Rabu, Agustus 28, 2024

Sejarah Lubuk Raya (9): Orang Utan Mawas Sejak Zaman Kuno; Orang Utan di Borneo, Maias di Serawak dan Maos di Angkola


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lubuk Raya di blog ini Klik Disini

Orang utan atau mawas juga ditemukan di wilayah Angkola. Carl Linnaeus tahun 1799 memberi nama Simia satyrus (monyet satir). Oleh karena tidak hanya satu spesies, penamaan kemudian disesuaikan tempat ditemukan seperti Pongo Tapanuli. Orang utan atau mawas di Kalimantan juga disebut orang panda, orang pandak, orang pendek, mawej, kahika, kahio, keoe dan majas. Pada masa ini, populasi orang utan dunia hanya tersisa 70.000 orang utan Kalimantan, 14.000 orang utan Sumatra, dan 800 orang utan Tapanuli.


Orang utan (bentuk tidak baku: orangutan) atau mawas adalah kera besar yang berasal dari hutan hujan Indonesia hanya ditemukan di sebagian Kalimantan dan Sumatra. Orang utan diklasifikasikan dalam genus Pongo dan awalnya dianggap hanya terdiri dari satu spesies. Sejak tahun 1996, orang utan dibagi menjadi dua spesies: orang utan kalimantan (P. pygmaeus, dengan tiga subspesies) dan orang utan sumatra (P. abelii). Spesies ketiga, orang utan Tapanuli (P. tapanuliensis), diidentifikasi secara definitif pada tahun 2017. Orang utan adalah satu-satunya genus yang masih hidup dari subfamili Ponginae, yang secara genetik terpisah dari Hominidae lain (gorila, simpanse, dan manusia). Orang utan termasuk primata yang paling cerdas. Mereka menggunakan berbagai peralatan rumit dan membangun sarang tidur yang kompleks setiap malam dari ranting-ranting dan dedaunan. Orang utan telah muncul dalam karya literatur dan seni dunia setidaknya sejak abad ke-18, terutama untuk mengomentari komunitas manusia. Seorang ahli primatologi, Birute Galdikas, memelopori studi lapangan tentang orang utan (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah orang utan mawas sejak zaman kuno? Seperti disebut di atas populasi orang utan hanya tersisa sedikit. Nama orang utan di Kalimantan, nama maias di Serawak dan mawas di Angkola. Lalu bagaimana sejarah orang utan mawas sejak zaman kuno? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Orang Utan Mawas Sejak Zaman Kuno; Orang Utan di Kalimantan, Maias di Serawak dan Maos di Angkola

Banyak nama ditemukan untuk kera dan monyet. Ada juga nama loetoeng, oewa-oewa, koenjoek, siamang. Lantas mengapa ada nama yang disebut siamang dan imbo di Angkola? Di Atjeh nama siamang disebut hembee. Untuk nama orang utan sendiri dalam bahasa Angkola disebut moas, dan majas di Serawak. Sebutan orang utan diduga kuat berasal dari orang di pesisir/pantai (orang asing).


Siamang dan mawas berbeda genus. Mawas (atau) orang utan berperilaku mirip manusia. Yang jelas keduanya sama-sama hidup di pohon-pohon yang berada di hutan (sangat jarang menyentuh tanah). Monyet dan kera ada kalanya turun ke tanah. Siamang dan mawas berada dalam ordo yang sama (primata) tetapi berbeda famili/marga.

Dalam hal ini, dua jenis primata orang utan dan siamang ditemukan di Sumatra. Siamang adalah nama dalam bahasa Batak dan maos juga nama dalam bahasa Batak. Dua jenis kera/monyet memiliki nama sendiri dalam bahasa Batak. Lantas mengapa awalnya nama orang utan diasosiasikan dengan Kalimantan, namun faktanya nama orang utan di Kalimantan (utara dan barat) disebut majas. Orang Dayak sendiri memiliki nama sendiri-sendiri untuk orang utan?


Penemuan orang utan dan mawas dalam hal ini merujuk pada pencatatan yang dilakukan oleh orang Eropa. Nama orang utan paling tidak terinformasikan pada era VOC/Belanda. Sejauh ini nama orang utan tidak/belum ditemukan dari sumber Portugis. Munculnya pencatatan nama orang utan di Kalimantan karena habitatnya ada yang cukup dekat ke pantai sehinggan orang asing menemukannya. Sementara di Sumatra termasuk Tapanoeli/Angkola habitat orang utan jauh di pedalaman. Sebagaimana diketahui pada era Portugis/VOC pos-pos perdagangan berada di pantai/pesisir. Untuk nama mawas sendiri baru dicatat oleh von Rosenberg. Sebagaiman diketahui von Rosenberg pertama kali ke pantai barat Sumatra di Angkola bersama Jung Huhn pada tahun 1840. Dalam perkembangannya von Rosenberg juga melakukan ekspedusi ke Singkel dan Mentawai,

Nama orang utan di Sumatra tampaknya merujuk pada nama maos dalam bahasa Batak (Angkola Mandailing). Sebab orang utan dalam bahasa Batak (Toba) adalah moaos (lihat Noord en Zuid; taalkundig tijdschrift voor de beide Nederlanden, ten behoeve van onderwijzers, 1896). Sementara itu, orang utan dalam bahasa Atjeh disebut mawaih; sementara dalam bahasa Minangkabau disebut maweh. Sebutan mawas ditemukan di pantai barat dan pantai timur Tanah Batak. Dengan demikian, nama mawas merujuk wilayah Sumatra Utara yang sekarang. Namanya berbeda di utara di Atjeh (mawaih) dan di selatan di Minangkabau (maweh). Nama mawas berasal dari maos.


Seperti dikutip di atas, sisa populasi orang utan pada masa ini hanya ada di Kalimantan, Sumatra, termasuk Tapanuli. Namun yang unik mawas di Tapanuli (P tapanuliensis) berbeda dengan jenis mawas Sumatra lainnya (P abelii). Catatan: mawas Kalimantan yang disebut orang utan diberi nama P pygmaeus. Lantas apa sebab mawas Tapanuli diidentifikasi secara spesifik dari jenis mawas lainnya di Sumatra? Sisa habitat mawas di wilayah Tapanuli pada masa ini terutama di wilayah Angkola di sisi wilayah Batangtoru (kabupaten Tapanuli Selatan).

Nama orang utan sendiri tidak diketahui berasal dari mana. Namun yang jelas nama orang utan pada masa ini diasosiasikan dengan bahasa Melayu. Hal ini boleh jadi karena di Sumatra nama orang utan merujuk pada nama maos, maoas, mawas, mawaih dan maweh. Di Kalimantan utara dan barat orang utan disebut majas.


Nama orang utan diberikan oleh orang asing (lihat en Zuid; taalkundig tijdschrift voor de beide Nederlanden, ten behoeve van onderwijzers, 1896). Disebutkan nama orang utan tidak tepat. Faktanya bahwa tidak ada satupun bahasa-bahasa di Sumatra dan Kalimantan menyebutnya sebagai orang utan. Dalam berbagai tulisan penyebutan nama orang utan selalu disinonimkan dengan mawas. Ini seakan mengindikasikan orang-orang asing (Eropa/Belanda) tidak yakin bahwa semua penduduk di Sumatra dan Kalimantan mengenal nama orang utan. Oleh karena itu selalu nama orang utan dinyatakan dengan ‘orang outang atau mawas’. Lalu mengapa nama mawas yang dipilih untuk disandingkan dengan nama orang outang, padahal di Atjeh disebut mawaih, di Minangkabau disebut maweh dan di Kalimantan umumnya disebut majas? Seperti disebut di atas, orang Dajak sendiri di Kalimantan memiliki nama-nama sendiri seperti orang panda, orang pandak, orang pendek, mawej, kahika, kahio dan keoe.  

Lantas sejak kapan mawas disebut orang utan? Yang jelas JG Dammerboer seorang guru di Fort de Koek mempertanyakan nama orang oetang (lihat en Zuid; taalkundig tijdschrift voor de beide Nederlanden, ten behoeve van onderwijzers, 1896). Menurut JG Dammerboer orang oetang adalah schuldmensch (orang yang bersalah). Oleh karenanya orang oetang tidak tepat untuk menyebut mawas. Bagaimana dengan orang oetan? Tidak ada kata oetan di dalam bahasa-bahasa di Hindia, yang ada adalah hoetan. Lalu bagaimana selanjutnya?


Penamaan mawas dengan nama orang oetang awalnya adalah penamaan oleh orang asing tetapi penamaan yang salah. Lalu nama orang oetang ini bergeser menjadi orang oetan saja (hingga kini tetap disebut orang utan). Penyebutan orang utan ini tentu saja tidak dimaksudkan sebagai ‘orang hutan’. Sebab ‘orang hutan’ maknanya berbeda dengan ‘orang utan’.

Jadi orang utan bukan berasal dari bahasa Melayu. Orang utan adalah mawas, mawaih, maweh dan majas. Awalnya dicatat sebagai orang outang (Ingris) atau orang oetang (Belanda) tetapi dalam perkembangannya menjadi orang utan (ejaan Inggris) atau orang oetan (ejaan Belanda).


Pada masa ini disebut (sebagaimana dicatat di dalam Wikipedia), orang Eropa pertama yang mencatat penggunaan istilah orang utan adalah Jacobus Bontius. Dia menulis kata ini di dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1631 yang berjudul Historiae naturalis et medicae Indiae orientalis. Disebutkan istilah ini juga muncul dalam beberapa deskripsi zoologi Indonesia dalam bahasa Jerman pada abad ke-17 dan mungkin juga secara khusus berasal dari ragam bahasa Melayu Banjar. Istilah orang utan pertama kali dicantumkan dalam catatan berbahasa Inggris pada tahun 1693 oleh dokter John Bulwer dalam bentuk Orang-Outang. Hilangnya "h" dalam utan dan pergeseran dari -n ke -ng telah dianggap menunjukkan bahwa kata tersebut masuk ke bahasa Inggris melalui bahasa Portugis. Dalam bahasa Melayu, istilah ini pertama kali dikonfirmasi pada tahun 1840, bukan sebagai nama asli tetapi mengacu pada bagaimana orang Inggris menyebut hewan tersebut. Kata 'orang utan' dalam bahasa Melayu dan Indonesia saat ini diserap dari bahasa Inggris atau Belanda pada abad ke-20, yang menjelaskan mengapa huruf 'h' awal dari 'hutan' juga hilang. Catatan: Makalah Jacobus Bontius (Jabobi Bontii) berjudul Historiae naturalis et medicae Indiae orientalis (berbahasa Latin) di Batavia Sebagian telah diterbitkan tahun 1854 (lihat Tijdschrift der Vereeniging tot Bevordering der Geneeskundige Wetenschappen in Nederlandsch-Indie, 1854). Biografi Jacobus Bontius disusun oleh Dr GF Pop dengan judul Nog Iets over Jacobus Bontius yang dimuat dalam Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1870. Disebutkan Jacobus Bontius lahir di Leiden 1592 dan menunggal di Batavia pada tanggal 1 November 1631. Sementara itu Jacobus Bontius sendiri diangkat pada tanggal 24 Agustus 1626 sebagai dokter, apoteker dan pengawas ahli bedah di Hindia, di mana dia menaiki kapal dengan armada JP Koen yang berlayar pada tanggal 19 Maret 1627 dan tiba di Batavia 31 Oktober 1627 (lihat Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1868).

Penyebutan nama orang outang merujuk pada mawas di Kalimantan (lihat Algemeene konst- en letter-bode, voor het jaar 1801). Sebab pada masa itu orang asing pertama kali menemukan mawas di Kalimantan. Lalu kapan nama mawas (Sumatra) pertama kali terinformasikan? Yang jelas nama orang oetan telah masuk ke dalam bahasa Belanda. Dalam kamus bahasa Belanda-Melayu karya Klinkert (Nieuw Nederlandsch-Maleisch woordenboek, 1885) nama orang oetan sebagai bahasa Melayu baku dan mawas dan majas sebagai bahasa tidak baku. Dalam hal ini orang oetan sudah menjadi kosa kata baku dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu (dalam kamus ini juga nama mawas dan majas diperkenalkan).


Nama mawas diperkenalkan oleh Hermaan von Rosenberg. Nama mawas ditemukan von Rosenberg (1840). NH van der Tuuk memperkenalkan nama yang berbeda di Angkola Mandailing dan di Toba (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856 dan Tobasche spraakkunst voor het Nederlandsch bijbelgenootschap door NH van der Tuuk, 1864). NH van der Tuuk mencatat di Dairi disebut mawas; di Toba disebut maoas; dan di Angkola Mandailing disebut maos. Catatan: NH van der Tuuk pertama ke Tanah Batak pada tahun 1850 saat mulai melakukan penyelidikan bahasa dan tatabahasa Batak. 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Utan di Kalimantan, Maias di Serawak dan Maos di Angkola: Mengapa Orang Utan Hanya ada di Sumatra dan Kalimantan?

Orang utan oleh orang asing di Kalimantan, mawas oleh orang pribumi di Sumatra. Lalu sejak kapan maos disebut mawas? Seperti disebut di atas, di Dairi disebut mawas dan di Angkola Mandailing disebut maos. Di wilayah Karo juga disebut mawas.Sementara di Toba disebut maoas. Maos pertama kali dicatat oleh Dr NH van der Tuuk.


Nama orang outang sudah masuk dalam (kamus) bahasa Belanda. Seperti disebut di atas orang outang dalam bahasa Angkola Mandialing sebagai maos dan dalam bahasa Toba sebagai maoas. Dalam bahasa Atjeh (barat) orang utan disebut mawas (di Atjeh utara disebut mawaih). Sementara dalam bahasa Singkel disebut mawas (lihat Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde, 1855).

Orang utan di Sumatra terdapat di wilayah pantai barat, mulai dari Minangkabau, Angkola Mandailing, Dairi, Singkil dan Atjeh barat. Dalam hal ini habitat orang utan di pantai barat Sumatra yang disebut mawas terbatas di Dairi/Pakpak, Singkel dan Atjeh barat.


Di Minangkabau disebut maweh dan di Atjeh utara disebut mawaih. Sementara itu, secara morfologis sebutan mawas lebih dekat dengan sebutan maoas dalam bahasa Toba. Dengan kata lain ada kemiripan antara mawas dalam bahasa Dairi dan maoas dalam bahasa Toba. Bagaimana dengan moas dalam bahasa Angkola Mandailing? Ada kemiripan antara moas dalam bahasa Angkola Mandailing dengan maoas dalam bahasa Toba. Secara fonologis mawas dan maoas kurang lebih sama: aoa=awa. Akan tetapi mawas dengan moas berbeda. Dalam hal ini antara mawas (Dairi) dan moas (Angkola Mandailing) dijembatani oleh maoas (Toba). Bagaimana dengan maweh di Minangkabau? Ada perbedaan fonologis dan morfologis dengan maos dalam bahasa Angkola Mandailing. Oleh karena mawaih dalam bahasa Atjeh utara, maka dengan sendirinya baik mawaih dan maweh merujuk pada nama mawas. Lantas mengapa nama maos terisolasi? Ini mengindikasikan bahwa maos adalah nama terawal tentang orang utan/mawas. Sebagaimana disebut di atas nama orang outang adalah pemberian nama yang dilakukan orang asing.  

Lantas bagaimana dapat dikatakan mawas merujuk pada nama maos, karena nama maos terisolasi? Seperti disebut di atas ada dua jenis orang utan di Sumatra yang dibedakan menurut habitatnya yakni Pongo tapanuliensis (mawas Tapanuli) dan Pongo abelii (mawas Sumatra). Mawas Sumatra dalam hal ini tersebar dari Minangkabau hingga ke Atjeh, tetapi secara khusus di wilayah Tapanuli juga ditemukan jenis mawas yang lain (khas). Dalam hal inilah mawas Tapanuli di wilayah Angkola menjadi cukup unik (khas) dan namanya juga tampak unik.


Tidak hanya nama maos terisolasi, jenis mawas Pongo tapanuliensis juga terisolasi diantara mawas Sumatra (Pongo abelii). Mengapa bisa begitu? Yang jelas jenis mawas di di selatan (Minangkabau) sama dengan jenis mawas di utara (Singkil, Dairi dan Karo). Oleh karena habitat Pongo tapanuliensis lebih sempit (wilayah Batangtoru), jumlah populasinya juga lebih sedikit dibandingkan dengan Pongo abelii (mawas Sumatra) dan Pongo pygmaeus (Kalimantan).   

Lalu apa keutamaan mawas maos Tapanuli? Maos Tapanuli lebih tua dari pada mawas Somatra dan orang utan Kalimantan. Apa yang menjadi bukti maos Tapanuli lebih tua? Tempurung otaknya lebih kecil dibandingkan yang lainnya. Artinya, perkembangan otak maos Tapanuli juga terisolasi di suatu tempat yang khusus dan wilayah sempit (baca: Batangtoru). Dari segi linguistik nama maos lebih tua daripada nama mawas di Sumatra dan nama majas/maias di Kalimantan.


Bagaimana nama orang utan di Angkola disebut maos? Kamus Bahasa Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink tahun 1936, aos sinonim dengan maos. Aos diartikan sebagai sisa sesuatu. Kosa kata aos diduga kuat bergeser menjadi aus dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia. Mengapa? Yang jelas dalam kamus HJ Eggink kosa kata maos juga diartikan sebagai kera besar atau orang utan. Seperti disebut di atas kosa kata mawas diduga berasal usul dari maos yang kemudian bergeser dalam bahasa Toba sebagai maoas dan selanjutnya bergeser menjadi mawas dalam bahasa Dairi, Karo dan Singkil. Tidak ditemukan kosa kata maos dalam bahasa Jawa, tetapi untuk kosa kata mawas dalam bahasa Jawa bukan orang utan, tetapi diartikan sebagai hati-hati/teliti. Lalu apakah yang dimaksud maos dalam bahasa Angkola, yang hanya ditujukan pada orang utan mengindikasikan sisa sesuatu? Sisa orang utan terdahulu? Jika nama orang utan adalah pemberian nama oleh orang asing di Kalimantan, lalu bagaimana dengan nama maias di Kalimantan? Yang jelas secara morfologis maias sama dengan maoas (bahasa Toba). Artinya ada pergerseran dari maoas ke maias.Foto: Maos Angkola: jantan (kiri), betina (kanan)

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: