Selasa, Juli 22, 2025

Sejarah Budaya (1): Bahasa Daun di Angkola Bahasa Bunga di Eropa; Charles Adrian van Ophuijsen Guru di Padang Sidempoean, 1881


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Budaya dalam blog ini Klik Disini

Katakan dengan bunga. Ini merujuk pada buku berjudul Le Langage des Fleurs oleh Charlotte de Latour (lihat edisi 1820, 1827, 1862 dan 1870); Le langage des fleurs ... oleh Louis-Aimé Martin. 1830; Nouveau langage des fleurs, ou Parterre de flore, 1832 dan 1860. Ini mengindikasikan simbolik (bahasa) bunga di Eropa menjadi bagian dari budaya. Namun, jauh di timur di Angkola di pulau Sumatra sudah dikenal sejak lama simbolik (bahasa) daun.


"Bahasa bunga" atau floriografi adalah praktik memberikan makna simbolis pada bunga untuk menyampaikan pesan atau perasaan tanpa kata-kata. Bunga telah lama digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengekspresikan berbagai emosi, mulai dari cinta dan kasih sayang hingga duka cita dan persahabatan. Berikut beberapa contoh bahasa bunga yang umum: Mawar: Simbol cinta, keindahan, dan gairah. Tulip: Melambangkan cinta yang sempurna, kesempurnaan, dan keanggunan. Anggrek: Melambangkan keindahan, kemurnian, keanggunan, dan kekuatan. Lily: Melambangkan kepolosan, kemurnian, dan keindahan yang abadi. Bunga Matahari: Melambangkan kebahagiaan, keceriaan, dan energi positif. Melati: Melambangkan kecantikan, kesuburan, dan kemurnian. Anyelir: Simbol cinta, kasih sayang, dan kekaguman. Bunga Daisy: Melambangkan kebahagiaan, cinta yang tulus, dan kesederhanaan. Tradisi bahasa bunga ini, yang dikenal sebagai floriografi, populer di berbagai budaya, termasuk budaya Eropa, Asia, dan Afrika. Di Jepang, bahasa bunga dikenal sebagai Hanakotoba (AI Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah bahasa daun di Angkola, bahasa bunga di Eropa? Seperti disebut di atas, bahasa bunga di Eropa, bahasa daun di Angkola. Orang Eropa pertama yang melaporkan keberadaan bahasa daun adalah Charles Adrian van Ophuijsen, guru di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Lalu bagaimana sejarah bahasa daun di Angkola, bahasa bunga di Eropa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Bahasa Daun di Angkola, Bahasa Bunga di Eropa; Charles Adrian van Ophuijsen Guru di Padang Sidempoean  

Charles Adrian van Ophuijsen sudah cukup lama di Angkola Mandailing dan sejak 1881 menjadi guru di sekolah guru Padang Sidempoean. Pada tahun 1886 Charles Adrian van Ophuijsen menulis artikel berjudul De Poezie in het Bataksche Volksleven yang dimuat dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1886 (1) [volgno 4], Deel: 1: “Selama tujuh tahun tinggal di Tanah Batak (Mandailing dan Angkola), saya mencatat sebanyak mungkin tentang apa yang saya lihat dan dengar. Dengan demikian, saya secara bertahap memperoleh sejumlah besar peribahasa, idiom, teka-teki, lagu, dll. Rencana saya adalah mengorganisasikan dan menyaringnya, lalu menawarkannya kepada suatu komunitas untuk diterbitkan.


Dalam esai pertama ini, saya ingin berbagi beberapa hal tentang ‘bahasa bunga” (bloementaal) orang Batak. Saya menyebutnya ‘bloementaal’, lebih tepat disebut bladerentaal’ (bahasa daun), karena daun, bukan bunga, seperti yang dilakukan orang Eropa, digunakan oleh pemuda dan gadis Batak untuk berkomunikasi satu sama lain apa yang ada dalam pikiran mereka. Daun itu sendiri tidak memiliki arti; namun, nama mereka, yang sedikit banyak dimodifikasi, menunjukkan kata yang dimaksud, berima dengannya, sehingga dapat dikatakan. Misalnya, daun pau biasa (sejenis pakis) berarti au (aku); daun pau rara (pakis merah) = ra (ingin) atau ra au (aku ingin). Namun, bukan hanya daun yang berfungsi sebagai penerjemah antar kekasih, meskipun daun juga merupakan bagian utama dan seringkali satu-satunya dari sebuah surat cinta.

Saya tidak tahu apakah orang lain juga menemukan contoh bahasa daun; kita melihat banyak bukti bahwa gambar benda berfungsi untuk merekam peristiwa atau menyampaikan informasi dalam bab kelima buku berjudul Early History of Mankind karya Tylor, yang berjudul: Picture-writing and Wordwriting. Namun, perbedaan yang sama kita temukan antara bahasa bunga orang Eropa, di mana setiap bunga, terlepas dari namanya, memiliki maknanya sendiri, dan bahasa daun Batak, di mana nama daun berima, seolah-olah, dengan kata yang dirujuknya, juga dicatat di sini. Gambaran gagang kapak (porda) di antara orang Batak tidak lain berarti roha (suasana hati, dll.), sementara pada batu nisan bergambar kepala orang India dalam karya Tylor yang disebutkan di atas, sepotong kapak pasti menandakan keberanian atau kekuatan. Semut (porkis) tidak berarti rajin atau hal serupa, melainkan torkis (sehat). Bersama ini saya berikan daftar daun dan benda yang paling sering digunakan untuk tujuan yang disebutkan di atas—sebuah surat Batak untuk hati yang penuh kasih.


Bulu ni tolong (tolong=helpen/tolong; bulung ni pau (au=aku); bulung ni pau rara (ra=ingin); bulung ni pagu (pagu=langit-langit, loteng); bulung ni hapadan (padan=janji); bulung ni pandan, idem, padan=janji; bulung ni tanahon (tonahon=mengundang); bulung ni siala (sala=kesalahan); bulung ni singkoru (boru=gadis); bulung ni padang togu (padan na togu=janji setia); bulung ni sanggar (hobar=kata-kata, ucapan); bulung ni tanggis (tangis=menangis); bulung ni podom-podom (modom=tidur); Demikian seterusnya, ada ratusan banyaknya.

Charles Adrian van Ophuijsen tidak hanya mendaftar nama-nama daun, juga artinya dalam bahasa Batak dan terjemahannya dalam bahasa Belanda. Dengan demikian bahasa daun dari daerah Angkola Mandailing ini akan bisa diketahui di Eropa. Charles Adrian van Ophuijsen juga mendaftarkan sejumlah puisi dengan menggunakan bahasa daun.


(4) Bulung ni si tarak, bulung ni adungdung, bulung ni sitata, bulung ni sitanggis, bulung podom-podom, bulung ni pau=Dung do hita na marsarak i, laing na djolo tangis do au anso modom= Setelah perpisahan kita, aku tidak akan tertidur sampai aku menangis terlebih dahulu. (11) Bulung ni sitarak, bulung ni sibaguri, bulung ni sabi, bulung ni sapot=Marsarak ma hita sannari; muli-muli martomu do i sogot= Meski kita berpisah sekarang, dengan pertolongan Tuhan, kita akan lekas bertemu lagi nanti. (26) Bulung ni arandohot, bulung ni pau, bulung ni peger, bulung ni hodong= Dohot do au moeda kehe ho= Jika kamu pergi, aku akan pergi bersamamu. (27) Bulung ni unte, bulung ni pau, bulung ni sapot, bulung ni bargot=Painte au antjogot di toru bargot an=Tunggu saya besok di bawah pohon aren itu.

Bahasa daun diantara puisi-puisi naposo nauli bulung (pemuda-pemudi), juga bahasa daun tercampur di dalam puisi-puisi umum. Misalnya: Si topu ma sannari, Muli sitarak do i sogot; Martomu ma sannari, Muli marsarak do i sogot (Mari kita manfaatkan kesempatan ini sekarang (dan bersatu); bagaimanapun juga kita harus berpisah nanti). Hariyas ni Panobasan, Talpokkon ni na mandurung; arian sohabolasan, Potang ari marhalalungun (Pada siang hari aku tidak punya waktu atau kesempatan (untuk melihat atau berbicara denganmu) dan pada malam hari aku tidak melakukan apa pun kecuali merindukanmu). Bontar batu ni salak, Lomlom batu ni saludi; Djaru sar pe hata ni halak, Na malo do budjingta marsibuni (Meskipun semua orang tahu, dia tidak menunjukkannya; Seluruh desa tahu bahwa seorang gadis muda mencintai seseorang, tetapi dia tidak mau mengakuinya).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Charles Adrian van Ophuijsen Guru di Padang Sidempoean: Le Langage des Fleurs oleh Charlotte de Latour

Buku bahasa bunga Le Langage des Fleurs karya Charlotte de Latour hanya diketahui di Prancis, buku yang ditulis oleh seorang Prancis diterbitkan dalam bahasa Prancis di Paris tahun 1818. Dari semua edisi yang ada semuanya dalam bahasa Prancis. Hanya orang yang mengerti bahasa Prancis yang membacanya. Buku Le Langage des Fleurs karya Charlotte de Latour mendapar resensi buku di dalam jurnal wanita dan mode di Prancis Journal des dames et des modes, 1819.


"Kamus bahasa bunga tidak akan cukup; Madame Charlotte de Latour mengawalinya dengan beberapa prinsip. Cinta dan persahabatan, katanya, harus menambahkan penemuan mereka; perasaan alam yang paling manis inilah yang dapat menyempurnakan apa yang telah mereka ciptakan sendiri. Bunga-bunga dalam karya Madame de Latour didistribusikan sesuai urutan musim. Bab pertama adalah tentang musim semi; terdiri dari 24 artikel; keseluruhan karya berisi 87 artikel. Madame de Latour mengakhiri artikel tentang Primrose dengan demikian: "Gadis malang, kau akan mengenalinya, kenikmatan ini selalu bercampur dengan kepahitan dan air mata, kembalinya primrose mengumumkannya kepadamu hari ini, tetapi bunga ini juga memberitahumu bahwa masa kecil yang bahagia tak dapat lagi kembali untukmu. Sayang! Dalam beberapa tahun ia akan kembali untuk memberitahumu lagi bahwa cinta dan masa muda telah pergi tanpa kembali": Madame de Latour memanfaatkan beberapa anekdot dengan bahagia; kita menemukan satu di artikel tentang Melati Putih, Simbol Kebaikan. "Konon," katanya, "sebelum tiba di Prancis, melati hanya ditemukan di Italia: seorang Adipati Toskana adalah pemilik pertamanya; tetapi ia melarang tukang kebunnya memberinya sekuntum bunga pun. Tukang kebun itu pasti akan setia jika ia tidak mengenal cinta; tetapi, pada hari ulang tahun kekasihnya, ia memberinya sebuah karangan bunga; dan, untuk membuat karangan bunga ini lebih berharga, ia menghiasinya dengan setangkai melati. Gadis muda itu, untuk menjaga kesegaran bunga asing ini, meletakkannya di tanah segar; rantingnya tetap hijau sepanjang tahun, dan pada musim semi berikutnya, terlihat tumbuh dan menutupi dirinya dengan bunga-bunga. Gadis muda itu telah menerima pelajaran dari kekasihnya; ia menanam melatinya; bunga itu berkembang biak di bawah tangan terampilnya. Ia miskin, kekasihnya tidak kaya: seorang ibu yang penuh belas kasihan menolak untuk menyatukan kesengsaraan mereka; Namun cinta baru saja menghasilkan keajaiban bagi mereka, gadis muda itu tahu bagaimana memanfaatkannya: ia menjual melatinya, dan menjualnya dengan sangat baik sehingga ia mengumpulkan sedikit harta, yang dengannya ia memperkaya kekasihnya. Gadis-gadis Toscane, untuk mengabadikan kenangan petualangan ini, semuanya membawa, pada hari pernikahan mereka, sebuket melati; dan mereka memiliki pepatah yang mengatakan bahwa seorang gadis yang layak membawa sebuket ini cukup kaya untuk membuat kekayaan suaminya. Madame de Latour, setelah meninjau semua orang yang telah memperoleh lambang dari bunga, berbicara tentang masa ketika, di antara kita, warna lambang dan selempang memiliki makna; dan ia meminjam dari sebuah buku Gotik deskripsi tentang kebiasaan moral bagi seorang pria dan seorang wanita. Berikut adalah yang untuk wanita itu: "Dan, pertama-tama, secara keseluruhan, seorang wanita atau gadis muda harus mengenakan sandal berwarna hitam, yang melambangkan kesederhanaan; mantel berbahan damask putih, yang menunjukkan kejujuran; dan pakaian di depannya berwarna merah tua, yang akan disebut pakaian pikiran baik yang membara kepada Tuhan. Terakhir, gaun untuk seorang wanita agung haruslah kain emas, yang melambangkan penampilan yang indah. Nyonya de Latour bertanya-tanya apakah dunia mode akan berani menghadirkan kecantikan kita dengan pakaian yang akan mengelilingi mereka dengan kebajikan yang agung. Semak dan tanaman yang dilukis Nyonya de Latour adalah: le saule pleureur, la primevère, l'aubépine, la valériane, le muguet, le chèvre-feuille, la giroflée rouge, le jasmin blanc, la tubéreuse, la reine-marguerite, le réséda, l'héliotrope, l'oeillet rouge, la bruyère, le cyprès, le buis, le bois gentil, l'épine noire, le houx. Ia juga menghasilkan 16 bunga pada sehelai daun, yang maknanya membentuk sebuah catatan kecil. Penting untuk ditambahkan bahwa M Bessa-lah yang melukis semua bunga ini. Lukisan: bunga mawar dalam edisi 1820.

Charles Adrian van Ophuijsen adalah seorang Indo (lahir di Hindia). Setelah menyelesaikan sekolah dasar (ELS) di Palembang melanjutkan studi ke Belanda. Charles Adrian van Ophuijsen di sekolah HBS Belanda memilih jurusan sastra. Pada masa inilah Charles Adrian van Ophuijsen mempelajari bahasa Prancis di sekolah. Besar dugaan salah satu buku bacaan dalam bahasa Prancis adalah buku Le Langage des Fleurs karya Charlotte de Latour. Charles Adrian van Ophuijsen lulus tahun 1875 dan kembali ke tanah kelahirannya di Sumatra.


JAW van Ophuijsen ditempatkan di Natal sebagai controleur pada tahun 1852. Pada tahun 1853 JAW van Ophuijsen dipindahkan ke Soengai Pagoe. Putra JAW van Ophuijsen lahir di rumah sakit di Solok, yang diberi nama Charles Adrian van Ophuijsen. Karir JAW van Ophuijsen terus meningkat, awalnya menjadi asisten Residen dan kemudian menjadi Residen di Padangsche Bovenlanden, kemudian ke Bengkoeloe dan terakhir di Palembang. 

Charles Adrian van Ophuijsen diangkat sebagai pegawai negeri dan ditempatkan di Panjaboengan, afdeeling Padang Sidempoean, residentie Tapanoelie tahun 1876 sebagai ontvanger. Anehnya, di Panjaboengan sebagai besar penduduk bisa membaca yang membuat Charles muda tertarik bahasa dan sastra Batak. Beberapa kali Charles mengirim tulisannnya ke majalah di Batavia. Saat mana Gubernur Jenderal berkunjung ke Panjaboengan dan Padang Sidempoean, mengeluhkan kurangnya guru di berbagai tempat. Charles bersedia menjadi guru dan kemudian mempersiapkan diri diantara tugas-tugasnya sebagai PNS. Suatu komite ujian guru dibentuk di Padang dimana Charles diundang dan kemudian dinyatakan lulus sebagai guru. Bertepatan tahun 1879 pembukaan sekolah guru di Padang Sidempoean, Charles ditempatkan sebagai guru bahasa Melayu di sekolah guru Probolinggo. Tidak lama setelah menikah di Probolinggo dengan seorang gadis Belanda sebagai guru TK, tidak lama kemudian keluar berslit tahun 1881 dimana CA van Ophuijsen dipindahkan ke sekolah guru Padang Sidempoean.


Kamus bahasa bunga di Eropa Le Langage des Fleurs karya Charlotte de Latour dan penggunaan bahasa daun di Angkola Mandailing bertemu di dalam pikiran satu orang: Charles Adrian van Ophuijsen. Pemahaman Charles Adrian van Ophuijsen tentang bahasa bunga diduga kuat yang menyebabkan Charles Adrian van Ophuijsen mudah menyimak keberadaan bahasa daun yang dipraktekkan para muda-mudi di Angkola Mandailing. Dalam konteks inilah diduga, Charles Adrian van Ophuijsen menyaringnya dan kemudian menuliskan artikel dan dikirim ke jurnal Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie yang diterbitkan di Delft tahun 1886.

Penemuan bahasa daun di Angkola Mandailing oleh Charles Adrian van Ophuijsen telah membuka ruang dunia sastra nusantara. Seperti yang ditanyakan sendiri oleh Charles Adrian van Ophuijsen di dalam artikelnya tahun 1886 apakah ada yang mirip bahasa daun ini didunia? Sejauh yang diketahui tidak pernah ada merespon dan juga tidak ditemukan di berbagai tulisan. Tulisan-tulisan yang ada sejak lama adalah hanya sebatas tentang pepatah dan pantun (yang selalui diasosiasikan dengan bahasa Melayu). Bagaimana dengan bahasa daun dalam bahasa Batak?


Pantun telah menjadi khasanah nusantara, khas nusantara yang sudah mulai dikenal di dalam literatur Eropa. Tentu saja itu juga menjadi kebanggaan para akademisi dan Pemerintah Hindia Belanda. Dr Hoesein Djajadiningrat, doktor sastra lulus di Belanda 1915 yang menjadi dosen di Rechthoogeschool Batavia merasa perlu untuk melakukan penyelidikan terhadap pantun ini. Hasil kajiannya yang diberi judul De Magische Achterground an de Maleische Pantoen (Latarbelakang Sakral Pantun Melayu) disampaikan di hadapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada peringatan ulang tahun kesembilan berdirinya Sekolah Tinggi Hukum (Rechthoogeschool) di Batavia pada tanggal 28 Oktober 1933. 

Setelah hampir selama setengah abad penemuan bahasa daun oleh Charles Adrian van Ophuijsen bahasa daun menjadi perhatian dari Dr Hoesein Djajadiningrat. Dalam kajiannya pada tahun 1933, Dr Hoesein Djajadiningrat menemukan ada kemiripan antara pantun Melayu dengan bahasa daun Batak. Namun yang menjadi isu kritis dari paparan Dr Hoesein Djajadiningrat adalah yang mana yang lebih dulu ada?

 

Dr Hoesein Djajadiningrat membuka file Charles Adrian van Ophuijsen yang beranggapan (hipotesis) bahwa asal-usul pantun, sebagaimana asal-usul bahasa Angkola Mandailing, yang bersesuaian dengan pantun Melayu, adalah éndé atau éndé-éndé, dimana Charles Adrian van Ophuijsen telah melihat asal-usul pantun dalam bahasa daun. Di antara masyarakat Angkola Mandailing, menurut Charles Adrian van Ophuijsen sudah menjadi kebiasaan bagi para kekasih untuk menggunakan kata daun dalam korespondensi mereka, yang berarti kata-kata yang berima dengan nama-nama daun tersebut. Kata daun sitanggis dan pahoe, misalnya, menunjukkan kata-kata berima tangis (menangis), dan au (saya) yang mana éndé-éndé kemudian akan muncul dari susunan nama-nama tumbuhan menjadi sepasang baris berirama, diikuti oleh sepasang baris kedua yang berima dengannya, yang mengungkapkan maksudnya. Dalam hal ini terdapat "éndé-éndé" dengan nama tumbuhan di dua baris pertama. Charles Adrian van Ophuijsen belum dapat menemukan bahasa daun di antara orang Melayu, tetapi ia yakin menemukan dukungan untuk hipotesisnya dalam misalnya, adat istiadat penduduk Melayu di Si Boga, bahwa seorang pria, beberapa hari setelah upacara pernikahan, memberikan istrinya, antara lain, ikan belanak sebagai hadiah, yang dengannya ia berharap istrinya akan melahirkan anak, karena kata beranak, yaitu, memiliki anak, berima dengan belanak. Charles Adrian van Ophuijsen juga menyoroti kesamaan makna antara nama pantoen dan éndé-éndé. Yang terakhir disebut oempama dalam dialek Batak Toba, sebuah kata yang berarti "perbandingan, keserupaan, peribahasa," dll. yang juga dimiliki oleh kata pantoen. Dr Hoesein Djajadiningrat juga menemukan keberatan dimunculkan terhadap penjelasan Charles Adrian van Ophuijsen tentang asal-usul pantoen oleh RJ Wilkinson dan Dr RO Winsteldt dalam bukletnya tentang "Sastra Melayu," yang diterbitkan pada tahun 1907 dalam seri "Makalah tentang Pokok-Pokok Melayu," dengan bertanya apakah urutannya mungkin telah dibalik, yaitu, bahwa bukan bahasa daun yang mendorong kebiasaan yang begitu meluas untuk menunjukkan kata dengan padanan rima, melainkan kebiasaan bahasa daun ini. Dr Hoesein Djajadiningrat mendukung hipotesis Charles Adrian van Ophuijsen dengan merujuk pada penggunaan ikan belanak, sebagaimana akan segera terlihat, menurut pendapat Dr Hoesein Djajadiningrat, telah menunjukkan sumber asal kata pantoen. Dalam hal ini merujuk pada oleh RJ Wilkinson dan Dr RO Winsteldt yang dikutip Dr Hoesein Djajadiningrat mengenai arti kata pantoen, menekankan bahwa kata tersebut muncul dalam sastra Melayu abad ke-16 (dalam Hikajat Hang Toeah) hanya dalam arti "perumpamaan, peribahasa" dan hanya dalam tulisan-tulisan dari abad ke-17 yang memiliki arti "quatrain".  Karya Hang Toeah, bahwa kata pantoen dalam novel sejarah tersebut digunakan secara eksklusif dalam arti "perumpamaan," dan sebagainya. Namun, seseorang dapat mengatakan bahwa kata pantone dalam arti "perumpamaan," dan sebagainya. Di pesisir barat Sumatra dan di Benkoelen, menurut Charles Adrian van Ophuijsen, pantun yang terdiri dari lebih dari empat baris disebut ibarat, sebuah kata yang dipinjam dari bahasa Arab, sehingga belum terlalu tua dalam bahasa Melayu, yang juga berarti "kemiripan". Wilkinson dan Winstedt adalah orang pertama yang merumuskan prinsip pantun, syarat utamanya dan ciri khasnya, dengan cara yang saya Yakini benar: dua baris pertama mengandung sugesti yang tepat untuk dua baris terakhir. Penggunaan sugesti yang tepat pasti telah memicu perkembangan pantun. Dr Hoesein Djajadiningrat juga mungutip temuan OL Helfrich, dalam bahasa Melayu Pertengahan, misalnya, dalam Serawaji dan Besemah, andaj-andaj dan goeritan disebut cerita prosa panjang yang dibacakan dengan nada lambat saat dilafalkan, sementara syair yang berkaitan dengan pantun Melayu disebut redjong. Kata andaj-andaj secara etimologis sama dengan bahasa Batak éndé-éndé, karena misalnya dari bahasa Melayu Pertengahan balaj, bangunan terbuka, bangkaj, banglaj, dll., akar dalam bahasa Batak, masing-masing disebut bangké, balé, dll. Kata ini mengandung akar kata daj, yang, seperti halnya akar kata toen, mengandung konsep menyusun, mendayung, menata, dan dari sanalah berbagai istilah artistik juga muncul. Oleh karena itu, makna dasar kata pantun adalah teratur, teratur, karya yang digubah dalam gaya terikat atau tidak terikat, dan dari makna ganda ini, hanya makna pertama yang hadir dalam bahasa Melayu, dan makna kedua dalam bahasa Sunda, dengan pengaruh yang kaya dari makna pertama dalam penggunaannya. Berdasarkan etimologi ini, kata tersebut sangat tua, dan makna "kemiripan", dll., dalam bahasa Melayu pastilah berasal dari bahasa belakangan, seperti halnya nama-nama syair pantun, yang juga memiliki arti "kemiripan", dll., yaitu umpama dan ibarat, kata-kata yang dipinjam dari bahasa Sanskerta dan Arab, masing-masing, relatif baru. Bukti lain yang disodorkan Charles Adrian van Ophuijsen menurut Charles Adrian van Ophuijsen adalah kebiasaan di antara orang Makassar dan Bugis yang memberikan hadiah pernikahan sejenis kerang yang disebut penno-penno dan sejenis tanaman yang disebut riwoe-riwoe, keduanya dengan maksud mendoakan kemakmuran dan kekayaan bagi pengantin pria dan wanita, karena kata pertama menyiratkan penno, yang berarti penuh, dan kata kedua menyiratkan riwoe, yang berarti seratus ribu. Singkatnya, setelah meninjau literatur secara luas, Dr Hoesein Djajadiningrat sampai pada semua ungkapan makna ini dan ungkapan lainnya yang melekat pada suatu bunyi dapat ditelusuri kembali ke satu sumber, yaitu, kepercayaan akan kekuatan magis suatu bunyi, yang tidak hanya ditemukan di antara masyarakat Indonesia. Contoh terkenal dari hal ini dari sastra Timur adalah bahasa Sanskerta om, sebuah bunyi sakral, yang sangat magis, yang diucapkan dengan khidmat di awal dan akhir pembacaan teks suci, yang memunculkan spekulasi mistis yang mendalam di antara umat Hindu kuno.

Meski Dr Hoesein Djajadiningrat tidak menyimpulkan, tetapi berdasarkan tinjauan literatur yang dikajinya mengindikasikan bahwa bahasa daun memiliki bahasa yang sakral yang mirip dengan kepecayaan zaman kuno. Lagi pula pantun sendiri dalam bahasa Melayu baru ditemukan pada abad ke-17 yang dapat dianggap tergolong baru. Ini mengindikasikan bahasa daun yang digunakan dalam ende-ende dalam bahasa Angkola Mandailing jauh lebih tua dari pantun itu sendiri dan karena secara geografis berdekatan boleh jadi pantun merujuk pada tradisi bahasa daun sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Charles Adrian van Ophuijsen. Dari judul makalahnya sendiri berjudul De Magische Achterground an de Maleische Pantoen (Latarbelakang Sakral Pantun Melayu), Dr Hoesein Djajadiningrat seakan ingin menyimpulkan sendiri bahwa bahasa daun lebih tua dari pantone dalam bahasa Melayu.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: