Presiden Soekarno sangat tenang jika berada di sisi Zainul Arifin Pohan. Selama adanya pemberontakan di daerah, Soekarno hanya berani berkunjung ke tiga daerah: Sumatera Utaral; Lampung dan Maluku Utara. Di Sumatera Utara, Soekarno dan Zainul Arifin Pohan disambut oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim Harahap; di Lampung Soekarno dan Zainul Arifin disambut oleh Residen Lampung Mr. Gele Harun Nasution.. Ketika berkunjung ke Meluku Utara. Presiden Soekarno harus didampingi oleh sebuah kapal perang dan tiga korvet. Pengawalan ini tidak ada ketika berkunjung ke Sumatera Utara dan Lampung.
Zainul Arifin Pohan Secara Defacto adalah Panglima
Zainul Arifin Pohan telah berjuang keras
selama perang dengan Belanda (agresi militer) untuk mengusir Belanda (yang
akhirnya pengakuan kedaulatan RI). Demikian juga Zainul Arifin Pohan telah berusaha
keras untuk mempertahankan NKRI. Pemberontakan di Jawa Barat, Aceh, Sulawesi
Selatan dan Nusa Tenggara dan masalah pembebasan Irian Barat menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari keseharian Zainul Arifin Pohan. Meski berat,
semuanya telah mendatangkan hasil: normalisasi keamaan terwujud dan NKRI tetap
terjaga.
Pada masa ini jabatan panglima dihapus dan diambilalih
Soekarno. Panglima terakhir adalah TB Simatupang (berakhir 4 November 1953).
Panglima baru diangkat Soekarno pada tanggal 21 Juni 1962 yakni Jenderal Abdul
Haris Nasution. Ini artinya, sejak pemberontakan Aceh (yang dimulai September
1953) Indonesia tidak memiliki panglima. Secara dejure panglima di tangan
Presiden, tetapi secara defacto fungsi panglima berada di tangan Wakil Perdana
Menteri II, Zainul Arifin Pohan. Dengan kata lain, selama masa-masa genting
fungsi panglima RI berada di tangan putra-putra asal Tapanuli: TB Simatupang
(Tapanuli Utara), Zainul Arifin Pohan (Tapanuli Tengah) dan Abdul Haris
Nasution (Tapanuli Selatan).
Pendelegasian dan superioritas fungsi
panglima kepada Zainul Arifin Pohan seakan mengindikasikan tingkat kepercayaan Soekarno
terhadap NU sangat tinggi (bahkan melebihi partainya Soekarmo sendiri: PNI). Zainul
Arifin Pohan, putra Tapanuli, mantan Panglima Hisbullah di era agresi militer
Belanda adalah pemimpin politik tertinggi dari kalangan NU.
Sebaliknya, kepercayaan NU kepada putra Tapanuli, Zainul
Arifin Pohan mengingatkan kita ketika tahun 1938 para pemimpin local di
Surabaya mempercayakan pimpinan politik kepada Dr. Radjamin Nasution, mewakili
pribumi untuk pemimpin politik penduduk di dewan kota (gementeeraad) Surabaya.
Padahal saat itu di Surabaya masih ada tokoh lokal berpengaruh (seperti Dr.
Soetomo, teman sekelas Dr. Radjamin di STOVIA dulu). Dr. Radjamin Nasution pada
era pendudukan Jepang diangkat sebagai walikota Surabaya yang juga terjun
memimpin rakyat berjuang selama agresi militer Belanda. Pada pasca pengakuan
kedaulatan Soekarno mempercayakan dan mengangkat Dr. Radjamin Nasution sebagai
walikota. Dr. Radjamin Nasution adalah walikota pribumi pertama Surabaya
(selama tiga era: Jepang, Belanda dan Republik Indonesia).
Zainul Arifin Pohan dan Sukarno meski berbeda
partai, namun keduanya sudah seakan sahabat karib. Presiden Sukarno sangat
beruntung memiliki teman pemberani dan dapat dipercaya, Zainul Arifin Pohan.
Karenanya, untuk wilayah-wilayah yang rawan pemberontakan Soekarno tidak berani
mendatanginya, yang dikirim adalah Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin
Pohan. Intensitas kunjungan Soekarno berada di wilayah Jawa dan kunjungan
terakhir ke luar Jawa adalah di Medan (pembukaan PON III). Kini, Presiden
Soekarno berkunjung ke luar Jawa di Lampung.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-05-1954: ‘Pres. Soekarno
berkinjung ke Tandjung Karang. Presiden Sukarno kemarin mengunjungi setengah
hari di Tanjong Karang di Lampongse untuk menghadiri upacara di mana 11.000
anggota Korps Nasional dari masyarakat. Soekarno masih menunda kunjungan
Maluku, Kepulauan Sunda (Nusantara) serta Makassar, Rabu pagi, ia membuat waktu untuk berbicara
dengan mantan pejuang tentara kemerdekaan Indonesia. Sukarno didampingi oleh
Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, Menteri Informasi FL. Tobing Menteri
Pendidikan, Kepala Staf Angkatan Darat, Walikota Jakarta dan Direktur Kantor
Presiden. Di Tandjong Karang, Soekarno disambut Menteri Pertahanan yang lalu
ikut bergabung dan sejumlah pejabat daerah, seperti Gubernur Sumatera Selatan,
Komandan Teritorial dan Residen Lampung: Mr. Gele Harun Nasution’.
Wilayah Lampung adalah wilayah yang tergolong
aman. Entah kebetulan karena Residen Lampung adalah Mr. Gele Harun, pemimpin
para pejuang di Lampung selama masa agresi militer Belanda. Mr. Gele Harun
Nasution meski alumni sekolah hukum di Leiden tetapi sangat anti Belanda.
Sebagaimana diketahui Residen Pertama Lampung (pasca proklamasi kemerdekaan RI,
1945) adalah Mr. Abdul Abbas Siregar (kelahiran Medan, anggota PPPKI). Namun
karena Lampung telah dikuasai Belanda (agresi militer) Mr. Abdul Abbas Siregar
ditarik ke Jogjakarta sebelum dipindahkan menjadi Residen Sumatera Timur di
pengungsian (Pematang Siantar). Setelah pengakuan kedaulatan RI 1949)
pemerintah RI mengangkat Mr. Gele Harun Nasution sebagai Residen Lampung.
Gele Harun Nasution lahir di Sibolga. Ayahnya adalah
seorang dokter yang pada saat Gele Harun masih bayi, keluarga Dr. Harun Al
Rasjid Nasution pindah ke Lampung untuk membuka klinik kesehatan di Tanjung
Karang dan Bandar Lampung. Ibu Gele Harun bernama Alimatoe Saadiah br. Harahap
(kelahiran Padang Sidempuan) adalah anak dari Saleh Harahap gelar Dja Endar
Moeda (Radja Persuratkabaran di Padang, Sibolga, Aceh dan Medan). Alimatoe
Saadiah di Padang adalah pribumi pertama yang memiliki pendidikan Eropa. Boru
Panggoaran Dr. Harun Nasution dan Alimatoe Saadiah (kakak sulung Gele Harun)
bernama Ida Loemongga kelahiran Padang 1904 adalah dokter perempuan pertama
Indonesia bergelar doctor (PhD) di Belanda tahun 1931. Dr. Ida Loemongga, Ph.D
adalah satu dari lima orang Indonesia pertama bergelar doctor (Phd).
Tentu saja Presiden Soekarno akan nyaman dan
tenang di Lampung, sebagaimana sebelumnya Soekarno tenang saat berkunjung di
Medan. Ketika kunjunan Soekarno tahun 1953 ke Medan, gubernur Sumatera Utara
adalah Abdul Hakim Harahap (mantan Residen Tapanuli yang menggantikan posisi
Dr. FL Tobing yang kini menjadi Menteri Informasi). Selain itu, di Medan,
jabatan Residen Sumatera Timur dipegang oleh Muda Siregar (tokoh NU di Medan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar