*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
Sejarah peradaban kuno selalu menarik perhatian, tetapi data sejarah peradaban kuno selalu tetap menjadi kendala. Oleh karena itu penyelidikan sejarah peradaban kuno selalu maju mundur. Tidak hanya di Indonesia, juga di berbagai tempat di muka bumi. Narasi sejarah peradaban kuno tentu saja masih diperlukan, karena sejarah masa kini haruslah ada sejarah yang mendahuluinya. Tidak utuh sejarah suatu peradaban jika hanya didasarkan sejak kehadiran orang Eropa, ketika orang Eropa mencatat dan menyimpannya dengan baik. Data sejarah sebelum itu hanya berdasarkan situs-situs kuno, sisa peradaban penduduk pada era Hindoe-Boedha, seperti candi, keramik dan sebagainya.
Lantas bagaimana sejarah asal mula penduduk Angkola Mandailing di Tapanuli Selatan? Tentu saja pertanyaan yang sama untuk penduduk di wilayah yang lainnya di Indonesia. Pertanyaan jarang diperhatikan dan analisis yang ada hanya berifat fragmentis. Pertanyaan itu jelas tetap menarik dan boleh dikatakan pertanyaan yang memerlukan tantangan baru dalam analisis sejarah zaman kuno Indonesia. Namun seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Zaman Kuno Peradaban Awal
Kita tidak sedang membicarakan manusia purba di Nusantara (baca: Indonesia), apakah berasal dari barat atau timur. Yang jelas eksistensi manusia purba di Indonesia dikaitkan dengan fosil Pithecanthropus Erectus (di daerah aliran sungai Bengawan Solo), Pithecanthropus Soloensis, Homo Wajakensis (Tulungagung) hingga identfikasi manusia baru (Homo Sapiens; homo atau humanus=manusia). Sekali lagi, kita tidak sedang membicarakan evolusi manusia, tetapi perihal tentang migrasi penduduk di zaman kuno.
Migrasi penduduk di zaman kuno mengindikasikan perpindahan penduduk (beberapa orang atau kelompok) dari wilayah padat penduduk ke wilayah sepi atau kosong. Migrasi ini cenderung berasal dari wilayah yang memiliki kebudayaan yang lebih tinggi ke wilayah kebudayaan yang lebih rendah. Dampak migrasi ini menyebabkan terbentuknya peradaban baru di wilayah tujuan (perpindahan peradaban atau peningkatan peradaban pada penduduk asli, setempat).
Dalam konteks migrasi ini kita dapat mengidentfikasi sebaran penduduk di muka bumi (antar benua), termasuk di nusantara (Indonesia). Dalam garis horizontal di sekitar khatulistiwa terdapat garis sebaran penduduk yang memiliki kemiripan ciri fisik antar (ras) penduduk Afrika dan penduduk di Nusantara seperti berkulit warna gelap dan berambut kriting. Seberan penduduk yang disebut penduduk negrito ini tidak ditemukan di utara (benua Asia dan benua Eropa), tetapi dapat ditemukan di selatan (benua Asutralia). Penduduk negrito ini juga ditemukan di (pulau) Sumatra.
Peneliti-peneliti di Hindia Belanda (baca: Indonesia) pernah membicarakan penduduk negrito (penduduk asli). Pada awal era VOC masih ditemukan di beberapa titik penduduk negrito di Jawa, tetapi tidak lagi di Sumatra (kecuali di pulau-pulau Andaman). Masih pada era yang sama ditemukan penduduk negrito di Semenanjung Malaya, Borneo, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku serta di pulau-pulau di Filipina. Penduduk asli negrito ini berkulit gelap (yang mendekati warna kulit orang Afrika masa kini). Bagaimana asal mula kehadiran penduduk negrito ini di Nusantara sulit diketahui. Seperti disebut tadi, jumlahnya semakin menyusut. Beberapa penulis, meski berbeda, ada yang memasukkan orang Papua dan Pasifik serta Aborigin sebagai bagian dari penduduk asli (negrito). Penduduk asli Papua kulitnya lebih terang dari penduduk negrito.
Tidak ditemukannya lagi penduduk negrito di Sumatra pada era VOC mengindikasikan bahwa semua penduduk negrito Sumatra (kecuali di Andaman) sudah bercampur sepenuhnya dengan penduduk pendatang yang diduga berasal dari utara (benua Asia sebelah Tenggara). Percampuran itu menghasilkan kulit berwarna coklat (sawo matang). Percampuran yang tidak sepenuhnya terjadi masih ditemukan, selain di Andaman yang berkulit gelap (penduduk asli) dan penduduk pendatang di pulau-pulau sebelah barat Sumatra seperti di Nias dan Mentawai.
Pusat-pusat penduduk di pedalaman (pulau) Sumatra, antara lain di seputar danau Toba, danau Siais dan danau Siabu. Semakin intensnya kehadiran pedagang-pedagang asing dari India (era Hindoe-Boedha) di kota-kota (pelabuhan) pantai (barat) Sumatra, menyebabkan pedagang-pedagang tersebut lambat laun beringsut ke pedalaman untuk membentuk koloni baru. Proses akulturasi yang intens inilah yang kemudian menimbulkan peradaban baru (peradaban awal) di wilayah daerah aliran sungai Batang Angkola (Angkola) dan wilayah daerah aliran sungai Batang Gadis (Mandailing)—demikian juga di Toba.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Perkembangan Lebih Lanjut Penduduk Angkola Mandailing
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar