*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat
istiadat adalah tata kelakuan yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya sebagai warisan dan sudah menjadi pola perilaku suatu masyarakat.
Adat istiadat ini mencakup berbagai kebiasaan, tradisi, dan aturan yang
diwariskan secara turun temurun dan menjadi ciri khas suatu daerah atau
kelompok masyarakat. Adat berasal dari bahasa Persia yang berarti kebiasaan,
cara, penggunaan, upacara, atau observasi. Istiadat berasal dari bahasa Arab
yang berarti permintaan kembali atau kebiasaan yang berulang. Adat istiadat
memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai sosial, moral, dan identitas
suatu masyarakat.
Adat istiadat Angkola Mandailing mencakup berbagai tradisi dan upacara yang kaya akan nilai budaya dan sosial. Beberapa di antaranya adalah upacara pernikahan, seperti Gondang Sabangunan dan Mangupa Boru, serta berbagai tradisi lisan seperti Marsitogol dan Maronang-onang. Selain itu, ada juga tradisi seperti Manortor dan Marpege-pege yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat Angkola Mandailing. Beberapa Adat Istiadat Angkola Mandailing yang Penting: Gondang Sabangunan: Upacara pernikahan adat yang dilakukan dalam pernikahan di Mandailing. Mangupa Boru: Upacara khusus bagi pengantin perempuan dalam adat Angkola. Manortor: Tarian adat yang sakral dalam upacara Horja Godang (pesta besar). Marpege-pege: Tradisi gotong royong dalam pernikahan, di mana masyarakat saling membantu secara finansial. Marsitogol: Senandung ratapan yang digunakan dalam berbagai upacara, termasuk pernikahan dan kematian. Maronang-onang: Nyanyian pengiring tari Tor-tor, yang juga digunakan dalam berbagai upacara adat. Tradisi Lisan Lainnya: Seperti Marjeir, Marolok-olok, Marbue-bue, Markobar, dan Marturi yang memiliki fungsi dan makna masing-masing dalam kehidupan sosial masyarakat Angkola.Pakaian Adat: Pakaian adat Batak Angkola mirip dengan Mandailing, didominasi warna hitam dengan perpaduan merah, seringkali menggunakan ulos. Bagas Godang: Rumah adat yang dulu berfungsi sebagai tempat tinggal raja. Mangitaki: Tradisi memercikkan air santan dan kue itak untuk tujuan keselamatan dan rezeki. Pataru Sere Sahatan: Tradisi dalam pernikahan yang melibatkan sanksi bagi pelanggar kesepakatan. Adat istiadat ini mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap leluhur yang menjadi ciri khas masyarakat Angkola Mandailing (AI Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah adat istiadat Angkola Mandailing di wilayah Tapanoeli? Seperti disebut di atas, adat istiadat memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai sosial, moral, dan identitas suatu masyarakat. Adat istiadat di Angkola Mandailing cakupannya banyak seperti gondang Sabangunan, mangupa boru, marpege-pege dan lainnya. Lalu bagaimana sejarah adat istiadat Angkola Mandailing di wilayah Tapanoeli? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Adat Istiadat Angkola Mandailing di Wilayah Tapanoeli; Gondang Sabangunan, Mangupa Boru, Marpege-pege
Sejak kapan adat istiadat dicatat? Tidak terinformasikan. Yang jelas pada tahun 1922 Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem di Pematang Siantar menulis buku berjudul Adat Batak II (di Bagasan Siriaon) di Bagasan Hata Batak Angkola dohot Mandailing yang diterbitkan NV Medansche Drukkerij.
Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem adalah seorang guru di Pangkalan Brandan dan menikah di Padang Sidempoean (lihat Deli courant, 27-10-1913). Dalam perkembangannya, Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem sudah terinformasikan bertempat tinggal di Pematang Siantar pada tahun 1919 (lihat De Sumatra post, 17-06-1919). Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem terinformasikan sebagai pegawai di lanschap Siantar (lihat De Sumatra post, 03-07-1919). Tahun 1920 di Pematang Siantar didirikan Bataksche Bank dimana dimana sebagai presiden adalah Dr Alimoesa Harahap dan Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem sebagai sekretaris (De Sumatra post, 23-11-1920). Salah satu sebagai komisaris adalah Dr Mohamad Hamzah Harahap dan sebagai Administrateur adalah Mohamad Joenoes gelar Soetan Hasoendoetan.
Buku Adat Batak (dingkola Mandailing.Buku Adat Batak (di Bagasan Siriaon) yang ditulis oleh Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem setebal 132 halaman. Buku tersebut terdiri 12 bab. Siriaon berlawanan dengan siloeloeton. Siriaon dalam kamus bahasa Angkola Mandailing yang ditulis HJ Eggink (1936) dari akar kata ria=riang, penuh sukacita; siriaon=sukacita, kegembiraan; suatu peristiwa yang membuat seseorang bahagia. Buku ini diduga adalah buku pertama tentang adat Angkola Mandailing yang diterbitkan. Cakupannya dapat dikatakan lengkap.
Ke-12 bab isi buku Adat Batak (di Bagasan Siriaon) ini adalah sebagai berikut: I. Marnoengnoeng pabagas anak; II. Paoelak kobar; III. Martandang, Ende-ende. Marbondong; IV. Mangkobar dohot manjapai boroe, Paboeat boroe, Andoeng ni boroe; V. Maroban boroe, Manggalanggangkoni, Pas'ae roboe, Pataon tondi, Marlongit, Marbondong, Mata ni hordja; VI. Pahoras tondi; VII. Pasoentjang boeloeng na malos (mebat); VIII. Padjae anak; IX. Maroban indahan toengkoes, Martahi, Mangoepa anak na baroe sorang; X. Mandjagit parompa; Xl. Mangalodjongkon boroe, Maroban bodil pangontjot; XII. Mardomoe.
Apa yang mendorong Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem menulis buku adat istiadat tersebut tidak diketahui secara pasti. Boleh jadi karena buku sejenis belum ada sebelumnya atau karena ingin menjembatani antara adat istiadat (yang telah dilestarikan sejak lama) dengan para pihak yang ingin melaksanakannya terutama komunitas halak Angkola Mandailing di wilayah rantau. Di Pematang Siantar saja sudah banyak orang yang berasal dari Angkola Mandailing.
Dr Mohamad Hamzah terinformasikan pada tahun 1912 sebagai dokter di Dolok
Baros afdeeling Simaloengoen en Karolanden (lihat Regerings-almanak voor
Nederlandsch-Indië, 1912). Pada tahun 1915 di Bandar Baroe afdeeling
Simaloengoen en Karolanden (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië,
1915). Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon dipindahkan dari Tandjoeng
Balai ke kantor Asisten Residen Simaloengioen di Pematang Siantar (Oost
Sumatra) pada tahun 1915. Dalam perkembangannya Mangaradja Soangkoepon terpilih
menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantar. Pada tahun 1917,
Abdul Firman yang menjadi pegawai di kantor Asisten Residen Simaloengoen dan
Karolanden di Pematangsiantar mencalonkan diri untuk kandidat Volksraad dari
wilayah pemilihan Pematang Siantar (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië, 07-12-1917). Dr Ali Moesa, wakil kepala dokter hewan di
Pematang Siantar diperbantukan di Baligé (lihat Deli courant, 13-03-1918). Dr Mohamad
Hamzah di Pematang Siantar (lihat Deli courant, 27-03-1918). Soetan Martoewa Radja
(Siregar) sebagai guru di Pematang Siantar terhitung sejak 29 Juni 1918 dan
Madong Loebis sebagai guru di Pematang Siantar sejak 8 Juli 1919 (lihat Regerings-almanak
voor Nederlandsch-Indie, 1919). Soetan Martoewa Radja sebelumnya guru di
Taroetoeng dan Madong Loebis guru di Langsa. Pada tahun 1919 Dr Mohamad Hamzah gelar
Soetan Batoe Nadoea masih sebagai dokter di Pematang Siantar (lihat Regerings-almanak
voor Nederlandsch-Indië, 1919).
Seperti disebut di atas pada tahun 1920 di Pematang Siantar didirikan Bataksche Bank dimana sebagai presiden adalah Dr Alimoesa Harahap dan Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem sebagai sekretaris (De Sumatra post, 23-11-1920). Salah satu sebagai komisaris adalah Dr Mohamad Hamzah Harahap dan sebagai Administrateur adalah Mohamad Joenoes gelar Soetan Hasoendoetan. Pada tahun 1920 ini yang menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Pematang Siantar antara lain Dr Mohamad Hamzah Harahap dan Madong Loebis (lihat Deli courant, 02-11-1920). Anggota lainnya non Eropa adalah Tan Soen Tan. Ketua dewan kota sendiri adalah Tideman, Asisten Residen di Pematang Siantar.
Lantas mengapa banyak tokoh penting di Pematang Siantar yang berasal dari
Angkola Mandailing (Afdeeling Padang Sidempoean)? Tentu saja tidak hanya di Pematang
Siantar. Sejak tahun 1850an Afdeeling Angkola Mandailing sudah surplus dokter
dan kemudian menyebar ke berbagai wilayan. Demikian juga dengan guru sejak
1860an sudah surplus dan guru-guru lulusan sekolah guru Tanobato menyebar ke
berbagai wilayah. Singkatnya, akhir abad ke-20, tokoh-tokoh asal Angkola
Mandailing sudah memiliki peran penting sebagai guru, dokter dan jurnalis di
Padang, Sibolga, Air Bangis, Kota Radja (Atjeh), Bengkalis, Tandjoeng Balai,
Rantau Pandjang dan Medan. Pada tahun 1875 sudah ada guru asal Mandailing yang
menjadi juru tulis di kraton Serdang di Rantaoe Pandjang. Pada tahun 1900 tokoh
asal Angkola Mandailing telah diangkat menjadi kepala kampong Kesawan di Medan.
Seiring dengan pembentukan afdeeling Simaloengoen en Karalanden di Oost Sumatra,
tokoh-tokoh asal Angkola Mandailing merapat ke Pematang Siantar plus ke Tebingtinggi.
Pada saat dewan kota (gemeenteraad) di Medan diberlakukan kandidat dari public
tahun 1918, salah satu yang terpilih adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng
(penilik sekolah di Oost Sumatra); di Padang Dr Abdoel Hakim Nasoetion terpilih
sebagai anggota dewan kota dan di Tebing Tinggi terpilih adalah Soetan Batang
Taris. Pada tahun 1921 di seluruh Hindia Belanda hanya terdapat 53 kota/daerah
yang memiliki anggota dewan. Sebagaimana dilaporkan Preanger-bode, 01-02-1921,
terdapat sebanyak 767 anggota non-Eropa. dan di Sumatra’Oostkust selain Medan
juga terdapat lima kota (gemeente) yang memiliki dewan kota, Kota Pematang
Siantar (8), Kota Tandjong Balai (6), Kota Medan (6), Kota Bindjei (6) dan Kota
Tebing Tinggi (9). Selain kota-kota tersebut, juga terdapat dewan pada
afdeeling (Kabupaten) Oostkust Sumatra yang jumlahnya sebanyak 21 orang non
Eropa. Di Residentie Tapanoeli tidak terdapat gemeente. Dari sejumlah daerah
yang ada, hanya satu daerah (gewest) yang memiliki dewan, yakni di Onder
afdeeling Angkola en Sipirok. Jumlah anggota dewan sebanyak 23 orang. Mungkin
ini sepintas agak aneh, karena Sibolga sebagai ibukota Residentie Tapanoeli
tidak terdapat dewan. Bahkan dewan pada tingkat afdeeling di Afdeeling Padang
Sidempuan tidak ada. Sebagaimana diketahui Angkola en Sipirok hanyalah salah
satu onderafdeeling yang terdapat di Afdeeling Padang Sidempoean. Dalam konteks
inilah diduga mengapa Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem di Pematang
Siantar pada tahun 1922 merasa perlu menyusun buku adat istiadat Angkola
Mandailing. Suatu buku yang dapat dipesan atau dapat dibeli di kota-kota besar
dimana terdapat toko buku.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Gondang Sabangunan, Mangupa Boru, Marpege-pege: Musik, Tarian, Peristiwa Sosial (Lahir, Menikah, Meninggal), Sastra, Bangunan dan Arsitektur, Hukum dan Lainnya
Sudah ada beberapa orang Eropa yang memasuki wilayah pedalaman Tanah Batak di wilayah Angkola. Satu yang pertama adalah seorang Inggris Charles Miller pada tahun 1772. Lalu kemudian Kervel pada tahun 1833. Itu terjadi sebelum dibentuknya cabang Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Tapanoeli. Dari laporan mereka tidak terinformasikan secara spesifik tentang adat istiadat.
Pada tahun 1832 Radja Gadoembang, yang sudah lama mengenal Letnan Belanda
di wilayah Rao Letnan Engelbert van Bevervoorde, meminta bantuan militer
Pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi wilayah Mandailing dari orang Padri sembari
para hulubalang Mandailing dan Angkola turut membantu militer Pemerintah Hindia
Belanda melawan kaum padri di wilayah Bondjol. Gayung bersambut, karena militer
Belanda juga memerlukan pasokan pangan dari wilayah Mandailing untuk mendukung logistic
militer. Sepulang dari suatu penyerangan ke Bondjol pada bulan November Radja
Gadoembang tertembak di sekitar Loeander (Panti). Radja Gadoembang meninggal 16
November 1835. Perjuangan melawan Padri dilanjutkan adiknya Soetan Mangkoetoer.
Akhirnya benteng Bondjol ditaklukkan pada tahun 1837. Para pangikut Padri
kemudian mengumpul di Daloe-Daloe dan kemudian merangsek ke wilayah Angkola dan
Sipirok. Radja Kota Siantar yang dibantu Patoean Soripada dari Angkola membantu
militer Belanda mengusir Padri. Pada tahun 1838 benteng Padri di Daloe-Daloe
dapat ditaklukkan. Sejak itu dibentuk Residentie Air Bangis termasuk di
dalamnya afdeeling Angkola Mandailing dimana ibukota onderafdeeling Mandailing
di Panjaboengan (sebelumnya di Kotanopan) dan ibu kota onderafdeeling Angkola
di Pidjorkoling (kemudian dipindahkan ke Padang Sidempoean). Seiring dengan
terbentuknya cabang Pemerintah Hindia Belanda, koffiekultuur diterapkan di
afdeeling Angkola Mandailing. Yang menjadi Asisten Residen Manda Healing en
Ankola adalah FAC Kervel (lihat De avondbode: algemeennieuwsblad
voorstaatkunde, handel, nijverheid, landbouw, kunsten, wetenschappen,
enz/door…12-09-1840). Setelah terjadi perlawanan Soetan Mangkoetor kemudian
terjadi kerusuhan di Mandailing yang mana kemudian pada tahun 1842 Controleur
di Natal Edward Douwes Dekker mengadokasi pada pemimpin Mandailing yang
melarikan diri ke Natal. Pada tahun 1843 Dekker dicopot dari jabatannya.
Asisten Residen Angkola Mandailing yang baru diangkat, TJ Willer (lihat Javasche
courant, 20-09-1843).
Pada tahun 1846 TJ Willer mangakihiri jabatannya sebagai Asisten Residen Angkola Mandailing. Selama menjadi asisten residen, TJ Willer telah mempelajari situasi dan kondisi di wilayah Afdeeling Angkola Mandailing dan di afdeeling Pertibi (baca: Padang Lawas). Laporan penyelidikan tersebut dipublikasikan TJ Willer di bawah judul Verzameling der Battahsche Wetten en Instellingen in Mandheling en Pertibie: Grevolgd van een Overzigt van Land en Volk in die Strekken yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nierlandsch Indie tahun 1946. Dalam laporan TJ Willer Inilah sejumlah hal dideskripsikan termasuk perihal adat istiadat di Angkola Mandailing.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar