*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
Pada tulisan-tulisan masa ini disebut orang Aceh memiliki asal usul yang beragam, termasuk dari etnik Khmer. Juga disebut bahwa bahasa Aceh memiliki unsur bahasa (yang mirip) bahasa Khmer. Sudah barang tentu ini menjadi menarik dan perlu dipelajari lebih lanjut dengan mengikuti garis sejarah hingga jauh ke zaman kuno. Satu hal lagi yang juga adakanya diperbincangkan yakni nama Aceh sendiri. Ada yang membuat, serius atau hanya sekadar bercanda, sebagai singkatan yang merupakan akronim Arab, Cina, Endia (India) dan Hindia Belanda. Hal serupa ini juga pernah ada yang membuat nama akronim (kota) Depok.
Lantas bagaimana sejarah oang Champa di Vietnam dan orang Khmer di Kamboja? Seperti disebut di atas tentang soal Aceh, apakah ada hubungan sejarah Champa dan sejarah Khmer dengan sejarah Aceh? Lalu apa hubungannya dengan penduduk Angkola Mandailing? Nah itu dia. Sejarah masa lampau, zaman kuno adakalnya memberi kejutan pada narasi sejarah masa kini. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Orang Champa Vietnam dan Orang Khmer Kamboja
Seperti halnya nama kota Depok, sangat naif nama Aceh adalah akronim dari Arab, Cina, Endia (India) dan Hindia Belanda. Itu sangat kekanak-kanakan, sebab siapa yang pernah berpikir di zaman kuno mendirikan suatu kota dengan memberikan nama kota berdasarkan komposisi penduduk kota tersebut, Masih lebih masuk akal nama Khmer dan nama Champa pada zaman kuno merujuk pada nama kamper: Champer menjadi Champ[a] dan Champer menjadi Khmer. Hal serupa ini juga dengan nama Aceh yang diduga secara geografi merujuk pada nama tempat pada posisi di Atas, di Ateh, di Atjeh, di Atchin, di Achem, di Achei, Achin dan sebagainya. Tenti saja kurang lebih dengan nama Batavia menjadi Batawi dan Betawi. Demikian pula nama Batak yang diduga awalnya nama Bata menjadi Batak. Pendekatan semacam ini disebut toponimi (penamaan topografi).
Nama Bata merujuk pada nama India di Zaman kuno (era Hindoe Boedha), nama Betawi merujuk pada nama Eropa (Belanda) dan nama Aceh merujuk pada nama lokal dalam bahasa Sanskerta (bahasa Melayu Kuno). Nama Angkola [Ankola] juga diduga merujuk pada nama India dan dengan demikiuan juga dengan nama Mandailing (Manda-holing), Nama Melayu juga nerujuk pada nama India yakni Malaya dari Himalaya seperti nama Malea sebagai nama gunung di Mandailing dan nama Raja sebagai nama gunung di Angkola. Uniknya nama Malea-Raja juga ditemukan di Simalungun (Malelal-Raya) dan juga di Semenanjung (Malaya-Raja).
Soal toponimi adakalanya sangat berguna untuk melacak nama-nama tempat, karena itulah ilmu toponimi sudah muncul di era Yunani Kuno sebagai cabang ilmu yang dapat diduganakan untuk melacak nama-nama geografi atau asal usul suatu kota atau wilayah. Namu penerapan toponimi tidak hanya sekadar asal, tetapi harus didukunf fakta dan data yang relevan dan terhubung satu sama lain secara logis (tipologi). Hal itulah, seperti di atas mengapa nama Champa dan nama Khmer lebih dekat secara toponimi dan tipologi dengan nama komoditi perdagangan kuno, kamper (kapur Barus), sedangkan nama Aceh merujuk pada posisi geografi di atas, di ujung utara pulau Sumatra (yang berasal dari bahasa Sanskerta, Melayu Kuno). Nama Atah, Ateh atau Atjeh mengindikasikan posisi pelabuhan di wilayah paling ujung utara Sumatra.
Nama Barus sudah dicatat di Eropa (Yunani) pada abad ke-5 sebagai tempat komoditi kamper dimana kamper doekspor dari pelabuhan yang disebut Barus. Sedangkan komoditi kamper sudah dicatat ahli geografi Ptolemeus pada tahun 150 M sebagai sentra produksinya di bagian utara pulau Sumatra. Barus sendiri diduga merujuk pada nama India yakni B-aru-s yang dalam bahasa India selatan diartikan sungai. Dalam hal ini nama Barus dapat diartikan suatu pelabuhan ekspor kamper di bagian utara Sumatra yang berada di muara sungai (pantai). Nama-nama geografi yang merujuk pada nama aru=sungai ini banyak ditemukan di Angkola Mandailing seperti nama kampung kuno di Kota Padang Sidempuan, B-aru-as; nama sungai B-aru-mun, nama tempat kampong kuno S-aru-matinggi diantara gunung Malea dan gunung Raja. Tidak jauh dari kota Sarumatinggi ini terdapat nama kota Siabu, tempat dimana kini terdapat sisa peradaban kuno sebagai candi Hindoe Boedha candi Simangambat. Di sekitar wilayah candi iilah di zaman kuno terbentuk (asal usul) Kerajaan Aru.
Nama-nama geografi penting zaman kuno yang merujuk pada nama India (era Hindoe Boedha) begitu luas di pulau Sumatra, Jawa dan Semenanjung. Masih di bagian utara pulau Sumatra nama geografi Agam (sebagai nama sungai) terdapat di Sumatra Barat dan nama Agam juga ditemukan di Aceh sebagai nama gunung. Di antara dua titik posisi GPS Agam ini terdapat sentra produksi kamper seperti yang dicatat Ptolomeus pada abad ke-2. Pada wilayah geografi kamper ini nama-nama geografi yang merujuk pada nama India adalah Toba (nama danau), Loser (nama gunung), Takengon dan Tangse (nama danau), Ambuaru (nama sungai). Pasaman (nama gunung), Sarik (nama gunung). Pada wilayah ini pada masa kini terdapat penduduk yang menggunakan bahasa yang berakar sama, beraksara mirip satu sama lain, memiliki kebudayaan yang sama dan sebagainya. Diantara wilayah budaya yang sama ini hanya ditemukan satu pusat budaya zaman kuno (candi-candi) di Angkola Mandailing (Simangambat dan Padang Lawas). Hanya populasi besar, dengan sumber kekayaan yang banyak dan sistem pemerintahan yang sudah terbentuk dan stabil telah mengadiopsi ilmu pengetahuan (seperti aksara dan seni serta relogi) yang mampu membangun pusat peradaban seperti membangun candi, mengontrol perdagangan dan bahkan menguasai pelabuhan-pelabuhan (untuk ekspor seperti emas, kamper, kemenyan dan gading).
Seperti kita lihat nanti beberapa pelabuhan ekspor yang terhubung dengan Kerajaan Aru, selain Barus di pantai barat Sumatra juga ada pelabuhan Binanga di pertemuan sungai Batang Pane dan sungai Barumun di pantai timur Sumatra. Selain itu terdapat pelabuhan Oedjoeng Gading di pantai barat, pelabuhan Rokan (awalnya Arakaa, Aroekan) dan pelabuhan Siyak (Siak) dan pelabuhan Kampar (Kamper). Di sebelah utara pelabuhan Binnga terdapat pelabuhan Ambuaru, pelabuhan Pasai, pelabuhan Pedir dan pelabuhan Lamuri. Seperti kita lihat nanti pelabuhan Lamuri inilah yang bertransformasi menjadi Kerajaan Atjeh pada abad ke-15.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Penduduk Angkola Mandailing dan Aceh di Sumatra
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar