*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
Orang Ulu adalah orang yang mengidentifikasi diri sebagai Alak/Ulak Muarasipongi. Orang (halak, ulak) Ulu umumnya berasal dan tinggal di wilayah desa Aek Sibinail dan desa Tamiang Mudo, kecamatan Muarasipongi, kabupaten Mandailing Natal. Orang Ulu dibedakan dengan orang Mandailing maupun orang Natal maupun orang Lubu (Siladang). Hal ini karena bahasa orang Halak Ulu memiliki perbedaan. Bagaimana kehadiran masyarakat (orang) Ulu belum tergali sepenuhnya.
Lantas bagaimana sejarah orang Ulu (Urak Ulu) di wilayah kecamatan Muarasippngi? Seperti disebut di atas orang (halak, urak) Ulu sudah lama berada di pemukiman yang sekarang, namun asal-usul terkesan masih simpang siur. Lantas bagaimana sejarah orang Ulu (Urak Ulu) diantara pemukimana orang Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Orang Ulu, Orang Alak Ulu di Mandailing
Pada zaman kuno, antara Loeboe Raja di utara dan Loeboe Sikaping di selatan adalah wilayah yang sangat penting. Di wilayah ini adalah hulu dari sungai-sungai besar yang mengalir ke pantai barat maupun ke pantai timur. Di wilayah ini tidak hanya terdapat pertambangan emas, juga hutan-hutan kamper dan kemenyan. Produk-produk berharga di zaman kuno itu diduga menjadi sumber kekayaan penduduk dan menjadi pemicu para pedagang-pedagang dari jauh hingga Eropa berdatangan. Wilayah ini dapat dikatakan wilayah penduduk yang sudah eksis sejak zaman kuno.
Antara Loeboe Sikaping hingga Loeboe Raja dikatakan wilayah Angkola Mandailing hal ini didasarkan prasasti yang ditemukan pada era Hindia Belanda di Panti berbahasa dan kasara Batak. Dalam hal ini orang Leuboe halak Siladang berada di hulu sungai Batang Gadis sementara itu, orang Ulu alak Ulu berada di hulu sungai Rokan (sungai Sibinail). Seperti pada artikel sebelumnya dipertanyakan siapa orang Lubu yang sebenarnya, maka dalam artikel ini dipertanyakan siapa siapa sisungguhnya orang Ulu. Sebagaimana untuk memahami orang Koeboe, dalam hal ini untuk memahami orang Lubu dan orang Ulu tidak cukup dilihat dari situasi dan kondisi geografis yang sekarang, tetapi harus memperhatikan situasi dan kondisi geografis pada zaman kuno (pada zaman candi-candi).
Bahasa orang Koeboe, orang Oeloe maupun orang Loeboe diketahui sama-sama memiliki akar bahasa yang sama (mirip bahasa Melayu). Bahasa Melayu orang Oeloe dan orang Loeboe memiliki kekerabatan yang sangat dekat bahasa orang Rao. Bahasa Melayu orang Oeloe, orang Loeboe dan orang Rao yang di satu sisi memiliki kemiripan satu sama lain, memiliki grad asai dengan bahasa Rokan, bahasa Melayu (Minangkabau) dan bahasa Melayu (Riau) apalagi dengan bahasa Batak (Angkola Mandailing)., Ini seakan menggambarkan orang Oeloe, orang Rao dan orang Loeboe sangat berdekatan apalagi secara geografis dapat dikatakan dalam satu kawasan.
TJ Willer, seorang pejabat yang pernah bertugas di Afdeeling Angkola Mandailing dan Afdeeling Padang Lawas (1841-1846) telah mengidentifikasi orang Loeboe dan orang Oeloe.b Dalam majalah Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839 disebutkan Loeboe memiliki sepuluh kampung besar dengan empat Raja, enam puluh Panghulu dan berpenduduk 10.000 jiwa, termasuk di wilayah Batak. Sementara pada peta 1854 hanya wilayah (distrik) Oeloe yang diidentifikasi di sebelah timur distrik Pakantan dan distrik Klein Mandailing (Mandailing Djoeloe). Ini dapat ditafsirkan bahwa orang Oeloe berada di sekitar kecamatan Muarasipongi yang sekarang. Dalam hal ini terkesan orang Loeboe dan orang Oeloe saling dipertukarkan atau dianggap sama, tetapi TJ Willer membedakannya secara tegas.
Berdasarkan majalah Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839, selain distrik Oeloe terdapat sejumlah distrik yang diidentifikasi yang saling berdekatan yakni Angkola, Mandailing Godang, Padang Lawas, Tambusai, Mandailing Djoeloe, Rao dan Alahan Pandjang (menjadi Bonjol). Semua distrik-distrik ini memiliki raja-raja sendiri, kecuali satu-satunya di distrik Rao (yang berada di bawah Kerajaan Minangkabau/Pagaroejoeng).
Rao memiliki dua puluh kampung besar dengan Radja dari suku Manangkau dan lima belas Panghulu, sedangkan setiap kampung memiliki sepuluh Panghoelus lagi. Dapat dihitung populasi lanskap (distrik) ini hampir 25.000 jiwa. Secara sukarela diserahkan kepada Pemerintah (Hindia Belanda) pada tahun 1832, populasinya bagaimanapun, menurun lagi pada tahun 1834, tetapi sejak itu lanskap ini diambil kembali oleh pemerintah pada tahun 1835. Sementara itu Alahan Pandjang memiliki raja sendiri dan tujuh penghulu yang kemudian jatuh ke tangan Padri, suatu pemerintahan sekte agama orang Melayu yang pemerintahan dijalankan oleh empat imam yang sejak itu disebut Bonjol menggantikan nama Alahan Pandjang. Dalam perang Padri distrik Alahan Pandjang dikembalikan haknya.
Dari keterangan-keterangan di atas, bahwa pada akhirnya distrik Alahan Pandjang dan distrik Rao tidak lagi memili raja sendiri seperti distrik-distrik tetangganya. Lantas mengapa distrik Rao beraja ke Minangkabau (Pagaroejoeng). Dalam hal ini Alahan Pandjang hanya hilang kerajaannya karena dianeksasi Padri. Apakah ketika Rao beraja ke Minangkabau sebagian penduduk memisahkan diri dari Rao sebagai (distrik) Loeboe atau Oeloe yang mengintegrasikan diri ke wilayah Mandailing?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Orang Oeloe dan Orang Loeboe pada Era Zaman Kuno
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar