*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
Sebelum terbentuk kota Natal dan kota Air Bangis sudah eksis nama Lingga Bayu dan nama Oedjoeng Gading. Lingga Bayu di muara sungai Batang Natal (berhulu si gunung Sarik) adalah pelabuhan zaman kuno dan Oejoeng Gading di muara sungai Sikabau (berhulu di gunung Malintang) adalah pelabuhan zaman kuno. Dua pelabuhan ini adalah pelabuhan penduduk Mandailing di pedalaman. Ke pelabuhan inilah produk-produk kuno seperti emas, kamper dan kemenyan ditransfer ke pelabuhan ekspor di Barus.
Lantas bagaimana sejarah Natal dan sejarah Air Bangis? Seperti disebut di atas, sejarah dua kota pelabuhan ini terkait dengan sejarah zaman kuno pelabuhan Lingga Bayu dan pelabuhan Oedjoeng Gading. Lalu bagaimana sejarah Lingga Bayu dan sejarah Oedjoeng Gading? Sejarah dua pelabuhan kuno ini terkait dengan riwayat Kerajaan Aru. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Sejarah Lingga Bayu dan Oedjoeng Gading
Pada peta-peta Portugis, nama-nama tempat yang diidentifikasi di pantai barat Sumatra adalah kerajaan Baros, kerajaan Batang, kerajaan Pasaman, kerajaan Tikoe dan kerajaan Indrapoera. Tentu saja belum ada nama kota Sibolga (baru terbentuk pada tahun 1844) dan kota Padang (1665). Nama Baros sudah dicatat dalam literatur Eropa sebagai pelabuhan ekspor produk zaman kuno kamper pada abad ke-5. Nama Batang sudah dicatat dalam literatur Arab yang diduga kuat nama lain dari pelabuhan Lingga Bayu. Dari sinilah diduga kuat menjadi asal usul nama Batang (Natal). Batang sendiri adalah sungai. Pelabuhan Pasaman berada di muara sungai Pasaman (yang berhulu di gunung Kulabu).
Pada peta-peta Portugis dan peta-peta VOC (Belanda) hanya diidentifikasi nama Batang di muara sungai Batang Natal yang sekarang. Sementara itu muara sungai Sikabau agak ke dalam sedangkan ke arah hilir diidentifikasi sebagai wilayah rawa-rawa yang luas. Rawa-rawa yang luas ini antara tempat dimana kampoeng Oedjoeng Gading dengan kampong Pasaman di muara sungai Pasaman. Dalam perjalanan waktu itu terbentuk pelabuhan baru di hilir sungai Batang dan di hilir sungai Sikabau. Pada peta-peta VOC terbaru baru muncul nama Air Bangis dan juga nama Natal. Diduga kuat nama Natal muncul pada era Portugis (karena kedalaman sungai atau laut) sebagai pos perdagangan Portugis yang mana perahu-perahu mengangkut barang dagangan ke pedalaman di pelabuhan Batang (Lingga Bayu). Hal serupa ini juga terjadi di pos perdagangan Air Bangis ke pelabuhan di pedalaman di Oedjoeng Gading. Arus perdagangan dari dan ke pedalamanlah yang memperbesar dan memperkaya pelabuhan baru di Natal dan Air Bangis. Pola ini hampir sama semuanya di kota-kota pantai baik di Sumatra, Jawa dan Borneo yang memiliki navigasi pelayaran sungai ke pedalaman.
Pelabuhan-pelabuhan awal ini diduga kuat sudah terbentuk sejak zaman kuno pada era pedagang-pedagang India (era Hindoe Boedha). Hal itulah mengapa muncul nama Lingga Bayu yang dapat diartikan sebagai sungai Batang yang diidentifikasi pada era Portugis. Nama-nama navigasi pada era Hindoe Boedha selain sungai adalah nama-nama gunung seperti gunung Raja (Lubuk Raya), gunung Malea (Himalaya), gunung Sarik, gunung Kulabu dan gunung Pasaman.
Dari pelabuhan-pelabuhan kuno itu, pengaruh Hindoe Boedha melalui pedagang-pedagang India masuk ke pedalaman di pusat-pusat pertumbuhan penduduk dan ekonomi di dekat danau-danau pegunungan. Danau-danau pegunungan itu di dekat pantai barat Sumatra mulai dari utara hingga ke selatan: danau Tangse dan danau Takengon di wilayah Gayo, danau Toba, danau Siais, danau Siabu serta danau Laut di wilayah Toba, Silindung, Angkola dan Mandailing, danau Maninjau dan danau Singkarakat di wilayah Minangkabau, dan seterusnya danau Kerinci dan danau Ranau. Hasil dari peradaban baru itu masuk pengaruh bahasa (Sanskerta), religi (Boedha-Hindoe), aksara (Pallawa), seni dan arsitektur dan sebagainya. Singkat kata terbentuklah kota di pedalaman di sekitar danau-rodang Siaboe dengan situsnya yang masih ada saat ini candi Simangambat. Adanya candi di Siabu dapat dianggap representasi sebagai kota terbesar di Sumtara sebagaimana halnya kota dimana terdapat candi Borobudur di Jawa.
Pusat-pusat peradaban di pedalaman yang memiliki akses ke pelabuhan-pelabuhan di pantai barat Sumatra, mulai merintis perdagangan ke arah pantai timur sehubungan dengan semakin ramainya perdagangan dari dan arah Tiongkok dan Jawa. Pelabuhan-pelabuhan di pantai timur ini cepat berkembang karena pedagang-pedagang asing (Tiongkok dan Jawa) bahkan memiliki akses langsung ke pedalaman melalui navigasi pelayaran sungai. Pada masa awal perdagangan di pantai timur Sumatra ini muara-muara sungai masih lebih dekat ke pedalaman seperti sungai Barumun, sungai Rokan dan sungai Kampar serta sungai Indragiri, sungai Batanghari dan sungai Musi. Tentu saja Jambi dan Kota Palembang belum terbentuk (karena masih muara sungai).
Sampai saat ini, candi Simanganbat di Siabu dapat dikatakan satu-satunya mewakili kota besar di pedalaman Sumatra. Tentu saja kota yang sudah memiliki (sistem) pemerintahan yang stabil. Sehubungan dengan perkembangan lalu lintas navigasi pelayaran di selat Malaka (Tiongkok dan Jawa) ibu kota relokasi ke sisi timur pegunungan Bukit Barisan di hulu sungai Barumun (sekitar muara Si[h]apas dan muara sungai Sangkilon). Pada fse inilah diduga kuat Kerajaan Aru secara resmi relokasi dari candi Simangambat ke candi Sangkilon (sekitar kota Sibuhuan yang sekarang). Dalam hal ini ibu kota Kerajaan Aru di candi Sangkilon dan pelabuhan perdagangan di Binanga (muara sungai Panai). Pada saat ini Binangaa, Jambi dan Palembang masih muara sungai (pantai). Dengan latar belakang Kerajaa Aru yang memiliki akses ke pantai barat Sumatra di pelabuhan Barus (yang menurut catatan Eropa menjadi pelabuhan kamper sejak abad ke-5, ketrajaan kaya dengan ibu kota baru di pantai timur dengan pelabuhan Binanga, mulai melakukan ekspansi ke selatan di muara sungai Batanghari. Keterangan ini dapat dibaca pada prasasti Kedukan Bukit (bertarih 682 M) yang ditemukan di Palembang tahun 1920. Dalam prasasti itu disebutkan nama Minana (yang dapat diinterpretasi sebagai kota pelabuhan Binanga). Dalam prasasti ini disebut raja (Kerajaan Aru) dengan gelar Dapunta Hiyang dengan 20.000 tentara naik perahu di kerajaan baru di muara sungai Batanghari (Kerajaan Sriwijaya). Sekali lagi: hanya kerajaan kaya (Kerajaan Aru) yang memiliki kekuatan tentara sebanyak itu. Teks prasasti yang mencatat nama Minana Tam[u]an mempertegas pelabuhan Binanga berada di (pertemuan) sungai Barumun dan sungai Panai.
Pada saat inilah muara sungai Barumun di Binanga yang sekarang menjadi salah satu pelabuhan yang ramai (emas, kamper, kemenyan, gading, damar dan sebagainya). Kekayaan pelabuhan Binanga menyebabkan munculnya pusat peradaban yang baru, kota yang jauh lebih besar (candi-candi di Padang Lawas) dari kota di pedalaman (candi Simangambat). Dalam bahasa sekarang Padang Lawas menjadi kota metropolitan (satu-satunya) di Sumatra saat itu. Kota-kota di pantai timur yang beragama Boedha sudah sangat maju dalam perdagangan (Kedah, Panai dan Sriwijaya) tetapi berorientasi perdagangan ke Tiongkok menjadi pangkal perkara kerajaan di India selatan bergama Hindoe melakukan invasi (Kerajaan Chola) pada tahun 1025. Kota-kota pelabuhan Kedah (Semenanjung), Sriwijaya (muara sungai Batanghari) dan Panai (Binanga) hancur dibakar.
Para pemimpin di Kerajaan Aru diduga telah melarikan diri ke hulu sungai Rokan, hulu sungai Kampar dan hulu sungai Batanghari. Sedangkan para pemimpin di Kerajaan Sriwijaya melarikan diri ke hulu sungai Musi. Pendudukan Chola di selat Malaka berpusat di hulu sungai Barumun di ibu kota Kerajaan Aru di candi Sangkilon (satu-satunya candi di Padang Lawas yang mengindikasikan pernah digunakan untuk agama Hindoe).
Pasca invasi Chola di selat Malaka (pendudukan Chola berakhir), ini sehubungan dengan semakin menguatnya hubungan antara Sumatra (Kerajaan Mauli), Jawa dan Tiongkok, Kerajaan Aru di sungai Barumun (Binanga) bangkit kembali, demikian juga Kerajaan Sriwijaya di sungai Musi (Palembang). Peninggalan invasi Chola di diduga kuat candi Sangkilon dan nama sungai Batang Angkola di yang bermuara di candi Simangambat. Pada fase kebangkitan (pasca invasi Chola) ini terdapat tiga pusat perdagangan yakni di Kerajaan Aru (sungai Barumun), Kerajaan Mauli (sungai Batanghari) dan Kerajaan Sriwijaya (sungai Musi).
Schnitger (1935) yang melakukan eskavasi di candi-candi Sangkilon, Binanga dan Panai di sungai Barumun dan sungai Batang Pane menyimpulkan Kerajan Aru telah menghianati Hindoe (warisan Chola) dan kembali dengan agama Boedha tetapi dengan sekte baru yang disebut sekte Bhairawa (yang berbeda dengan Boedha di Palembang). Sekte ini juga menurut Schnitger berkembang di Indo China yang mana pedagang-pedagang Tiongkok sudah sangat intens dengan pelabuhan Kerajaan Aru di sungai Barumun. Pada saat perkembangan baru Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, kerajaan baru di Jawa juga tengah berkembang (Kerajaan Singhasari) suksesi dari Kerajaan Kadiri.
Pada saat kebangkitan Kerajaan Aru ini candi-candi baru dibangun di sepanjang sungai Barumun, sungai Batang Pane dan sungai Sirumambe dan tentunya candi di sungai Sangkilon juga masih eksis yang kembali menjadi candi Boedha (sekte Bhairawa). Pada saat inilah terjadi hubungan perdagangan yang intenn antara Kerajaan Aru dengan Kerajaan Mauli, Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Kerajaan Singhasari di Jawa (bagian timur di Malang). Salah satu Radja Singhasari, menurut Schnitger yakni Raja Kertanegara menjadi salah satu pendukung fanatik agama Boedha Batak (sekte Bhairawa).
Pada saat Schnitger melakukan eskavasi di Padang Lawas (1935) menemukan prasasti candi Sitopayan (dekat Gunung Tua). Pada masa ini prasasti (aksara Palawa dengan bahasa Sanskerta) itu dibaca yang mengindikasikan nama-nama raja. Pada prasasti Sitopayan I disebut nama Raja Hang Tahi Si Ranggit. Pada Prasasti Sitopayan II disebut nama-nama raja Sang Imba dan Hang Langgar. Tiga nama raja ini masih ditemukan pada nama gelar raja di Angkola Mandailing (Padang Lawas) yakni raja Partahi, raja Imbalo dan raja Mangalanggar. Juga ditemukan prasasti di Batugana pada candi Bahal I yang mengindikasikan nama-nama tempat yakni Batu Ganam (Batugana), Pangkara (Pangkal-dolok), Padang (Padang Lawas), Damarhaya (diduga kuat Dharmasraya) dan Pannai (Panai atau Pane), Nama Panai pada prasasti Batugana baris yang paling lengkap pada baris kesupuluh (terakhir) dinyatakan ‘par(ba){1}n dari kabayan· (p)unya kuṭi hi(na)n· kuṭi haji bava bvat· paṇai samuha’. Baris ini pada intinya dapat diinterpretasi sebagai ‘dari raja untuk (penduduk) Panai semuanya’. Dalam hal inilah dapat diinterpretasi bahwa raja Panai (Kerajaan Aru) memiliki raja-raja (para pangeran) di berbagai tempat termasuk di Batugana (candi Bahal), di Gunung Tua (candi Sitopayan), di Pangkal Dolok (Batang Onang) dan bahkan di Kerajaan Mauli di Dharmasraya yang sekarang.
Kerajaan Mauli di hulu sungai Bhairawa (vassal Kerajaan Aroe) juga menjadi pendukung fanatik Boedha sekte Bhairawa. Hal itulah mengapa Radja Kertanegara pada tahun 1286 mengirim patung (Arca Amoghapasa) kepada Kerajaan Mauli. Dalam hal ini Kerajaan Singhasari semakin akrab dengan Kerajaan Mauli yang menjadi ancaman bagi Kerajaan Sriwijaya beragama Boedha non sekte Bhairawa. Pada akhirnya diketahui Kerangaan Singhasari menyerang Kerajaan Sriwijaya. Pasca serangan inilah, saat Kerajaan Sriwijaya mengalami kemuduran, sedangkan Kerajaan Aru sudah sangat berkembang, Kerajaan Mauli menjadi cepat berkembang. Dua matahari di Sumatra tetap berbilang dua, tidak lagi Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya tetapi Kerajaan Aru dan Kerajaan Mauli. Kerajaan Mauli adakalanya disebut Kerajaan Jambi atau Kerajaan Melayu. Kerajaan Mauli ini benar-benar menjadi Kerajaan Malayu pada era dikukuhkannya Adityawarman sebagai Raja pada tahun 1347. Radja Adityawarman menurut Schnitger adalah pendukung fanatik agama Batak sekte Bhairawa.
Pada saat pengukuhan Adityawarman ini menjadi raja di hulu sungai Batanghari (Kerajaan Mauli) patung pemberian Radjakertangara ditinggikan kembali dimana Adtyawarman menambahkan prasasti pada lapisan dudukan patung (arca) Amoghapasa yang mengindikasikan gelarnya yang baru sebagai ‘Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa’. Dalam gelar (Radja Adityawarman) ini ada nama Rajendra (apakah merujuk pada raja Chola) dan nama Mauli (kerajaan Mauli). Pada masa ini nama-nama geografis Mauli hanya ditemukan di wilayah Angkola Mandailing, tentu saja ada ucapan terimakasih mauliate. Dalam perkembangannya diketahui Radja Adityawarman di Kerajaan Malayu, Kerajaan Mauli di Dharmasraya merelokasi ibu kota ke hulu sungai Indra giri (yang menjadi Kerajaan Minangkabau atau Kerajaan Pagaroejoeng).
Pada awal kehadiran Eropa, orang-orang Portugis (di Malaka, sejak 1511) menyebut Kerajaan Aru Batak Kingdom adalah kerajaan terbesar di pulau Sumatra. Kerajaan ini tidak hanya kaya, juga memiliki pelabuhan di Barus, memiliki 15.000 tentara yang mana tujuh ribu di datangkan dari Indragir, Jambi, Broenai dan Luzon. Kerajaan ini didukung oleh pedagang-pedagang Moor di pedalaman dan orang-orang Mandarin (di pantai). Radja Aru disebut Mendes Pinto beragama Muslim. Jambi di hilir sungai Batanghari dan Indragiri di hilir sungai Indragiri diduga menjadi pelabuhan Kerajaan Malayu (sejak era Adtyawarman) yang menjadi vassal Kerajaan Pagaroejoeng. Seddangkan Broenai dan Luzon diduga kuat vassal dari Kerajaan Aru. Kerajaan Aru dan Kerajaa Minangkabau di pedalaman disebut Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru pada tahun 1537 memiliki hubungan erat.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sejarah Natal dan Air Bangis
Orang-orang Portugis, sebagaimana pos perdagangan Natal juga menamai gunung Pasaman dengan nama baru gunung Ophir. Nama Natal diduga merujuk pada nama pelabuhan Natal di Afrika Selatan (sebagai hub perdagangan antara Eropa dan Hindia Timur). Pelabuhan-pelabuhan di pantai barat Sumatra seperti Barus, Loemoet, Natal (suksesi Batang di Simpang Gambir), Air Bangis (sukses Oedjoeng Gading di lembah Malintang) dan Pasaman berada di wilayah yurisdiksi Kerajaan Aru; pelabuhan-pelabuhan Tikoe, Pariaman dan Indrapoera berada di wilayah yurisdiksi Kerajaan Minangkabau (Pagaroejoeng).
Penduduk di kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra ini diduga kuat telah banyak didiami oleh penduduk Melayu yang migrasi dari pantai timur Sumatra seperti Palembang, Jambi, Indragiri dan Kampar. Orang-orang Melayu inilah yang kemudian berperan aktif dalam perdagangan di kota-kota pantai yang berinteraksi dengan penduduk di pedalaman yakni wilayah Minangkabau (Agam dan Tanah Datar serta Solok dan bahkan Bengkulu) dan wilayah Batak (Mandailing, Angkola, Silndung, Toba dan bahkan Singkil). Seperti disebut di atas para migran dari Indrapoera yang menjadi penguasa bandar di Air Bangis (yang bekerjasama dengan penduduk Mandailing di Odjoeng Gading) dan Natal (yang bekerjasama dengan penduduk Mandailing di Lingga Bayu). Interaksi inilah yang menghasilkan percampuran budaya (adat istiadat) yakni antara adat Melayu dengan adat Batak.
Sebagai kerajaan besar di Sumatra, Kerajaan Aru yang berpusat di Padang Lawas, memiliki jangkauan pelabuhan-pelabuhan yang banyak dari sungai Rokan di Riau sekarang hingga sungai Ambuaru di Aceh sekarang, dari Air Bangis-Oedjoeng Gading hingga Singkil. Dalam perkembangannya pada era VOC pelabuhan-pelabuhan itu mulai jatuh satu per satu ke tangan (Kerajaan Atjeh) dari utara dan Kerajaan Johor-Riau dari selatan. Meski demikian, Kerajaan Aru dan Kerajaan Pagaroejoeng tetap eksis di pedalaman tetapi dalam posisi terkurung (menjadi munculnya persaingan antara Kerajaan Aru dengan Kerajaan Atjeh dan Kerajaan Johor di satu sisi dan Kerajaan Pagaroejoeng dengan Kerajaan Atjeh dan Kerajaan Johor di sisi lainnya. Supremasi Kerajaan Aru lebih dari 1000 tahun mulai memudar dengan terbentuknya kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Karo, Simalungun. Toba dan Angkola serta Mandailing (termasuk kerajaan Air Bangis, Natal dan Linggabayu. Sementara itu Kerajaan Pagaroejoeng masih eksis. Babak baru kerajaan Natal dan Air Bangis dimulai (menjadi vassal dari Kerajaan Pagaroejoeng).
Kerajaan Pagaroejoeng dan Kerajaan Aru di pedalaman strukturnya berbeda. Kerajaan Pagaroejoeng bersifat monarki tunggal sedangkan Kerajaan Aru bersifat federasi. Kerajaan Pagaroejoeng di dalam tidak memiliki kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi federasinya, tetapi dan hanya memiliki kerajaan bawahan (vassal) yang berada jauh di luar luhak nan tigo (Agam, Tanah Datar dan Limapuluh Kota) yang masa kini kerap disebut wilayah rantau, Kerajaan-kerajaan vassal ini termasuk Kerajaan Kuntu di timur, kerajaan Indrapoera, Pariaman, Air Bangis dan Natal di barat dan kerajaan Rao di utara sertya kerajaan Kerinci di selatan. Hal itulah mengapa kerajaan Air Bangis dan kerajaan Natal plus Kerajaan Rao pada era VOC masih bersifat monarki (genealogis) seperti halnya kerajaan-kerajaan kecil di Mandailing (seperti Lingga Bayu), Angkola (Loemoet dan Baroes) dan Padang Lawas (Daloe-Daloe dan Kota Pinang).
Pada awal Pemerintah Hindia Belanda (pasva Perang Padri, 1838). Cabang-cabang pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Minangkabau (eks Pagaroejoeng) disebut wilayah laras (teritorial), di wilayah eks vassal Kerajaan Pagaroejoeng seperti Rao, Air Bangis dan Natal disebut wilayah kerajaan (monarki genealogis) dan di wilayah eks Kerajaan Aru (bukan vassal Pagaroejoeng) di wilayah Mandailing dan Angkola seperti di Linggabayu, Batahan, Muara Sipongi, Pakantan disebut koeria dan di wilayah Padang Lawas seperti Sibuhuan dan Portibi disebut luhat. Kepala koeria dan luhat (bersifat genealogis). Hal itulah pada awal Republik Indonesia Rao, Air Bangis dan Natal masih memiliki tradisi kerajaan.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar