*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini
Berbagai pihak mengklaim siapa Abdoerraoef van
Singkel. Mengapa? Abdoerraoef van Singkel disebut adalah orang pertama menerjemahkan
(tafsir) Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu. Itu satu hal. Bahwa ada orang Aceh yang
mengklaim orang Atjeh dan ada orang Batak yang mengklaim orang Batak itu hal
lain. Namun dalam hal ini, yang jelas
dari namanya Abdoerraoef berasal dari Singkel (di pantai barat Sumatra).
Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili lahir Singkil, 1615-wafat Kuala Aceh, 1693, disebut Syekh Abdurrauf Singkel. Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Jawi tsuma al-Fansuri as-Singkili. Menurut Ali Hasjmy dan Peunoh Daly, keluarganya diduga berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, pada akhir abad ke-13. Namun, hal itu belum dapat dipastikan karena minimnya catatan sejarah keluarganya, serta tidak didukung nama keluarga yang mencirikan keturunan Arab ataupun Persia. Terdapat dugaan berdasarkan namanya yang tertulis pada karya-karyanya, bahwa ia keturunan Melayu dari Fansur (Barus); sedangkan menurut riwayat lisan masyarakat Simpang Kanan di Aceh Singkil, ia keturunan Batak yang beragama Islam. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri, kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Abdoerraoef van Singkel, orang Aceh atau orang Batak? Seperti disebut di atas, siapa Abdoerraoef van Singkel adalah satu hal, namun dalam hal ini sejarah Singkel sejak invasi VOC (1668) hingga invasi Pemerintah Hindia Belanda 1905 (Dja Endar Moeda). Lalu bagaimana sejarah Abdoerraoef van Singkel, orang Aceh atau orang Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Abdoerraoef van Singkel, Orang Aceh atau Orang Batak? Sejak Invasi VOC (1668) hingga 1905 (Dja Endar Moeda)
Pada dasarnya sejarah ke masa lampau berlapis-lapis. Ibarat lapisan tanah, adakalanya lapisan tanah alluvial disela oleh lapisan pasir berbatu. Demikian juga dengan sejarah di pantai barat Sumatra. Persoalannya membicarakan lapisan yang mana lebih dahulu? Sangat naif jika menarasikan sejarah pantai barat hanya satu lapisan saja. Mari kita mulai dari lapisan atas.
Pada tahun 1905 Pemerintah Hindia Belanda menguasai (wilayah) Atjeh sepenuhnya.
Ini menandai awal administrasi Pemerintah Hindia Belanda secara keseluruhan. Salah
satu program pemerintah yang penting sejak awal adalah memperluaskan pendidikan
dengan menggunakan aksara Latin (sebagaimana sudah sejak lama diberlakukan di
seluruh Hindia Belanda). Guru-guru yang dikirim Pemerintah Hindia Belanda ke Atjeh
mengapa bukan dari wilayah Minangkabau dan dari wilayah Melayu? Itu satu hal. Mengapa
guru-guru asal Angkola Mandailing (Tapanuli) yang dikirim ke wilayah Atjeh? Itu
hal lain.
Pada tahun 1905 Dja Endar Moeda berangkat dari Padang ke Kota Radja. Tidak terinformasikan apakah itu karena ajakan Pemerintah Hindia Belanda atau inisiatif sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun1904 seluruh wilayah Atjeh sudah berada di dalam kendali kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Berdasarkan Almanak 1905, Residentie Tapanoeli terdiri dari 5 afdeeling:
(1) Angkola Mandailing, (2) Natal, (3) Padang Lawas, (4) Sibolga, dan (5)
Silindoeng en Toba. Afdeeling Angkola Mandailing terdiri dari 4 onderafdeeling:
(1) Angkoa, (2) Groot Mandailing en batang Natal, (3) Klein Mandailing, Oloe en
Pakantan. (4) Sipirok. Afdeeling Sibolga terdiri 5 onderafdeeling: (1) Sibolga Ommelanden,
(2) Batangtoru Districten, (3) Baros, (4) Singkel, (5) Nias. Onderafdeeling
Singkel meliputi lanskap Simpang Kiri dan Simpang Kanan, serta Banyak-eilanden.
Yang jelas, pada tahun 1906 Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu di Kota Radja. Surat kabar yang dipimpin langsung Dja Endar Moeda diberi nama Pembrita Atjeh. Surat kabar ini dicetak dengan menggunakan aksara Latin.
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda lulus sekolah guru (kweekschool)
Padang Sidempoean pada tahun 1884. Sekolah guru ini merupakan sukses sekolah
guru (kweekschool) yang didirikan Sati Nasoetion alias Willem Iskander di
Tanobato yang dibuka tahun 1862). Dja Endar Moeda kemudian ditempatkan sebagai
guru di Batahan (Natal), kemudian dipindahkan ke Air Bangis dan terakhir dipindahkan
ke Singkel. Pada masa ini Singkel adalah distrik terjauh dari Residentie Tapanoeli
(yang beribukota di Sibolga). Pada tahun 1893 pensiun diri, lalu dari Singkel
Dja Endar Moeda berangkat haji ke Mekkah. Sekembali dari Mekkah, Hadji Saleh
Harahap memilih menetap di Padang pada tahun 1895. Oleh karena tidak semua
penduduk usia sekolah tertampung di sekolah pemerintah di Padang, Dja Endar
Moeda berinisiatif mendirikan sekolah swasta. Masih pada tahun 1895, Dja Endar
Moeda mendapat tawaran dari penerbit untuk menjadi pemimpin redaksi surat kabar
baru berbahasa Melayu. Surat kabar tersebut bernama Pertja Barat. Pada saat
jurnalis Belanda mempertanyakan mengapa (guru) Dja Endar Moeda beralih ke dunia
jurnalistik, Dja Endar Moeda dengan sigap menjawab: ‘Oh, saya tetap jadi
seorang guru, jurnalistik dan pendidikan sama pentingnya, sama-sama mencerdaskan
bangsa’. Itulah salah satu kecerdasan seorang guru, dimana guru tetaplah guru.
Dja Endar Moeda membuka toko buku yang merupakan Sebagian dari buku-buku yang
ditulisnya sendiri. Dja Endar Moeda selain menulis buku-buku pelajaran sekolah,
juga buku-buku umum termasuk buku roman (novel). Pada tahun 1899 Dja Endar
Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat termasuk percetakannya. Pada tahun
1900 Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar Tapian Na Oeli yang berbahasa
campuran Melayu dan Batak untuk sirkusi di wilayah Tapanoeli. Pada tahun 1901
Dja Endar Moeda kembali menerbitkan satu majalah bulanan Insulinde yang berisi
tentang pembangunan, pertanian dan industry rakyat. Majalah Insulinde ini juga
menjadi organ dari organisasi kebangsaan yang didirikannya pada tahun 1900 yang
diberi nama Medan Perdamaian. Tidak sampai disitu. Pada tahun 1904, Dja Endar
Moeda menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda bernama Sumatra Nieuwsblad.
Mengapa harus berbahasa Belanda? Sudah barang tentu untuk merambah pasar
pembaca baru agar aspirasi orang pribumi dapat dipahami orang orang
Eropa/Belanda.
Kehadiran surat kabar berbahasa Melayu di Atjeh sudah barang tentu dapat dengan mudah diterima penduduk, sesuai motto Dja Endar Moeda bahwa pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya: sama-sama mencerdaskan bangsa. Dja Endar Moeda tidak membedakan satu suku dengan suku yang lainnya. Dja Endar Moeda adalah seorang nasionalis. Ini tergambar dari motto surat kabarnya Pertja Barat di Padang: “Oentoek Sagala Bangsa”. Demikianlah cara guru melihat bangsanya. Dja Endar Moeda juga sangat piawai dalam hukum, tidak hanya di Padang juga di Atjeh.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909: ‘Dja Endar Moeda,
editor koran ‘Pembrita Atjeh’ membantu seorang terdakwa secara hukum dan bebas.
Atas memberikan keterangan (saksi ahli) yang mewakili terdakwa dan sikap adil,
Dja Endar Moeda ditawari pemerintah f5000, melalui pengacara, tetapi Dja Endar
Moeda menolaknya. Dja Endar Moeda di Aceh berfungsi ganda: mencerdaskan bangsa
(Pembrita Atjeh) juga sekaligus membantu para terdakwa (pribumi maupun asing)
secara berkeadilan di muka hukum (saksi ahli)’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sejak Invasi VOC (1668) hingga 1905 (Dja Endar Moeda): Pantai Barat Sumatra dari Zaman Kuno hingga Masa kini
Setelah penyerahan sepenuhnya Atjeh, Pemerintah Hindia Belanda mulai menata kembali wilayah administrasi pemerintahan, dalam hal ini, di wilayah Sumatra bagian utara. Tujuan penataan wilayah administrasi pemerintahan untuk memberi dampak bagi penduduk dengan kendali manajemen yang paling efisien dan efektif.
Pemisahan wilayah onderafdeeling Singkel dari Residentie Tapanoeli berdasarkan Besluit (Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda) tanggal 21 Augustus 1905 No. 13 tentang Pemisahan wilayah Singkel dari Residentie Tapanoeli dan penambahan wilayah tersebut ke dalam pemerintahan (gouvernement) Atjeh en Onderhoorigheden’. Isinya, sebagai berikut: Dibacakan, dst.; Disetujui dan dipahami: Pertama: Menetapkan: A. bahwa, dengan amandemen sepanjang Pasal 1, huruf 6, dekrit tanggal 11 Maret 1841 No. 10, Pasal 1, huruf A, sub-1. keputusan tanggal 31 Oktober 1877 No. 94 dan Pasal 5, ayat 7, Dekrit 8 Agustus 1905, No. 37 (Staatsblad No 419), yurisdiksi subdivisi Singkel, divisi Si Boga, Residentie Tapanoeli, yang terdiri dari: a. wilayah yang dikelola langsung (Beneden-Singkel), meliputi kampung Koeala Bahroe dan Pasar Singkel, Telök Ambön, Rantau Gedang, Tandjong Bahroe, Paja Boembong, Gosong Telaga, dan Pamoeka, serta Kepulauan Banjak; b. wilayah-wilayah atas yang masih memiliki pemerintahan sendiri (Boven-Singkel); akan dipisahkan dari residentie tersebut dan ditambahkan ke dalam Pemerintahan (gouvernement) Atjeh en Onderhoorigheden; B. bahwa wilayah hukum yang dimaksud pada A akan dikelola oleh (gouvernement) Atjeh en Onderhoorigheden dan mengangkat seorang Perwira Dependensi Angkatan Darat, dengan gelar Civiel Gezaghebber dan bertugas di Roendeng, dengan tunjangan sebesar ƒ100 (seratus gulden) per bulan di samping penghasilan normalnya; C. bahwa Civiel Gezaghebber tersebut akan dibantu dalam pengelolaan wilayah yang dikelola langsung (Beneden Singkel) oleh Pemungut Bea Masuk dan Ekspor serta Cukai di Singkel, yang akan menerima tunjangan sebesar ƒ50 (lima puluh gulden) per bulan di samping penghasilannya...Kelima: Menetapkan, sebagai tindakan sementara, bahwa Civiel Gezaghebber Singkel akan langsung berada di bawah Pejabat yang bertugas melakukan kontak politik dengan para pemimpin dan penduduk di Gajo dan Alaslandend dan mempersiapkan pemukiman permanen di sana. Keenam: Dekrit ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1906. Salinan, dst. Atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda: Sekretaris Jenderal. Dikeluarkan pada tanggal 28 Agustus 1905. Sekretaris Jenderal,
Pembagian wilayah tidak lagi hanya semata berdasarkan tanah/kelompok populasi, tetapi dalam konteks efisiensi dan efektivitas penerimaan dan anggaran pemerintah pusat. Wilayah (Residentie) Oost Sumatra dikurangi, dimana wilayah onderafdeeling Tamiang dimasukkan ke wilayah Residentie Atjeh; juga hal yang sama di pantai barat Sumatra, wilayah onderfadeeling Singkel dipisahkan dari Residentie Tapanoeli dan kemudian dimasukkan ke wilayah Residentie Atjeh.
Hal serupa ini juga pernah dilakukan wilayah Air Bangis dan Pasaman yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Mandailing yakni Rao dan Air Bangis dipisahkan dan kemudian dimasukkan ke wilayah Residentie Padangsche Bovenlanden (West Sumatra). Hal itulah mengapa kini wilayah Pasaman (Batak) masuk wilayah provinsi Sumatra Barat, dan mengapa wilayah Singkel (Batak) dan wilayah Tamiang (Melayu) masuk wilayah provinsi Atjeh. Jauh di masa lampau juga terjadi pada wilayah Tambusai (Batak) yang dipisahkan dari Padang Lawas kemudian dimasukkan ke wilayah Rokan (kini masuk provinsi Riau). Dalam perkembangannya, wilayah onderafdeeling Singkel juga meliputi pulau kecil dengan pesisir (lihat Besluit No. 29. Batavia, 16 December 1907). Isinya: Gelezen enz.; Is goedgevonden en verstaan: Den Directeur van Binnenlandsch Bestuur bevoegd te verklaren tot vaststelling der voorwaarden voor de verhuring van de: A. ingevolge het besluit van 30 December 1898 No 24 tot en met 31 December 1908 in huur afgestane klapperaanplantingen, voorkomende op: a. de eilanden Toeangkoe, Kandang, Parbirahan, Mangkir ketjil, Mangkir gedang en Lipang ketjil der onderafdeeling Singkel, afdeeling Onderhoorigheden van Atjeh, gouvernement Atjeh en Onderhoorigheden; b. het eiland Pandjang der onderafdeeling Baroes, afdeeling Bataklanden, residentie Tapanoeli. Dalam hal ini pulau Panjang masih tetap di wilayah Tapanoeli. Bagaimana dengan kisruh empat pulau yang belum lama ini?
Satu fakta bahwa wilayah (onderafdeeling) Singkel telah dipisahkan dari wilayah Tapanoeli (dimasukkan) ke Atjeh, namun tidak mengubah fakta bahwa wilayah Singkel jauh sebelum itu adalah wilayah Tapanoeli. Bagaimana asal-usul wilayah Singkel sejak awal sebagai bagian dari wilayah pantai barat Sumatra (Sumtra’s Westkust) paling tidak dapat diperhatikan sejak era VOC?
Apa yang mendasari pemisahan secara administrative wilayah Singkel dari
wilayah Tapanoeli besar dugaan dengan adanya latar belakang Abdoerraoef van
Singkel yang berasal dari (wilayah) Singkel. Sebagaimana diketahui Abdoerraoef
van Singkel pernah memainkan peran penting di kraton Kesultanan Atjeh pada masa
lampau. Konon, makam Abdoerraoef van Singkel berada di muara/kuala daerah
aliran sungai Krueng sehingga orang Atjeh menyebutnya sebagai Sjaih di Kwala.
Pada tahun 1663 sejumlah para pemimpin local di wilayah pesisir pantai barat Sumatra berangkat ke Batavia untuk meminta dukungan (pemerintahan) VOC untuk mengusir (pengaruh) Atjeh di pantai barat Sumatra. Ini mengindikasikan bahwa para pemimpin di pantai barat Sumatra tidak menganggap susuhunan mereka Sultan Atjeh. Dengan kata lain wilayah pantai barat Sumatra hanya sebagai wilayah vassal Kesultanan Atjeh. Para pemimpin lokal yang independen ini bebas memilih siapa yang dijadikan sekutu: Atjeh atau VOC.
Gayung bersambut. Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1665 mengirim satu
ekspedisi militer ke pantai barat Sumatra yang dipimpin Majoor Poerman yang
juga dibantu pasukan pribumi pendukung militer VOC yang dipimpin oleh Aroe
Palaka. Hasilnya wilayah Padang, Pariaman dan Tikoe dapat dibebaskan dari
pengaruh Atjeh. Sejak ini dibuat perjanjian antara para pemimpin lokal dan para
pejabat VOC. Sukses VOC di pantai barat itu memotiasi Baroes dan Singkel untuk
bergabung dengan VOC yang kemudian diadakan perjanjian dengan Baros dan Singkel
pada tahun 1668. Baros dan Singkel (baca: wilayah Tapanoeli) terbebas dari
pengaruh (kesultanan) Atjeh. Perlu dicatat sebagian wilayah Bengkulu (bagian
selatan) berada di bawah pengaruh Kesultanan Banten. Hubungan VOC dengan Banten
saat itu baik-baik saja. Hal ini berbeda dengan Atjeh. VOC menganggap masih ada
utang yang harus dibayar atas terbunuhnya Cornelis de Houtman di Atjeh pada
tahun 1601.
Kerja sama para pemimpin lokal di Baroes dan Singkel dengan VOC dalam mengusir pengaruh (kesultanan Atjeh) menunjukkan bahwa wilayah Baroes dan wilayah Singkel bukan wilayah kesultanan Atjeh. Hal serupa ini juga dengan wilayah-wilayah di selatan hingga Tiku, Pariaman hingga Padang (batas terjauh di selatan pengaruh Atjeh di pantai barat Sumatra). Batas tejauh di utara pengaruh Banten hingga Silebar (masuk wilayah Bengkulu). Dengan demikian, wilayah otoritas perdagangan VOC meluas dengan penambahan wilayah baru di pantai barat Sumatra yang masuk wilayah Minangkabau/Padang dan wilayah Batak/Tapanoeli.
Sejak kapan (kesultanan)
Atjeh memperluas wilayahnya di pantai barat Sumatra dan di pantai timur Sumatra
sebagai vassal tidak terinformasikan secara jelas. Namun berdasarkan catatan
seorang penulis Portugis, Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke pantai timur
Sumatra (dari Malaka) tahun 1537 kerajaan Aroe tengah berselisih dengan
kerajaan Atjeh. Pangkal perkaranya dua anak Radja Aroe terbunuh di Nagur
(Simalungun) dan Lingga (Karo). Pusat kerajaan Aroe saat ini berada di daerah
aliran sungai Baroemoen. Mendes Pinto juga menyebut Baros (di pantai barat)
merupakan bagian dari otoritas Kerajaan Aroe. Dalam perselisihan itu menurut Mendes Pinto,
perang tidak terhindarkan dan Kerajaan Aroe mengalami kekalahan besar, Radjanya
terbunuh. Sejak ini, Kerajaan Atjeh yang telah didukung militer Turki muncul
sebagai kekuatan baru di bagian utara Sumatra (menggantikan Kerajaan Aroe) dan
menjadi pembuka jalan bagi kerajaan Atjeh/kesultanan Atjeh memperluas pengaruh
(perdagangan) baik di pantai timur maupun pantai barat Sumatra. Portugis di
Malaka head-to-head dengan Kesultanan Atjeh di Kota Radja. Namun demikian,
singkatnya: pada tahun 1641 VOC berhasil mengusir Portugis di Malaka dan di
Kambodja (tamat kekuatan perdagangan Portugis di Sumatra).
Sejak 1668 wilayah pantai barat Sumatra hingga di Singkel berada di bawah pengaruh (otoritas) perdagangan VOC. Ini menandai era baru penduduk Singkel dalam perdagangan. Arus perdagangan yang selama ini ke Atjeh (Kota Radja) bergeser ke Batavia melalui perdagangan regional di pantai barat Sumatra. VOC juga segera membangun loge sekaligus benteng pendukung di Singkel untuk menjaga pertahanannya di wilayah utara pantai barat Sumatra dengan benteng utama di Baroes. Pada masa inilah dietahui riwayat Abdoerraoef van Singkel.
Siapa Abdoerraoef van Singkel? Rinkes (1909) mencatat bahwa Abdur-Raouf pasti telah berangkat ke Arab setelah tahun 1642. Usianya saat itu tidak mungkin lebih dari 25 tahun pada saat keberangkatannya. Sekembalinya dari Mekkah, Abdoerraoef van Singkel banyak menulis. Dalam karya-karyanya penyebutan namanya ada penambahan "aldjawi" pada nama A. yang menunjukkan bahwa ia berasal dari suku asli. Toponimi secara umum, seperti al-Samatra'i, al-Palimbani, al-Singkili, dan lainnya. Abdar-ra'oef van Singkel, yang dikenal sebagai Teungkoe di Kwala, seorang mistikus ternama. Juga mendapat dukungan S Tadj al-'alam Safiat ad-dïn Syah atau Poetri Sri Alam Permisoeri, 1641–1675. Ratu pertama Aceh. Satu fragmen tafsir Al-Qur'an Melayu (kemungkinan milik Abdurraoef) yang dduga merupakan bagian dari koleksi yang diperoleh di pesisir utara Aceh pada tahun 1898.
Abdoerraoef van Singkel tidak hanya berasal dari Singkel, Abdoerraoef van Singkel juga merupakan orang penduduk asli. Artinya, Abdoerraoef van Singkel di Singkel bukan orang asing atau orang pendatang seperti dari Arab, Persia atau tempat lain termasuk di nusantara. Abdoerraoef van Singkel diduga telah hijrah dari Singkel sebelum kehadiran VOC di Singkel (1668).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com





Tidak ada komentar:
Posting Komentar