*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
Sejarah zaman kuno lebih banyak menyimpan misteri daripada titik terang. Semua penyelidikan masa kini terhambat karena (ketidaktersediaan) data. Namun dalam penelitian zaman kuno adakalanya memberi kejutan. Salah satu elemen peradaban zaman kuno adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa sendiri adalah elemen peradaban zaman dulu yang dapat diperhatikan pada masa kini. Bahasa umumnya diturunkan dan dilestarikan (pada kelompok penduduk yang besar). Bahasa yang tetap bertahan (dipertahankan) mengindikasikan usianya setua penduduk itu sendiri. Bahasa dalam hal ini dapat dianggap sebagai data yang bersifat historis (seperti halnya candi Simangambat yang wujudnya (masih dapat dilihat) tidak berubah sejak dibangun pada abad ke-8).
Lantas bagaimana sejarah Bahasa Angkola Mandailing? Tentu saja tidak berbeda jauh dengan bahasa yang digunakan di Silindoeng dan Toba. Seperti halnya antara bahasa yang digunakan di Silindoeng dan di Toba, bahasa yang digunakan di Angkola dan Mandailing sesungguhnya tidak ada perbedaan yang signifikan. Lalu mengapa bahasa Gajo dan bahasa Atjeh begitu dekat, tetapi bahasa Batak (Angkola dan Mandailing) begitu jauh dengan bahasa Minangkabau. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Bahasa Angkola Mandailing, Rumpun Bahasa Batak
Orang Eropa pertama yang melaporkan bahasa Batak sebagai bahasa yang berbeda dengan bahasa Melayu adalah TJ Willer (1846). Jung Huhn (1840-1843) hanya fokus pada botani dan geologi. Sesuai kompetensinya mencatat reruntuhan candi di Padang Lawas. William Marsden 1781 (dan juga 1811) kurang memperhatikannya, karena hanya fokus pada bahasa Melayu. John Anderson (1823) sudah membedakan orang (etnik) Batak yang berbeda dengan (etnik) Melayu tetapi tidak menyinggung soal bahasa. Dalam perkembangannya, perhatian terhadap bahasa Batak mulai penting, paling tidak NH van der Tuuk (1850an) mulai menyusun kamus dan tata bahasa Batak.
NH van der Tuuk awalnya memulai kerja bahasa di Baroes, tetapi kurang berhasil. Boleh jadi NH van der Tuuk telah membaca laporan TJ Willer yang kemudian membawanya untuk memulai studinya di wilayah yang tepat di Angkola dan Mandailing. Disebut wilayah yang tepat orang Eropa di pedalaman Tanah Batak sudah ada di Padang Sidempoean dan di Panjaboengan. Selain itu, NH van der Tuuk membutuhkan penerjemah (native) yang bisa berbahasa Melayu di Mandailing en Angkola. Dari Angkola Mandailing, NH van der Tuuk menemukan jalan ke Silindoeng dan Toba dengan mantan pemandu-pemandu Jugh Huhn (1840-1843) yang ikut ekspedisi geologi dan botani hingga Toba.
Hasil karya NH van der Tuuk tersebut kini menjadi penting karena paling tidak bahasa Batak dapat dipelajari (diperbandingkan) dengan tulisan-tulisan berbahasa Melayu (sejaman), bahasa yang sudah sejak lampau kamusnya dikumpulkan dan disusun orang Belanda. Bahasa Batak versi NH van der Tuuk yang juga menyertai aksara Batak menjadi memperkaya kontekstual pemahaman (perbandingan) dengan bahasa Melayu yang ditulis dengan aksara Jawi dan Latin (artikel aksara akan dibuat tersendiri). Dalam karya-karya van Tuuk inilah diketahui rumpun bahasa Batak.
Orang Portugis (sejak 1511) tidak meninggalkan kamus bahasa Melayu. Orang Portugis karena sudah hampir satu abad di Hindia Timur tidak memerlukan kamus karena umumnya mereka bisa berbahasa Melayu (sebagai lingua franca). Ketiadaan kamus ini, karena pada pelayaran pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597) harus lebih dahulu Frederik de Houtman yang berindak sebagai ahli bahasa harus lebih dahulu mempelajari bahasa Melayu di Madagaskar (selama enam bulan). Peta-peta navigasi yang mereka bawa adalah peta-peta Portugis. Frederik de Houtman melengkapi dan menyempurnakan kamus bahasa Melayu-nya di Atjeh (ketika dia ditahan selama dua tahun 1600-1602). Kamus Frederik de Houtman yang diterbitkan tahun 1603 di Amsterdam dapat dikatakan sebagai kamus bahasa Melayu pertama (yang terus diperkaya). Kamus yang juga digunakan oleh orang-orang Inggris termasuk William Marsden. Dalam hal ini, Willem Marsden mencoba menyusun tatabahasa Melayu tetapi tidak sesumpurna karya tatabahasa Batak oleh HN van der Tuuk. Tatabahasa Batak adalah tatabahasa pertama yang disusun dari bahasa-bahasa etnik di Indonesia.
Karya van der Tuuk dapat dikatakan sebagai wujud tertulis bahasa Batak. Tidak ada dokumen yang lebih tua dari pada itu. Kalaupun ada, sudah dianalisis oleh van der Tuuk di dalam karya-karyanya seperti tulisan-tulisan tua di kulit pohon atau yang diukir pada tulang, tanduk atau gading.
Sementara di Jawa (dan juga Bali), dokumen-dokumen jauh lebih tua, tersimpan dan masih bisa dibaca. NH van der Tuuk adalah orang yang melakukan konstruksi aksara Jawa Kuno (Kawi) yang menjadi pembuka naskah-naskah kuno Jawa bisa dibaca seperti Pararaton atau Negarakertgama. Catatan: sesudah kamus dan tatabahasa Batak selesai, van der Tuuk bertugas di Bali untuk penyelidikan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Mengapa di Bali? Karena bahasa Jawa Kuno (yang asli) masih tersisa di Bali (di Jawa sendiri sudah bercampur). Bahasa Kawi inilah yang digunakan di jaman candi-candi.
Medium bahasa Batak di zaman kuno, seharusnya dapat ditemukan di candi-candi di Simangambat dan Padang Lawas, tetapi sulit ditemukan. Meski demikian, masih ada prassti yang merekam bahasa Batak, yakni prasasti di candi Sitopayan. Isi prasasti ini ditulis dalam aksara Batak dalam bahasa Batak. Bahasa Batak ini tercampur dengan bahasa Sanskerta (Melayu Kuno). Prasasti ini diperkirakan dibuat pada abad ke-13 (pada saat jaya-jayanya Kerajaan Aru Padang Lawas).
Teks prasasti Sitopayan (Bosch, 1930) adalah sebegai berikut: ‘tat kāla hang tahi si ranggit--kaba(ga)yin pwanyawāri babwat bagas---brahala sātap’ yang diartikan sebagai ‘ketika itu Hang Tahi, Si Ranggit (dan)--Kabayin Pu Anyawari membuat sebuah--- tempat kediaman untuk para dewa di bawah satu atap’. Jika teks ini dibandingkan dengan teks yang lebih kuno (prasasti Kedukan Bukit, Palembang, 682), juga terdapat kesan bahasa campur. Jika kita percaya bahwa nama Minana dalam teks itu adalah Binanga (Padang Lawas) maka teks prasasti Kedukan Bukit adalah campuran bahasa Batak dan Sanskert (Melayu Kuno). Dalam teks prasasti Kedudkan Bukit selain nama Minana, bahasa yang terkait dengan bahasa Batak adalah awal ‘mar’ pada kata ‘marlapas’ dan kata bilang 12 yang ditulis sebagai ‘sapulu dua’. Memahami ini (dua teks prasasti berbeda generasi) tserbut bahwa lingua franca adalah bahasa Sanskerta (Melayu Kuno) dan tercampur dengan bahasa Batak karena memang dua teks itu terkait dengan Padang Lawas. Teks kuno lainnya bahasa Batak diteukan pada prasasti Sitopayan yang lain yang ditulis dalam bahasa dan aksara Batak. Bosch juga memperkirakan prasasti ini dibuat pada abad ke-13. Teksnya adalah sebagai berikut: ‘pu Sapta hang buddhi sang imba hang langgar tat(kā) la itu--barbwat biyara paduka śrǐmahāraja’ yang diartikan sebagai ‘Pu Sapta, Hang Buddhi, Sang Imba, dan Hang Langgar tatkala itu--Membuat (tempat bertapa) wihara sang raja’. Dalam teks ini menyebut empat tokoh yang didahului kata sanda (semacam gelar) yakni Pu Sapta, Hang Buddhi, Sang Imba dan Hang Langgar. Pada kata sandang Pu bisa jadi Oppu (Batak) dan Mpu (Jawa) serta Sang atau Hang (Melayu). Namun itu adalah penggunaan bahasa, yang mana Sanskerta (Melayu Kuno) adalah lingua franca (juga termasuk di kota-kota Batak seputar candi). Untuk nama orang dalam teks itu masih ditemukan dalam teks tarombo marga di Angkola (Padang Lawas) seperti Ja Imbalo atau Ja Imbang, Ja Mangaranggar atau Ja Malanggar (seperti juga ditemukan dalam stambuk saya, nama Ja Malanggar pada 13 generasi di atas saya dan Ja Imbangdesa pada 12 generasi di atas). Nama Sapta dan Buddhi lebih umum ditemuan di Jawa. Lantas apa hubungan Batak dan Jawa? Bukankah Radja Kertanegara (Singhasari) di Jawa salah satu pendukung fanatik agama Boedha-Batak (sekte Bhairawa) pada saat kerajaan Pane (Padang Lawas) sedang jaya-jayanya? Perlu ditambahkan sekte Bhairawa yang berpusat di Padang Lawas salah satu pengikutnya di Sumatra adalah pendahulu Adityawarman di hulu sungai Batanghari, di tempat dimana Kertanegara pernah mengirim patung kepadanya (cikal bakal kerajaan Pagaroejoeng).
Dalam hal ini bahasa Batak dan aksara Batak, secara teknis dalam pencatatan sejatinya setua dengan bahasa dan aksara Jawa (Kawi). Sebagaimana diketahui bahasa Jawa (Kawi) juga banyak menyerap bahasa Sanskerta (hal itu juga dengan bahasa Batak). Dua teks prasasti Padang Lawas (Sitopayan) eksis pada era kerajaan Padang Lawas (Pane) sedang jaya-jayanya (pada kurun abad yang sama kerajaan Srwijaya Palembang sudah memudar dan kemudian ditaklukkan kerajaan dari Jawa (saat itu Padang Lawas dan Singhasari lagi erat hubungannya).
Teks Pataraton sesungguhnya masih baru (relatif terhadap teks prasasti Padang Lawas). Pararaton menceritakan tentang raja-raja Singhasari (1222–1292) dan Madjapahit (suksesi Singhasari). Teks Pararaton ini juga memiliki penanggalan (tahun) bahkan hingga tahun 1600 M (awal era VOC). Teks Negarakertagama berhasa Jawa Kuno (Kawi) usianya lebih tua dari Pararaton ditulis oleh Oppu (Mpu) Prapanca. Teks ini selesai ditulis 1365 Masehi (saat Majapahit masih berjaya). Seperti halnya dalam bahasa Batak, kosa kata bahasa Sanskerta (Melayu Kuno) juga terserap ke dalam bahasa Kawi. Teks-teks Negarakertagama (Jawa) ini ditemukan di istana raja-raja Bali apakah di Bali maupun di Lombok (pada saat Perang Lombok). Seperti disebut di atas, hal inilah yang menyebabkan HN van der Tuuk sangat antusias ketika di Bali memulai kerja lingusitik setelah selesai menyusun kamus dan tatabahasa Batak.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Batak Mirip di Beberapa Wilayah: Gajo hingga Maori
Bahasa Angkola Mandailing (rumpun bahasa Batak) adalah salah satu bahasa tua di Indonesia. Dalam siklus pencatatan, setua bahasa Jawa. Bahasa Batak dan bahasa Jawa adalah dua bahasa pada masa kini di Indonesia yang paling banyak penggunanya (untuk keperluaan ini bahasa Jawa dan Sunda dianggap sama).
Pengguna bahasa Melayu dapat dikatakan sebagai pengguna terbanyak di antara bahasa Jawa dan bahasa Batak jika seluruh rumpun bahasa Melayu disatukan (bahasa Melayu Riau, Sumatra Utara, Djambi, Palembang, Atjeh, Betawi, Banjar, Koepang, Manado dan Maluku plus Semenanjung dan pulau-pulau di Filipina). Sebaran bahasa Melayu begitu luas, sebagai lingua franca dalam navigasi pelayaran zaman kuno. Bahasa Melayu Kuno adalah transformasi bahasa Sanskerta.
Dalam konteks ini, bahasa Batak Kuno, Jawa Kuno dan Melayu Kuno adalah tiga bahasa di zaman kuno hingga era Portugis dalam percaturan politik, perdagangan dan sebaran penduduk (bahasa). Seperti halnya kerajaan Singhasari dan Madjapahit berperan dalam penyerbaran bahasa Jawa Kuno, maka kerajaan Batak (Aru-Padang Lawas) juga berperan dalam penyebaran bahasa Batak. Tentu saja bahasa Melayu (yang masih berpusat di Palembang dan Jambi).
Nama Kerajaan Aru dalam hal ini adalah nama tunggal untuk meudahkan identifikasi sebagai kerajaan Batak (yang berpusat di Padang Lawas). Kerajaan ini diduga bermula di wilayah Angkola-Mandailing di daerah aliran sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis yang kemudian berkembang di daerah aliran sungai Baroemoen dan Batang Pane (Padang Lawas). Idem dito dengan kerajaan Sriwijaya yang berawal di pedalaman (sekitar danau Ranau) dan kemudian berkembang di Palembang. Kerajaan Aru yang memperkuat kerajaan Sriwijaya di Palembang. Kerajaan Aru sangat akrab dengan kerajaan di Jawa (pada era kerajaan Singhasari).
Seiring dengan perkembangan bahasa Batak (Angkola-Mandailing), antara bahasa Batak dan bahasa Melayu Kuno (Sanskerta) saling mempengaruhi. Idem dito antara bahasa Sanskerta (Melayu Kuno) dengan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Lalu pada percampuran yang minim antara bahasa Batak dan bahasa Jawa (yang mana pada bahasa Sanskerta atau Melayu Kuno sebagai lingua franca dalam navigasi pelayaran-pedagangan). Lantas bagaimana bahasa Batak menyebar lebih jauh? Besar dugaan itu baru terjadi pada abad-abad terakhir zaman kuno, saat kehadiran pedagang-pedagang Islam di Hindia Timur (mengikuti navigasi pelayaran-pedagangan orang-orang India). Pengaruh pedagang-pedagang Islam ini semakin intens sejak kahadiran orang-orang Moor.
Orang Moor adalah pedagang-pedagang beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara seperti Tunisia, Maroko dan Mauritania. Orang-orang Moor ini semakin intens di Hindia Timur (baca: Nusantara) pasca perang Salib (di Eropa Selatan di Spanyol). Eksodus orang-orang Moor di Spanyol inilah yang menyebar ke Afrika Selatan, India Selatan hingga Hindia Timur. Pada saat Ibnu Batutah berkunjung ke Hindia Timur (Sumatra dan Semenanjung) dan Tiongkok pada tahun 1345 diduga kuat orang-orang Moor sudah banyak di wilayah yang dikunjunginya tersebut (termasuk Kerajaan Aru). Saat ini patih terkenal di Majapahit adalah Gajah Mada. Dalam annal Tiongkok nama Ba-ta[k] ditulis dan dieja Ma-da. Dalam sudut pandang kerajaan Aru, Gajah Mada adalah Gajah Batak (tidak ada gajah yang tersisa di Jawa, tetapi di Padang Lawas hingga ini hari masih ditemukan gajah).
Orang-orang Moor juga ada di kerajaan Aru. Beberapa komunitas (kota) orang-orang Moor yang terpenting berada di Goa (India) dan Semenanjung Malaya, di tenggara (kerajaan Malaka) di muara sungai yang kini dikenal Muar (Moor, Moear). Pada tahun 1511 pelaut-pelaut Portugis menaklukkan Malaka setelah lebih dahulu menguasaai Goa, Gujarat dan Surate (pantai barat India). Pelaut-pelaut Portugis juga menaklukkan Muar dengan menggantinya nama sungau Muar menjadi sungai Formosa. Orang Moor adalah pendahulu (predecessor) pelaut-pelaut Portugis (berasal dari kawasan yang sama di Laut Mediterania).
Sebelum kehadiran Portugis di Malaka, menurut Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke kerajaan Aru, Batak Kingdom pada tahun 1537, kerajaan Aru pernah menyerang Kerajaan Malaka. Kerajaan Aru dan Kerajaan Malaka dipisahkan oleh selat Malaka. Nama Malaka adalah sebutan orang-orang Moor pada kota Malaya (merujuk pada nama Himalaya pada zaman kuno). Nama Malaka kemudian dieja dan ditulis orang Portugis sebagai Malacca. Masih menurut Mendes Pinto bahwa Kerajaan Aru memiliki kekuatan 15.000 tentara, yang mana 7.000 didatangkan dari Indragiri, Jambi, Brunai (Borneo) dan Luzon (Filipina). Menurut Mender Pinto lagi bahwa militer Kerajaan Aru diperkaya oleh orang-orang Moor.
Sejak kapan orang-orang Moor ada Kerajaan Aru tidak diketahui. Namun jika yang menjadi patokan adalah saat kehadiran Ibnu Batutah pada tahun 1345, maka orang-orang Moor sudah ada di Kerajaan Aru jauh sebelum itu. Pada saat kehadiran Portugis di Semenanjung orang-orang Moor masih eksis di Kerajaan Aru (paling tidak tahun 1537 saar Mendes Pinto berkunjung ke Aru). Pada rentang waktu tersebut (1345-1537) selama dua abad orang-orang Moor ada di Kerajaan Aru. Pada rentang waktu inilah diduga orang Batak (Angkola Mandailing) tersebar ke berbagai tempat dimana terdapat pengaruh kerajaan Aru (yang dengan sendirinya tersebar bahasa Angkola Mandailing). Pengaruh Kerajaan Aru tidak hanya di (kerajaan) Indragiri, (kerajaan) Jambi, (kerajaan) Brunai dan Luzon (kerajaan Manila), tetapi juga hingga ujung utara pulau Sumatra (Gajo) dimana terdapat pelabuhan Kerajaan Aru di Bandar Atas (kelak Banda Atjeh).
Pengaruh Aru ini di Gajo sudah eksis jauh sebelum terbentuk kerajaan Atjeh. Sebelum terbentuk kerajaan Atjeh, di pantai utara pulau Sumatra terdapat beberapa kota pelabuhan (kerajaan) Hindoe seperti Daya (di barat), Lamuri (utara) dan Pasai (di timur). Bagian wilayah pedalaman menjadi wilayah yurisdiksi Kerajaan Aru. Kerajaan Lamuri ini kemudian menjadi kerajaan Islam. Kerajaan Islam di Lamuri ini menaklukkan kerajaan Pasai. Dalam perkembangannya kerajaan Islam di Lamuri relokasi ke Atjeh (saat inilah kerajaan Atjeh dikenal). Nama Atjeh sendiri awalnya Atah (Ateh atau Atas dalam bahasa Melayu Kuno). Celakanya Atah atau Ateh ini adalah pelabuhan di bawah yurisdiksi Kerajaan Aru di wilayah Atas. Ke kota pelabuhan (bandar, banjar atau banda) sungai inilah kerajaan Islam di Lamuri melakukan relokasi dengan penaklukkan. Inilah awal Kerajaan Atjeh dari awal hingga kini situsnya berada di tengah Kota Banda Aceh
Pelabuhan Bandar Atas adalah pelabuhan di wilayah penduduk Gajo. Beberapa kota di dekat pelabuhan Bandar Atas ini adalah Idrapoeri dan Daroe. Seperti halnya nama Malaya menjadi Malaka, nama Daroe adalah sebutan orang-orang Moor untuk Kerajaan Aru (De Aroe atau D’Aroe). Di kota Daroe diduga adalah komunitas (koloni) penduduk dari Kerajaan Aru (Daru) dimana terdapat pangeran dari Kerajaan Aru (Padang Lawas). Kota Daru dan Bandar Attas terhubung dengan kota Indrapoeri oleh jalan raya ke pedalaman di kota Tangse dan kota Takengon. Nama-nama Tangse dan Takengon merujuk pada nama India (era Hindoe-Boedha). Kota-kota pelabuhan di bawah yurisdiksi (kerajaan Aru) berada di Meulaboh, Singkil dan Baroes (via Loemoet).
Pada saat kerajaan Islam di Lamuri relokasi ke Bandar Atas (Gajo), istana kerajaan Atjeh dibangun tidak di pelabuhan tetapi agak ke barat. Saat pembangunan kraton Atjeh ini dibangun kanal dengan menyodet sungai Daru dan mengalirkannya ke sungai Krueng (Atjeh) melalui depan istana. Kanal ini kemudian disebut sungai Daru (juga). Nama Daru di dekat Bandar Atas inilah yang menjadi petunjuk terpenting kehadiran pengaruh Kerajaan Aru di wilayah Gajo. Pada era VOC di dekat kota Indrapoeri terdapat nama kampong (kota) Batak. Pada era Pemerintah Hindia Belanda 1874-1907) terjadi pertempuran yang sengit antara militer Belanda dengan Imam Batak (pemimpin kota Batak).
Jika dihubungkan dengan laporan Mendes Pinto (1537) bahwa Kerajaan Aru sedang berselisih dengan Kerajaan Atjeh. Menurut Mendes Pinto alasan perselisihan itu karena dua anaknya pangeran di Nagur dan pangeran di Lingau terbunuh dalam bertahan atas invasi Atjeh ke pedalaman. Nagur ini kini dikenal di wilayah Simalungin dan Lingai berada di wilayah Karo (yang bertetangga dengan Gajo). Diduga kuat pengaruh Kerajaan Aru di Padang Lawas (Angkola Mandailing) sangat kuat, karena aksen dan bahasa Simalungun sangat mirip dengan aksen dan bahasa Angkola.
Pengaruh Kerajaan Aru di Atjeh tidak hanya berkurang, tetapi pengaruh Atjeh terus meluas hingga ke Lingau (wilayah Karo yang sekarang) yang kemudian pada awal era VOC terdeteksi nama kerajaan baru di hulu sungai Deli (kini Deli Toea). Kerajaan yang diperkaya oleh (kerajaan) Atjeh pernah diserang Portugis (dari Malaka). Kerajaan inilah yang kelak menjadi cikal bakal Kerajaan Deli. Dalam hal ini Kerajaan Atjeh berkembang pesat, seperti halnya bahasa Banjar, bahasa Manado, bahasa Ambon dan bahasa Betawi, terbentuk bahasa Atjeh (gabungan lingua franca bahasa Melayu di Lamuri dengan bahasa Gajo. Pengaruh bahasa Gajo (tentu saja bahasa Batak) terserap banyak dalam bahasa Atjeh. Pengaruh Kerajaan Aru ini di wilayah Gajo, Alas, Karo, Toba dan Simalungun tidak hanya dalam perihal religi dan bahasa, juga dalam hal seni, aksara (Batak) dan sosial budaya seperti adat (dalihan na tolu) dan pewarisan (sistem marga). Perihal seni, aksara dan adat serta marga ini akan dibuat artikel sendiri-sendiri. Dengan mengikuti hasil analisis Uli Kozok tentang aksara Batak yang berpendapat bahwa penyebaran aksara dari selatan (baca: Angkola Mandailing) ke arah utara (hingga Gajo), sesungguhnya, mengikuti arah penyebaran bahasa ini (namun Uli Kozok tidak menyadarinya).
Lalu bagaimana penyebaran bahasa Batak (Angkola Mandailing), selain ke Gajo, ke wilayah lain di Hindia Timur (Nusantara). Penyebaran ini sebagaiman kita lihat nanti berada di garis navigasi pelayaran-perdagangan orang-orang Moor (di luar wilayah yurisdiksi Kerajaan Majapahit) seperti di pulau-pulau di Filipina, pulau Halmahera, Selat Torres (selat antara pulau Papua dan benua Australia) dan pulau-pulau di Pasifik hingga Maori (Selandia Baru).
Tanpa mengabaikan bahasa (etnik) lainnya, pengaruh bahasa Melayu, Jawa dan Batak di beberapa wilayah dapat diidentifikasi di dalam bahasa etnik lainnya. Pengaruh Kerajaan Aru tempo doeloe di wilayah lain dalam banyak aspek (adat dan aksara), namun secara khusus, pengaruh bahasa Batak tidak hanya kosa kata tetapi juga struktur (tata) bahasa. Secara tatabasa teridentifikasi dalam awalan ma atau mar pada kata kerja, sedangkan kosa kata, terutama bahasa (kosa kata) esensial dan khas dalam bahasa Batak. Sebagai contoh kosa kata yang khas kata inang dan amang, kosa kata dalam siklus kehidupan (lahir, menikah dan meninggal), bilangan dan sebagainya. Tentu saja dalam hal ini termasuk nama geografis yang juga (hanya) ditemukan di Tanah Batak.
Pengaruh Kerajaan Aru terutama di wilayah-wilayah dimana, diduga pada jaman lampau terdapat komunitas penduduk Batak (dari Kerajaan Aru), Komunitas ini terutama di wilayah (etnik) yang populasinya sedikit (hingga masa kini) atau populasinya yang dulu kecil tetapi bahasa etnik tersebut telah menjadi lingua franca di wilayah regionalnya.
Di pulau-pulau Filipina terutama di pulau Paragoa (kini pulau Palawan) pada masa ini diidentifikasi nama etnik Batak (nama yang sama dengan etnik di Kerajaan Aru). Etnik ini awalnya diduga ras negrito dimana penduduk Batak dari Kerajaan Aru bermukim (mebentuk koloni). Dalam banyak hal menurut literatur masa kini mereka terkesan memiliki perilaku (adat) yang kurang lebih sama dengan penduduk Batak di Sumatra, juga ada kesamaan warna dominan dan pola (motif) serta sistem marga. Dari postur tubuh kurang lebih sama, meski berambut kriting (warisan negrito) tetapi raut muka mirip orang Batak, perkawinan bersifat eksogam (dengan klan lain), Etnik Batak di Filipina ini juga diketahui mengakui asal nenek moyang mereka dari Sumatra (Utara). Sebutan untuk perempuan Batak Filipina adalah Nay (di Kerajaan Aru adalah Nai). Mereka menyebut amang=among untuk ayah dan inang untuk ibu; iboto=saudara beda jenis kelamin. Kosa kata yang mirip adalah dilaq=dil=lidah; bilangan (sia=delapan; wolu=sembilan); Aksen mereka dalam berbahasa mirip aksen Batak di Sumatra. Banyak suku kata berawal ma seperti bahasa Batak di Sumatra. Banyak lagi aspek-aspek lainnya yang mirip satu sama lain antara di Filipina dan Sumatra. Karakteristik etnik Batak di pulau Palawan ini juga banyak kesamaan dengan etnik di pulau Negritos dan pulau Luzon. Di Teluk Manila (pulau) Luzon yang paling mirip antara Batak Palawan adalah etni Aeta. Wilayah penduduk etnik Aeta ini adalah provinsi Bataan (nama yang diduga merujuk pada nama Bata atau Batak. Beberapa munisipalitas (kabupaten) di provinsi Bataan ini yanng mirip dengan nama tempat di Tapanuli Selatan adalah Bagac, Hermosa, Mariveles dan Morong. Nama Manila (dan nama-nama berawaln ma atau mar) juga diduga kuat terkait dengan Batak yang menggunakan awal ma atau mar). Masih di pulau Luzon ada juga provinsi dengan nama Batanes. Untuk sekadar menambahkan aksara Batak mirip dengan aksara di Filipina.
Bagaimana orang Batak (Kerajaan Aru) ada di Filipina? Seperti disebut di atas, menurut Mendes Pinto (1537) Kerajaan Aru memiliki tentara yang berasal dari (pulau) Luzon (besar dugaan dari wilayah provinsi Bataan dan provinsi Batanes yang sekarang). Keterkaitan antara Kerajaan Aru dengan pedagang-pedagang Moor juga menjadi faktor penting arus penduduk dari Kerajaan Aru ke Filipina. Nama Moor di pulau-pulau lainnya di Filipina (terutama( di wilayah selatan disebut bangsa Moro (yang merujuk pada nama pedagang-pedagangan Moor terutama di pulau Mangindanao).
Pengaruh Kerajaan Aru juga diduga kuat meluas ke (kepulauan) Maluku (selatan Filipina) terutama di pulau Halmahera. Di pulau Halmahera, seperti halnya di Atjeh (Gajo) terdapat nama tempat Daruba. Pulau Halmahera awalnya (pada era Portugis) disebut Batachini del Moro (Batak orang Moor?). Nama Daruba juga ditemukan di selat Torres, juga nama-nama wilayah yang merujuk pada nama Moor seperti district Moreshead dan pelabuhan (fort) Fort Moresby. Tentu saja jangan lupa nama pulau Aru di Laut Arafuru. Kerajaan Aru, sebagai kerajaan besar diduga kuat orang-orang Moor sangat mengandalkan orang-orang Batak (kerajaan Aru) dalam membantu navigasi pelayaran hingga ke Pasifik seperti (etnik) Maori (Selandia Baru). Awalan ma ini unik di pulau-pulau di Selandia Baru seperti halnya nama kota Matua (mirip nama saya). Dalam bahasa Maori banyak yang mirip dengan bahasa Batak di Sumatra seperti ‘aha’=apa; ‘ia’-dia, ‘ate’(hati), ‘mate’ (mati), ‘au’ (saya), ‘matua’ (ayah).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar