahan stadion
dilakukan ke Panitia PON.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 18-08-1953 (Overdracht van PON-stadion): ‘Setelah upacara di
pemakaman, pihak berwenang melanjutkan kemarin ke stadion untuk serah terima
resmi oleh yayasan kepada panitia PON. Lalu diadakan pidato oleh pengembang,
bahwa tepat setahun lalu, yaitu, pada tanggal 17 Agustus 1952 batu pondasi
untuk stadion PON diletakkan oleh gubernur. Sekarang kami berada di sini
bersama lagi untuk kekhidmatan mortaring dokumen dan mentransfer stadion untuk
panitia PON. Untuk stadion ini adalah 300.000 batu bata. 14.000 kantong semen,
6.000 m3 pasir, 300.000 kg baja dengan total panjang 40 km yang digunakan.
Setelah gubernur memberikan gambaran tentang sejarah stadion, dokumen itu
disampaikan dan diserahkan kepada Bapak Abdul Hakim. Lalu berturut-turut pidato
Pak Damanik, Kolonel Simbolon, dan Mr. GB Joshua. Setelah upacara ini serah
terima resmi stadion disampaikan Residen kepada Ketua Panitia PON, Mr. GB
Josua. Setelah Mr GB Josua beberapa kata
diucapkan, upacara berakhir’.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 21-08-1953: ‘Sabtu diadakan diskusi komite PON Medan dengan Ketua
Komite Olimpiade Indonesia, Sultan Hamengku Buwono IX Sultan Yogyakarta tiba di
sini. Dalam pertemuan ini, yang dipimpin oleh Mr GB Josua, ketua panitia PON,
dilaporkan pada persiapan untuk PON. Adapun perumahan tidak mengalami
kesulitan, telah ada kebutuhan bertemu saat tambahan diadakan beberapa gedung
sekolah di cadangan. Setiap bangunan, di mana atlet ditampung, akan berada di
bawah pengawasan medis. Untuk olahraga sendiri telah membuat beberapa perubahan
kecil, seperti tata letak ruang ganti. penjualan tiket masuk untuk pembukaan
(seperti Minggu) sudah akan dimulai Sabtu di stadion’.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 19-09-1953: ‘Pagi ini pukul sebelas Presiden dan Ibu Soekarno di
Medan tiba untuk kunjungan dari satu hari ke kota ini pada kesempatan pembukaan
PON III. Di Bandara Presiden disambut oleh perwakilan dan perwakilan dari
berbagai organisasi. The band militer mengumandangkan Indonesia Raya dan
kemudian Presiden secara resmi disambut oleh Gubernur Abdul Hakim, Walikota
Djalaluddin walikota dan Kolonel Simbolon. Untuk Ibu Soekarno ditawarkan bunga
oleh Mrs. Djalaluddin. Setelah Presiden Sukarno memeriksa penjaga kehormatan,
Presiden disambut otoritas lain yang telah berbaris di panggung. Bagi mereka,
antara lain termasuk Sultan Yogyakarta (Ketua Komite Olimpiade Indonesia), Mr
GB Josua, ketua komite PON, beberapa pejabat pemerintah, anggota korps konsuler
Negara sahabat. Setelah Vort bersama di rumah gubernur, tamu sekitar pukul dua
belas dibawa ke tempat peristirahatn mereka (di rumah Gubernur). Kita
diberitahu Presiden Soekarno besok (Minggu) akan kembali pukul setengah satu
dari Medan ke Jakarta’.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 21-09-1953 (Malam untuk PON): ‘Perayaan benar-benar dimulai
sebelum hari Sabtu, dan bahwa pertemuan semua delegasi dan pejabat di rumah
gubernur, dimana Presiden dan Ibu Soekarno telah tinggal, dan dimana semua
anggota partai presiden dan banyak tamu-tamu terhormat lainnya Medan, serta
pemerintah daerah, diundang. Taman rumah gubernur sebagai arena festively
diterangi, dan atlet dari Indonesia berada di sekitar deck besar, dimana
penyanyi dan penari dari berbagai daerah akan ambil bagian. Pak Jusuf A. Puar,
kepala publisitas PON tak kenal lelah berdiri untuk memberikan penjelasan
tentang program untuk malam ini, mulai pukul tujuh tiba-tiba hujan. Tiga ribu atlet, pejabat dan penonton
lari ke aula besar dimana, beberapa otoritas tinggi dan anggota partai presiden
yang dipertahankan, dalam sekejap begitu penuh, tidak ada langkah bisa berbuat
lebih banyak. Bersorak antusias naik ketika Presiden dan Ibu Soekarno memasuki
ruangan. Dia duduk di sofa, dimana telah ditinggikan setengah meter dari tanah.
Itu dimaksudkan untuk melihat Presiden dalam suasana yang sangat santai dan
sangat dihargai dari perwakilan olahraga Indonesia dengan menyebut
"Bung" sekarang benar-benar berada di tengah-tengah mereka. Kepala
publitas Mr. Puar berbicara berbicara bahwa selama bertahun program ini di
belakang meja untuk membuat lebih dikenal, kini program ini, sejauh ini bisa
dilakukan. Kemudian berpidato Mr. GB Yosua, Ketua Umum Panitia PON, Presiden
kemudian naik ke ke podium. Dia menunjukkan hadirin tentang betapa pentingnya
kenyataan bahwa sekarang wakil olahraga dari seluruh wilayah Indonesia -
kecuali Irian Barat - berkumpul untuk menguji kekuatan mereka. Dia menekankan
ukuran negara: peta Indonesia, mereka tersebar di Eropa, membentang dari barat
pantai Irlandia ke Kaukasus. Dan dia sangat bersikeras mempertahankan dan
memperkuat satu kesatuan nasional, dimana Presiden dalam pidatonya masih
beberapa kali menyentuh masalah Irian. Setelah Presiden Sukarno kemudian,
lagu-lagu rakyat yang dimainkan oleh perwakilan dari berbagai program daerah.
Dalam suasana nyaman, riang, suasana hati, mereka tinggal selama beberapa waktu
bersama-sama’.
Pembukaan PON
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 21-09-1953 (Di dalam stadion): ‘Kondisi cuaca hampir ideal,
sebuah awan tinggi memberinya kesempatan matahari bersinar terlalu terang untuk
fokus pada atlet dan penonton yang hadir terbesar pada Minggu pagi dalam
upacara di stadion baru yang indah, pekan olahraga nasional ketiga dibuka.
Bahkan sebelum fajar, puluhan ribu warga Medan datang dengan jalan kaki atau
dengan sepeda ke stadion, dimana pada pukul enam gerbang dibuka. Ketika
Presiden Soekarno dan otoritas tinggi lainnya - tiga menteri, kepala staf dari
Wehrmacht dan kepala staf dari tiga senjata menghadiri upacara termasuk delapan
pintu masuk tribun, empat puluh atau lima puluh ribu penonton hadir.
Di
tepi lapangan sepakbola, di seberang pintu masuk utama, berdiri podium, dan
juga mengatur diri mereka sendiri presiden bagian dari panitia PON dan para
pemimpin dari tiga belas tim yang berpartisipasi. Staf memainkan musik
Indonesia Raja atas kedatangan Presiden, yang kemudian oleh Bapak GB Joshua,
ketua komite PON dan Sultan Hamengku Buwono IX, Ketua Olimpiade Komite
Indonesia, dan pemimpin tim. Sekali lagi Presiden telah mengambil tempat
duduknya di tribun, prosesi besar peserta mulai. Mereka masuk melalui pintu
gerbang maraton.
Pawai
dibuka oleh perwakilan dari daerah, dimana diadakan pertama PON tahun 1948:
Jawa Tengah. Di depan adalah pramuka dengan tanda ‘Djawa-Tengah’, kemudian
datang bendera daerah ini, diapit oleh dua pengintai, dan kemudian tim dengan
350 atrlit (yang terbesar dari semua daerah) The hijau dan putih menyeberangi
Central Jawa - topi hijau, jaket hijau dan celana putih atau rok -. membuat
kesan yang sangat baik dan hangat bertepuk tangan. Kemudian datang 215 peserta
Djakartanen, semua putih, tim Jawa Barat (dengan 347 pria dan wanita, terbesar
kedua) dan Jawa Timur. Tim jauh lebih kecil dari Borneo Kalimantan Barat (resp.
68 wanita dan 66 laki-laki) menarik perhatian dengan topi besar, baik dibentuk
variasi, lalu 116 pria dan wanita dari Maluku tampak sangat rapi dengan dasi
biru dan topi rapi, sementara perjalanan mereka dalam melewati tribune. Tim
dari Sulawesi Utara dan diiukuti Sulawesi Selatan dan kemudian datang pertama
Sumatera: Sumatera Selatan di baju olahraga putih, seperti Jawa Tengah adalah
Sumatra Tengah di jaket olahraga berwarna hijau dan putih dan hijau di atas
celana putih atau rok. Tim terkecil dari Kepulauan Nusateggara yang terdiri
dari 43 laki-laki dengan topi besar, yang kedua berlangsung. Dan kemudian
akhirnya muncul, termasuk sorakan menggelegar, 155 atlet Sumut, yang
pemimpinnya Mr Yahya Jacoeb dengan baju olahraga putih.
Soekarno, buka
PON III di Medan
Setelah
semua tim berlalu di lapangan sepakbola tampak berada barisan membawakan alunan
lagu kebangsaan, dinyanyikan oleh paduan suara, bendera merah-putih dinaikkan
perlahan di salah satu dari dua menara besar di sisi selatan stadion. Pada saat
yang sama, bendera itu sudah berada di atas, matahari menembus awan. Mr GB
Yosua memasuki mimbar lalu memberi sambutan kepada Presiden Sukarno Ibu,
menteri, kepala staf, gubernur dan tamu terhormat lainnya. Dia menyebutnya
sebagai kehormatan besar bagi Sumatera Utara telah menyelenggarakan PON ketiga
ini, berbicara tentang kerjasama dalam persiapan dan mengucapkan terima kasih
kepada orang-orang dan organisasi yang telah bekerja sama. GB Josua berakhir
untuk meminta Presiden untuk secara resmi membuka PON III.
Lalu
Presiden Sukarno berpidato singkat, setelah mencatat bahwa stadion siap dan
semua persiapan telah selesai: ‘Ini saya menyatakan pecan olahraga nasional
ketiga di Medan dibuka’. Kemudian datang bendera PON ke stadion. Di pintu
gerbang maraton muncul delegasi kecil atlet, dikawal oleh pramuka, dengan kotak
kayu yang indah menyandang senjata PON. Kotak itu sungguh-sungguh diserahkan
kepada Mr Joshua, yang mengambil bendera di sana dan memberikan pramuka.
Bendera ditempatkan, dan menghabiskan delapan pramuka perlahan ke tiang besar
kedua. Di sana mereka perlahan-lahan di antara acara puncak PON hymne dimainkan
oleh staf yang jumlah besar dan musik yang dinyanyikan oleh paduan suara.
Begitu suara terakhir meninggal diri, di sisi lain stadion, beberapa ratusan
merpati dilepaskan. Sementara tiga balon besar (masing-masing umbul dengan
kata-kata PON III Medan dan puluhan balon kecil naik di udara saat yang sama
menembakkan baterai artileri, yang merupakan pintu masuk utama kota 13 gun
salut. Balon-balon mengungguli merpati, banyak merpati menolak untuk terbang
jauh, sementara yang lain canggung beterbangan di sekitar, mendarat di tribun.
Sementara
itu, program dilanjutkan dengan sumpah. Seorang atlet dari Sumatera Utara memasuki
mimbar, dengan satu tangan pada bendera atas nama semua peserta sungguh-sungguh
berjanji adil untuk bersaing untuk kehormatan negara dan kebesaran olahraga
untuk menjunjung tinggi. Dia menjelaskan sumpah ini melawan. latar belakang
bendera dari semua tim yang berpartisipasi. Para atlet kemudian meninggalkan
lapangan untuk memberikan ruang bagi siswa dari Medan, yang akan memberikan
demonstrasi. Hal ini dilakukan pertama kali oleh ribuan anak laki-laki dari
sekolah dasar. Setelah itu ribuan perempuan dari sekolah menengah dengan musik
waltz mereka memberi demonstrasi yang sangat baik, mereka dihargai dengan tepuk
tangan meriah. Dan ini adalah pembukaan seremonial PON, yang tentu saja dari
semua sisi difoto dan difilmkan antara lain dari perusahaan Pipercub Inggris
Deli.
Penutupan PON
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 28-09-1953 (PON III ditutup dan PON IV akan diadakan 1957 di
Makassar): ‘Dalam stadion menghadiri upacara penutupan PON III berakhir, lebih
dari dua ribu atlet, yang pekan lalu telah mengukur kekuatan mereka di dua
puluh olahraga, kembali ke rumah-rumah mereka kembali, dan pemuda Indonesia
dapat bekerja untuk pecan olahraga nasional keempat, yang tidak diragukan lagi
lagi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Perlu empat tahun di mana untuk
mempersiapkan PON IV, karena Sultan Hamengku Buwono IX, ketua Komite Olimpiade
Indonesia, membuat sore kemarin mengumumkan bahwa mereka hanya akan diadakan
pada tahun 1957, yaitu di Makassar. Pengumuman ini adalah salah satu highlights
dari upacara penutupan di stadion Medanse. Bahwa kemarin adalah lebih lengkap
dari sebelumnya di lapangan untuk tribun dari orang penonton dan pejabat,
pramuka, polisi dan militer untuk sepakbola. Lalu. wasit bersiul akhir
pertandingan sepakbola, penonton dari semua sudut tumpah lapangan mengalir
berharap keberuntungan Sumut, dan butuh beberapa waktu untuk situs dibersihkan
lagi. Setelah Sultan Hamengku Buwono memberikan emas, perak dan perunggu kepada
masing-masing pemain Sumatera Utara, Jakarta Raya dan Jawa Timur, upacara
penutupan dimulai hanya enam gerbang berbaris tiga belas bendera tersampir di
lapangan, masing-masing disertai dengan laki-laki dan perempuan dari athleeit
di daerah adalah. Pertama 'adalah bendera Jawa Tengah, Daerah PON I. Bendera
terbungkus gers menempatkan diri dalam formasi tapal kuda di sekitar panggung,
di mana ketua Komite Olimpiade Indonesia, Sultan Hamengku Buwono, Walikota
Medan, AM Djalaluddin dan Ketua Komite PON, Mr. GB Yosua juga mengambil tempat.
Berikutnya, mereka pergi di atas meja untuk menandatangani bendera dari daerahs
mana PON akan diadakan, dan orang-orang di mana PON IV akan berlangsung. Sultan
Hamengku Buwono memasuki pengeras suara untuk menjelaskan PON III secara resmi
ditutup. Dia mengucapkan terima kasih Sumatera Utara untuk keramahan, dan
kemudian secara resmi mengumumkan bahwa PON IV tahun 1957 akan digelar di
Sulawesi Selatan (Makassar). Bendera PON bendera, yang selama delapan hari di
stadion telah dikibarkan, secara resmi diturunkan dan dilipat dan artileri
menembakkan lima hormat senjata. Kemudian staf musik dari territorum Bukit
Barisan memainkan hymme PON - seperti upacara pembukaan - dinyanyikan oleh
paduan suara campuran. Pramuka membawa bendera ke podium di mana presiden
Komite Olimpiade menyerahkan sungguh-sungguh kepada Walikota Medan. Bendera ini
akan disimpan di Medan sampai tiba waktunya akan dibawa ke Makassar pada tahun
1957. Nada dari mars PON dan tiga belas bendera berbaris diturunkan dan
akhirnya semua hadirin keluar dari stadion. PON III telah berakhir’.
GB Josua Ketua
Komite Perayaan Pahlawan Sisingamangaradja
GB
Josua adalah seorang guru, benar-benar guru. GB Josua berjuang dengan caranya
sendiri—di bidang pendidikan. GB Josua jelas tidak lupa jasa para pahlawan. GB
Josua ingin semua pribumi menghormati pahlawannya. GB Josua menggagas untuk
perayaan pertama kali memperingati Si Singamangaradja dan bertindak sebagai
Ketua Panitia.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 11-06-1957 (GB Josua Presiden Komite Perayaan 50 tahun): ‘Mr GB
Yosua adalah presiden herdenkingscomité untuk memperingati dari kematian
pahlawan Batak, Si Singarmangaradja XII. Seperti diketahui, kematian Si
Singamangaradja jatuh pada tanggal 17 Juni. Dia pada 17 Juni 1907 meninggal
karena luka-lukanya setelah bertempur dengan pasukan Belanda. Dalam konteks ini
akan bergemuruh Raja di Medan–sebuah peringatan kehidupan almarhum Si
Singamangaradja diberikan dengan warga Batak tarian rakyat tor-tor, dan
perayaan lainnya’.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 01-07-1957: ‘Si Singamangaradja diperingati di Medan. Peringatan
50 tahun pahlawan Batak, Si Singamangaradja diperingati Sabtu di Balai Polisi
di Jalan Bali. Seperti diketahui, komite perayaan ini dibentuk dibawah pimpinan
Mr. GB Joshua, Pengawas Pendidikan Sumatera Utara. Setelah Mr Joshua memberikan
gambaran singkat tentang kehidupan mendiang Si Singamangaradja XII lalu diikuti
oleh kata sambutan oleh Panglima territorial, Djamin Gintings Komandan
teritorial mengatakan bahwa semangat kegarangan dan heldhafiigheid Si
Singamangaradja harus menjadi contoh bagi kita. Atas nama gubernur berbicara
Tengku Ubaidillah. Setelah pidato resmi diberi tarian Batak. Upacara peringatan
juga sudah diadakan di Jakarta pada 16 Juni. Dalam Soposoroeng dibuat sebuah
monumen untuk menghormati pahlawan Si Singamangaradja di tempat dimana
jenazahnya pada tanggal 17 Juni tahun 1953 dipindahkan ke Balige. Si
Singamangaradja XII meninggal pada tanggal 17 Juni 1907 karena luka setelah ia
lama menolak otoritas Belanda’.
***
GB
Josua pension tahun 1961 sebagai pegawai pemerintah (kini PNS) dan kembali
mengurus Institut Josua yang telah ditinggalkannya sejak Mei 1952. Haji Gading
Moeda Batoebara alias GB Josua meninggal di Medan pada tanggal 20 November 1970
(lahir di Hutapadang, Sipirok 10-10-01).
GB
Josua adalah anak seorang petani di Sipirok. Semangatnya yang luar biasa telah
mengantarkannya ke cita-citanya yang paling tinggi. Nama baiknya sulit hilang
di Sumatra Utara. Kosua Instituut (kini disebut Perguruan Josua) yang
dirintisnya dengan tekun sejak era Belanda hingga ini hari masih eksis sebagai
Yayasan Perguruan Yosua yang tetap menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak
bangsa di Medan. Salut!
Di
bidang olahraga, khususnya sepakbola di Sumatra Utara tiada duanya. GB Josua
adalah pemain sepakbola sejak masih kanak-kanak di Sipirok, kemudian
dilanjutkan ketika sekolah di Fort de Kock dan di Poerworedjo. Ketika GB Josua
ditempatkan di Medan tahun 1928, GB Josua aktif sebagai pemain sepakbola
Tapanoeli Voetbal Club. Setelah pulang dari Belanda studi lebih lanjut, GB
Josua masih sempat bermain sepakbola. Namun karena kesibukannya yang luar
biasa, GB Josua mulai membatasi diri bermain sepakbola. Akan tetapi
kepeduliannya terhadap sepakbola tidak pernah luntur sebagaimana kepeduliannya
terhadap bidang pendidikan. GB Josua adalah orang yang sangat langka.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap dari
berbagai sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar