Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955 adalah pemilu kali pertama diselenggarakan di Indonesia. Sebagai pemilu pertama, tentu saja tidak mudah untuk melaksanakannya. Berbagai hal dipersoalkan, mulai dari persyaratan pemilih hingga penentuan lambang partai. Meski Indonesia untuk pertama kali dan tidak memiliki pengalaman, ternyata penyelenggaraannya terbilang berhasil. Zainul Arifin Pohan berada di balik suksesnya penyelenggaraaan Pemilu 1955. Apa rahasianya?
Lambang Partai
Belum diketahui secara pasti berapa jumlah
partai yang ikut Pemilu 1955, namun yang jelas partai-partai besar seperti PNI,
Masyumi, NU dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah sangat siap. Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sudah mulai bekerja. Satu hal yang tengah diperbicangkan
publik adalah soal lambang Partai PKI yakni palu-arit. Ada yang mengatakan lambang
Partai PKI telah melanggar Undang-Undang Pemilihan. Wakil Perdana Menteri
Zainal Arifin akan meneliti kebenaran daripadanya
Sumber: internet |
Tidak hanya soal lambang, hal lain yang
diperdebatkan adalah soal kriteria calon pemilih. Untuk pemilih tidak hanya
dari sisi umur tetapi juga dari status kawin (meski umur belum memenuhi).
De nieuwsgier, 12-06-1954: ‘Wakil Perdana Menteri II,
Zainal Arifin sebagai contoh ke depan, bahwa menurut hukum, individu yang
menikah - tanpa memandang usia - dapat berpartisipasi dalam pemilu. Zainal
Arifin melihat daerah itu berbeda-beda, yang mana Banten misalnya ada anak-anak
umur tujuh atau delapan tahun yang disenut ‘kawin gantung’ (pernikahan adat secara
tentatif- red.). Apakah terhubung dalam aturan yang berlaku menurut ajaran
Islam, Komisi Pemilihan umum telah menafsirkan hubungan ini, bagian yang
relevan dari hukum yakni orang-orang yang sudah menikah dan juga hidup bersama,
kata Wakil Perdana Menteri II, Zainal Arifin’.
Organisasi mahasiswa Islam, HMI juga tidak
setuju dengan lambang Partai PKI palu dan arit. Selain itu juga terdapat
penolakan terhadap Partai Murba dengan partai pembela proklamasi. Sebab, tidak
hanya Murba yang membela proklamasi.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 12-06-1954: ‘Pernyataan
HMI. Dalam sebuah pernyataan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 11 Juni 1954
mengeluarkan pernyataan mengenai penolakan menggunakan simbol palu dan arit
untuk PKI dalam pemilihan umum, juga adalah menunjukkan bahwa mahasiswa Islam
sepenuhnya berada di balik pernyataan Kijai Dachlan dari dewan Nahldatul-Ulama
(NU) pada tanggal 10 Juni 1954. Ketua HMI juga berpendapat bahwa penggunaan
kata-kata Murba (partai Pembela Proklamasi), pembela proklamasi kemerdekaan)
tidak tepat, seperti Kijai Dachlan telah menyatakan itu, pihak-pihak lain juga untuk
mempertahankan proklamasi kemerdekaan’.
Di kalangan internal partai-partai Islam juga
terjadi koreksi. Partai Islam ada tiga partai utama Masyumi, PSII dan NU. Klaim
sebagai parati Islam tidak hanya dapat dilakukan oleh satu partai saja. Semua
umat muslim bisa memilih salah satu diantaranya.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 29-06-1954: ‘Masyumi mendesak toleransi depan Islam terhadap
agama-agama lain. NU pada dasarnya, bukan musuh dari Masyumi atau sebaliknya.
Juga tidak PSII musuh dari Masyumi atau sebaliknya, atau GP Anasor dari GPII. Kata
Kiai Anshary, anggota dari partai Masyumi pada pertemuan massa di Aloon-aloon
ke Lamongan, yang dihadiri oleh kerumunan, laki-laki dan perempuan. Selain itu,
Kiai Isa Anshary bahwa semua Muslim melayani di Indonesia sebagai saudara satu
sama lain sesuai menurut ajaran Al-Quran. Pada pemilu yang akan datang Isa
Anshary, menyatakan bahwa, seperti yang kita tahu, pemerintah memiliki karakter
sementara. Pantja Sila adalah hanya bentuk awal negara. Presiden, Wakil
Presiden, parlemen dll semua memiliki karakter sementara. Kami umat Islam perlu
menyediakan dalam pemilihan umum, misalnya, bahwa konstituen kita, parlemen
kita dan kita dimiliki pemerintah- adalah perwakilan dari Islam, Kata Isa
Anshary. tentang nama "Partai Islam" dibentuk oleh Masyumi, NU dan PSII.
Jadi semua partai-partai Islam, yang didasarkan pada Al-Quran. Isa Ansihary memerintahkan
yang semua Muslim dalam pemilu hanya memilih orang Islam baik Masyumi, NU atau PSII.
Islam bukanlah milik Masyumi saja, tapi dari semua umat Islam Indonesia’.
Masih dari kalangan Islam bahwa tentang
pemilu itu sendir masih ada yang berbeda penafsiran. Ada yang menganggap pemilu
adalah praktek kotor (tidak islami). Wakil Perdana Menteri II berpandangan
pemilu di Indonesia harus dibedakan dengan pemilu di Barat. Di Indonsia, pemilu
harus didasarkan pada moralitas oriental (ketimuran).
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 29-06-1954: ‘Wakil Perdana Menteri II dan anggota dewan
dari Nahdatul Ulama (NU), Zainal Arifin, mengatakan dalam sebuah pidato pada
sesi penutupan konferensi NU di Sumatera Tengah, yang hari ini di Bukittinggi
diadakan, bahwa penarikan NU dari
Masyumi tidak berarti vakum di dalam perjuangan Islam. Mengomentari pandangan
bahwa politik adalah kotor, kata Wakil Perdana Menteri II, bahwa pemilu sebagai
praktek kotor harus dikaitkan kepada orang Barat. Zainul Arifin mengatakan kita
akan menyampaikan setiap propaganda yang akan tampil untuk pemilihan umum yang
akan datang harus didasarkan pada moralitas Oriental’.
Menteri Agama Ad Interim
Figur Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan adalah figur pemimpin yang unik pada masa itu. Zainul Arifin Pohan tidak hanya mantan panglima di era perang tetapi
juga di parlemen adalah mantan ketua komisi pertahanan. Karenanya, sejak
menajdi wakil perdana menteri Zainul Arifin Pohan
kerap diserahi tugas-tugas pertahanan terutama dalam menangani sejumlah
pemberontakan di daerah. Untuk urusan agama (Islam) kapasitas Zainul Arifin Pohan tidak perlu diragukan. Karenanya, selama Menteri
Agama berhalangan, Zainul Arifin Pohan yang mengambil alih.
De nieuwsgier, 09-07-1954: ‘Menteri Agama, Kiai hadji Masjkur, sehubungan
dengan ziarah ke Mekkah diserahkan tugasnya kepada Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin. Dengan
kata lain, Wakil Perdana Menteri II Zainul Arifin sepanjang tidak ada Menteri Kijai Hadji Masjkur akan menangani urusan agama sebagai Menteri. Transfer tersebut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal
Kementerian, Mohammad R. Kafrawi’.
Politik NU: Tidak mewakili semua Islam, meski tidak puas
masih tetap mendukung pemerintah
NU dan PSII adalah partai Islam pendukung
pemerintah. Sebaliknya dua partai Islam lainnya, Masyumi dan Perti oposisi
terhadap pemerintah. Pernyataan ini dikemukan oleh Zainul Arifin Pohan sebagai Wakil
Perdana Menteri dan juga sebagai Ketua Parlemen.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-07-1954: ‘Sumatera Tengah
(Padang) muncul surat kabar Haluan. Koran ini dalam enam editorial dalam enam
hari, Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, pada kunjungan baru-baru ini
diwawancarai Padang, di mana ia menyatakan bahwa partainya, Nahdlatul Ulama,
yang tidak mewakili komunitas Islam seluruh tetapi hanya sebagian daripadanya, pada
dasarnya belum puas dengan kinerja pemerintah saat ini. Dalam konteks ini Haluan
melihat keputusan yang diambil pada konferensi baru-baru ini Nahdlatul Ulama
untuk terus mendukung pemerintah’.
Presiden Sukarno menyatakan bahwa pemilu
adalah realisasi cita-cita revolusi nasional. Pernyataan ini dikemukakan
sehubungan dengan penyelenggaraan pemilu pertama yang mana secara nasional
belum konsudif sepenuhnya dari sisi keamanan. Untuk mengikat perbedaan dan
keberagaman penduduk Indonesia Soekarno perlunya menjaga pesatuan dan kesatuan
atas dasar Pancasila.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-08-1954: ‘Presiden
Sukarno kemarin di Istana Merdeka di Jakarta diadakan pidato pada kesempatan
ulang tahun kesembilan dari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Presiden
mengimbau masyarakat untuk menjaga persatuan atas dasar Pancasila dari Sabang
sampai Merauke, membangun organisasi ekonomi nasional, dalam rangka menjaga
kesatuan tentara berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945 untuk mendidik
orang-orang muda yang menyadari tanggung jawab mereka. Pada pemilihan umum, Soekarno
mengatakan bahwa pelaksanaannya akan berarti realisasi cita-cita revolusi
nasional. Tidak hanya menjaga masyarakat Indonesia dalam pemilihan ini, tetapi
seluruh dunia sebagai perhatian terbesar, karena ini adalah pemilu pertama yang
diadakan di Indonesia. Presiden mengatakan bahwa ada beberapa orang luar yang
mempertanyakan Indonesia apakah dapat mengadakan pemilihan umum karena mereka
tidak ingin melihat munculnya stabilisasi politik di Indonesia. Ada pemilihan
tersebut, ada juga membutuhkan hasil tertentu dan bekerja secara rahasia untuk
memastikan bahwa banyak mereka sedang sulit. Presiden ingat juga, bahwa ia
telah mengunjungi hampir semua tempat di Indonesia. Dia telah demikian menjadi
baik Islam sebagai daerah Protestan, Katolik dan Budistische dan sampai pada
kesimpulan bahwa satu-satunya dasar bagi masyarakat Indonesia adalah Pancasila’.
Namun demikian realisasi cita-cita revolusi
nasional belum sepenuhnya tercapai. Pemilu pertama ini baru hanya untuk pemilihan
anggota dewan nasional meski RUU dewan lokal sudah selesai. Hal ini diungkapkan
oleh Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin Pohan.
De waarheid, 19-08-1954 Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin mengatakan bahwa pemerintah
sebenarnya telah selesai dengan persiapan RUU untuk pemilihan anggota dewan
lokal, tetapi mengingat kondisi anggaran harus ditunda dulu’.
De vrije pers: ochtendbulletin, 08-09-1954: ‘Wakil Perdana
Menteri II, Zainul Arifin. dan Menteri Agama, Kiai Masdjkur di Surabaya tiba
untuk hari ini pada penerimaan pembukaan
Kongres Nahdlatul Ulama’.
Kebijakan keamanan
Selama ini masalah pertahanan telah
diperankan Zainul Arifin. Tuntutan agar kebijakan keamanan ditransfer ke Zainul
Arifin tentu saja bukan kewenangannya. Namun Zainul Arifin tidak bodoh. Untuk
mengantisipasi kekhawatiran umum, Zainul Arifin mensyaratkan semua penduduk
dewasa (termasuk yang sudah kawin) dan tentara diikutkan dalam pemilihan umum.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-09-1954: ‘Dalam lingkaran
politik dinyatakan bahwa terjadi memorandum permintaan dari PIR, yang Kelompok
Wongsonegoro et al mungkin keberatan, yaitu persyaratan bahwa kebijakan
keamanan yang saat ini dipegang oleh Wakil Perdana Menteri I, Wongsonegoro
harus ditransfer ke Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, dari NU. Hal ini karena menurut
NU yang dalam kebijakan keamanan Mr. Wongsonegoro, mendukung kelompok sayap
kiri. Di koran Keng Po yang terbit di Jakarta menulis catatan politik bahwa Nahdlaul
Ulama di kalangan politik di pusat menjadi perhatian karena mereka bisa
membahayakan kehidupan Kabinet dan merugikan Muslim. Pihak Islam menyatakan
bahwa Mr Wongsonegoro telah gagal dalam usahanya menciptakan sebuah korps
relawan oleh oposisi utama pada bagian dari para veteran Islam. Sekarang
kelompok kiri mendesak Mr Wongsonegoro untuk membentuk anggota MMC dan kelompok
Bambu Runtjing dengan melegalkan mereka untuk mengatasi korps untuk mengatakan
pada konferensi keamanan nasional, yang akan diselenggarakan oleh mereka. Untuk
tujuan ini, Mr. Wongsonegoro telah memberikan dana. Ketika rencana ini akan
segera menjadi kenyataan, jelas bahwa korps akan berpartisipasi aktif dalam
pemilihan umum’.
Penyertaan tentara ikut pemilu adalah cara
halus untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya masalah keamaan pada saat
pemilu. Zainul Arifin Pohan dalam hal ini dianggap telah sukses menahan setiap
gejolak. Hasilnya pemilu jitu, penyelenggaraan pemilu aman dan terkendali. Para
tentara yang bertugas secara bergantian mendatangi bilik suara. Keamanan yang
dikendalikan oleh polisi dan pembentukan korps relawan keamanan dari sayap kiri
telah dapat diredam oleh hadirnya para tentara di TPS.
Rahasia lainnya adalah bahwa tender pengadaan
perlengkapan pemilu seperti surat suara dilakukan oleh asing. Dengan begitu
segala tindakan yang merugikan pihak lain yang akan bermain curang dapat
dihindari mulai dari desain surat suara, distribusi dan sebagainya. Zainul
Arifin Pohan tahu persis apa yang sebaiknya harus dilakukan dalam
penyelenggaraan pemilu. Zainul Arifin Pohan tidak hanya panglima perang, tetapi
juga tokoh politik dan tokoh agama serta pengusaha yang sukses.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 5-10-1954. ‘Wakil Perdana Menteri II, Zainul Arifin, dalam
menanggapi pertanyaan dari Anggota Parlemen Abdullah Jusuf tentang pengadaan
oleh asing menyatakan bahwa setiap lelang hanya untuk perusahaan bonafid
perusahaan Negara yang ditawarkan. Jika ternyata tidak ada perusahaan nasional
dalam posisi untuk mengeksekusi perintah, mereka menawarkan untuk perusahaan
asing. Namun menyesal harus, bahwa pengalaman yang sampai sekarang telah
menunjukkan bahwa pelaksanaan karya-karya besar oleh perusahaan nasional dalam
banyak kasus jauh dari memuaskan lagi, baik dari segi batas waktu maupun kualitas
pekerjaan yang dilakukan sehingga untuk mencegah kerugian negara, dalam
kasus-kasus tertentu lebih pas didasarkan pada pertimbangan komersial, sehingga
mampu dalam jawaban di atas’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar