Jumat, November 13, 2015

Prof. Dr. Mr. Todung Harahap gelar Sutan Gunung Mulia, Kelahiran Padang Sidempuan: Menteri Pendidikan RI yang Kedua

*Untuk melihat semua artikel Sejarah TOKOH Tabagsel dalam blog ini Klik Disini


Prof. Dr. Mr. Todoeng Harahap
Todung Harahap gelar Sutan Gunung Mulia pernah menjadi Menteri Pendidikan RI (setelah Ki Hajar Dewantara). Sutan Gunung Mulia lahir di Padang Sidempuan 1896 dan meninggal tahun 1968. Sutan Gunung Mulia adalah orang Indonesia ketujuh bergelar doktor dan orang Indonesia kedua bergelar profesor. Sutan Gunung Mulia adalah pendiri dan rektor pertama Universitas Kristen Indonesia (UKI). Sutan Gunung Mulia adalah orang Indonesia pertama menulis Eksiklopedia Indonesia. Sutan Gunung Mulia adalah pendiri dan ketua pertama Dewan Gereja- Gereja di Indonesia. Sutan Gunung Mulia adalah sepupu dari Amir Sjarifoedin (mantan Perdana Menteri RI). Kronologisnya sejak 1911 disarikan di bawah ini.

***
Todung Harahap lahir di Padang Sidempuan tahun 1896. Memulai pendidikan dasar di Sekolah Eropa (Europeesche Lagere School=ELS) Padang Sidempuan tahun 1903. Namun ketika naik kelas dua, ELS Padang Sidempuan ditutup karena dipindahkan ke Sibolga. Todung Harahap mau tak mau ikut pindah sekolah ke Sibolga. Pada tahun 1910, Todung menyelesaikan pendidikan di ELS dan ayahnya Mangaradja Hamonangan seorang pengusaha perkebunan di Padang Sidempuan menyekolahkan Todung ke Negeri Belanda.

Di negeri Belanda sendiri, sudah ada dua anak Padang Sidempuan yang studi, yakni: Rajioen Harahap gelar Soetan Casajangan Soripada dan Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Sutan Casajangan tiba di Belanda tahun 1905 dan Mangaradja Soangkoepon tahun 1910. Sutan Casajangan pada tahun 1908 mendirikan dan presiden pertama Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging) dan kembali ke tanah air tahun 1914 dan jabatan terakhir sebagai Direktur Normaal School di Meester Cornelis, Batavia. Mangaradja Soangkoepon kembali ke tanah air tahun 1917 dan memulai karir sebagai pejabat di Sumatra Timur dan jabatan terakhir anggota Volksraad tiga periode berturut-turut mewakili ‘dapil’ Sumatra Timur.

Setelah semua urusan selesai, Todung Harahap berangkat dari Batavia menuju Negeri Belanda tahun 1911. Dari Batavia menumpang kapal Prinses Juliana tanggal 2 November 1911 dengan nama tertulis di dalam manifest kapal sebagai Si Todoeng (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 27-11-1911). Setelah menyelesaikan sekolah hukum dengan gelar Meester (Mr) tahun 1919 Todoeng pulang ke tanah air..

Tiga tahun sebelum Todoeng pulang ke tanah air, tahun 1916 tiba di Belanda anak Padang Sidempuan bernama Sorip Tagor Harahap, alumni Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg (Bogor) untuk melanjutkan pendidikan kedokteran hewan. Belum setahun di Belanda, tahun 1917 Sorip Tagor (ompung Inez dan Risty Tagor) ini mempelopori didirikannya Sumatranen Bond (lihat De Sumatra post, 31-07-1919). Organisasi anak-anak Sumatra yang resmi berdiri tanggal 1 Januari 1917, dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Sorip Tagor kelahiran Padang Sidempuan 1888 sebelum melanjutkan pendidikan tinggi ke Buitenzorg adalah alumni ELS Padang Sidempuan (1907). Sekolah Dokter Hewan Buitenzorg dibuka tahun 1907 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1928). Sorip Tagor adalah alumni pertama Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg.

Sarjana Hukum yang Menjadi Guru (1920)

Setelah berada di tanah air, Sutan Gunung Mulia kenyataanya tidak menjadi ahli hukum, tetapi tidak diketahui mengapa pemerintah mengarahkannya untuk menjadi guru. Lantas Sutan Gunung Mulia mendapat pelatihan pendidikan guru dan kemudian ditempatkan sementara di Jawa. Baru tahun 1920, Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia diangkat pemerintah menjadi guru dan ditempatkan sebagai kepala sekolah di Sipirok sebagaimana diberitakan Algemeen Handelsblad, 18-07-1920. Selanjutnya Sutan Goenoeng Moelia, guru pendidikan Eropa, diangkat menjadi kepala sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang baru dibuka di Kotanopan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-05-1921). HIS adalah sekolah dasar yang diperuntukkan bagi penduduk pribumi dengan pengantar Bahasa Belanda. Sedangkan ELS adalah sekolah dasar yang diperuntukkan bagi orang Eropa/Belanda tetapi juga dimungkinkan menerima siswa pribumi dengan persyaratan yang sangat ketat.

Sipirok dan Kotanopan berada di afdeeling Mandheling en Ankola dengan ibukota Padang Sidempuan. HIS Kotanopan adalah yang kedua di Mandheling en Ankola. Sebelumnya, tahun 1914 sudah didirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) Padang Sidempoean. Gedung HIS Padang Sidempuan adalah eks gedung Kweekschool Padang Sidempuan yang telah ditutup tahun 1893. Soetan Casajangan adalah alumni Kweekschool Padang Sidempuan. Sebelum studi ke Belanda telah mengabdi menjadi guru (kepala sekolah rakyat) di Simapilapil selama 13 tahun. .

Dalam perkembangannya, untuk mengisi kekosongan 'kursi' dewan yang ditinggalkan, untuk sidang di Volksraad, terhitung 17 Mei 1921 Sutan Gunung Mulia juga akan menjadi Volksraad di Batavia (lihat juga Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-05-1921). Ini berarti Sutan Gunung Mulia memulai karir di panggung (politik) nasional yang tentu saja akan membawa misi perbaikan pendidikan pribumi.

Meski Todoeng Harahap adalah sarjana hukum pertama orang Batak, tetapi pers di era kolonial lebih mengakui Alinoedin Siregar sebagai ahli hukum pertama orang Batak. Mungkin alasannya karena Todoeng sendiri tidak intensif berkiprah di lapangan hukum walau bergelar sarjana hukum. Todoeng lebih banyak menggeluti bidang pendidikan (pengajaran). Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi kelahiran Batangtoru, Padang Sidempuan meraih gelar doktor (PhD) bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1925.

Anggota Volksraad (1921)

Sutan Gunung Mulia adalah orang pribumi yang terbilang termasuk pada fase awal di dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Melihat daftar keanggotaan Volksraad tahun 1921, pribumi di Volksraad sebagian besar adalah alumni Belanda termasuk di dalamnya Djajadiningrat. Dalam daftar juga terdapat H. Agus Salim. Presiden Volksraad saat itu adalah Dr. WOM. Schumann (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 14-06-1921).

Volksraad adalah dewan nasional yang berada di Batavia (Pejambon). Dewan yang lebih rendah berada di tingkat kota (gementee). Seperti di Kota Medan, anggota dewan kota (gementeeraad) baru diberlakukan untuk pribumi tahun 1918 yang mekanismenya dilakukan melalui suatu pemilihan umum (oleh pemilih pribumi atas dasar pendapatan tertentu). Pribumi pertama yang terpilih di Gementeeraad Kota Medan adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng, seorang guru di Padang Sidempuan yang setelah pension, tahun 1915 diangkat menjadi penilik sekolah di Medan. Untuk Volksraad, slot melalui pemilihan umum baru dilakukan pada tahun 1927, yang mana untuk seluruh Sumatra dijadikan satu ‘dapil’ dengan kandidat terpilih Abdoel Moeis. Pada periode berikutnya, Sumatra dibagi empat ‘dapil’, masing-masing tiap ‘dapil’ satu kursi. Dapil tersebut: Sumatra’s Westkust, Zuid Sumatra, Noor Sumatra (Tapanoeli en Atjeh), dan Sumatra’s Oostkust. Dua anggota Volksraad yang terpilih tahun 1930 adalah Dr. Alimoesa Harahap (dari dapil Noord Sumatra) dan Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Sumatra’s Oostkust).


Menengahi Munculnya Perbedaan Batak dan Mandailing

Soetan Goenoeng Moelia merasa perlu menengahi munculnya perbedaan Batak dan Mandailing di Medan. Sumber permasalahan hanya karena segilintir orang yang coba menarik perbedaan antara kaum Islam dengan penganut Kristen. Sementara pemerintah (Belanda) membiarkan timbulnya masalah. Sebuah surat ditulis oleh Soetan Goenoeng Moelia yang dikirimkan ke surat kabar De Sumatra Post yang terbit di Medan dengan judul Batak dan Mandailingers.

De Sumatra post, 29-08-1922: ‘Editor yang saya hormati. Sejak beberapa kali saya lihat koran Anda, misalnya dalam edisi 17 Agustus tahun ini dengan judul Batak dan Mandailingers, yang menyoroti pertentangan yang terus mengasah antara Batak dan Mandailingers. Antagonisme, karena mengungkapkan bahwa persoalan yang ada sekarang, tetapi hanya semata-mata terjadi di pantai timur, yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Ini muncul karena benturan konflik kepentingan, di awal hanya bisik-bisik, kemudian berpindah di dalam kehidupan terbuka. Munculnya isu ini bermula di surat kabar Pantjaran Berita tentang peruntukkan tanah wakaf dan telah menjadi konsekuensi yang tidak menguntungkan dari pertikaian ini. Untuk kasus ini muncul sebagai kontroversi ini tampaknya sendiri hanya akan dibatasi di Pantai Timur, dan tidak merembes ke Tapanoeli. Para Mohamtnedaansche emigran dari Tapanoeli memunculkan isu semua yang berasal dari Mandailing, Padang Lawas, Angkola dan Sipirok menyebut diri mereka Pantai Timur Mandailingers, yang mengambil nama untuk sebagian besar yang berasal dari Mandailing dianggap sebagai nama yang dijadikan sebagai sebutan asal untuk semua sebagai nama universal, yang dalam hal ini mereka menempatkan diri mereka berlawanan dari emigran lain yang tingkat kemajuan peradabannya masih lebih rendah dari Batak yang meliputi Karo, Simeloengoen dan Toba, hanya dengan cara ini bisa membuat klaim untuk perlindungan yang tinggi dari penguasa pemerintahan sendiri dalam hak pakai tanah wakaf terkait. Dalam kondisi ini dikhawatirkan mengakibatkan ‘Batak’ dan ‘Mandailing’ karena itu secara alami berkembang menjadi konsep, identik dengan Kristen dan Islam. Kebingungan ini juga menjelaskan fenomena, mengapa pertikaian ini hal-hal motif yang dikedepankan dengan latarbelakang agama. Padahal pemerintah yang liberal sejak awal telah memberi ruang, jaminan bagi pemeluk agama Islam mengembangkan peradabannya tanpa adanya intervensi pemerintah, tetapi kini soal yang muncul seakan berjalan antagonis, dimana sekarang terbuka konflik. Sekarang di zaman kita oleh beberapa faktor, kita dapat meringkas pengalaman orang tua kita untuk.kepentingan nasionalisme, kebutuhan telah menjadi perlu untuk organisasi penduduknya sendiri, berdasarkan yang mereka hanya bisa berbagi penentuan kepentingan nasional umum. Mandailingers dari Oostkust keturunan Batak dan menyangkal homogenitas populasi yang berasal dari Si Raja Batak. Untuk keberadaan sebanyak 60.000 Mandailingers sebagai kelompok yang terpisah, sebagai ras (sic) dan sisanya sebagai Batak. Padahal secara adat dan etnologi yang tidak satupun dari mereka yang berbeda, tetapi sebagai tes kritik bisa berdiri jelas bahwa gerakan ini pada dasarnya tidak lain dipicu dari beberapa oknum yang bersifat chauvinis yang pada dasarnya dimulai dari perselisihan pribadi diantara mereka yang mencoba untuk mengembangnya agama sebagai alasan. Padahal di dalam anggaran dasar organisasi sesuai aturan peraturan perundang-undangan tidak ditemukan hal yang menjadi isu ini. Lalu, apakah mengesampingkan orang lain dari keanggotaan biasa dari Batak. Namun baiknya, rekonsiliasi melalui saluran diplomatik untuk menghindari munculnya keretakan yang tidak pada tempatnya. Saya menganjurkan, solusi yang mungkin hanya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran bahwa Batak dan Mandailingers sebagai satu dan terikat sebagai satu suku meski berbeda-beda dalam keyakinan. Sutan Goenoeng Moelia’.

Soetan Goenoeng Moelia telah menunjukkan jatidirinya sebagai pendidik yang terhormat, tidak terkooptasi dalam perselisihan sejumlah oknum di kedua belah pihak. Soetan Goenoeng Moelia melihat isu ini sebagi ekses yang terjadi di rantau (Medan) karena segala macam peradaban telah berbaur dan campur aduk yang memang pada waktu itu sudah muncul adanya saling memojokkan antar agama dari semua penduduk local dan penduduk pendatang di Medan. Soetan Goenoeng Moelia telah mencoba menengahi dengan melihat kembali pada akar dan asal awal peradaban baru di Tanah Batak bahwa semuanya satu meski dalam keyakinan berbeda. Soetan Goenoeng Moelia yang lahir dan besar di Padang Sidempuan tidak pernah melihat dan bahkan mendengar kejadian serupa ini di kampong halamannya. Bahkan di tempat kelahiran ayah dan ibunya di Sipirok, antar yang berbeda agama justru terdapat harmoni. Sebagaimana diketahui sudah sejak awal (dahulu) masjid dan gereja ditempatkan di lokasi yang sama dan sangat berdekatan. Boleh jadi, tulisan yang dikirimkan oleh Soetan Goenoeng Moelia ingin mengungkapkan kearifan local yang boleh jadi terabaikan di rantau. Soetan Goenoeng Moelia coba menengahi dengan cara mengingatkan bahwa harmoni adalah visi nasionalisme para orang tua dahulunya. Ini menunjukkan bahwa Soetan Goenoeng Moelia telah memperlihatkan dirinya sebagai orang terpelajar, berpendidikan Eropa, seorang guru, seorang pendidik dan seorang anggota dewan (Volksraad) yang terhormat, tetapi tidak melupakan kearifan lokal yang telah dikembangkan dan dipraktekkan para orangtua sejak doeloe. 
 
Wakil Direktur Normaal School di Meester Cornelis, Batavia (1927)

Soetan Goenoeng Moelia menurut berita Bataviaasch nieuwsblad, 15-03-1927 termasuk salah satu anggota dewan yang ditunjuk (kembali). Sementara itu, Soetan Goenoeng Moelia juga adalah guru kelas-1 dengan sertifikat guru Eropa, seperti halnya pangkat terakhir Soetan Casajangan. Bataviaasch nieuwsblad, 26-07-1927 memberitakan bahwa Soetan Goenoeng Moelia diperbantukan untuk membantu Direktur Normaal School di Meester Cornelis, Batavia. Hal ini karena Soetan Casajangan yang telah lama menjabat Direktur di sekolah tersebut telah meninggal dunia pada bulan April 1927. Pada bulan Mei 1929 Soetan Goenoeng Moelia resmi diangkat menjadi guru di Normaal School di Meester Cornelis (lihat Soerabaijasch handelsblad, 29-05-1929).
               
Soetan Casajangan mengundurkan diri karena mulai lelah dan sakit. Permintaan Soetan Casajangan kemudian dikabulkan dan diberhentikan dengan hormat sebagai Direktur Normaal School di Meester Cornelis (Jakarta) yang dimuat di koran De Indische Courant yang terbit tanggal 18-03-1927. Tidak lama kemudian, tersebar luas Soetan Casajangan pada tanggal 2 April 1927 telah menghembuskan nafas terakhir, meninggal dunia karena stroke. Berita meninggalnya Soetan Casajangan dimuat di koran De Indische Courant yang terbit tanggal 08-04-1927.


Kandidat dalam Pemilu Perdana (1927)

Selama ini anggota dewan pusat ditunjuk oleh pemerintah pusat berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal. Pada tahun 1927 dilakukan untuk pertama kali pemilihan umum dimana Sumatra dijadikan satu dapil dengan jumlah kursi hanya satu buah. Soetan Goenoeng Moelia yang telah menjadi anggota dewan sejak 1921 termasuk nama yang dicalonkan dari Tapanoeli.

De Indische courant, 15-02-1927 (Sumatera dan Dewan Rakyat): ‘hari Jumlat telah ditetapkan kandidat dari Sumatra di Weltevreden kecuali dr. Rivai dikeluarkan dari daftar lima lainnya kandidat Sumatera. Hal ini karena Dr Rivai, meskipun orang Sumatra dan kelahiran Indonesia, tetapi karena telah dinaturalisasi sebagai seorang Belanda, maka dia harus ditempatkan sebagai kandidat Eropa/Belanda. Menurut undang-undang pemilihan baru pribumi yang dinaturalisasi disamakan dengan Europeacea. Oleh karena itu, dalam pemilihan berisi nama-nama dari Sumatera sebagai berikut: Abdul Moeis (Garut), Sutan Goenoeng Moelia (Tapanoeli), Dr. Abdul Rasjid (Tapanoeli), Tjik Nang (Palembang), dan Sutan Mohamad Zain (Weltevreden).

Dalam pemilihan umum perdana ini akhirnya yang terpilih adalah Abdoel Moeis. Sekadar diketahui Abdoel Moeis adalah sastrawan terkenal dari asal Sumatra Barat (Sutan Mohamad Zain juga dari Sumatra Barat). Ini berarti Sutan Goenoeng Moelia dan satu lagi kandidat dari Tapanoeli bersama lainnya harus merelakan satu diantara mereka lolos ke Pejambon dalam pemilu pertama ini (sekarang dewan berada di Senayan).

Kandidat Tapanoeli, yakni Soetan Goenoeng Moelia dan Abdul Rasjid adalah dua tokoh Tapanoeli yang boleh jadi memiliki fortopolio tertinggi dari penduduk (asal) Tapanoeli. Mereka berdua masing-masing mewakili guru dan dokter. Dua profesi ini merupakan profesi yang telah sejak lama dimiliki oleh penduduk Tapanoeli khususnya dari afdeeling Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola). Sebagaimana diketahui bahwa Willem Iskander adalah pionir pendidikan di Indonesia, tahun 1857 studi untuk mendapatkan akte guru ke Belanda (orang Indonesia pertama studi ke Belanda). Sejak Willem Iskander membuka sekolah guru di Tanobato 1862, banyak (bahkan ratusan) guru yang dihasilkan dari afd Mandheling en Ankola atau afd. Padang Sidempuan (surplus guru). Sebelumnya, dua kakak kelas Willem Iskander bernama Si Asta dan Si Angan studi kedokteran di docter djawa school di Batavia tahun 1854. Kedua anak muda ini merupakan dua siswa pertama yang diterima yang berasal dari luar Jawa (sekolah Docter Djawa School dibuka tahun 1851). Sejak itu sudah puluhan dokter yang berasal dari Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola) tersebar di berbagai tempat (surplus dokter). Oleh karenanya kandidat yang mengemuka, Soetan Goenoeng Moelia dan Abdul Radjid yang diusulkan dari Tapanoeli, merupakan suatu representasi adanya surplus guru dan surplus dokter dari Tapanoeli khususnya Padang Sidempua (Mandheling en Ankola).

Anggota Komisi Pendidikan HIS (1929)

Hollandsch-lnlandsch School (HIS) sudah banyak didirikan di Hindia Belanda termasuk di Padang Sidempuan. HIS sendiri pertama kali didirikan tahun 1914. Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal, tanggal 28 November 1927 dibentuk Hollandsch lnlandsch Onderwljs  Commissie. Komisi ini diketuai oleh Prof. BJO Schrieke anggota terdiri dari 10 orang termasuk diantaranya Dr. Mr. Sutan Goenoeng Moelia. Komite ini dibentuk untuk memberikan saran tentang kebutuhan sosial untuk pendidikan dasar yang pengajarannya dengan bahasa Belanda bagi penduduk pribumi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-03-1929). Pada akhir tahun 1929 Sutan Goenoeng Moelia meminta dengan hormat mengundurkan diri karena ingin sekolah dan dikabulkan terhitung 1 Desember 1929 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-01-1930).

Soetan Gunung Moelia Mendirikan 'Persatuan Masehi Indonesia', Menolak Kata 'Indonesia' Dihilangkan (1930)

Sebelum berangkat Soetan Goenoeng Moelia studi ke Belanda masih sempat mendirikan persatuan orang-orang Kristen dari kalangan pribumi dengan memisahkan diri dari CSP dengan nama Persatuan Masehi Indonesia. Dari pihak Belanda sempat kaget dan meminta Soetan Goenoeng Moelia membatalkannya. Soetan Goenoeng Moelia menjelaskan secara diplomatis bahwa pertimbangannya karena orang Kristen pribumi sudah sangat banyak dan kami tidak ingin dipimpin oleh minoritas Belanda. Sekali lagi pihak Belanda mengusulkan agar niat itu ditarik kembali, toh juga Soetan Goenoeng Moelia tidak lama lagi akan berangkat studi ke Belanda. Akan tetapi Soetan Goenoeng Moelia tetap bersikeras dan lalu meminta Laoh, anggota Volksraad sebagai ketua dan E. Harahap sebagai sekretaris. Lalu kemudian muncul lagi permintaan, yang anehnya dari kalangan Ambon meminta inisial diubah karena mirip PNI, sedangkan yang dari kalangan Belanda (organisasi induk) meminta kata 'Indonesia' dihilangkan karena menurut mereka pemerintah penggunaan nama Indonesia belum dibenarkan. Perminntaan ini juga ditolak (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-12-1930).

Apa yang ada dalam pikiran Soetan Goenoeng Moelia, anak Padang Sidempuan, di dalam detik-detik terakhir keberangkatannya pergi studi jauh ke Negeri Belanda? Bagi siapa yang telah membaca buku 'maha guru' Willem Iskander yang berjudul Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek yang terbit tahun 1870 di Batavia dapat memahami kegalauan Soetan Goenoeng Moelia ini. Satu prosa dalam buku ini mengisyaratkan 'perlawanan' terhadap Belanda. Apakah pemisahan dan pendirian organisasi itu semacam perlawanan? Kenyataan, belum setahun Willem Iskander untuk kali kedua studi ke Belanda tahun 1876 dikabarkan telah meinggal dunia. Namun yang jelas isi prosa tersebut telah meninggalkan pesan yang mendalam bagi pembacanya (yang tentu saja sudah dibaca oleh Soetan Goenoeng Moelia). Ataukah Soetan Goenoeng Moelia terinspirasi dari protes Dja Endar Moeda pada tahun 1901 di dalam korannya Pertja Barat bahwa orang pribumi yang Islam atau yang Kristen jangan dipisahkan secara politik dimana Kristen disamakan dengan Eropa.Belanda. Menurut Dja Endar Moeda 'kami bersaudara' dan memiliki 'perilaku yang sama' meski berbeda dalam keyakinan (politik pecah belah dihalangi oleh persaudaraan yang kuat).
Jiwa patriot bangsa ini tampaknya telah diteruskan oleh Soetan Goenoeng Moelia seperti halnya Dja Endar Moeda dan Willem Iskander. Mungkin banyak generasi sekarang yang bertanya-tanya, mengapa selalu muncul jiwa patriot kebangsaan (nasionalisme) yang kuat dari putra-putri afd. Mandheling en Ankola di setiap episode? Jawabnya adalah penduduk Mandheling en Ankola telah mengalami dua kali penderitaan yang sangat atas kezaliman. Pertama invasi padri yang telah menghancurkan akumulasi pengetahuan dan banyaknya korban jiwa. Kedua, tanam paksa (coffieculture stelsel) yang menyebabkan penderitaan penduduk dan banyak korban jiwa. Peristiwa kerusuhan tanam paksa ini direkam dengan baik oleh Edward Doewes Dekker yang kala itu tahun 1843 menjabat sebagai controleur di Natal yang membuat dirinya desersi dan mengadvokasi penduduk. Apa yang menjadi sumber ide Douwes Dekker tentang istilah Multatuli besar dugaan dari peristiwa ini (Edward Douwes Dekker kelak lebih dikenal dengan nama Multatuli, bukunya yang terkenal Max Havelaar). Dalam hal ini, tentu saja Willem Iskander yang lahir tahun 1839 secara langsung mengalaminya dan cerita dan jejak itu mudah diperolehnya karena rentang waktunya masih dekat antara kejadian dengan kesadaran nasionalnya. Sebuah prosa di dalam bukunya jelas-jelas ungkapan bentuk perlawanan yang terus mengingatkan bahwa kolonialisme adalah penderitaan. Boleh jadi, dalam hal ini di dalam jiwa Soetan Goenoeng Moelia masih ada jiwa patriot itu, bahwa musuh bersama adalah kezaliman apapun agamanya (padri beragama Islam, Belanda beragama Kristen). 

Soetan Gunung Moelia Studi Doktoral, (kembali) ke Belanda (1930)

Soetan Goenoeng Moelia adalah berpendidikan tunggi dengan gelar ‘master’ (Mr). Syarat untuk melanjutkan ke tingkat doktoral haruslah lulus ‘master’. Pada awal tahun 1930 Soetan Goenoeng Moelia berangkat studi (untuk kali kedua) ke Belanda yang kali ini untuk mengambil gelar doctor (PhD).

Ada dua alasan kemungkinan Soetan Goenoeng Moelia melanjutkan studi doktoral. Pertama, meski bergelar ‘master’ pada bidang hukum tetapi aktivitasnya lebih banyak di bidang pendidikan, seperti guru Eropa, Direktur sekolah HIS, anggota Volksraad yang membidangi kemasyarakatan (termasuk bidang pendidikan), anggota komisi pendidikan HIS. Untuk bidang pedagogi ini, belum ada pribumi yang berpendidikan doktor, mungkin dilihatnya, kebutuhan ini sangat diperlukan dalam pembangunan pendidikan pribumi dan diperlukan orang pribumi. Boleh jadi ini yang menjadi alasan pertama mengapa Soetan Goenoeng Moelia masih bertekad untuk sekolah sekalipun umurnya tidak muda lagi dan jabatannya sudah lebih dari cukup. Kedua, Soetan Goenoeng Moelia adalah anak pensiunan guru di Padang Sidempuan, kota pendidikan, yang kini menjadi pengusaha. Tentu saja ingin mempertinggi kualitas guru di keluarga dan seadainya tabungan sendiri tidak cukup untuk membiayai studi masih ada ayah yang berpotensi untuk membantu keuangan. Pemerintah Belanda tidak mudah memberikan beasiswa, hanya satu kali yang diketahui pemerintah memberikan beasiswa kepada pribumi yakni kepada Willem Iskander tahun 1857. Untuk meloloskan itu perdebatannya di Volksraad sangat bertele-tele. Enam pribumi pertama yang berhasil menjadi doktor sebelumnya, yakni Dr. Djajadiningrat, Dr. Gondowinoto, Dr. Poerbatjaraka, Dr. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, Dr. Apituley dan Dr. Ida Loemongga Nasoetion kenyataanya adalah atas biaya sendiri dan bantuan orangtua (yang memang berkecukupan). Pendek kata: hanya orang cerdas dan punya visi serta ‘setengah gila’ dengan dukungan pembiayaan yang kuat yang bersedia (rela) studi doktoral kala itu (ketika lebih dari 90 persen penduduk pribumi masih buta huruf). Meski naïf (berkorban) untuk ukuran jaman sekarang, tetapi setidaknya mereka telah menunjukkan dedikasi dan telah mempelopori suatu tingkat pencapaian pendidikan di mata orang-orang Eropa/Belanda yang tentu saja sangat diperlukan oleh kaum pribumi sendiri. Karena itu mereka termasuk pahlawan.     

Ayah Sutan Gunung Mulia, Mangaradja Hamonangan Meninggal Dunia di Padang Sidempuan (1933)

Berita meninggalnya ayah Sutan Gunung Mulia di Padang Sidempuan
Ayah Sutan Gunung Mulia bernama Mangaradja Hamonangan telah meninggal dunia di Padang Sidempuan. Sebagaimana diberitakan De Sumatra post, 31-10-1933: ‘Mangaradja Hamonangan, orang yang terkenal, pensiunan guru. Dalam pemakaman Mangaradja Hamonangan di pemakaman keluarga di Sitamiang dihadiri oleh banyak pejabat dan tokoh terkenal. Lebih dari prestasinya di bidang pendidikan, almarhum Mangaradja Hamonangan dikenal sebagai ayah dari salah satu yang paling berbakat di Tapanoeli, yaitu, anggota dewan rakyat (Volksraad) Todoeng gelar Sutan Goenoeng Moelia. Mr Todoeng adalah guru dengan sertifikat akta utama yang diperoleh di Belanda. Beberapa tahun yang lalu ia meninggalkan untuk kedua kalinya pergi ke Belanda, dimana sebelumnya telah memperolah Mr, juga baru-baru ini telah berhasil meraih gelar doktor (PhD) dalam pedagogi. Segera, Mr. TSG Moelia kembali ke negara ini’.

Sesungguhnya Sutan Gunung Mulia berada di dalam tradisi keluarga guru. Ompungnya, Sjarif Anwar Harahap gelar Soetan Goenoeng Toea berasal dari keluarga muslim. Sjarif Anwar memulai pendidikan dasar di Sipirok dengan guru Nommensen (1862). Sebagaimana diketahui, Nommensen datang pertamakali ke Tanah Batak tahun 1861 di Sipirok (sebelum berkiprah di Silindoeng dan Toba). Setelah lulus sekolah, Soetan Goenoeng Toea awalnya menjadi guru tetapi kemudian direkrut Asisten Residen Mandheling en Ankola di Padang Sidempuan tahun 1875 untuk menjadi penulis (sjriver). Namun setelah beberapa tahun Soetan Goenong Toea diangkat menjadi jaksa (hingga akhir hayatnya) yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Soetan Goenoeng Toea memiliki dua anak laki-laki, yakni: Djamin Harahap gelar Baginda Soripada dan Mangaradja Hamonangan. Djamin awalnya menjadi mantri polisi di Medan dan kemudian diangkat menjadi jaksa yang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya di Sumatra Timur dan Tapanoeli. Sedangkan Mangaradja Hamonangan awalnya adalah guru di Sipirok yang kemudian menjadi pengusaha dan menetap hingga akhir hayatnya di Padang Sidempuan.  Djamin Harahap adalah ayah dari Amir Sjarifoedin gelar Soetan Soaloon, sedangkan Mangaradja Hamonangan adalah ayah dari Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Amir Sjarifoedin kelahiran Medan dan Todoeng kelahiran Padang Sidempuan, keduanya sama-sama mengikuti jejak karir ayah masing-masing (Like Son, Like Father).

Meraih Gelar Doktor di Universiteit Leiden (1933)

Orang ketujuh Indonesia yang meraih gelar doktor adalah Soetan Goenoeng Moelia dalam bidang sastra dan filsafat di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap', Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, lahir di Padang Sidempoean (Algemeen Handelsblad, 09-12-1933).

Berita Sutan Gunung Mulia meraih doktor (PhD)
Dari tujuh orang pertama Indonesia peraih gelar doctor (PhD) tiga diantaranya, bahkan satu diantaranya perempuan, berasal dari afdeeling Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola). Orang Padang Sidempuan pertama peraih gelar doktor adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi tahun 1925 dalam bidang hukum di Universiteit Leiden dengan judul desertasi 'Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland'. Yang kedua adalah Ida Loemongga Nasoetion, meraih gelar doktor tahun 1932 dalam bidang kedokteran di Universiteit Leiden dengan judul desertasi 'Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken'. Dalam fase berikutnya menyusul Masdoelhak Nasoetion meraih gelar doctor tahun 1941 pada bidang hokum di Universiteit Leiden dengan judul desertasi ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Orang Indonesia pertama peraih gelar doktor adalah Hussein Djajadiningrat dari Banten.

Dr. Mr. Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia menurut berita Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1934 akan ditempatkan di HIK Bandoeng segera setelah tiba di negara ini dari Eropa. HIK adalah singkatan dari Holandsche Indische Kweekschool.


Anggota Dewan Akademik (1938)

Sutan Gunung Mulia juga adalah anggota Bestuurs Academic. Dewan ini terdiri dari, presiden, Prof. R. Hussein Djajadiningrat (anggota Volksraad), HA Loghem (Residen di West Java), Dr GF. Piper (penasihat untuk Urusan Pribumi), RTA Hasan Soemadipradja (Bupati Batavia) dan Dr. Mr. Todoeng Gelar Sutan Goenoeng Moelia (anggota Volksraad). Dewan ini adalah dewan yang terbilang bergengsi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-07-1938).

Menjadi Pejabat di Departemen Urusan Ekonomi (1939)

Mr. Dr. Todoeng SG Moelia sekarang secara resmi bertugas di  Departemen Urusan Ekonomi. Namun terhitung dari tanggal 8 Maret dikembalikan ke Departemen Pendidikan dan Agama. Soetan Goenoeng Moelia akan kembali menduduki posisinya sebagai inspektur pada pendidikan Inlandsch. Sementara fungsinya yang juga sebagai anggota dewan rakyat (Volksraad) tetap diangkat oleh Pemerintah (lihat De Sumatra post, 25-02-1939).

Oleh karena pimpinan Ketua Volksraad kosong atas kepergian Mr. WH Helsdingen, muncul beberapa kandidat, namun hanya tiga calon kuat yang direkomendasikan yakni: Prof. Dr. Mr. Djajadiningrat, Dr. Mr. Sutan Goenoeng Moelia dan M r. J. A. Jonkman (lihat De Sumatra post, 01-02-1939). Sayang, Soetan Goenoeng Moelia tidak dipilih Gubernur Jenderal, yang terpilih adalah Jonkman yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pengadilan di Semarang (lihat Soerabaijasch handelsblad, 24-04-1939). Jabatan terakhir Dr. Mr. Sutan Goenoeng Moelia di dewan sebelum perang adalah Wakil Ketua Volksraad (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-06-1949).
                                             
Sutan Gunung Mulia dan Mangaradja Soangkoepon: Dua Macan Pejambon (1940)

Dr. Mr. TSG Moelia
Sutan Gunung Mulia adalah orang Padang Sidempuan yang berada di Volksraad. Namun Sutan Gunung Mulia sempat absen karena tugas lain dan juga ketika melanjutkan studi doktoral di Belanda tahun 1930an. Ketika Sutan Gunung Mulia tidak hadir di Pejambon (kini Senayan), dua anak Padang Sidempuan hadir, yakni: Dr. Alimoesa Harahap dan Abdul Firman gelar Mangaradja Soangkoepon. Keduanya dan satu-satunya masing-masing mewakili dapil Tapanoeli dan dapil Sumatra Timur. Pada periode berikutnya dari ‘dapil’ Tapanoeli, Dr. Alimoesa yang berdinas di Pematang Siantara digantikan oleh Dr. Abdoel Rasjid yang berdinas di Padang Sidempuan.

Mangaradja Soangkoepon adalah anggota dewan fenomenal, sebagai macan Pejambon, maka selalu terpilih dalam pemilu. Kini, Mangaradja Soangkoepon untuk ketiga periode secara berturut-turut menjadi anggota Volksraad. Pada periode ketiga ini Mangaradja Soagkoepon dan Sutan Gunung Mulia bahu membahu untuk berjuang untuk kepentingan rakyat (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-02-1940). Sutan Gunung Mulia terkesan kalem terhadap pemerintah Belanda tetapi pemikiran dan substansinya sangat tajam terutama di bidang pendidikan, sedangkan Mangartadja Soangkoepon terkesan galak terhadap pemerintah Belanda (kadang tanpa kompromi).

Menteri Pendidikan RI (1945)

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota besar
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada akhir Agustus dibentuk pemerintahan RI, termasuk di dalamnya Menteri Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Menteri Penerangan Amir Sjarifoedin. Namun pada tanggal 14 November 1945, Dr. Mr. Soetan Goenoeng Moelia ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Menteri Pendidikan untuk menggantikan Ki Hajar Dewantara (2 September-14 November 1945). Soetan Goenoeng Moelia menjabat sebagai menteri dari 14 November 1945 hingga 2 Oktober 1946. Singkat memang, tetapi Sutan Goenoeng Moelia telah melengkapi tingkat pencapaian para pionir pendidikan dari Afdeeling Padang Sidempuan (sejak Willem Iskander, 1857; Charles Adrian van Ophuijsen, 1881, Dja Endar Moeda, 1895, Soetan Casajangan, 1905, hingga Soetan Goenoeng Moelia, 1930). Mereka ini kini terkesan lahir di kota kecil, tetapi sekadar informasi di masa doeloe, Padang Sidempoean adalah kota besar dengan ketersediaan fasilitas pendidikan yang mumpuni.

Mendirikan Partai Politik (1945)

Soetan Goenoeng Moelia juga terlibat dalam politik praktis dengan mendirikan partai politik. Tanggal 18 November 1945,  Dr. Soetan Goenoeng Moelia mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Pendiri partai politik lainnya adalah Amir Sjarifoedin dengan nama Gerakan Indonesia (Gerindo). Hanya mereka dua bersaudara ini yang menggagas partai politik dari semua anak-anak yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempuan. Soetan Goenoeng Moelia berbasis partai komunitas dan Amir Sjarifoedin berbasis partai nasional.

Namun untuk urusan organisasi kemasyarakatan anak-anak Padang Sidempuan sangat banyak jumlahnya. Bahkan diantara mereka itu semuanya terbilang pionir.

Pertama, Dja Endar Moeda di Padang pada tahun 1900 mendirikan organisasi sosial pertama di Indonesia yang diberi nama Medan Perdamaian. Organisasi ini juga didirikan di Fort de Kock, Medan, Palembang, Batavia dan Pematang Siantar. Organisasi ini bertujuan untuk kemajuan bangsa. Medan Perdamaian ketika masih dipimpin oleh direktur (ketua) Dja Endar Moeda pada tahun 1902 sebagaimana dilaporkan De Locomotief (edisi 21-08-1902) bahkan telah memberi sumbangan bagi peningkatan pendidikan di Semarang sebesar f 14.490 yang diserahkan melalui Charles Adrian van Ophuijsen yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Province Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra). Ini satu bukti bahwa Medan Perdamaian tidak hanya organisasi multi etnik tetapi juga nyata untuk tujuan semua bangsa (Indonesia) dan bahkan organisasi ini lebih tua (delapan tahun) dibandingkan dengan organisasi sejenis Boedi Oetomo di Batavia tahun 1908. Keberadaan Medan Perdamaian sebagai organisasi sosial pertama di Indonesia dan diketahui oleh peserta kongres Boedi Oetomo yang pertama diberitakan oleh Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908, yang isi beritanya sebagai berikut: ‘Pada pertemuan asosiasi Boedi Oetomo, yang diselenggarakan di Djokdjakarta 3 Oktober 1908 (Kongres pertama Boedi Oetiomo, red) pemerintah menanggapi pertanyaan dari Bupati Temanggoeng bahwa di luar Djawa sudah ada asosiasi sejenis. (seperti misalnya, cabang) Medan Perdamaian di Fort de Kock yang didirikan 17 Oktober 1907. Organisasi Medan Perdamaian (sebagaimana) diketahui bertujuan untuk mewakili kepentingan anggota dan populasi dalam satu kata: kemajuan. Untuk mencapai tujuan, organisasi Medan Perdamaian telah diputuskan menerbitkan majalah (maandelijksch) yang akan dicetak dan diterbitkan oleh penerbit pribumi Dja Endar Moeda di Padang yang akan berisi ilmu sehari-hari yang berguna dan yang diperlukan di bidang pertanian, peternakan, industri, pendidikan, kesehatan kampung, keadilan, dll. Organisasi (cabang) Fort de Kock ini sudah memiliki anggota 700 orang’. Dengan bukti ini, anggapan selama ini bahwa Boedi Oetomo yang pertama di Indonesia harus dikesampingkan.

Kedua, Soetan Casajangan mendirikan organisasi nasional ‘mahasiswa Indonesia’ di Belanda tahun 1908 di satu sisi untuk memperkuat persatuan dan kesatuan di rantau dan di sisi lain sebagai respon terhadap berdirinya Boedi Oetomo yang bersifat kedaerahan (terbatas di Jawa saja). Boedi Oetomo didirikan para mahasiswa STOVIA asal Jawa yang dipelopori oleh Soetomo pada tanggal 28 Mei 1908 (sekarang dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional). Mungkin Soetan Casajangan kecewa dengan lahirnya organisasi yang bersifat kedaerahan Boedi Oetomo ini, padahal sudah terang benderang sudah ada organisasi multi etnik yang bersifat nasional yang didirikan oleh Dja Endar Moeda di Padang tahun 1900 dan telah didirikan oleh Mohamad Sjafei di Batavia. Inisiatif Soetan Casajangan membentuk organisasi mahasiswa di Belanda yang dikenal sebagai Indisch Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) di satu sisi ingin mengingatkan para penggagas Boedi Oetomo tidak mundur, dan di sisi lain ingin memperkuat pemikiran maju Dja Endar Moeda yang bervisi nasional (Dja Endar Moeda adalah kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempuan). Kongres Boedi Oetomo pertama di Djokjakarta tanggal 3 Oktober 1908, Indisch Vereeniging secara resmi didirikan pada tanggal 25 Oktober 1908. Misi dan instrument organisasi Boedi Oetomo jika diperhatikan merupakan copy paste dari Medan Perdamaian. Hanya visi yang berbeda: Medan Perdamaian bersifat nasional, sementara Boedi Oetomo bersifat kedaerahan (di Jawa).

Ketiga, Sorip Tagor di Belanda pada tanggal 1 Januari 1917 mengagas didirikannya Sumatranen Bond (Persatuan Sumatra) yang pentolannya antara lain Sorip Tagor (sebagai ketua), Dahlan Abdoellah (sekretaris), Soetan Goenoeng Moelia (bendahara) dan para anggota yang mana satu diantaranya yang terkenal Tan Malaka). Sumatranen Bond ini dibentuk untuk merespon dua hal, yakni di satu sisi gerakan Indisch Vereeniging menjadi kendor setelah Soetan Casajangan pulang ke tanah air tahun 1914, sedangkan di sisi yang lain Boedi Oetomo semakin diperhatikan oleh pemerintah (politik pecah belah kedaerahan), sedangkan yang bersifat nasional disudutkan. Hal lain juga soal dimana para anggota Boedi Oetomo semakin lupa visi nasional (baik senior maupun junior) dengan munculnya Jong Java di Batavia di tingkat pemuda dan pelajar serta mahasiswa. Pada bulan Desember 1917 anak-anak STOVIA asal Sumatra membentuk Sumatranen Bond di Batavia yang dipelopoti oleh Mansoer (ketua), Abdul Munir Nasution (wakil ketua) dan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Sumatranen Bond lambat laun menonjol sebagai Jong Sumatra. Sejak itu muncul jong-jong lainnya.

Parada Harahap, The King
Keempat, Parada Harahap menggagas didirikannya Tapanoeli Bond yang kemudian menjadi Batak Bond. Hal ini dilakukannya untuk merespon adanya suara-suara di Sumantranen Bond yang kesannya Sumatranen kurang memperhatikan suara dari kalangan Kristen. Meski demikian adanya, Batak Bond masih tetap menganggap dirinya bagian dari Sumatranen Bond. Sebaliknya Sumatranen Bond mengakomodasi Batak Bond sebagai bagian dari Sumatranen Bond dimana di dalam Sumatranen Bond, Parada Harahap tetap menjadi sekretaris. Dalam perkembanganya, boleh jadi Parada Harahap menganggap ada yang salah dengan semua organisasi-organisasi kedaerahan yang ada, dan mungkin Parada Harahap tersentak atas meninggalnya Dja Endar Moeda baru-baru ini (1926) di Kota Radja (kini Banda Aceh), sementara Soetan Casajangan yang masih hidup dan menjabat sebagai Direktur Normaal School di Batavia. Sedangkan Parada Harahap sendiri tengah di puncak kejayaan, korannya Bintang Timoer, surat kabar yang paling tinggi tirasnya di Batavia. Perjalanan jurnalistik Parada Harahap penuh ‘luka dan darah’, sejak dari Medan sebagai editor Benih Mardeka (1918), lalu menerbitkan koran Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1919-1922) dan kini di Batavia pada tahun 1925 Parada Harahap dinobatkan pers Eropa/Belanda sebagai wartawan terbaik kerap berpolemik dengan sejumlah wartawan Belanda yang anti persatuan (sampai tahun 1926 Parada Harahap telah kena delik pers alias ‘dimejahijaukan’ sebanyak 101 kali) dan belasan kali masuk penjara. Boleh jadi Parada Harahap dengan keprihatinan terhadap organisasi-organisasi dan muculnya kekuatan dalam dirinya, lantas menghubungi dua tokoh penting. Pertama menghubungi Mohamad Husni Thamrin melalui Mangaradja Soangkoepon dan menghubungi Hussein Djajadiningrat melalui Soetan Casajangan. Lalu beberapa waktu kemudian di tahun 1927 di rumah Djajadiningrat diadakan pertemuan pengurus organisasi-organisasi yang dihadiri wakil-wakil dari Sumatranen Bond, Kaoem Betawi, Pasoendan, Boedi Oetomo, Minahasa, Ambon dan organisasi kedaerah lainnya. Hasilnya dibentuk supra organisasi yang disebut PPPKI (Pemoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia) dimana dibentuk pengurus sebagai ketua MH. Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Organisasi ini bersifat nasional dengan motto Hidoeplah Persatoean Indonesia. Selanjutnya, pada tanggal 31 Agustus 1928 organisasi ini melakukan pertemuan publik pertama (kongres). Hadir dalam kongres antara lain: Parada Harahap, Tjokroaminto, Dr. Soetomo, Ir. Soekarno. M. Thamrin. Dalam kongres ini Parada Harahap mengomentari sikap pasifnya wakil Minahasa dan Ambon. Dari sinilah Parada Harahap mulai menyemangati para pemudanya yang kemudian pada bulan September membentuk kepanitiaan untuk melakukan Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 (yang hasilnya: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa). Dalam kepanitiaan ini Amir Sjarifoedin, anak Medan mahasiswa Recht School ditunjuk sebagai bendahara (ketuanya adalah Soegondo, kelak Soegondo akan berkiprah banyak di Medan). PPPKI dan Kongres Pemuda telah menunaikan tugasnya untuk visi nasional (baru) yang mana dalam hal ini Parada Harahap telah memainkan peran paling penting. Semua benih pemikiran Parada Harahap ini ditabur di Medan (Benih Mardeka), dirawat di Padang Sidempuan (Sinar Merdeka) dan dipanen di Batavia (Bintang Timoer). Bravo.

Dengan demikian, disadari atau tidak disadari, sengaja atau tidak sengaja, dalam kenyataannya ada garis continuum pionir organisasi-organisasi di Indonesia mulai dari Dja Endar Moeda, kemudian Soetan Casajangan, lalu Sorip Tagor dan Parada Harahap yang kemudian di lapangan politik diteruskan oleh Amir Sjarifoedin dan Soetan Goenoeng Moelia. Amir Sjarifoedin dengan organisasi baru Gerindo sesungguhnya sudah menyambung jalur nasional (setelah PNI dengan pentolannya Ir. Soekarno yang bersifat nasional dilarang), namun dalam perkembangannya berbagai organisasi politik muncul (nasional vs agama). Soetan Goenoeng Moelia tampaknya memberi respon dengan membentuk partai baru yang dikenal sebagai Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Yakni memperjuangkan minoritas (Parkindo ala Soetan Goenoeng Moelia, Batak Bond ala Parada Harahap, Sumatranen Bond ala Sorip Tagor dan Indisch Vereeniging ala Soetan Casajangan).

Untuk sekadar diketahui pionir dalam organisasi tersebut masih berlanjut. Pada tahun 1947, dua anak Afdeeling Padang Sidempuan meggagas lagi dua organisasi mahasiswa yang berbeda. Pertama, Lafran Pane mendirikan organisasi mahasiswa Islam (di luar kampus) di Jokjakarta yang dikenal sebagai HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Kedua, Ida Nasoetion dan G. Harahap mendirikan organisasi mahasiswa (di dalam kampus) di Jakarta yang disebut PMUI (Persatuan Mahasiswa Universiteit van Indonesia). Organisasi ini meliputi mahasiswa-mahasiswa di fakultas kedokteran, filsafat dan sastra di Jakarta (kini UI), fakultas pertanian di Bogor (kini IPB), fakultas teknik di Bandung (kini ITB), fakultas ekonomi di Makassar (kini Unhas) dan lainnya. Lafran Pane adalah adik Sanusi Pane dan Armijn Pane. Ida Nasoetion adalah esais paling berbakat dan ditakuti militer Belanda dan setahun setelah PMUI didirikan, Ida Nasoetion hilang lenyap selamanya, menurut pers kala itu, diduga dibunuh intelijen Belanda di Bogor. Ida Nasoetion adalah anak dari…(cari sendiri ya).

Menjadi Guru Besar (1946)

Setelah tidak menjabat Menteri Pendidikan, Sutan Gunung Mulia bertugas sebagai guru besar Universitas Darurat Indonesia. Di ibukota Negara pengungsian di Jokjakarta didirikan  Universitas Darurat Indonesia. Setelah pengakuan kedaulatan RI, ibukota kembali ke Jakarta lalu fakultas-fakultas kedokteran Universiteit van Indonesia (peninggalan kolonial), seperti fakultas kedokteran di Jakarta menjadi Universitas Indonesia, fakultas pertanian di Bogor menjadi IPB, fakultas teknik di Bandung menjadi ITB dan fakultas ekonomi menjadi Unhas. Di Jakarta, Prof. Sutan Gunung Mulia menjadi guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Universitas Darurat Indonesia di Jokjakarta kemudian menjadi UGM.

Menjadi Plt Walikota Batavia (1949)

Prof. Sutan Gunung Mulia menjadi Plt Walikota Batavia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-07-1949).

Sejak proklamasi, selama perang hingga pengakuan kedaulatan beberapa pejabat yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempuan adalah Mr. Loeat Siregar sebagai walikota pertama Kota Medan, SM Nasution sebagai gubernur pertama Sumatra Utara, Dr. Radjamin Nasoetion sebagai walikota pertama Kota Surabaya (sejak era Jepang hingga era republik), Dr. Gindo Siregar (Mayor Jenderal) sebagai Gubernur Militer Sumatra Utara, Mr. Gele Harun Nasoetion (Letkol) sebagai residen pertama Lampung, Mr. Masdoelhak Nasoetion, PhD sebagai residen pertama Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) yang kemudian menjadi penasehat hukum Ir. Soekarno dan Drs M. Hatta di Djokjakarta, Abdul Hakim Harahap sebagai wakil residen Tapanoeli, Binanga Siregar sebagai residen Sumatra Timur, dan tentu saja Amir Sjarifoedin Harahap sebagai tokoh sentral (the founding father republic), sebagai Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri RI.

Ketua Komite Sumatera untuk KMB (1949)

Dalam rangka persiapan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag di Jakarta dibentuk Komite Kontak Sumatra. Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-06-1949 melaporkan komite kontak ini dibentuk untuk fungsi koordinasi kepentingan Sumatera dalam arti luas. Komite ini dipimpin oleh Prof. Dr. Mulia yang mana anggotanya termasuk Dr. Mansoor dari Sumatra Timur, Mr. Abbas dari Tapanoeli, Mr Abdul Malik dari Palembang. Pembentukan komite ini sebagai konsekuensi dari keputusan Konferensi Sumatera pertama untuk mendirikan badan kontak. Melalui komite ini dikordinasikan wakil-wakil Sumatra ke KMB.

Anggota Misi Indonesia ke PBB (1949)

Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-09-1949 memberitakan bahwa Ketua Komite Kontak Sumatera, Prof. Mr. Dr. Todoeng gelar Sutan Gunung Mulia akan berpartisipasi dalam diskusi di Majelis Umum PBB. Namun sebelum ke Amerika, Ketua Kontak Sumatra beberapa waktu di Belanda dalam rangka berpartisipasi dalam diskusi dengan delegasi KMB. Sebagai koordonator Sumatra untuk seluruh delegasi ke KMB diberikan kepada  Mr. Sjukur Sonpada dan RO Simatupang sebagai sekretaris. Wakil-wakil Sumatra dalam komite Sumatra ini adalah Tengku Mohammad dari Indragiri, RDA. Chalik Djojoningrat dari Jambi, Dr. Anas dari Minangkabau, N. Toha Effendi dari Lampong, M. Jasin dari Bengkulen, E. Siagian dari Tapanuli dan Tengku Datuk Kasim dari Siak.

Satu lagi anak Padang Sidempuan (selain Sutan Gunung Mulia dan Mr. Sjukur Soripada) yang berpartisipasi dalam KMB adalah Abdul Hakim Harahap yang secara khusus menjadi penasehat ekonomi. Abdul Hakim adalah mantan wakil residen Tapanoeli, yang di era Jepang diangkat sebagai sekretaris dewan Tapanoeli dan di era Belanda jabatan terakhir sebelum pendududkan Jepang sebagai Kepala Kantor Ekonomi dan Keuangan Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Kekhususan lain dari Abdul Hakim dalam KMB ini adalah sangat fasih tiga bahasa asing: Belanda, Inggris dan Prancis.

Masih menurut berita Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-09-1949 sebanyak 150 delegasi Indonesia untuk KMB telah diterima oleh walikota Amsterdam, diantara mereka adalah Sultan Hamid II, Moh. Hatta, Anak Agung, Dr. van Royen, Moh. Roem, Mangkunegoro, Menteri Maarseveen dan anggota peninjau asing UNCL.

Ketua Pekan Ekonomi Indonesia (1952)

Setelah perang dan pengakuan kedaulatan RI pada Desember 1949, kehidupan ekonomi rakyat sangat berantakan dan tingkat kehidupan yang sangat parah. Prof. Sutan Gunung Mulia melihat kenyataan itu untuk dibangkitkan agar kehidupan menjadi normal kembali. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-06-1952 memberitakan bahwa dalam kegiatan utama pameran yang akan dilaksanakan, panitia persiapan Pekan Ekonomi Indonesia bertemu dengan hampir semua perwakilan bisnis di Jakarta. Ketua Pekan Ekonomi Indonesia adalah Prof. Dr. TSG Mulia. Pameran ini akan dimulai pada tanggal 10 Agustus. Panitia ini bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan dan Dewan Ekonomi Indonesia Pusat.

Pemilik surat kabar Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie adalah Parada Harahap. Surat kabar yang terbilang tua ini, setelah pengakuan kedaulatan dan para pengusaha Belanda keluar dari Indonesia, Java Bode diakuisisi oleh Parada Harahap. Sekadar diketahui, Parada Harahap adalah pendiri dan presiden pertama Kamar Dagang Indonesia tahun 1931. Kini, tahun 1952, Wakil Presiden Kamar Dagang Indonesia adalah Prof. Sutan Gunung Mulia.

Di Medan juga dibentuk kepanitiaan dengan Ketua Panitia adalah GB Josua (Haji Gading Batubara), anak Sipirok pemilik Perguruan Josua, seorang patriot pendidikan di era perang yang tetap menyelenggarakan pendidikan untuk rakyat republik di Medan.

Penasehat Komite Pahlawan Sisingamangaradja (1953)

Prof. Sutan Gunung Mulia dan Mayor Jenderal TB Simatupang adalah dua orang yang mendedikasikan pemikiran tentang Sisingamangardja. Jika dua tokoh yang berbeda keahlian dalam melihat satu tokoh lainnya akan lebih kuat. Sutan Gunung Mulia melihat ketokohan Sisingamangardja dapat dijadikan sebagai panutan dan inspirasi di dalam perjuangan pada bidang pendidikan. TB Simatupang melihat ketokohan Sisingamangaradja sebagai model patriot bangsa yang pantang menyerah hingga titik darah penghabisan. Radja Singamangaradja XII dan dua putranya dibunuh oleh militer Belanda selama pertempuran di Dairi pada tanggal 17 Juni 1907.

De nieuwsgier, 16-03-1953 memberitakan masyarakat Batak di Jakarta telah mengadakan pertemuan, yang berakhir dengan pembentukan komisi untuk membayar penghormatan kepada pahlawan nasional Raja Sisingamangaradja XII. Penasehat untuk komite peringatan Sisingamangaradja, yakni: Prof. Mr. Dr. Sutan Gunung Mulia dan General-Majoor Simatupang ditambah dengan Mr. Prijono, Mr. AK Pringgodigdo, Roeslan Abdulgani dan JK Panggabean. Untuk panitia pelaksana diketuai oleh J. Mulia Panggabean dan sekretaris RO Simatupang. Panitia telah berangkat untuk menjelajahi kemungkinan relokasi makam  Singamangaradja XII dan dua putranya dari Tarutung ke Soposurung (Balige). Pada masa kolonial makam Sisingamangardja direlokasi ke Tarutung dengan penjagaan ketat militer karena sosok Sisingamangaradja dianggap dapat menjadi inspirasi bagi rakyat dan dapat menimbulkan resistensi bagi kehadiran Belanda di Tanah Batak.

Seperti halnya pekan ekonomi di Jakarta, di Medan juga kepanitiaan peringatan Sisingamangaradja dibentuk yang mana ketua panitia adalah GB Josua (Haji Gading Batubara), anak Sipirok pemilik Perguruan Josua. Mr. GB Josua adalah seorang patriot pendidikan di era perang, meski dibawah tekanan militer Belanda. GB Josua tetap menyelenggarakan pendidikan untuk rakyat yang berafiliasi republik di Medan.

Pendiri Universitas Kristen Indonesia (1953)

Sutan Gunung Mulia adalah pendidik tulen. Sebagai guru, dan kini menjadi guru besar di Universitas Indonesia merasa perlu untuk mengembangkan pendidikan lewat jalur swasta mulai dari pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi. Upaya untuk memperluas pendidikan tinggi, Sutan Gunung Mulia menggagas didirikannya Universitas Kristen Indonesia.

De nieuwsgier, 16-10-1953 melaporkan tadi malam berada di Auditorium HBS Kristen, Universitas Kristen Indonesia resmi dibuka. Presiden yayasan yang mengelola universitas, Mr. Dr. TSG. Mulia memberikan presentasi tentang sejarah kehidupan universitas di Indonesia dan mengatakan bahwa di sini, tidak seperti banyak negara lain dimana orang asing telah mengambil inisiatif, sebuah perguruan tinggi Kristen. Seluruh universitas didirikan oleh inisiatif Indonesia sendiri. Universitas ini memiliki dua fakultas sementara, satu untuk pedagogi dan pengajaran bahasa Inggris dan satu lagi ekonomi yang akan melatih siswa pada tingkat sarjana muda. Untuk perkuliahan bahasa Inggris dan kuliah diadakan di perguruan tinggi di Salemba 10 dan perguruan tinggi teologi di Pegangsaan Timur. ‘Kami masih kecil’ demikian Prof. Mulia dalam pengantarnya, tapi janganlah kita berkecil hati, Universitas Yale yang terkenal sekarang di tahun pertama keberadaannya hanya memiliki satu mahasiswa. Dalam acara ini ada banyak pembicara termasuk Menteri Pendidikan Mr. Moh. Yamin merasa gembira karena akhir-akhir ini dimana-mana universitas didirikan oleh inisiatif swasta. Prof. Dr. Purbatjaraka berbicara atas nama Universitas Indonesia, menjelaskan secara etimologis (mahardika-merdeka) bahwa seseorang yang merdeka bukan hanya mampu berjalan sendiri secara fisik, tetapi juga menyadari di dalam kekuatan batin. Pembicara selanjutnya, atas nama akademi nasional yang dipimpin Prof. Dr. Bahder Djohan.

Anak-anak Padang Sidempuan sudah sejak dari doeloe selalu menjadi pionir dalam pendidikan. Sutan Gunung Mulia adalah generasi pendidik lebih lanjut. Pionir Pendidikan Nasional adalah Willem Iskander yang memulai studi ke negeri Belanda tahun 1857 (pribumi pertama studi ke Belanda). Setelah lulus tahun 1861 pulang ke tanah air dan mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato tahun 1862. Dari sinilah sumber guru untuk Padang Sidempuan dan sekitarnya. Pada tahun 1879 sekolah guru yang lebih besar dibuka di Padang Sidempuan (sekolah guru Tanobato ditutup tahun 1875) dengan guru dan direktur sekolah terkenal Charles Adrian van Ophuijsen (penyusun tatabahasa dan ejaan Melayu). Dari Padang Sidempuan inilah sumber guru-guru untuk Tapanoeli, Atjeh, Riaou dan Sumatra Timur, bahkan Djambi dan Bengkulen. Pada tahun 1892 dari 18 sekolah negeri di Tapanoeli, sebanyak 15 buah berada di Afdeeling Mandheling en Ankola dimana tiga diantaranya di Padang Sidempuan. Pada saat itu belum satupun sekolah negeri di Kota Medan. Ini menunjukkan bahwa di Padang Sidempuan dan sekitarnya sudah sejak awal surplus guru.

Generasi guru-guru Padang Sidempuan inilah yang melahirkan sangat banyak guru berdedikasi, wartawan pemberani dan sastrawan hebat. Salah satu alumni sekolah guru Kweekschool Padang Sidempuan adalah pendiri sekolah swasta pertama di Padang dan menjadi editor surat kabar pribumi pertama di Indonesia tahun 1897 (editor Pertja Barat) dan editor pribumi kedua tahun 1902 (editor Pertja Timor di Medan). Alumni lainnya adalah Soetan Casajangan orang pribumi kedua yang kuliah ke negeri Belanda dan di akhir jabatananya menjadi direktur Normaal School di Batavia. Kemudian Soetan Martoewa Radja, alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempuan yang menjadi kepala sekolah negeri di Pargaroetan, Sipirok dan Tarutung yang di akhir masa jabatannya menjadi direktur Normaal School di Pematang Siantar (ayah MO Parlindungan, pengarang buku Tuanku Rao).

Generasi berikutnya (setelah Kweekschool Padang Sidempuan ditutup tahun 1893) adalah Radja Goenoeng sebagai penilik sekolah pertama di Medan (1915), Abdul Azis Nasoetion mantan guru dan alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian di Buitenzorg membuka sekolah pertanian (pionir sekolah pertanian) di Sumatra Barat, GB Josua alumni sekolah guru Poerworedjo yang melanjutkan studi di Belanda, dan setelah pulang ke tanah air pada tahun 1930 membuka sekolah swasta (HIS dan MULO) di Medan dengan nama Perguruan Josua. Anak Padang Sidempuan lainnya Abdul Hakim Harahap (Gubernur Sumatra Utara ketiga) menggagas didirikannya dan menjadi presiden pertama USU tahun 1952 (akte pendirian dibuat oleh Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem, notaris pertama di Sumatra). Di Padang didirikan perguruan tinggi pertama tahun 1952 yang dipelopori dengan presiden pertama Mr. Egon Nasution. Sebelumnya Parada Harahap telah mendirikan akademi wartawan 1951 dan kemudian Ali Mochtar Hoetasoehoet melanjutkan dengan perguruan tinggi jurnalistik tahun 1952 yang dikenal sebagai IISIP Jakarta. Pada tahun 1953 giliran Prof. Sutan Gunung Mulia mendirikan Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jakarta. 

Prof. Dr. Mr. Soetan Gunung Moelia lahir dari keluarga guru di kota pendidikan Padang Sidempuan, suatu kota yang memiliki tingkat demokrasi tinggi untuk urusan keagaamaan (penerapan surah 109 dalam Alquran ditekakan di sini). Mungkin tidak ada tempat lain di Indonesia dimana kaum Islam dan penganut Kristiani harmoni. Bahkan sejak dari awal di Sipirok (35 Km dari Padang Sidempuan) dimana mesjid dan gereja berdampingan (hampir seratus tahun mendahului keberadaan Mesjid Istiqlal dan Gereja Katheral di Jakarta. Sipirok adalah daerah berpenduduk mayoritas beragama Islam, tempat awal dari penyiaran agama Kristen di Silindoeng dan Toba. Tempat dimana ayah dan ibu dari Sutan Goenoeng Moelia dilahirkan dan dibesarkan.

Penasehat Dewan Pusat untuk Pameran Indonesia (1953)

Dewan Pameran Indonesia Pusat (Dewan Pusat untuk Pameran di Indonesia) di bawah pimpinan Mr. JM Laihad. De nieuwsgier, 26-10-1953 melaporkan bahwa sebagai konsultan akan diundang antara lain; R. Suwirjo, Prof. Dr. Mr Mulia dan Mr. Sardjoto. Seperti yang Anda tahu, penciptaan badan koordinasi tentu karena mereka ingin membuka tahun 1954 Pameran di Jakarta, Surabaya, Semara.ig. Bandung dan Yogyakarta. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-10-1953 mencatat bahwa dalam Dewan Pengawas, antara lain R. Suwirjo, Ir Djuanda (Direktur Dewan Perantjang Negara), Mr. Indra Kusuma (Direktur Bank Indonesia) dan Prof. Mr. Dr. Sutan Gunung Mulia (Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia).

Editor Buku Ensiklopedia Indonesia (1954)

Prof. Sutan Gunung Mulia bersama Prof. Hidding telah mempelopori dan menulis buku eksiklopedia nasionasl Indonesia. Ensiklopedia ini diterbitkan oleh perusahaan penerbitan Van Hoeve di Den Haag dan Jakarta. Buku yang terbit baru jilid satu telah ditawarkan kepada Presiden Sukarno (lihat De nieuwsgier, 01-09-1954). Jilid kedua dan ketiga akan segera menyusul. Menurut Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 14-09-1954), buku Ensiklopedia Indonesia akan menjadi tonggak dalam kehidupan budaya Indonesia. Buku pertama ini terdiri dari 480 halaman, dengan 8 kartu berwarna, ratusan gambar, 32 halaman foto dan ringkasan sebanyak 38 halaman. Berdasarkan pengumuman dari penerbit keseluruhan ensiklopedia ini terdiri dari tiga jilid yang total memiliki 1.600 halaman, 900.000 kata, ringkasan setebal 144 halaman, 16 gambar berwarna, 96 halaman foto dan 1.000 gambar dengan teks. Ini adalah buku pertama di Indonesia yang memiliki skala nasional.

Untuk urusan tulis menulis bagi orang terpelajar dari Padang Sidempuan sejak dari dulu sudah menjadi tradisi. Willem Iskander adalah pribumi pertama studi ke Belanda (1857). Setelah selesai studi dan mendapat akte guru lalu dengan inisiatif sendiri membuka sekolah guru di Tanobato 1862 dan dua tahun kemudian diakuisi pemerintah dan dijadikan sekolah guru (kweekschool) negeri yang ketiga. Willem Iskander adalah pribumi pertama yang mengajar di kweekschool. Pada tahun 1864 buku pelajaran yang ditulisnya diterbitkan di Batavia (buku pertama pribumi). Setelah itu banyak buku yang ditulisnya yang diterbitkan. Penulis berikutnya yang terkenal adalah Dja Endar Moeda, alumni Kweekschool Padang Sidempuan, novelnya diterbitkan tahun 1895 dan beberapa novel lainnya serta buku-buku pelajaran yang diterbitkan di Padang. Dja Endar Moeda adalah editor surat kabar pribumi pertama pada tahun 1897 (Tirto Adhi Soerjo baru menjadi editor pada tahun 1902). Dja Endar Moeda adalah pemilik surat kabar dan percetakan sendiri dari kalangan peribumi. Dja Endar Moeda dijuluki Radja Persuratkabaran Sumatra. Penulis lainnya adalah Soetan Casajangan pribumi kedua yang kuliah di Belanda tahun 1905 (pendiri Indisch Vereeniging tahun 1908). Soetan Casajangan banyak menulis makalah. Sebelum pulang ke tanah air tahun 1914, bukunya berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi) diterbitkan di Belanda (buku pribumi pertama yang beredar di Eropa). Parada Harahap adalah wartawan dan penulis buku yang produktif. Tentu saja Soetan Goenoeng Moelia banyak menerbitkan buku. Selanjutnya Mochtar Lubis adalah wartawan yang banyak menulis buku. Di bidang sastra, selain Mochtar Loebis, seniornya banyak menulis buku dan novel seperti Armijn Pane, Merari Siregar, Sanusi Pane dan lainnya. Penulis penulis novel sastra lokal sangat banyak yang terkenal diantaranya adalah Soetan Pangoerabaan Pane (ayah Armijn dan Sanusi Pane), Soetan Hasoendoetan dan Soetan Martoewa Radja. William Marsden dalam bukunya History of Sumatra (1811) menyebutkan (berdasarkan catatan seorang botanikus asal Inggris yang melakukan eskpedisi kulit manis  ke Padang Sidempuan di Angkola tahun 1773) merasa kaget karena melihat kenyataan bahwa lebih dari separuh penduduknya bisa baca tulis (dalam aksara Batak) yang melebihi semua bangsa-bangsa di Eropa. Boleh jadi masuk akal dalam banyak bidang anak-anak Padang Sidempuan adalah pionir. Selain yang disebut sebelumnya, siswa yang diterima di docter djawa school (cikal bakal STOVIA) yang berasal dari luar Jawa adalah dua kakak kelas Willem Iskander tahun 1854 (docter djawa school dibuka 1851). Alionedin Siregar adalah alumni pertama Rechtschool di Batavia, Sorip Tagor adalah alumni pertama Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg (juga dokter hewan pertama studi ke Belanda), Abdoel Azis Nasoetion adalah alunni pertama Sekolah Menengah Pertanian di Buitenzorg. Tiga dari tujuh pribumi pertama bergelar doctor (PhD) di Indonesia dan jangan lupa perempuan pertama orang Indonesia bergelar doctor adalah Ida Loemongga Nasoetion. Esais perempuan pertama Ida Nosoetion (seangkatan dan setara dengan penyair Khairil Anwar dan ahli prosa Idrus).   

Mendirikan Sekolah Tinggi Teologi (1954)

Sutan Gunung Moelia sebagai rektor Universitas Kristen Indonesia juga adalah ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia. Atas inisiatifnya dididirikan sekolah tinggi keagamaan (theologische hogeschool) yang disebut Sekolah Tinggi Teologi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-09-1954). Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Moestafa Hussein Nasoetion dalam menggagas didirikannya lembaga keagamaan Islam dalam bentuk pesantren tahun 1912 di Kotanopan (yang kini lebih dikenal lokasinya di Perbabaru), tempat dimana Sutan Gunung Mulia pernah menjadi Direktur HIS tahun 1920. Pesantren ini sejak dari dulu adalah pesantren terbesar di Sumatra, yang santrinya tidak hanya datang dari Tapanoeli sendiri, tetapi juga dari Sumatra Timur, Atjeh, Riau, Sumatra Barat, Djambi dan semenanjung.

Penasehat Kongres Pendidikan Swasta (1954)

Kongres pendidikan swasta kedua diselenggarakan di Jakarta dengan pelindung Menteri Pendidikan M. Yamin. Menurut panitia yang disiapkan oleh walikota Jakarta akan dihadiri lebih dari 6000 perwakilan dari pendidikan swasta di seluruh Indonesia. Agung Sutadi akan bertindak sebagai presiden kongres. Sebagai konsultan ditunjuk Ki Hadjar Dewantoro (Taman Siswa), Ki Hadikusumo (Muhammadiyah), Prof. Dr Gunung Mulia (Universitet Keristen Indonesia), Prof. Dr. Mr. Abdurachman (PT 17 Agustus), Mr. Sutan Takdir Alisjahbana (Universitas Nasional) dan Mr Looymans (Kantor Misi Central di Indonesia).

Anggota Misi Ekonomi Ke Jepang (1955)

Prof. Sutan G. Moelia merupakan satu dari empat pimpinan misi yang mewakili Indonesia ke Jepang. Misi ini juga akan mengikuti Kongres ke 15 International Chamber of Commerce yang kebetuluan diselenggarakan di Tokyo (15-21 Mei). Dalam rombongan ini representasi Indonesia terdiri dari 40 orang yang dibagi ke dalam komite perdagangan, perbankan, keuangan, penilaian dan arbitrase, industri perkapalan, transportasi dan komunikasi. Setelah kongres ini juga ada kongres kamar dagang industri Jepang dimana Indonesia diundang untuk hadir khususnya membicarakan hambatan perdagangan Indonesia-Jepang (lihat De nieuwsgier, 12-05-1955).

Kehadiran Todoeng Harahap gelar Sutan Gunung Mulia di Jepang adalah kali kedua anak Padang Sidempuan ke Jepang. Ini seakan mengingatkan ketika pertamakali orang Indonesia ke Jepang tahun 1932 dimana pimpinan rombongan adalah Parada Harahap yang kala itu selain bertindak sebagai Ketua Kamar Dagang Indoensia juga ketua rombongan misi dagang Indonesia yang didalamnya termasuk M. Hatta yang baru lulus sarjana dari Belanda. Parada Harahap kala itu memiliki koran bertiras besar Bintang Timoer. Di Jepang, pers setempat menjuluki Parada Harahap sebagai The King of Java Press.

Membacakan Pesan Ir. Soekarno dalam Sidang Sinode Ketiga (1956)

Algemeen Indisch dagblad de Preangerbode, 19-07-1956 memberitakan bahwa Sinode Ketiga Dewan Gereja di Indonesia yang telah diadakan pada tanggal 9 Juli di Jakarta. Pada Sinode ini turut ambil bagian perwakilan dari gereja-gereja di Maluku, Sumatera, Nias, pulau-pulau Sangir Talaud dan dan daerah lain di Indonesia. Perwakilan dari Thailand, India, Swiss, Malaya, Filipina, Okinawa, Amerika, Australia dan Belanda. Dalam acara pembukaan Sabtu Prof. Dr. TSG. Mulia membaca pesan dari Presiden Soekarno kepada sinode, antara lain, presiden menyatakan fakta bahwa asosiasi gereja suatu solusi ideal akan menjadi salah satu di Indonesia yang akan membawa manfaat besar untuk negara. Pesan presiden diberikan dalam Sinode Dewan Gereja di Indonesia adalah bukti bahwa di negeri ini kebebasan beragama diakui sesuai dengan prinsip pertama, Pantjasila.

Ambil Bagian dalam Menengahi Kisruh di Tapanoeli (1957)

Pemberontakan yang terjadi di Sumatra (PRRI) telah merembes ke Tapanoeli. Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Nasution akan segera ke Sumatra untuk meredakan situasi.

Di sisi lain di Jakarta diadakan pertemuan keprihatinan dari masyarakat Tapanuli yang dilakukan pada hari Minggu di Jakarta yang memakan waktu lebih dari sepuluh jam untuk membahas situasi terkini di Sumatera. Secara aklamasi, rapat memutuskan untuk mendirikan sebuah unit kohesif di kalangan masyarakat Tapanuli di semua bidang dan di seluruh wilayah Indonesia. Juga meminta cepat dilakukan build-up di Tapanuli dalam jangka pendek. Dalam pertemuan hadir Abdul Hakim Harahap, Prof. Mr. Dr. Sutan Gunung Mulia, Sutan Sinomba, Ir. Basjaruddin Nasution, Ir. Tarip Harahap, Aminuddin Lubis, Mr. AM. Tambunan, M. Hutasoit, Mr. Rufinus Lumbantobing, Ir. Debataradja, Mr. Elkana Tobing, S. Pandjaitan, Mayor Jenderal TB Simatupang dan Binanga Siregar (anggota majelis konstituante untuk Tapanuli) yang tengah ada urusan ke Bandung) (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 22-01-1957).

Menyambut Ir. Soekarno di Konferensi Gereja di Parapat (195?)

Hari ini dimulai (tanggal 18-22) konferensi gereja di Parapat. Selain peserta dari 12 negara Asia dan Eropa yang diperkirakan dihadiri sekitar 100 delegasi. Para peserta Asian berasal dari Jepang. Hong Kong, Hormosa, Filipina, Singapura, Malaka, Birma, India. Pakistan, Ceylon dan Indonesia. Di antara peserta dan pengamat Dr. A. Vissert Hooft, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia di Jenewa, Dr CDT Niles, Presiden Federasi Dunia Kristen. mahasiswa, juga dari Jenewa, Kyaw Tham, sekretaris konsistori Asia, Freytag dari universifef dari Hamburg dan Shovik dari Benemanken, anggota Komite Sentral Lutheran World Federation. Dari Belanda sebagai pengamat Dr. Mackay, Sekretaris  Gereja Reformasi Belanda. Di antara yang menonjol di kalangan masyarakat Batak Protestan termasuk Mr A. Tambunan, anggota parlemen dan .Ketua Dewan Gereja Indonesia Prof. TGS Mulia dan dr. JK Panggabean, dr. L. Leimena, ds Marantika, sekretaris Dewan Gereja Indonesia. Juga hadir Wakil Menteri F. Urnbas yang Sabtu bersama dengan Presiden Sukarno. Uskup dr. Manikam dari Gereja Lutheran di India hanya. Selain Dr. Mackay dari Gereja Reformasi Belanda juga akan menjadi pengamat dari Inggris, Jerman, Perancis, Australia, Selandia Baru, Amerika dan Denmark menghadiri konferensi. Para delegasi asing kemarin telah mengunjungi paroki di Balige, Samosir dan Pematang Siantar. Para mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia juga akan menyelenggarakan kegiatan kursus pelatihan kepemimpinan di Medan 22-24. Untuk mensukseskan konferensi di Medan dipimpin oleh AES Nababan, pendeta muda dari HKBP di Medan.

Menerima Gelar Doktor Honoris Causa dari Vrije Universiteit (1966)
                    
Prof. Sutan Gunung Mulia terpilih sebagai orang terkemuka Indonesia oleh Vrije Universiteit dan berhak mendapat gelar kehormatan doctor honoris causa. Pilihan terhadap pendidik umur 70 tahun ini diberitakan Koran-koran di Belanda didasarkan atas penilaian karena dedikasinya di bidang pendidikan di Indonesia yang dianggap sebagai pelopor (pioneer). Pengabdiannya di bidang pendidikan tidak tertandingi, Karya-karyanya sangat fenomenal seperti buku Sedjarah Politik dari Pergerakan Kebangsaan: Sejarah Politik Indonesia dan Sejarah Gerakan Nasional; editor dari tiga jilid Buku Ensiklopedia Indonesia. Hal lain yang menjadi kekuatannya adalah berhasil mempersatukan gereja-gereja di Indonesia, pendiri Universitas Kristen Indonesia, pendiri Perguruan Tinggi Teologi Indonesia. Disebutkan Profesor Mulia adalah orang Indonesia yang paling menonjol, di negaranya sebelum terjadinya perang. Pernah menjadi wakil ketua Volksraad dan di awal kemerdekaan menjadi Menteri Pendidikan. Sutan Gunung Mulia telah berpartisipasi dalam pembangunan negara dan juga terlibat dalam konsultasi internasional. Beberapa waktu Profesor Mulia adalah juga guru besar di Universitas Indonesia di Jakarta.

Sutan Goenoeng Moelia Meninggal Dunia Usia 70 Tahun (1966)

Tidak lama setelah Soetan Goenong Moelia menerima penghargaan pertama kepada orang Indonesia dari lembaga pendidikan di luar negeri, masih di Belanda, Sutan Gunung Mulia diberitakan meninggal dunia:

‘Kemarin di Rumah Sakit Juliana di Amsterdam Prof. Dr. Mr. TSG Mulia meninggal dunia. Mulia sudah di sini sejak 8 Oktober. Pada tanggal 20 Oktober menerima doktor kehormatan di Vrije Universiteit, namun kesehatannya semakin memburuk. Selama perawatan tidak berhasil dipulihkan. Sutan Gunung Mulia meninggal pada usia 70 tahun. Prof. Mulia, selama kunjungannya ke Belanda didampingi istrinya dan dua anaknya, Mulia juga terkenal karena kepeloporannya dalam bidang ekumene dan orang yang memberikan dorongan untuk penciptaan Dewan Gereja-gereja di Indonesia, di mana Mulia adalah presiden kehormatan. Sampai kematiannya, Prof. Mulia adalah ketua Lembaga Alkitab Indonesia. Jenazah akan diangkut ke Jakarta (Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 12-11-1966).

***
Tidak banyak memang tokoh penting di Indonesia. Namun, salah satu yang terpenting di bidang pendidikan adalah Prof. Dr. Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (1896-1966). Dia telah mewarisi ayahnya di bidang pendidikan, juga telah meneruskan tokoh-tokoh pendidik terdahulu dari afdeeling Padang Sidempuan seperti Dja Endar Moeda (1861-1926), Soetan Casajangan (1874-1927) dan De Pioneer, Willem Iskander (1839-1876)

Buku-buku yang ditulis Soetan Goenoeng Moelia, antara lain:


·         Het primitieve denken in de moderne wetenschap (desertasi ).  J.B. Wolters. Groningen, 1933.

·         Federale conferentie Bandoeng 1948: Stuk no 110/Ned. Prae-adviezen van de Voor- bereidende Sociaal Culturele Commissie.

·         India, sedjarah politik dan pergerakan kebangsaan. Balai Pustaka, 1949.

·         Perserikatan Bangsa-Bangsa : buku penuntun. 1952.

·         Ensiklopedia Indonesia (jilid 1). W. van Hoeve, 1954.

·         Ensiklopedia Indonesia (jilid 2). Van Hoeve, 1955.
·         Ensiklopedia Indonesia (jilid 3), Van Hoeve, 1956.
·         Perniagaan luar negeri : Teori dan prakteknja. Penerbitan Balai Pustaka, 1958
·         English texts for the use of students and pupils preparing for the final examination of high schools. 1974.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

1 komentar:

Lamhot Gelis Hutabarat mengatakan...

Terima kasih banyak saudara atas info yang saya dapat dari blog saya... semoga ilmu dan wawasan kita selalu bertambah dan kita tetap selalu semangat didalam mengabarkan kabar baik , sehingga para kaum-kaum muda sekarang seperti saya sendiri , dapat mengetahui asal usul sebuah tokoh yang menggerakkan dan menciptakan sebuah revolusi yang bermakna bagi umat manusia yang berada pada zaman sekarang ini ...