Minggu, September 18, 2016

Sejarah Masjid Istiqlal, Ini Faktanya (6): Pembangunan Masjid Istiqlal Terkendala, Pemberontakan Jilid II Meletus; Presiden Sukarno Dilengserkan

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Masjid Istiqlal dalam blog ini Klik Disin

Pembangunan Masjid Istiqlal ternyata kemudian tidak mulus, bahkan terbilang berhenti. Bukan krisis ekonomi yang menyebabkan tidak mulus, tetapi krisis kepemimpinan yang menyebabkan berhenti. Meraih kemerdekaan dari bangsa lain memang berat; tetapi menyusun kesatuan di dalam bangsa sendiri lebih berat. Baru mau terbentuk integrasi (kesatuan) dan persatuan, ternyata sudah muncul disintegrasi (keretakan) dan permusuhan. Penyebabnya bukan soal pengelolaan keuangan pembangunan Masjid Istiqlal, tetapi pengelolaan keuangan Negara. Penyebab utamanya adalah indikasi adanya korupsi dan alokasi anggaran negara: pusat vs daerah.  

Zainul Arifin tidak dalam kabinet lagi. Ketika Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar, Zainul Arifin Pohan juga melepas jabatan Wakil Perdana Menteri. Kabinet yang menggantikan Kabinet Ali (PNI) adalah Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi). Yang menyelesaikan hajatan Pemilu 1955 adalah Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemenang Pemilu adalah PNI yang di urutan kedua adalah Masyumi dan ketiga Partai NU.

Ini untuk kali pertama jumlah kursi NU di parlemen melonjak tajam. Jika sebelumnya di parlemen hanya delapan kursi dan tiga posisi di cabinet, maka kali ini Partai NU akan tampak signifikan. Dengan komposisi perolehan kursi di parlemen,

Kabinet Burhanuddin Harahap dengan sendirinya digantikan oleh kabinet baru. Kabinet baru ini justru kembalinya Kabinet Ali (dari PNI), Sementara itu di parlemen ketua adalah Sartono (PNI) dan dua wakil: Zainul Arifin Pohan (NU) sebagai Wakil Ketua I dan … (Masyumi) sebagai Wakil Ketua II.

Ini berarti, dua tokoh penting di balik pembangunan Masjid Istiqlal masih ada, yakni: Sukarno sebagai Presiden dan Zainul Arifin Pohan sebagai Wakil Ketua I Parlemen.

Kabinet Ali mulai memunculkan masalah baru. Ada indikasi korupsi di tubuh Kabinet Ali. Pengelolaan keuangan Negara dirasakan tidak berimbang dan tidak adil: pusat vs daerah.

AID: P.bode, 06-05-1957
Di dalam kabinet mulai saling curiga; parlemen mulai tidak kondusif; militer mulai bereaksi; pers mulai melancarkan kritik; dan masyarakat mulai gelisah. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta mulai gerah. Kabinet Ali II yang baru setahun berjalan (sejak 24 Maret 1956) harus dibubarkan dan digantikan oleh Kabinet Djuanda (mulai 9 April 1957). Presiden Sorkarno mulai pusing sendiri. Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 06-05-1957 memberitakan Soekarno sakit keras. Soekarno menurut dokter perlu istirahat dua bulan, mental dan fisik lelah. padahal Presiden sudah dijadwalkan berkunjung ke laur negeri. Untuk menggnatikan posisi Sukarno ke luar negeri diberikan kepada Sartono (Ketua Parlemen, dari PNI).

Semua itu berakibat pada kegiatan pembangunan Masjid Istiqlal, proses pembangunan mulai terkendala. Pemberontakan meletus. Pemberontak menyebutnya sebagai Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemberontakan ini meski kasusnya bermula isu pusat vs daerah tetapi misinya bersifat nasional. Pemberontak coba melakukan koreksi terhadap Negara yang mulai karut marut. Basis pertama pemberontakan dipilih di Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi. Pimpinan PRRI diangkat Sjafruddin Prawiranegara.

Pemberontakan PRRI seakan Pemberontakan Jilid II. Pemberontakan Jilid I terjadi terjadi pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang mana Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara memberontak. Zainul Arifin Pohan yang menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri I berhasil meredakan pemberontakan. Zainul Arifin Pohan, mantan Panglima Hisbullah seakan secara defacto sebagai Panglima Tentara RI. Saat itu gungsi legslatif dan eksekutif belum dipisahkan secara jelas.

Sjafruddin Prawiranegara dulunya adalah anggota panitia diawal persiapan pembangunan Masjid Istiqlal. Sjafruddin Prawiranegara termasuk tokoh penting. Pada saat ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda (agresi militer Belanda kedua) dan Soekarno dan Hatta ditangkap di Bukit Tinggi, Sumatera Tengah dibentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara. Pasca pengakuan kedaulatan RI, ketika Bank Sentral (Bank Indonesia) dibentuk, Sjafruddin Prawiranegara diangkat menjadi gubernur Bank Sentral. Pada saat menjabat gubernur inilah Sjafruddin Prawiranegara terlibat dalam persiapan pembangunan Masjid Istiqlal. Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia selama lima tahun (1953-1958). Jabatannya sebagai Gubernur BI berhenti, karena Sjafruddin Prawiranegara mulai ikut memberontak. Entah mengapa, Bukit Tinggi dipilih sebagai pusat PRRI sebagaimana dulu menjadi ibukota PDRI.

PRRI: Syafruddin Prawiranegara vs Sukarno dan Burhanuddin Harahap vs Mohamad Hatta

PRRI adalah puncaknya dari krisis kepemimpinan. Kabinet Ali I dibubarkan (12 Agustus 1955) sebelum waktunya dan digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap. Lantas kemudian Kabinet Burhanuddin Harahap (karena bukan mayoritas di parlemen hasil Pemilu 1955) harus digantikan dengan membentuk Kabinet Ali II (24 Maret 1956), tetapi cabinet ini tidak berumur lama dan dibentuk Kabinet Djuanda (9 April 1957).

Yang paling intens mengkritik Kabinet Ali II adalah pers. Mochtar Lubis, pemimpin surat kabar Indonesia Raya memimpin tekanan pers terhadap pemerintah. Mochtar Lubis berhasil menumbangkan Kabinet Ali II. Mochtar Lubis berada di dalam dua faksi tentara yang berbeda paham: antara Jenderal Abdul Haris Nasution dan Kolonel Zulkifli Lubis.

Ketika Djuanda mulai memimpin cabinetnya, krisis kepemimpinan berada pada puncaknya.

Tanggal 9 Januari 1958, di Sungai Dareh, Sumatera Barat diadakan pertemuan para pemimpin politik yang berseberangan dengan Presiden Soekarno. Yang hadir dari militer, antara lain:  Letkol Achmad Husein, Letkol Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sementara dari sipil, antara lain: Mohamnad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Lalu kemudian di Padang pada tanggal 10 Februari 1958 diadakan rapat raksasa. Letkol Achmad Husein memberi ultimatum kepada pemerintah pusat yang isinya sebagai berikut: (1) dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada Presiden atau Presiden mencabut mandat Kabinet Djuanda, (2) meminta Presiden menugaskan Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk kabinet baru, dan (3) meminta kepada Presiden supaya kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden konstitusional.

Tuntutan ini sangat berat bagi Sukarno. Tuntutan lalu ditolak. Sejumlah komandan miter diawasi seperti Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon dipecat. Pada tanggal 15 Pebruari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Husein memproklamasikan berdirinya pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara.

Syafruddin Prawiranegara mulai menyerang Presiden Soekarno. Serangan Syafruddin Prawiranegara yang langsung merendahkan Sukarno dan sebaliknya meninggikan Syafruddin Prawiranegara.

Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 20-02-1958: ‘Sjafroeddin menyatakan dalam pidatonya bahwa Sukarno pada bulan Desember 1948, aksi polisi Belanda yang kedua, mengadopsi sikap yang tidak layak dengan segera untuk mengibarkan bendera putih saat pasukan Belanda menduduki Yogya. Harus diingat bahwa kursi telah menjadi setelah jatuhnya Yogya dan interniran Soekarno dan kabinetnya pada akhir tahun 1948, Boekittingi pemerintah darurat yang dibentuk kemudian republik, yang melanjutkan perjuangan melawan Belanda’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bersambung:
Sejarah Masjid Istiqlal, Ini Faktanya (7): Harmoni Antar Umat Beragama di Tanah Batak; Islam Pertama di Indonesia di Baros; Kristen Terakhir di Sipirok


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: