*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
Pengganti kamper (kapur Barus) pada masa ini sudah ada, namun sifat alamiah kapur barus dari pohon benzoin (Cinnamomum camphora) tidak tergantikan. Kemenyan hingga kini tidak tergantikan sebagai produk pohon kemenyan (Burseraceae). Produksi dari dua pohon purba ini sudah menjadi mata dagangan terpenting di muka bumi pada zaman kuno bahkan sebelum adanya agama-agama hingga era VOC. Uniknya saat itu hanya ditemukan di Tanah Batak dan diekspor dari pelabuhan Barus (di pantai barat Sumatra).
Lantas bagaimana sejarah produk khas Tanah Batak? Seperti disebut di atas zaman kuno sudah diekspor ke manca negara seperti kamper, kemenyan, damar dan emas. Orang Mandailing Angkola tidak mengenal nama kemenyan meski sebagai penghasil, hanya mengenal pohon sekko yang laku keras di pelabuhan Barus. Hal itu yang membuat penduduk zaman kuno kaya raya sehingga mampu membangun cand-candi yang banyak. Candi dan prasasti adalah benda zaman kuno, kamper dan kemenyan lebih tua lagi (sejak zaman purba), Lalu bagaimana sejarah produk khas Tanah Batak yang bermula di Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kamper dan Kemenyan Sejak Zaman Purba hingga Zaman Candi (Hindoe-Boedha)
Apa yang membuat pedagang-pedagang Inggris di pantai barat kepincut ingin menyelidiki pedalaman Tanah Batak di Angkola, itu karena laporan Holloway yang mengatakan penduduk Angkola memiliki harta karun kulit manis (Cinnamomum verum). Masih genus (spesies) kamper. Lalu Gubernur Jenderal Inggris di Calcutta mengirim utasan seorang ahli botani Charles Miller tahun 1772 ke pedalaman Angkola (lihat William Marsden 1781). Charles Miller tidak hanya menemukan pohon kulit manis di lereng gunug Lubuk Raya, tetapi juga menemukan pohon-pohon kulit manis yang diameternya sekitar dua meter di hutan Pangkal Dolok, Batang Onang (tidak jauh dari situs percandian Padang Lawas). Charles Miller segera membuat kontrak dengan Radja Batang Onang. Kulit manis juga produk ekspor zaman purba yang sangat diminati di Eropa bahkan di Mesir kuno.
Untuk mencapai Batang Onang, yang datang dari pulau Pontjang, teluk Tapanoeli via Loemoet, Charles Miller singgah di Hoeta Imbaru dan diterima raja. Raja Simasom di lereng gunung Lubuk Raya menyambutnya dengan pesta yang menyembelih seekor kerbau, Saat makan, Charles Miller juga disuguhkan gulai ikan yang membuat Charles Miller tercengang yang tentu saja rasanya enak. Tentu saja dia bertanya kepada raja, pakai apa masakan ini sampai bergetar rasanya di lidah. Sudah barang tentu Sang Radja menjawab enteng dengan menyebut andaliman (sebutan orang Melayu di pantai). Sejak itulah Charles Miller memperkenalkan pohon andaliman di Eropa dengan deskripsi dan gambar lukisan yang dibuatnya sendiri. Pohon andaliman, rahasia orang Angkola ini terbuka keluar. Pohon andaliman oleh para ahli diberi nama botani sebagai Zanthoxylum acanthopodium DC. Tentu saja masih ada rempah-repah khas Angkola rahasia orang Batak yakni siala (yang menjadi lambang
Produk zaman kuno khas Batak dari Angkola Mandailing yang disebut pohon sekko dan pohon sinyarnyar terekspos keluar yang dalam bahasa sanskerta menjadi kemenyan dan bahasa Jawa Kuno sebagai menyan. Penduduk di Toba meminjam nama kemenyan (Melayu kuno) dengan nama haminjon (dari asal kata kemenyan) sementara di Angkola tetap disebut sekko. Demikian juga nama pohon sinyarnyar terserap ke bahasa Melayu dengan nama andaliman. Andaliman di di Toba disebut andaliman juga, sementara di Angkola tetap sinyarnyar. Seperti kita lihat nanti, kemenyan dan andaliman lebih awal diproduksi di Angkola Madnailing dengan nama sekko dan sinyarnyar. Tentu saja nama kapur Barus juga berasal dari Angkola Mandailing dengan nama kapur yang terserap ke dalam bahasa sanskerta di pelabuhan Barus. Sekali lagi, kamper lebih awal dimoneterisasi di Angkola dan Mandailing dari pada di Simalungun, Toba, Karo dan Gajo. Mengapa?
Kebutuhan produk kamper yang sudah dikenal sejak zaman purba terus meningkat perinintaannya di Eropa. Begitu pentingnya kamper di Eropa abad ke-2 dicatat Plotomeus dalam bukunya yang menyatakan bahwa penghasil kamper di Sumatra bagian utara, Catatan Eropa berikutnya pada abad ke-5 disebutkan kamper diekspor dari Barus (Tanah Batak). Itu mengindikasikan sentra kamper tetap tidak berubah sejak abad ke-2 dan menemukan boomingnya sejak abad ke-5. Pada fase inilah penduduk Batak di Angkola Mandailing menjadi kaya raya. Dengan pemerintahan yang baik (sistem pemerintahan yang stabil) mulai mampu membangun tempat ibadah yang mahal dengan mengundang insinyur dari luar. Hasil itu paling tidak dapat dilihat sebagai situs candi Simangambat yang masih bisa dilihat sekarang. Kekhususan Tanah Batak sebagai tempat tumbuh pohon kamper, produksi dan perdagangan kamper yang terus meningkat kerajaan di Angkola Mandailing ingin menambah pelabuhan baru di pantai timur di Binanga di muara sungai Barumun. Ibu kota dengan sendirinya relokasi ke sisi timur pergunungan Bukit Barisan. Semakin banyak kota-kota yang dibangun di sekitar sungau Barumun, sungai Sangkilon, sungai Batang Pane dan sungai Sirumambe (situsnya candi-candi Padang Lawas yang sekarang). Kota metropolitan di Padang Lawas inilah yang menjadi hub perdagangan di seluruh Tanah Batak khususnya dan seluruh Sumatra bagian utara dan tengah umumnya. Selain kamper-kamper dari Angkol Mandailing, kamper-kamper dari Silindoeng, Toba dan Simalungun mengalir ke Padang Lawas. Peradaban tumbuh dan berkembang yang kemudian menyebar ke selatan, maupun ke utara di Toba, Silindoeng, Karo dan Gayo seperti religi, aksara, adat istiadat, seni termask arsitektur. Pada saat awal kejayaan metropolitan Padang Lawas inilah pemerintahan mulai ekspansi perdagangan ke tempat yang jauh ke Sriwijaya (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M).
Dengan basis moneterisasi kamper, perdagangan yang intens dan sistem pemerintah yang semakin kuat, luasnya sentra-sentra produksi kamper di bagian utara Sumatra maka oleh kerajaan yang berpusat di Padang Lawas (Kerajaan Aru atau Kerajaan Panai) mulai membangun pelabuh-pelabuhan baru seperti di Ambuaru (kini Perlak) dan bahkan hingga di ujung utara Sumatra (Kota Banda Aceh yang sekarang). Tentu saja pada saat puncak kejaayaan ini kita belu berbicara tentang lahirnya kerajaan-kerajan baru di pnatai seperti Pasai, Pidi, Lamuri (yang akan menjadi Kerajaan Atjeh). Saat inilah Kerajaan Aru atau Kerajaan Panai mengontrol perdagangan dari bandar di ateh (kelak Banda Atjeh) hingga ke selatan di hulu sungai Batanghari (Kerajaan Mauli). Di Sumatra bagian selatan Kerajaan Sriwijaya berjaya dengan semakin meluas ke wilayah-wilayah selatan seperti Lampung dan bahkan melakukan eskpansi perdagangan ke Jawa (lihat prasasti Kota Kapur 686 di Bangka). Semua itu karena faktor produk khas Batak yakni kamper, kemenyan dan damar.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kulit Manis dan Andaliman: Rahasia Rempah-Rempah Penduduk Angkola Mandailing Sejak Era VOC
Pada era komoditi rempah-rempah muncul di Maluku yang puncaknya pada era Portugis dan Spanyol, produk purba dari Tanah Batak masih eksis, namun sentra produksi di Angkola Mandailing telah menurun jumlahnya setelah berabad-abad di panen. Sentra-sentra di wilayah utara yang cadangannya masih banyak, pelabuhan Kerajaan Aru di Ambuaru, Pasai, Pedir dan Lamuri mulai diicar asing. Atas dasar inilah muncul kerajaan-kerajaan kecil seperti Pasai dan Lamuri yang sudah dikuasai asing seperti orang-orang Moor, Arab dan Turki. Kerajaan Lamuri yang diperkuat orang Turki menjadi lebih ekspansif yang menyebabkan lahirnya Kerajaan Atjeh dengan relokasi dari Lamuri ke bandar Kerajaan Aru di ateh (muara sungai Krueng Atjeh) pada tahun 1503. Kerajaan-kerajaan kecil seperti Pidi dan Pasai jatuh ke tangan Kerajaan Atjeh. Perseteruan Kerajaan Aru dan Kerajaan Atjeh dimulai (1537).
Kerajaan Atjeh tidak berani lanjut ke pelabuhan-pelabuhan di selatan seperti Panai dan Barus. Kerajaan Atjeh mulai invasi dengan merebut pedalaman di Gajo, Karo dan Simalungun yang selama ini di bawah federasi Kerajaan Aru. Kerajaan Atjeh yang terus diperkuat militer Turki berhasil menaklukan Karo dan Simalungun dimana dalam upaya mempertahankan itu dua anak Radja Kerajaan Aru tewas, satu orang tewas di Lingga (wilayah Karo yang sekarang) dan satu lagi di Nagur (Simalungun yang sekarang). Tentu saja motif Kerajaan Atjeh ekspansif bahkan ke pedalaman karena faktor produk kamper, kemenyan yang cadangannya masih melimpah di Karo, Dairi, Simalungun dan Toba.
Setelah Kerajaan Atjeh sempat menduduki wilayah federasi Kerajaan Aru di pedalaman di Lingga dan Nagur, dua federasi ini bangkit dengan membangun pelabuhan baru di muara sungai Deli (disebut Kerajaan Deli, yang lokasinya di Deli Tua yang sekarang. Kerajaan Deli ini diperkuat oleh Portugis. Pada tahun 1619 Kerajaan Atjeh menyerang Kerajaan Deli. Namun kembali bangkit pada tahun 1643 yang bersamaan dengan terusirnya Portugis dari Malaka oleh VOC (Belanda). Kerajaan Deli mendapat angin karena ancaman Kerajaan Atjeh dapat diimbangi dengan bekerjasama dengan VOC di Malaka. VOC terus mendesak Kerajaan Atjeh di pantai barat Sumatra dengan mengusirnya dari pelabuhan Padang (1665) dan Baroes (1680). Pada fase inilah Kerajaan Aru menurun karena terkurung di dalam dari Kerajaan Atjeh (yang kemudian digantikan VOC). Saat ini perdagangan kamper dan kemenyan tidak sepenting dulu lagi, di zaman kuno karena rempah-rempah dari Maluku lagi primadona. Produk kamper dan kemenyan hanya dua item dari puluhan dari daftar produk perdagangan ke Eropa terutama yang diperankan oleh VOC. Masa jaya kamper dan kemenyan berakhir, sementara cadangan masih tersisa banyak di Silindoeng, Toba dan Karo serta Dairi. Kamper dan kemenyan di Angkola Mandailing meski masih ada tetapi sudah angat menipis karena telah diproduksi selama berabad-abad. Pada fase inilah Inggris yang berpusat di Calcutta (India) ingin invasi ke pantai barat Sumatra (bersaing dengan VOC). Untuk tujuan ini, seperti disebut di atas, diutus ahli botani Charles Miller ke pedalaman Tanah Batak di Angkola. Untuk apa?
Produk kamper dan kemenyan tidak begitu menjanjikan lagi dalam perdagangan Eropa. Rempah-rempah sudah mendominasi. Wilayah Angkola Mandailing yang lebih terbuka dengan dunia luar dan adanya laporan cadangan kulit manis di wilayah Angkola Mandailing menjadi faktor Inggris ingin merebut perdagangan di Tanah Batak. Dalam hal inilah Charles Miller diutus pada tahun 1772. Tidak seperti kamper dan kemenyan, meski bersumber dari pohon-pohon raksasa, kulit manis adalah sejenis rempah-rempah yang sedang trend di Eropa. Rahasia rempah-rempah Angkola Mandailing mulai terekspos ke luar (perdagangan Eropa) dan tentu saja rahasia masakan Angkola Mandailing yakni rempah-rempah khas sinyarnyar atau andaliman. Wilayah Angkola Mandailing yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil (pasca berakhirnya Kerajaan Aru) mulai bangkit kembali. Pada fase inilah diketahui terbentuk kerajaan-kerajaan di Silindoeng, Boetar (Toba) dan Simamora (Samosir). Kerajaan Simamora ini termasuk yang cadangan kamper dan kemenyannya yang paling banyak. Yang menjadi primus interpares di Kerajaan Simamora berasal dari Kerajaan di Bakkara (Sisingamangaraja).
Kejayaan kerajaan-kerajaan kecil di Angkola Mandailing yang kembali makmur dan produk andalannya kulit manis telah mengalir perdagangannya ke Loemoet dan teluk Tapian Na Oeli (Inggris) menjadi pangkal perkara kaum Padri yang terbentuk di Agam yang telah menyerang Kerajaan Pagaroejoeng mulai melirik wilayah Angkola Mandailing. Motif Padri di Pagaroejoeng (Agama, Tanah Datar dan Limapuluh Kota) lebih ke arah politik, sedangkan invasi ke wilayah Angkola Mandailing lebih pada perdagangan (sumber ekonomi Padri di Agam). Wilayah Silindoeng dan Toba yang masih mengekspor kamper dan kemenyan juga menjadi target Padri. Invasi Padri ke Tanah Batak berakhir 1838 setelah kehadiran Belanda (Pemerintah Hindia Belanda). Kolobarasi kerajaan-kerajaan Angkola Mandailing dengan Pemerintah Hindia Belanda menyebabkan ekonomi lebih diperkuat dengan budidaya kopi dan budidaya padi yang menjadi sumber kemakmuran baru di Angkola dan Mandailing. Penduduk Angkola Mandailing mulai bersekolah dan lebih sehat karena sudah ada dokter Belanda (yang kemudian diganti oleh dokter sendiri, dokter pribumi). Orang-orang Angkola Mandailing mulai ekspansi lagi (seperti pada era abad ke-7) tetapi tidak dalam wujud kekuatan kerajaan dan militer tetapi dala wujud individu-individu yang berpedidikan apakah sebagai guru, dokter atau pegawai pemerintahan. Ekspansi ini tidak hanya ke wilayah Riau dan Sumatra Barat tetapi juga ke Sumatra Timur, Jambi dan bahkan Palembang. Saat ini tengah berlangsung perseteruan antara misi Kristen (Nommensen) dan pemimpin lokal (agama Parmalim) yang dipimpin Sisingamangaraja XII.
Praktis kamper dan kemenyan di wilayah Angkola Mandailing tidak tersisa, sudah lama menipis hingga menuirunnya Kerajaan Aru, namun kamper dan kemenyan di Sigopoelon dan Silindoeng masih diproduksi. Hal itulah mengapa sentra kamper dan kemenyan pada masa kini hanya ditemukan di Toba, Silindoeng dan Dairi karena cadangan yang masih tersisa pada akhir masa kerajayaan era Kerajaan Aru.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar