(bagian ketujuh)
Baca juga:
Dr. Radjamin Nasution: Walikota Pertama Surabaya, Pemain Sepakbola Top
Gelar Doktor Pertama di Indonesia: Dr. Ida Loemongga, PhD, Doktor Perempuan Pertama di Indonesia
Bapak Pers Indonesia: Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional dan Parada Harahap, Cucu Pers Nasiona
Hariman Siregar, Ida Nasution, Lafran Pane, Parlindungan Lubis, Sutan Casajangan: Anak-Anak Padang Sidempuan yang Menjadi Pemimpin Mahasiswa
Medan Perdamaian: Organisasi Sosial Pertama di Indonesia (bukan Boedi Oetomo)
Radjamin Nasution (foto 1941) |
Radjamin Nasution hanya
bekerja untuk rakyat Surabaya
Gebrakan
pertama Radjamin ketika hari pertama duduk di dewan adalah mengajukan proposal
yang pro rakyat. Ini sangat jarang terjadi, ketika di era itu, seseorang yang
sudah berkedudukan tinggi dan berkecukupan justru bergelora mengangkat harkat
rakyat. Pada masa itu, kekuasaan Belanda penuh ketidakadilan dimana-mana,
termasuk di Surabaya. Hal ini tentu sudah diketahuinya juga bahwa di kampungnya
di Tapanuli Selatan, penindasan kaum Belanda juga tiadataranya (bahkan sejak era Edward Douwes Dekker/Multatuli yang membangkang kebijakan pemerintah Belanda yang pada waktu itu Edwarr sebagai controleur di Natal, Mandheling en Ankola tahun 1842), Radjamin yang
seorang dokter, mantan aktivis Stovia dan pernah menggagas bersama dr. Soetomo
mendirikan ‘Boedi Oetomo’ yang bergerak di bidang pendidikan. Kala itu,
anak-anak Stovia menyadari hanya lewat pendidikanlah ketidakadilan kaum Belanda
dapat dientaskan.
Di
Surabaya, Radjamin Nasoetion termasuk diantara pribumi yang berpendidikan.
Naluri dan jalan pikirannya bangkit. Apalagi ia menyadari kini, tinggal dan
berkeluarga di tempat kelahiran sobatnya, Dr. Soetomo. Radjamin mulai menyingsingkan
lengan baju, memulai babak baru bertarung dengan kaum Belanda di parlemen Kota
Surabaya. Karir Radjamin di parlemen makin menguat hingga terpilih menjadi
wakil Jawa Timur mewakili Kota Surabaya ke parlemen pusat (Volksraad) dari
Partai Parindra tahun 1938. Posisi Radjamin menjadi ‘double gardan’, di satu tangan
anggota senior (wethouder) dewan kota Surabaya, dan di tangan lain sebagai
anggota Volksraad.
Fuchter 'seteru' Radjamin Nasution |
Radjamin
memandang orang asing sangat berbeda dengan pribumi. Radjamin menganggap
Belanda dan Jepang sama saja—sama-sama bangsa asing yang ingin mengendalikan
rakyat pribumi. Radjamin tidak bisa dikendalikan bangsa asing. Jepang yang
lebih agresif dari Belanda, justru membuat rakyat lebih sengsara. Jepang lebih
menginginkan komunikasi satu arah dengan rakyat dan tidak suka gaya blusukan
ala Radjamin terjadi. Tapi Radjamin mengikuti nalurinya sendiri, di luar area
balai kota, Radjamin tetap blusukan mengunjungi rakyatnya. Radjamin konsisten
dalam urusan rakyat.
Ketika
Jepang takluk atas sekutu, pimpinan republik di Jakarta mengangkatnya menjadi
walikota. Konon, pengangkatan Radjamin yang menjadi walikota incumbent itu atas
penilaian Ir. Soekorno sendiri. Soekarno adalah putra daerah Surabaya (lahir
dan dibesarkan di Surabaya). Ini berarti, Radjamin tidak memerlukan rekomendasi
Amir Sjarifoeddin dan M. Hatta untuk menunjuk Radjamin, karena Soekarno sendiri
telah merekomendasikan. Soekarno, Hatta
dan Amir adalah tiga founding father negara Republik Indonesia. Amir
Sjarifoeddin (Harahap) adalah adik sekampung halaman Radjamin Nasoetion di Afdeeling Mandheling en Ankola (kini Tapanuli Selatan).
Kunjungan PMI Internasional di Tulungagung, 1948 |
Namun tidak lama menjabat sebagai walikota republic di Surabaya, Radjamin sudah menghadapi perang kembali. Radjamin benci Jepang, juga Radjamin benci Belanda yang membonceng ikut ke Surabaya. Saat pertempuran pasukan/laskar republik dengan pihak sekutu/Belanda, Radjamin dan semua pejabat-pejabatnya mengungsi ke luar kota. Di pengungsian, korps Radjamin mendukung perjuangan anak-anak republik. Radjamin yang setia terhadap pejabat dan karyawannya dan tentu rakyatnya bekerja keras di pengungsian. Radjamin yang seorang dokter mengambil posisi Kepala Dinas Kesehatan Surabaya dan mengkoordinasikan save and rescue terhadap pejuang-pejuang yang terluka dari medan perang. Radjamin juga berinisiatif mengumpulkan pakaian bekas untuk bahan pakaian para pejuang di Surabaya. Radjamin mondar-mandir antara markas pemerintahan Kota Surabaya di pengungsian (Mojokerto dan Tulungagung) dan front pertempuran di Kota Surabaya.
Namun
setelah pengakuan kedaulatan RI, Radjamin yang bertindak sebagai walikota di
pengungsian dan belum pernah dipecat, tak dinyana haknya diambilalih alias
dirampas. Soal ini sempat berlarut-larut dan tidak jelas ujung pangkalnya.
Radjamin tidak mau berpolemik berlama-lama untuk urusan itu. Radjamin lebih
memilih berjuang kembali lewat parlemen untuk bisa tetap dekat dengan
rakyatnya. Dul Arnowo yang ditunjuk menjadi walikota, Radjamin sendiri menolak
diajukan menjadi ketua dewan (DPRD). Radjamin memilih lebih fokus pada
proposalnya yang pro rakyat. Kepemimpinan Dul Arnowo sangat lemah, di dewan
mendapat kritikan bertubi-tubi sampai menjadi mosi tidak percaya. Dul Arnowo
akhirnya lengser sebagai walikota, sedangkan karir Radjamin Nasution semakin melejit
hingga menjadi anggota dewan di Perlemen Pusat di Jakarta. Ini untuk kedua kali Radjamin Nasution wakil rakyat di pusat, sebelumnya di era Belanda tahun 1938) .
Radjamin
dimakamkan bersama rakyat di Surabaya
Radjamin
Nasoetion gelar Sutan Kumala Pontas jauh sebelumnya sudah dinobatkan rakyat
Surabaya sebagai ‘arek soerabaia’. Radjamin menganggap Kota Surabaya sebagai
kampungnya juga. Selama di Jakarta sebagai anggota DPR Pusat masih tetap bertempat
tinggal di Surabaya. Proposal Radjamin yang disodorkan sejak era Belanda semuanya
sudah dijalankan oleh eksekutif Kota Surabaya. Perjuangannya sejak
gemeenteraad, walikota era Jepang, berjuang di pengungsian selama perang dan anggota DPRD Kota Surabaya (plus DPRD
Provinsi Jawa Timur dan DPR Pusat) sudah lengkap baginya. Delapan anaknya
semuanya juga mencintai Kota Surabaya. Radjamin ingin beristirahat di Kota
Surabaya, Kota Pahlawan. Salah satu anaknya adalah Irsan Radjamin, suami dari
wanita pejuang Surabaya, Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin yang pernah menjabat
Ketua Umum Wirawati Catur Panca (Ibu-ibu Kelasyakaran Pejuang Eksponen Angkatan
45).
Tugu Pahlawan di Surabya (foto 1960) |
Untuk sekadar diketahui: WR Soepratman adalah sahabat Parada Harahap (The King of Java Press). Parada Harahap adalah pendiri dan pemilik kantor berita Alpena sedangkan Soepratman sebagai editornya. Parada Harahap dan Radjamin Nasoetion berkawan akrab, teman sekampung di Padang Sidempuan/Tapanuli Selatan. Anak-anak mereka kebetulan sama-sama studi hukum di Universitas Indonesia. Anak Radjamin Nasoetion bernama Nona Sheherazade Radjamin Nasution lulus tahun 1955, sedangkan anak Parada Harahap bernama Nona Aida Dalkit Harahap lulus Februari 1956. Aida Dalkit Harahap adalah hakim perempuan pertama di Sumatra (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-05-1956). Aida Dalkit Harahap menikah dengan Datu Porkas Daulay (kakak kelasnya lulus tahun 1952). Datu Porkas adalah anak dari Dr. Mohamad Daulay (kakak kelas Dr. Radjamin Nasution di docter djawa school/STOVIA).Untuk sekadar diketahui lagi: Lagu Indonesia Raya adalah hasil perlombaan yang mana pemenangnya adalah WR Soepratman dan sebagai runner-up Nahum Situmorang. Dua komponis kawakan di jamannya. Nahum Situmorang, lahir di Sipirok 1908, tidak jauh dari kampung Parada Harahap di Pargarutan. Parada Harahap yang lahir 1898 adalah ketua Jong Batak, sekretaris Jong Sumatra. Pada tahun 1927 Parada Harahap menjadi sekretaris PPPKI (himpunan organisasi-organisasi) yang kantornya di Gang Kenari yang mana ketuanya MH Thamrin (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927). PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia dengan motto:Hidoeplah Persatoean Indonesia) adalah penyelenggara Kongres Pemuda (Oktober 1928), dimana lagu Indonesia Raya diperdengarkan kali pertama (lihat De Indische courant, 01-09-1928). Untuk sekadar diketahui juga: Parada Harahap adalah mentor para anak muda founding father RI (Soekarno, Hatta dan Amir). Parada Harahap sendiri yang memajang tiga foto anak muda tersebut di kantor PPPKI. Ketiganya adalah idola dan juga 'digadang-gadang' oleh Parada Harahap (lihat De Indische courant, 27-11-1931).
Catatan: Pada waktu itu, Parada Harahap adalah pemilik dan editor surat kabar Bintang Timoer, koran pribumi yang memiliki tiras terbesar dan terluas (juga memiliki edisi daerah di Semarang untuk Jawa Tengah dan di Surabaya untuk Jawa Timur). Bintang Timoer didirikan tahun 1926 sebagai suksesi koran Bintang Hindia (milik Parada Harahap bersama Dr. Abdul Rivai); Ir. Soekarno kerap mengirim tulisannya ke Bintang Timoer, tahun 1932 Parada Harahap di dalam korannya meminta Soekarno keluar dan 'turun ke jalan' yang dijawab Soekarno dalam surat pembaca yang diakhiri kata-kata: 'tunggu tindakan saya Bang'. Pada tahun 1932 Parada Harahap tidak menggubris larangan pemerintah Belanda dan berkekuatan hati untuk memimpin tujuh orang pertama pribumi yang terdiri dari guru, wartawan dan pengusaha ke Jepang, termasuk di dalamnya M. Hatta yang baru lulus kuliah di Belanda--Parada Harahap sendiri adalah jurnalis paling militan, menulis pertama kali di Benih Mardeka di Medan, 1917, mendirikan koran Sinar Merdeka di Padang Sidempuan tahun 1919 dan hijrah ke Batavia 1923 yang selama hidupnya di dunia jurnalistik 101 kali dimejahijaukan, 12 kali diantaranya harus dibui-sepak terjang Parada Harahap lihat pada artikel ini ]..
Sinar Merdeka, surat kabar paling militan di Indonesia (1919)
Radjamin tidak diakui
Pemkot sebagai Walikota Surabaya pertama
Yousri
Nur Raja Agam mengutip pesan tokoh Surabaya, bahwa generasi muda sekarang
memang layak mempertanyakan, mengapa foto yang dipajang di balai kota Surabaya,
hanya mulai dari Walikota Doel Arnowo? Padahal kenyataannya, Radjamin yang
menjadi walikota Surabaya pertama. Radjamin adalah salah satu walikota cerdas yang pro rakyat, bersih, jujur apa adanya, diangkat oleh pemerintah
republik pasca proklamasi dan tidak pernah dipecat. Radjamin Nasution telah berbuat
banyak untuk Kota Surabaya, dicintai rakyatnya hingga di akhir masa hidupnya.
Ini
seolah-olah telah terjadi diskriminasi dan ‘pembohongan publik’ di Kota
Surabaya, Selama ini, seolah-olah walikota pertama Surabaya itu adalah Doel
Arnowo, padahal kenyataannnya adalah Radjamin Nasution. Tetapi, kemudian untuk
sekadar berkelit, maka disebutkanlah bahwa Doel Arnowo adalah walikota Surabaya
pertama setelah ‘Penyerahan Kedaulatan’. Apakah memang ketentuannya demikian?
Menurut Yousri Nur Raja Agam, penduduk pendatang yang menetap di Surabaya,
sejarah harus diluruskan dan terbuka secara jujur. Yousri Nur Raja Agam
bertanya kembali, mengapa harus berat mengatakan bahwa walikota Surabaya yang
pertama itu adalah “orang Batak” yang bernama Radjamin Nasution gelar Sutan
Komala Pontas.
***
Panjaboengan 1890 (kota terdekat dari Barbaran Joeloe) |
(bersambung)
_______
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber utama tempo doeloe. Sumber pendukung: Yousri Nur Raja Agam M.H,
‘Radjamin Nasution, Walikota Pertama Surabaya’
1 komentar:
Saya mahasiswa sejarah , saya ingin menulis biografi radjamin nasution. Apakah anda bisa membantu ? Ini nmr hp saya 081331155096
Posting Komentar