Kamis, Juli 31, 2025

Sejarah Budaya (4): Aksara dan Candi di Angkola dan Mandailing; Sejarah Aksara dan Pusat Percandian di Wilayah Padang Lawas


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

William Marsden di dalam bukunya The History of Sumatra yang diterbitkan tahun 1812 menyebutkan lebih dari separuh penduduk Batak mampu membaca, suatu angka yang tinggi bahkan jauh lebih tinggi dari semua bangsa-bangsa di Eropa. Dalam apa yang dibaca penduduk Batak? Sudah barang tentu tulisan dengan menggunakan aksara Batak. Hal yang sama juga disebutkan oleh Oscar von Kessel yang mengunjungi pedalaman Batak pada tahun 1844 bahwa menulis dan membaca hampir dikenal secara universal di antara mereka (lihat tulisannya berjudul Reis Oscar von Kessel in Klein Toba yang dimuat di dalam Das Ausland dan kemudian diterjemahkan yang dimuat di dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856).


Aksara Angkola, bagian dari aksara Batak, berkembang di wilayah Angkola dan Mandailing, yang merupakan bagian dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Aksara ini, bersama dengan aksara Batak lainnya, diperkirakan berasal dari aksara Palawa yang dipengaruhi oleh aksara India dan kemudian diadaptasi untuk bahasa-bahasa lokal. Berikut penjelasan lebih detail mengenai sejarah aksara Angkola: Asal Usul: Aksara Angkola, seperti aksara Batak lainnya, diperkirakan berasal dari India Selatan, kemungkinan dari aksara Palawa yang dibawa melalui jalur perdagangan. Perkembangan Awal: Aksara ini pertama kali berkembang di daerah Angkola dan Mandailing, yang merupakan wilayah awal penyebaran aksara Batak. Adaptasi dan Penyebaran: Aksara ini kemudian menyebar ke utara, mempengaruhi perkembangan aksara Batak di daerah Toba, Simalungun, dan daerah lainnya. Pengaruh Budaya: Wilayah Angkola juga menunjukkan jejak pengaruh budaya Hindu-Buddha, seperti yang terlihat pada peninggalan candi di Padang Lawas (Padang Bolak), yang juga mempengaruhi perkembangan aksara Angkola dan kosakata bahasa Angkola. Perkembangan di Tapanuli Selatan: Aksara Angkola digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam upacara adat, dan bahasa Batak Angkola menjadi bahasa sehari-hari di wilayah tersebut (AI Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah aksara dan candi di Angkola Mandailing? Seperti disebut di atas tingkat literasi penduduk Batak terkait dengan keberadaan aksara Batak, termasuk di wilayah Angkola, wilayah Mandailing dan wilayah Toba. Satu yang penting diduga ada hubungan aksara dan pusat percandian di wilayah Padang Lawas. Lalu bagaimana sejarah aksara dan candi di Angkola Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Aksara dan Candi di Angkola Mandailing; Sejarah Aksara dan Pusat Percandian di Wilayah Padang Lawas

Hubungan terdekat aksara adalah bahasa; demikian sebaliknya. Lalu bagaimana hubungan aksara dan candi? Satu yang jelas pada masa ini, candi tergolong sebagai kepurbakalaan, perihal yang jauh di masa lampau. Meski tidak di semua candi terdapat aksara, tetapi aksara (termasuk lambang bilangan) diduga telah digunakan dalam (proses) membangun candi. Dalam hal ini, seberapa tua aksara Batak yang terdapat di wilayah Angkola Mandailing?


Di wilayah Angkola Mandailing ditemukan candi tua di Simangambat. Candi tersebut diduga berasal dari abad ke-8. Candi-candi yang terdapat di wilayah Padang Lawas diduga berasal dari abad ke-10. Nah, dalam hal inilah penting dihubungkan antara keberadaan awal aksara dan keberadaan banguan candi. Candi itu sendiri adalah warisan yang masih lestari hingga masa ini. Bagaimana dengan aksara? Aksara juga adalah warisan yang masih lestari hingga masa ini. Namun tidak ditemukan bukti keberadaan aksara Batak di Angkola dan Mandailing yang sudah berumur tua. Contoh mengenai aksara yang berumur tua hanya ditemukan di Palembang seperti pada prasasti Kedoekan Boekit yang berasal dari abad ke-7. Dalam penemuan arkeologis di Situs Bongal (2020) berupa sejumlah koin Islam berasal dari era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah (abad ke-7 dan 8) tidak ditemukan aksara. Situs Bongal sendiri berada di kaki Bukit Bongal (tertinggi 320 M) di sisi selatan daerah aliran Sungai Lumut yang bermura ke laut di (kampong) Jagajaga. Intinya, di wilayah sekitar sudah ada peradaban tua yang berasal dari abad ke-7.

Pada tahun 1927 Schröder, seorang Jerman menemukan ada kemiripan aksara Fenisia dengan aksara Batak (lihat A Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder di dalam Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927). Sebagaimana diketahui bangsa Fenisia (Phoenices) adalah bangsa kuno yang pernah menguasai pesisir Laut Tengah. Mereka berasal dari wilayah Timur Tengah, atau sekarang di Lebanon dan Suriah.


Penemuan aksara oleh Schröder tentulah menarik perhatian dunia internasional di bidang linguistic dan aksara. Jarak antara Laut Tengah dan pantai barat Sumatra sangat berjauhan. Selama ini dipahami bahwa dari dua kelompok aksara Semit Utara yang terdiri dari aksara Aramea dan aksara Fenesia. Aksara Aramea diduga yang menurunkan aksara Jawa melalui aksara Pallawa dan ke atas aksara Brahmi. Sedangkan aksara Fenesia (abjad atau silabis) menurunkan aksara Yunasi (alfabet) hingga ke aksara Latin. Pada masa ini ada tiga aksara yang dibedakan: alfabet (seperti Latin), abjad (seperti Arab dan Batak) dan abugida (Pallawa dan Jawa).

Aksara Batak di pantai barat Sumatra yang mirip dengan aksara Fenesia (di Laut Tengah) yang jaraknya terkesan jauh menjadi tampak memiliki hubungan kedekatan dengan adanya penemuan-penemuan kepurbakalaan seperti makam Mahligai di Barus, koin di Situs Bongal dan candi (Hindu) di wilayah Angkola Mandailing.


Di dalam catatan Tiongkok era dinasti Leang (502-556) disebutkan nama Po-lu-sse. Nama ini oleh sejumlah peneliti termasuk WP Groeneveldt pada era Pemerintah Hindia Belanda adalah Barus. Nama-nama lainnya yang disebut di dalam teks kuno Tiongkok tersebut adalah Tu-k'un, Pien-tiu of Pan-tiu, Mo-chia-man dan Pi-song serta Kiu-li of Ktu-tchiu. Nama-nama tersebut diduga adalah Mo-chia-man sebagai nama Pasaman, nama Tu-k'un adalah Tikoe, nama Pien-tiu of Pan-tiu adalah Panti dan nama Pi-song adalah Sipisang/Hapesong dan nama Kiu-li adalah (Huta) Puli. Semua nama-nama tersebut tampaknya berada di pantai barat Sumatra. Pada peta Prolomeus abad ke-2 di pantai barat bagian utara Aurea Chersonesus diidentifikas nama Tacola, suatu nama yang diduga sebagai Angkola atau Akkola di pantai barat Sumatra.

Bukti-bukti arkeologis dan catatan sejarah (dari Eropa dan dari Tiongkok) menjadi tambahan keterangan untuk membuktikan hipotesis Schröder (1927) tentang adanya kemiripan antara aksara Fenisia dengan aksara Batak. Dalam hal ini aksara Semit Kuno bercabang dua: aksara Aramea dan aksara Fenesia. Aksara Aramea menurunkan aksara Brahmi kemudian menurunkan aksara Pallawa. Aksara Pallawa (abugida) inilah yang menurunkan aksara Jawa. Sementara itu hipotesis Schröder (1927) aksara Batak (abjad) mirip aksra Fenesia.


Bukti-bukti lainnya yang mendukung hipotesis Schröder (1927) tentang adanya kemiripan antara aksara Fenisia dengan aksara Batak adalah bukti genom (DNA) yang menunjukkan bahwa populasi (pantai barat) Sumatra (Austronesia) memiliki unsur yang berasal dari Laut Tengah (Indo-European). Dalam Peta DNA unsur Indo-European sangat minim di (pulau) Jawa dan pulau-pulau lainnya.

Hipotesis Schröder (1927) aksara Batak (abjad) mirip aksra Fenesia tidak hanya didukung peta genom (DNA) masa kini, juga hasil pengamatan langsung seorang Jerman Oscar von Kessel yang berkunjung ke Angkola dan Silindung pada tahun 1844 yang diterbitkan di dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1856: ‘Secara umum, menurut saya orang Batak lebih merupakan ras Indo-Jermanik daripada orang Melayu (Mongoloid), dan bahasa mereka mengandung jumlah (kosa) kata Kelt dan Jermanik yang jauh lebih banyak daripada bahasa Melayu. Yang mencolok adalah kemiripan bentuk wajah dan tengkorak beberapa orang Batak dengan orang Yunani. Warna kulit mereka juga umumnya agak lebih terang daripada orang Melayu. Oleh karena itu, tampaknya sangat mungkin bagi saya bahwa dua ras atau lebih telah bercampur di sini, kemungkinan besar ras Indo-Jermanik yang datang dari daratan utama bersama penduduk asli Polinesia (yang membentuk ras Austronesia)’.


Oscar von Kessel juga menyatakan: ‘Sudah diketahui umum bahwa orang Batak memiliki aksara mereka sendiri; namun, terdapat beberapa perbedaan dalam aksara tulis antara Toba di utara dan wilayah selatan Angkola Mandailing; bahasa kedua negara ini juga tampaknya memiliki hubungan yang sama seperti bahasa Jerman Tinggi dengan bahasa Jerman Rendah’. Catatan: Oscar von Kessel mengunjungi wilayah Toba (Sigoempoelon dan Silindoeng) melalui Angkola dan Sipirok.

Semakin menarik menyimak pernyataan Oscar von Kessel bahwa bahasa Batak mengandung jumlah kosa kata Kelt dan Jermanik yang jauh lebih banyak ketimbang bahasa Melayu. Bagaimana Oscar von Kessel menyatakan begitu saya sendiri kurang mengerti, namun bagaimana pun itu perlu di perhatikan hubungan antara Indo-European dengan orang Batak.

 

AI Wikipedia: Bahasa Kelt adalah kelompok bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa Indo-Eropa. Bahasa-bahasa ini pernah dituturkan di sebagian besar Eropa, namun kini terbatas di wilayah barat laut dan beberapa komunitas diaspora. Bahasa Keltik terbagi menjadi dua kelompok utama: 1. Bahasa Keltik Kontinental: Kelompok ini mencakup bahasa-bahasa Kelt yang pernah dituturkan di daratan Eropa, namun semuanya kini telah punah. 2. Bahasa Keltik Kepulauan: Kelompok ini mencakup bahasa-bahasa yang dituturkan di Kepulauan Inggris dan Britania. Bahasa-bahasa ini masih ada hingga sekarang, meskipun beberapa di antaranya terancam punah atau telah dihidupkan kembali. Bahasa Keltik Kepulauan terbagi lagi menjadi: Goidelik (Q-Celtic): Meliputi bahasa Irlandia, Gaelik Skotlandia, dan Manx (yang telah punah). Britonik (P-Celtic): Meliputi bahasa Wales, Cornish (yang juga terancam punah), dan Breton. Beberapa fakta menarik tentang bahasa Kelt: Bahasa-bahasa Kelt memiliki tradisi lisan yang kuat, yang membantu melestarikan bahasa dan budayanya. Beberapa bahasa Keltik, seperti bahasa Wales dan Breton, memiliki jumlah penutur yang signifikan, sementara yang lain, seperti Manx dan Cornish, telah mengalami kepunahan atau direvitalisasi. Bahasa-bahasa Keltik memiliki ciri khas linguistik yang unik, seperti gugus konsonan awal dan sistem hitung yang menggunakan kelipatan 20. Meskipun bahasa Inggris dan Prancis telah mempengaruhi wilayah-wilayah berbahasa Keltik, bahasa-bahasa Keltik terus bertahan dan mengalami kebangkitan.

Seperti disebut di atas, bahasa dan aksara saling terhubung. Dalam hal ini aksara Batak ada kemiripan aksara Fenesia dan bahasa Batak ada kemiripan dengan bahasa Kelt. Aksara Fenesia sudah punah, tetapi aksara Batak masih eksis; bahasa Kelt sudah banyak yang punah tetapi bahasa Batak masih eksis. Artinya apa? Aksara Fenesia masih lestari dalam aksara Batak dan bahasa Kelt masih lestari dalam bahasa Batak. Tentu saja DNA Indo-European masih lestari dalam darah orang Batak. Orang Kelt adalah leluhur orang Eropa pada masa ini.   

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Aksara dan Pusat Percandian di Wilayah Padang Lawas: Aksara Batak dan Aksara Jawa

Sebagaimana dalam bahasa (kosa kata dan sebutan bilangan), dalam aksara juga termasuk bentuk penulisan lambang bilangan. Dalam sebutan bilangan (bahasa) Batak juga terdapat kemiripan dengan bahasa-bahasa lain, terutama di Eropa. Sebutan bilangan ‘belasan’ dalam bahasa Batak bersifat biner (1-0, 10-0, 20-0, dst) seperti ‘sapulu dua’ di dalam prasasti Kedoekan Boekit yang berasal dari abad ke-7. Bilangan ‘sapulu dua’ dalam bahasa Batak masa kini adalah ‘dua belas’ (12). Demikian juga dengan 11=’sapulu sada’; 13=’sapulu tolu’; dst.


Sebutan bilangan (bahasa) Kelt di masa lalu mengacu pada sistem bilangan memiliki ciri khas. Untuk bilangan 1 sampai dengan 20 dilakukan dengan pola lima (mungkin karena jumlah jari tangan): 1=wan, 2=tsak, 3=fap, 4=wak dan 5=mas. Untuk bilangan di atas lima dilakukan pola berulang sehingga: 6=maswan, 7=mastsak, dst; untuk bilang 10 disebut tul, 15 disebut pet dan 20 disebut sel. Bagaimana dengan bilangan 30, 40, 50 dst. Juga ada penggunaan sistem basis 20 (vigesimal) dalam perhitungan, mirip dengan sistem bilangan yang digunakan dalam bahasa Prancis, Denmark, dan Basque. Sistem bilangan igesimal Celtic menggunakan 20 sebagai basis utama dalam perhitungan, bukan 10 seperti sistem desimal yang umum digunakan saat ini. Bilangan-bilangan dalam sistem ini seringkali dibentuk dengan menggabungkan kelipatan 20 dengan satuan-satuan yang lebih kecil, misalnya, dalam bahasa Wales, "20" adalah "ugain", dan "40" adalah "deugain" (dua kali 20). Dalam bahasa Welsh, "60" adalah "trigain" (tiga kali 20), dan "80" adalah "pedwar ugain" (empat kali 20). Selain bahasa Celtic, sistem vigesimal juga pernah digunakan dalam bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Maya dan beberapa bahasa pribumi di Amerika Utara. Memahami sistem bilangan Celtic masa lampau memberikan wawasan tentang cara berpikir dan budaya masyarakat Celtic pada masa lalu. Sementara itu, sebutan bilangan bahasa Prancis termasuk hal tersulit untuk dipahami dan rumit. Enam puluh sembilan angka pertama cukup sederhana, dan mengikuti logika yang mudah dipahami. Enam angka dari " onze" hingga "seize" merupakan pengecualian yang membingungkan, tetapi angka belasan dalam bahasa Inggris juga tidak sepenuhnya intuitif. Ketika kita mencapai angka tujuh puluh, segalanya menjadi sedikit aneh. Orang Prancis tidak secara harfiah mengatakan 'tujuh puluh'; melainkan 'enam puluh sepuluh'. Bentuk ungkapan yang aneh ini berlanjut hingga 'delapan puluh'—yang pada akhirnya menjadi semakin membingungkan. Alih-alih mengatakan 'delapan puluh', orang Prancis mengatakan quatre-vingts— yang secara harfiah berarti 'empat puluh dua puluh'. 'Sembilan puluh' adalah quatre-vingt-dix ; 'sembilan puluh sembilan' adalah quatre-vingt-dix-neuf. Tabel: Sebutan bilangan Kelt

Sebutan bilangan dalam bahasa Batak termasuk yang paling sederhana dan logis. Seperti disebut di atas sebutan bilangan bersifat biner (1-0, 10-0, 20-0, dst) dan secara khusus untuk belasan berbeda antara bahasa Batak dengan bahasa-bahasa lain seperti bahasa Inggris, bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Sebutan bilangan bahasa Batak dalam kelipatan puluhan menggunakan basis 10 (decimal) seperti sapulu atau sada pulu (10), dua pulu (20), tiga pulu (30), dst.


Sebutan bilangan bersifat biner (1-0, 10-0, 20-0, dst) selain dalam bahasa Batak, juga ditemukan dalam bahasa-bahasa tertentu. Bahasa-bahasa yang menggunakan sistem biner khususnya belasan dan kelipatan puluhan atau decimal (1+10, 2+10, 3+10, dst) ditemukan dalam bahasa Armenia (di sebelah timur laut Sumeria), bahasa Kazak, bahasa Uzbek, bahasa Mongolia, bahasa Cina dan bahasa Jepang. 
Sebutan bilangan Batak mewakili pulau Sumatra, sebutan bilangan Jawa mewakili pulau Jawa. Untuk pulau Sulawesi adalah bahasa Bolaang Mongondow: 1=tougo atau tobatu; 2=dohowa, dojowa, dorowa, déowa atau duwa; 3=tolu, 4=opat, 5=lima, 6=onom, 7=pitu, 8=walu, 9=sijou, 10=mopulu, 11=mopulu bo minta, 12=mopulu bo dohowa. Sepintas antara bahasa Batak dengan bahasa Bolaang Mongondow lebih mirip jika dibandingkan dengan bahasa Jawa. Salah satu bahasa di bagian tengah pulau Sulawesi adalah bahasa Toradja: 1=misa, issaq, 2=dadua (dua), 3=tallu, 4=apa (aqpaq), 5=lima, 6=annan, 7=pitu, 8=karua, 9=kasera, 10=sangpulo; 11=sangpulo misam 12=sangpulo dua. Untuk sebutan bilangan belasan, bahasa Bolaang/Minahasa dan Toradja lebih mirip bahasa Batak jika dibandingkan bahasa Jawa. Bagaimana dengan bahasa Manggara? 1=sa, 2=sua, 3=telu, 4=pat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=alo, 9=siok, 10=sempulu, 11=sempulu sa, 12=sempulu sua. Bahasa Ende: 1=esa, seesa, 2= rua, esa rua, 3=terhu, esa terhu, 4=wutu, esa wutu, 5=rhima, esa rhima. Sebutan angka lima mungkin ada kaitannya dengan zima yang mana bahasa Ende zima artinya tangan yang memiliki jari, 6=rhima esa; 7=rhima rua, 8 =rua mbutu, 9=tera esa, 10=semburhu, 11=semburhu se esa; 12=semburhu esa ruam dst. 16=semburhu esa rhima esa.

Lantas bagaimana dalam hal bentuk (lambang) penulisan sebutan bilangan dalam bahasa Batak? Bentuk lambangan bilangan Mesir Kuno (Egyptian) terkesan belum berpola. Yang berpola baru ditemukan pada lambanga bilangan yang lebih muda (Sumeria). Lambang bilangan Sumeria sering disebut pola berbentuk paku. Lambang bilang Batak memiliki kemiripan dengan lambang bilangan Sumeria dan lambang bilangan Romawi.


Selain ada kemiripan, juga ada perbedaan yang mendasar antara lambangan bilangan Sumeria dengan lambang bilangan Batak dan lambang bilangan Romawi. Dalam hal ini bagaimana dengan lambang bilangan Fenesia? Tidak terinformasikan. Sebagaimana aksara Fenesia menurunkan aksara Yunani kuno dan kemudian aksara Yunani kuno diturunkan ke aksara Romawi (dan selanjutnya baru kemudian ke aksara Latin). Bentuk bilangan Yunani kuno menggunakan aksara Yunani kuno (alpha, beta, gamma). Sedangkan lambang bilangan Romawi menggunakan aksara Romawi (I, V, X, L, C, D, M) yang dikombinasikan. Lambang bilangan 1, 2 dan 3 mirip dengan lambang bilangan Batak (tidak berdiri, tetapi rebah). Tabel: Aksara Kelt. 

Lambang bilangan Batak dibentuk dengan pola geometric (garis, bidang dan ruang). Suatu bentuk lambang bilangan yang sangat khas. Lambang bilangan Batak untuk angka bidang dan ruang 3, 4, 6 dan 8 ditemukan juga dalam aksara Kelt. Sedangkan lambang bilangan Batak untuk angka 7 diturunkan dari angka 8 (½ dari bentuk angka 8) dan lambang bilangan Batak untuk angka 9 diturunkan ¾ angka 8.


Bagaimana persamaan dan perbedaan aksara Kelt dengan lambang bilangan Batak? Seperti yang disebut di atas, persamaannya adalah lambang bilangan Batak untuk angka bidang dan ruang 3, 4, 6 dan 8 ditemukan juga dalam aksara Kelt (bidang segitiga, bidang segi empat, empat bidang dari ruang segi empat, dua segi tiga yang berlawanan). Perbedaannya adalah lambang-lambang bilangan dalam sebutan bilangan Batak sementara huruf di dalam aksara Kelt. Yang digunakan dalam lambang bilangan Batak bersifat teratur: bidang segitiga, bidang segi empat, empat bidang dari ruang segi empat, dua segi tiga yang berlawanan. Oleh karena itu lambang bilang Batak bersifat geometric: garis, bidang dan ruang; kumpulan garis membentuk bidang, kumpulan bidang membentuk ruang. Beberapa lambang bilangan Batak juga memiliki kemiripan dengan lambang bilangan Sumeria. 

Secara umum aksara Batak dan lambang bilangan Batak memiliki kemiripan (berada diantara) aksara dan lambang bilangan di Laut Tengah (Sumeria, Fenesia, Kelt, Romawi). Dalam konteks inilah kemudian terbentuk lambang bilangan Arab dan lambang bilangan Latin. Jelas dalam hal ini bentuk aksara Batak dan lambang bilangan Batak tidak terhubung dengan bentuk aksara Jawa dan lambang bilangan Jawa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: