*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini
*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
Sebelum
orang Eropa (Belanda) memperkenalkan permainan catur (cara Eropa) di Hindia
Belanda (baca: Indonesia), sudah ada permainan catur pada penduduk asli
(berbeda caranya). Namun permainan catur ala penduduk asli itu ditinggalkan dan
permainan carur cara Eropa diadopsi melalui orang-orang Eropa (Belanda).
Permainan catur cara Eropa itulah yang digunakan di Indonesia hingga masa ini.
Dengan demikian pemain-pemain catur Indonesia termasuk dari wilayah Angkola
Mandailing (kini Tapanuli Bagian Selatan) dapat bertanding dengan pemain catur
lain di seluruh muka bumi.
Pada tahun 1920an penduduk yang berasal dari
Tanah Batak, terutama dari Angkola Mandailing (Tapanuli Selatan) sudah banyak
di Batavia yang sebagian diantaranya aktif bermain catur. Pada tahun 1926
organisasi orang Batak (Bataksche Bond) di Batavia sudah memiliki klub catur
sendiri yang disebut Jong Batak club (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-08-1926).
Salah satu tokoh utama Bataksche Bond ini adalah Parada Harahap (jurnalis
terkenal di Batavia). Organisasi Bataksche Bond didirikan oleh Dr Abdoel Rasjid
di Batavia pada tahun 1919. Dr. Abdoel
Rasjid Siregar kelahiran desa Panyanggar, sedangkan Parada Harahap kelahiran
desa Pargarutan di Padang Sidempuan. Pada tahun 1930 disebutkan komunitas catur
asal Tapanuli sudah mencapai ratusan
orang. Dua pemain catur asal Padang Sidempoean di Batavia adalag Mr. Alinoedin
Siregar gelar Radja Enda Boemi, Ph.D kelahiran Batangtoru dan Emil Harahap
kelahiran Padang Sidempoean. Anak Emil Harahap ini yang masih belia (15 tahun)
sudah masuk klub catur di Batavia. Anak tersebut kelak dikenal sebagai FKN
Harahap yang pernah mengalahkan juara catur Belanda 1930 Dr. Max Euwe (FKN
Harahap adalah penulis buku Sejarah Catur Indonesia).
Lantas
bagaimana sejarah catur zaman kuno di Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas, pada tahun 1920an sudah
banyak pecatur asal Angkola Mandailing di Batavia. Permainan catur itu diadopsi
dari cara bermain catur Eropa. Lalu mengapa begitu banyak peminat catur di
Batavia yang berasal dari Tapanuli yang melebihi jumlah pecatur Belanda sendiri? Tentu saja itu karena sudah menjadi permainan
yang merakyat di wilayah Tapanuli sejak lama termasuk di wilayah Angkola
Mandailing. Suatu permainan otak yang diduga sudah ada sejak zaman kuno. Seperti
kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Permainan Catur ala Batak (Zaman
Kuno) vs ala Eropa (Modern)
Sebelum
orang Eropa menulis tentang (permainan) catur di Tanah Batak (1905) yang
diterbitkan di Jerman, sudah sejak lama permainan catur dikenal di Angkola
Mandailing. Semua jenis catur dan pola permainannya di Tanah Batak kurang lebih
sama. Secara umum prinsip catur Batak dengan catur Eropa sama, dengan sel
(kotak) 64 buah (8x8) tetapi buah catur di Angkola Mandailing bentuknya
disederhanakan dengan bahan kayu atau bambu. Untuk membedakan antara black en
white (Eropa) dibedakan dengan mengupas sebagian bagian kulit kayu atau bambu
(putih). Papan caturnya dapat digurat pada lantai sopo (godang) atau dengan
membuat garis di permukaan tanah yang datar (sekitar 100x100 cm).
Papan catur dibuat luas karena buah caturnya
dibuat dari bahan kayu atau bambu (hijau). Buah catur dibuat segera sebelum
permainan catur dimulai dan meninggalkan atau membuangnya jika beberapa
permainan telah dipertandingkan. Dengan ukuran papan catur luas dan ukuran buah
catur yang tampak besar akan dapat ditonton banyak orang dari lingkaran
lapangan permainan (seperti lingkaran orang menyabung ayam). Catur Eropa,
seperti halnya musik, lebih textbook, sedangkan permainan catur Angkola
Mandailing lebih banyak improvisasi dengan endgame yang lebih intuitif.
Pembukaan catur Angkola Mandailing berbeda dengan Eropa. Pembukaan yang
diandalkan di Angkola Mandaiing adalah e2-e4, dan jika lawan memainkan
pembukaan tersebut akan dibalas dengan h7-h5 dan demikian seterusnya. Jadi,
pembukaan catur Angkola Mandailing seperti halnya di seluruh Tanah Batak
berbeda dengan pembukaan catur Eropa.
Lantas
darimana pengetahuan permainan catur ini diketahui di Angkola Mandailing? Dalam sejarahnya, permainan catur bermula di
India yang kemudian menyebar Eropa (Yunani). Dari India pada era Hindoe Boedha
permainan catur ke pantai barat Sumatra (wilayah Tapanuli sekarang). Di (pulau)
Jawa sendiri permainan catur ini diduga berawal pada abad ke-8. Ada suatu
hikayat ditemukan orang Belanda yang menyatakan ada dua kerajaan di Jawa bagian
tengah bertaruh kota dengan permainan catur pada tahun 718 M. Permainan catur
ini di Angkola Mandailing dimainkan oleh semua orang tanpa dibedakan, tetapi
permainan catur di Jawa hanya terbatas kaum bangsawan. Hal itu boleh jadi yang
menyebabkan tidak ada permainan catur di Jawa yang diwariskan (sementara di
Tanah Batak masih eksis hingga pada era Hindia Belanda).
Lalu bagaimana permainan catur di Angkola Mandailing
dengan di Jawa. Besar dugaan keterkaitan itu bermula sejak Kerajaan Aru di
Angkola Mandailing. Sebab berdasarkan data prasasti ada keterkaitan antara
Kerajaan Aru dengan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada
prasasti Kedukan Bukit 682 disebutkan raja Dapunta Hyang Nayik dari Binanga
(Kerajaan Aru) dengan 20.000 tentara tiba di muara Upang (Bangka) dan
mengukuhkan suatu kerajaan (yang diduga kuat Kerajaan Sriwijaya). Pada prasasti
Talang Tuo 684 M disebutkan raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang Srinagajaya.
Pada prasasti Kota Kapur 686 disebutkan bala tentara (kerajaan) Sriwijaya
berangkat untuk menyerang (bumi) Jawa. Berdasarkan keterangan tiga prasasti ini
diduga kuat Kerajaan Tarumanagara di Jawa bagian barat yang tidak bersedia
kerjasama ditaklukkan dan candi Batujaya hancur, sedangkan kerajaan di Jawa
bagian tengah (Kerajaan Kalingga) bekerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya dan
dibangun candi (desa Karangsari, Rowosari, Kendal) pada abad ke-7. Pada
prasasti Sojomerto (desa Sojommerto, Reban, Batang) disebutkan nama raja
Dapunta Seilendra. Dalam hal ini pada era yang sama terdapat tiga raja bergelar
sama (Dapunta) yakni Dapunta Hyang Nayik (Kerajaan Aru), Dapunta Hyang
Srinagajaya (Kerajaan Sriwijaya) dan Dapunta (saja) Seilendra (Kerajaan
Kalingga).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pemain-Pemain Catur Angkola Mandailing di Batavia Era
Hindia Belanda
Tunggu deskripsi
lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar