Minggu, Juni 13, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (41): Fakta Orang Angkola Mandailing Zaman Kuno Pernah Penguasa Maritim; Bagaimana Ceritanya?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Orang Angkola Mandailing pelaut? Orang Angkola Mandailing penguasa maritim? Bagaimana ceritanya? Itu tempo doeloe. Orang Angkola Mandailing mengenal navigasi bahkan jauh sebelum orang Jawa dan orang Bugis mengenal navigasi pelayaran. Bagaimana bisa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar dan bahkan pertanyaan yang mengindikasikan rasa tidak percaya. Tapi seperti disebut di atas, itu tempo doeloe pada zaman kuno. Lalu bagaimana membuktikannya, itulah yang ingin ditunjukkan dalam artikel ini.

Selama ini faktanya orang Angkola Mandailing adalah penduduk pedalaman yang jauh di belakang pantai. Fakta itulah yang menutupi sejarah orang Angkola Mandailing tidak terbayangkan orang Angkola Mandailing sebagai pelaut apalagi penguasa maritim. Selama ini anggapan hanya orang Jawa (era Majapahit) dan orang Bugis-Makassar (era Gowa) sebagai pelaut-pelaut andal. Anggapan seperti itu, menjadikan orang Angkola Mandailing sendiri tidak percaya apalagi orang lain. Faktanya orang Angkola Mandailing pernah sebagai pelaut. Itulah arti penting penyelidikan sejarah. Suatu cara untuk mengungkapkan fakta, suatu cara untuk menyampaikan informasi zaman kuno. Suatu cara untuk membuktikan bahwa orang Angkola Mandailing pernah menjadi pelaut dan bahkan sebagai penguasa maritim di nusantara.

Lantas bagaimana sejarah orang Angkola Mandailing pernah sebagai pelaut apalagi sebagai penguasa maritim? Seperti disebut di atas itu terjadi pada masa lampau di zaman kuno. Okelah. Meski zaman kuno, sejarah tetaplah sejarah, bagian dari sejarah Indonesia dalam bab sejarah pelayaran nusantara. Lalu bagaimana sejarahnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Angkola Mandailing dari Darat ke Laut: Era Kerajaan Aru

Sudah lama diketahui dalam banyak tarombo (silsilah keluarga) orang Angkola Mandailing terutama pada generasi awal terdapat nama (gelar) Raja Laut, Ja Laut dan Mangaraja Laut. Nama-nama ini selama ini hanya saya anggap sekadar nama (gelar) tanpa ada hubungannya dengan laut (perairan). Namun setelah data-data sejarah dibaca, analisis dan diinterpretasi fakta bahwa orang Angkola Mandailing pernah menjadi pelaut dan penguasa maritim bahkan jauh sebelum orang Jawa dan orang Bugis menjadi pelaut.

Sekarang nama-nama dalam tarombo tersebut seakan telah berbicara sendiri. Tentu saja dalam tarombo tersebut ada nama (gelar) Sutan (di) Aru. Suatu nama yang tempo doeloe sebagai nama kerajaan Kerajaan Aru, Batak Kingdom. Fakta lain, nama-nama dalam tarombo tersebut ada nama-nama yang mirip dengan nama-nama yang tertulis dala prasasti yang ditemukan pada candi-candi Padang Lawas.

Nama-nama dalam tarombo adalah satu hal. Hal yang lebih penting dalam hal ini adalah data-data yang mengindikasikan bahwa orang Angkola Mandailing pernah berjaya dalam navigasi pelayaran perdagangan. Tidak hanya dalam konteks keberadaan candi-candi di Padang Lawas, juga prasasti-prasasti yang ditemukan di percandian Padang Lawas juga pada prasasti-prasasti yang lain yang ditemukan di berbagai tempat di luar (pulau) Sumata. Dalam laporan-laporan Tiongkok dan Eropa perihal navigasi pelayaran itu juga ditemukan.

Terlalu banyak dongeng diceritakan di tengah masyarakat pada masa ini, hempir di semua daerah di Indonesia termasuk di Angkola Mandailing. Hanya ceritanya yang paling benar. Contoh, ada yang mengatakan marga Lubis berasal dari daerah Toba dan ada pula yang mengatakan marga Lubis adalah turunan dari Bugis. Disebutkan ‘seorang bangsawan Bugis bernama Daeng Malela, bergelar Angin Bugis, yang mengembara ke Sigalangan dengan membawa seekor ayam jago. Daeng Malela disambut oleh seorang raja bermarga Dalimunte. Untuk membalas budi itu, Daeng Malela menawarkan jasa untuk membuatkan senjata yang handal untuk pasukan kerajaan, karena saat itu tidak ada pandai besi yang cakap. Konon, apa yang dilakukan Daeng Malela serupa benar dengan yang dilakukan Empu Supa dalam babad Tanah Jawa. Kepada raja, Daeng Malela minta disediakan sebatang besi dan sejumlah takar atau batok kelapa sebagai bahan bakar tungku. Setelah besi dibakar hingga membara, maka Daeng Malela menempah besi tersebut menjadi sebilah pisau hanya dengan kedua belah tangannya. Konon pisau tersebut hingga sekarang masih ada, dengan cap jari-jemari Daeng Malela tertera di bilah pisau tersebut. Maka Kerajaan Dalimunte pun beroleh kemenangan dengan senjata-senjata tempahan Daeng Malela. Oleh jasanya tersebut, Daeng Malela pun beroleh kehormatan, diangkat menjadi pandai besi kerajaan dengan gelar Namora Pande Bosi, artinya Pandai Besi Yang Terhormat, bahkan dinikahkan pula dengan putri raja yang bernma Putri Dalimunte naparila’. Apa, iya?

Kita mulai dari wilayah Bugis dan wilayah Minahasa yang sekarang. Di Seko-Toraja wilayah Bugis yang sekarang (Sulawesi Selatan) dan di Tomohon wilayah Minahasa yang sekarang (Sulawesi Utara). Di Tomohon Minahasa sejumlah kosa kata elementer seperti inang, amang, mate, dila dan sebagainya mirip di Angkola Mandailing (sebut saja di Kerajaan Aru). Kosa kata elementer di Seko-Toraja antara lain, dalihan, roha dan matua. Lalu apa pendapat Anda? Ah, itu mah kebetulan. Mengapa di dua wilayah ini begitu banyak nama geografis dengan nama Minanga? Mungkin Anda masih berdalih bahwa itu kan beda dengan Binanga di Kerajaan Aru. Andaikan pun Binanga=Minanga, Anda akan mengatakan itu kebetulan.

Dalam penelitian sejarah, membuat tingkat kepercayaan tinggi bukan sedikit atau banyaknya bukti, tetapi lebih tepat pada keseusaiannya (valid dan reliabel). Sepeeti di atas, bahasa tidak cukup, ditambah nama geografi juga tidak cukup. Ditambah lagi dengan aksen berbahasa yang mirip tidak pun cukup, Ditambah perilaku (behabior) dan karakteristik yang mirip juga tidak cukup.

Sekarang kita temukan bukti lain bahwa prasasti yang ditemukan di Tomohon dan Seko isi dan makna prasastinya kurang lebih sama dengan di Kerajaan Aru. Hanya ada satu perbedaan yang mencolok bahwa di wilayah Minahasa dan wilayah Bugis tidak ditemukan bukti candi (bukti arkeologis paling elementer tentang zaman kuno). Pada prasasti di Tomohon ada indikan makna dalihan na tolu, sedangka di Seko-Toraja (Bugis) ada empat batu kuno yang tertata yang penduduk Seko sekarang menyebutnya batu daliang (batu dalihan? na opat). Di Seko juga terdapat batu yang disebut losung batu. Tambahan, bukankah nama seko di Kerajaan Aru adalah kemenyan? Aksara di wilayah Minahasa dan wilayah Bugis mirip dengan aksara di Angkola Mandailing (Kerajaan Aru). Kesimpulannya: Ada peradaban Angkola Mandailing (Kerajaan Aru) di wilayah Minahasa dan wilayah Bugis.

Khusus di wilayah Bugis masih ada beberapa bukti lain, tetapi yang terpenting adalah di Angkola (di kota Padang Sidempuan) ada nama kuno gunung Lubu Raja (sekarang disebut Lubuk Raya). Di wilayah Bugis pada masa kini ada nama kabupaten Luwu dan kabupaten To-raja (dua kabupaten bertetangga, dulunya satu). Apakah itu mirip? Toraja berada di wilayah pedalaman (pegunungan). Bukankah gunung atau bukit di Angkola Mandailing disebut ‘tor’. Apakah To-raja awalnya Tor- Raja? Luwu awalnya Lu-bu? Lubu atau Lobu di Angkola Mandailing adalah tempat kediaman (lama). Jadi Lubu Raja adalah tempat kediaman Raja (beribadah atau bersemedi). Sementara itu di dekat Tomohon di lereng gunung ditemukan prasasti, nama gunung (tor) disebut gunung Empung. Bukankah Empung mirip di Angkola Mandailing Ompung (kakek atau leluhur)? Lalu apakah nama danau di dekat Tomohon yang disebut Tondano berasal dari Tondi Danau atau Tor Danau? Demikian, Masih banyak lagi. Di Mandailing ada yang disebut nama gunung (tor) Malea. Lantas mengapa mirip dengan dongeng yang disebut di atas Daeng Malela? Nah, apakah kini Anda percaya bahwa marga Lubis berasal dari Bugis? Atau justru sebaliknya. Lantas apakah Anda masih percara marga Lubis berasal dari (daerah) Toba?

Dari deskripsi di atas, pengaruh (orang) Angkola Mandailing (Kerajaan Aru) pernah ada dan begitu kuat di (pulau) Sulawesi di wilayah Minahasa dan wilayah Bugis pada masa lampau zaman kuno. Ini mengindikasikan bahwa orang Kerajaan Aru (penduduk Angkola Mandailing) ruang navigasi pelayaran perdagangan tidak hanya mencapai Filipina juga mencapai Sulawesi di wilayah Minahasa dan wilayah Bugis. Apa yang diperdagangkan, hasil-hasil tambang, hasil hutan dan sebagainya yang ditukar dengan kamper dan kemenyan. Lantas kapan itu terjadi?

Untuk membuktikan ini Anda harus gunakan lagi prasasti yang lain. Dua prasasti terpenting dalam hal ini adalah prasasti Kedukan Bukit (682 M ) dan prasasti Laguna (900 M). Juga dalam hal ini dapat ditambahkan prasasti Vo Cahn (abad ke-3), prasasti Nalanda (840 M), prasasti Sitopayan, prasasti Batugana di candi Bahal dan sebagainya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Angkola Mandailing dari Laut Kembali ke Darat: Era Kolonial

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar: