Pembangunan
Masjid Istiqlal ternyata kemudian tidak mulus, bahkan terbilang berhenti. Bukan
krisis ekonomi yang menyebabkan tidak mulus, tetapi krisis kepemimpinan yang
menyebabkan berhenti. Meraih kemerdekaan dari bangsa lain memang berat; tetapi
menyusun kesatuan di dalam bangsa sendiri lebih berat. Baru mau terbentuk
integrasi (kesatuan) dan persatuan, ternyata sudah muncul disintegrasi (keretakan)
dan permusuhan. Penyebabnya bukan soal pengelolaan keuangan pembangunan Masjid
Istiqlal, tetapi pengelolaan keuangan Negara. Penyebab utamanya adalah indikasi
adanya korupsi dan alokasi anggaran negara: pusat vs daerah.
Zainul
Arifin tidak dalam kabinet lagi. Ketika Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar,
Zainul Arifin Pohan juga melepas jabatan Wakil Perdana Menteri. Kabinet yang
menggantikan Kabinet Ali (PNI) adalah Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi).
Yang menyelesaikan hajatan Pemilu 1955 adalah Kabinet Burhanuddin Harahap.
Pemenang Pemilu adalah PNI yang di urutan kedua adalah Masyumi dan ketiga
Partai NU.
Ini untuk kali
pertama jumlah kursi NU di parlemen melonjak tajam. Jika sebelumnya di parlemen
hanya delapan kursi dan tiga posisi di cabinet, maka kali ini Partai NU akan
tampak signifikan. Dengan komposisi perolehan kursi di parlemen,
Kabinet
Burhanuddin Harahap dengan sendirinya digantikan oleh kabinet baru. Kabinet
baru ini justru kembalinya Kabinet Ali (dari PNI), Sementara itu di parlemen ketua
adalah Sartono (PNI) dan dua wakil: Zainul Arifin Pohan (NU) sebagai Wakil
Ketua I dan … (Masyumi) sebagai Wakil Ketua II.
Ini berarti, dua
tokoh penting di balik pembangunan Masjid Istiqlal masih ada, yakni: Sukarno
sebagai Presiden dan Zainul Arifin Pohan sebagai Wakil Ketua I Parlemen.
Kabinet
Ali mulai memunculkan masalah baru. Ada indikasi korupsi di tubuh Kabinet Ali.
Pengelolaan keuangan Negara dirasakan tidak berimbang dan tidak adil: pusat vs
daerah.
AID: P.bode, 06-05-1957 |
Di dalam kabinet
mulai saling curiga; parlemen mulai tidak kondusif; militer mulai bereaksi;
pers mulai melancarkan kritik; dan masyarakat mulai gelisah. Presiden Sukarno
dan Wakil Presiden Mohamad Hatta mulai gerah. Kabinet Ali II yang baru setahun
berjalan (sejak 24 Maret 1956) harus dibubarkan dan digantikan oleh Kabinet
Djuanda (mulai 9 April 1957). Presiden Sorkarno mulai pusing sendiri. Algemeen
Indisch dagblad : de Preangerbode, 06-05-1957 memberitakan Soekarno sakit
keras. Soekarno menurut dokter perlu istirahat dua bulan, mental dan fisik
lelah. padahal Presiden sudah dijadwalkan berkunjung ke laur negeri. Untuk
menggnatikan posisi Sukarno ke luar negeri diberikan kepada Sartono (Ketua
Parlemen, dari PNI).
Semua
itu berakibat pada kegiatan pembangunan Masjid Istiqlal, proses pembangunan mulai
terkendala. Pemberontakan meletus. Pemberontak menyebutnya sebagai Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemberontakan ini meski kasusnya
bermula isu pusat vs daerah tetapi misinya bersifat nasional. Pemberontak coba
melakukan koreksi terhadap Negara yang mulai karut marut. Basis pertama pemberontakan
dipilih di Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi. Pimpinan PRRI diangkat
Sjafruddin Prawiranegara.
Pemberontakan
PRRI seakan Pemberontakan Jilid II. Pemberontakan Jilid I terjadi terjadi pada
masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang mana Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan
dan Nusa Tenggara memberontak. Zainul Arifin Pohan yang menjabat sebagai Wakil
Perdana Menteri I berhasil meredakan pemberontakan. Zainul Arifin Pohan, mantan
Panglima Hisbullah seakan secara defacto sebagai Panglima Tentara RI. Saat itu
gungsi legslatif dan eksekutif belum dipisahkan secara jelas.
Sjafruddin
Prawiranegara dulunya adalah anggota panitia diawal persiapan pembangunan Masjid
Istiqlal. Sjafruddin Prawiranegara termasuk tokoh penting. Pada saat ibukota RI
di Yogyakarta dikuasai Belanda (agresi militer Belanda kedua) dan Soekarno dan
Hatta ditangkap di Bukit Tinggi, Sumatera Tengah dibentuk Pemerintah Darurat RI
(PDRI) yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara. Pasca pengakuan kedaulatan RI,
ketika Bank Sentral (Bank Indonesia) dibentuk, Sjafruddin Prawiranegara
diangkat menjadi gubernur Bank Sentral. Pada saat menjabat gubernur inilah Sjafruddin
Prawiranegara terlibat dalam persiapan pembangunan Masjid Istiqlal. Sjafruddin
Prawiranegara menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia selama lima tahun (1953-1958).
Jabatannya sebagai Gubernur BI berhenti, karena Sjafruddin Prawiranegara mulai
ikut memberontak. Entah mengapa, Bukit Tinggi dipilih sebagai pusat PRRI
sebagaimana dulu menjadi ibukota PDRI.
PRRI: Syafruddin
Prawiranegara vs Sukarno dan Burhanuddin Harahap vs Mohamad Hatta
PRRI
adalah puncaknya dari krisis kepemimpinan. Kabinet Ali I dibubarkan (12 Agustus
1955) sebelum waktunya dan digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap. Lantas
kemudian Kabinet Burhanuddin Harahap (karena bukan mayoritas di parlemen hasil
Pemilu 1955) harus digantikan dengan membentuk Kabinet Ali II (24 Maret 1956),
tetapi cabinet ini tidak berumur lama dan dibentuk Kabinet Djuanda (9 April
1957).
Yang paling
intens mengkritik Kabinet Ali II adalah pers. Mochtar Lubis, pemimpin surat
kabar Indonesia Raya memimpin tekanan pers terhadap pemerintah. Mochtar Lubis
berhasil menumbangkan Kabinet Ali II. Mochtar Lubis berada di dalam dua faksi
tentara yang berbeda paham: antara Jenderal Abdul Haris Nasution dan Kolonel
Zulkifli Lubis.
Ketika
Djuanda mulai memimpin cabinetnya, krisis kepemimpinan berada pada puncaknya.
Tanggal 9 Januari 1958, di Sungai Dareh, Sumatera Barat
diadakan pertemuan para pemimpin politik yang berseberangan dengan Presiden
Soekarno. Yang hadir dari militer, antara lain:
Letkol Achmad Husein, Letkol Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan
Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sementara dari sipil, antara lain: Mohamnad
Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Lalu kemudian di
Padang pada tanggal 10 Februari 1958 diadakan rapat raksasa. Letkol Achmad
Husein memberi ultimatum kepada pemerintah pusat yang isinya sebagai berikut:
(1) dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada Presiden
atau Presiden mencabut mandat Kabinet Djuanda, (2) meminta Presiden menugaskan
Drs. Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk kabinet baru, dan
(3) meminta kepada Presiden supaya kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden
konstitusional.
Tuntutan ini sangat berat bagi Sukarno.
Tuntutan lalu ditolak. Sejumlah komandan miter diawasi seperti Letkol Achmad
Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon
dipecat. Pada tanggal 15 Pebruari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Husein
memproklamasikan berdirinya pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
dengan Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara.
Syafruddin Prawiranegara mulai menyerang
Presiden Soekarno. Serangan Syafruddin Prawiranegara yang langsung merendahkan Sukarno
dan sebaliknya meninggikan Syafruddin Prawiranegara.
Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling,
20-02-1958: ‘Sjafroeddin menyatakan dalam pidatonya bahwa Sukarno pada bulan
Desember 1948, aksi polisi Belanda yang kedua, mengadopsi sikap yang tidak
layak dengan segera untuk mengibarkan bendera putih saat pasukan Belanda
menduduki Yogya. Harus diingat bahwa kursi telah menjadi setelah jatuhnya Yogya
dan interniran Soekarno dan kabinetnya pada akhir tahun 1948, Boekittingi
pemerintah darurat yang dibentuk kemudian republik, yang melanjutkan perjuangan
melawan Belanda’.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Bersambung:
Sejarah
Masjid Istiqlal, Ini Faktanya (7): Harmoni
Antar Umat Beragama di Tanah Batak; Islam Pertama di Indonesia di Baros;
Kristen Terakhir di Sipirok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar