Selasa, Oktober 15, 2024

Sejarah Pantai Timur (7): Kota Perdagangan di Pertemuan Dua Sungai, Kota Indrapura di Suatu Pulau? Kerajaan-Kerajaan Pedalaman


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Perdagangan adalah kota di Simalungun. Namanya perdagangan, tempat pertukaran. Apakah ada sejarahnya? Tidak ada bukti. Hanya ada bukti bahwa kota tersebut berada di daerah aliran sungai besar dimana tiga sungai bertemu. Tinggi permukaan sungai di kota pada elevasi 30 m dpl. Jarak garis lurus antara Perdagangan dan Indrapura 15 Km. Bukti lainnya sungai di wilayah hilir bercabang Km 7 dengan ketinggian 17 m dpl. Di cabang sisi utara di Indrapura (7 m dpl).


Kota Perdagangan, Tempat Transaksi Kerajaan Nagur Masa Lampau. Selasa, 21 September 2021. Tribun-medan.com. Kawasan padat penduduk tertinggi di kabupaten Simalungun, bahkan melampaui ibu kota kabupaten sendiri di Pematang Raya. Seperti namanya, Perdagangan merupakan lokasi transaksi dagang para raja Simalungun dengan bangsa asing pada masa lampau. Hanya saja tak ada dokumen valid mengenai kapan berdirinya daerah yang secara administratif berada di wilayah kecamatan Bandar. Asal nama Perdagangan seperti yang diketahui berasal dari nama Sam Pan Tao (tempat berdagang dengan perahu kayu), Tak ada bukti sejarah yang valid. Kota Perdagangan, sungai cukup lebar pertemuan tiga sungai asal Simalungun atas. Dosen Universitas Simalungun (USI) Jalatuah Hasugian menjelaskan, dahulu sungai di Perdagangan menjadi tempat berjualan Kerajaan Nagur. Kerajaan Nagur merupakan kerajaan Simalungun sejak abad ke-5, cikal bakal berdirinya 7 kerajaan di Simalungun abad ke-13 (https://tribunnews.com).

Lantas bagaimana sejarah kota Perdagangan di pertemuan dua sungai, kota Indrapura di suatu pulau? Seperti disebut di atas, sulit menemukan catatan sejarah kota Perdagangan. Data yang ada hanya elevasi di hilir daerah aliran sungai dimana sungai bercabang. Di hulu daerah aliran sungai ditemukan data sejarah kerajaan-kerajaan yang berada di dataran tinggi (pedalaman). Lalu bagaimana sejarah kota Perdagangan di pertemuan dua sungai, kota Indrapura di suatu pulau? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. 

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Kota Perdagangan di Pertemuan Dua Sungai, Kota Indrapura di Suatu Pulau? Kerajaan-Kerajaan di Pedalaman                                              

Nama kota Perdagangan yang lebih awal disebut Perdagangan Tomoeon (Perdagangan Tomuan). Apakah itu maksudnya lokasi perdagangan di pertemuan dua sungai? Ini mirip dengan pengidentifikasian tempat yang ditemukan dalam teks prasasti Kedoekan Boekit (682) yakni Minanga Tamuan. Ada juga nama Perdagangan Toeroenan (di daerah aliran sungai Bah Hapal).


Ada empat sungai besar di Simaloengoen yang ke hilir dengan nama sungai Gamboes (bermuara di Indrapura/Koeala Tandjoeng), sungai Hapal (bermuara di Tandjoeng Kasaoe/Pagoerawan), sungai Padang (bermuara di Tening Tinggi/Bandar Khalipa) dan sungai Denai/Oelar (bermuara di Perbaoengan/Rantaoe Pandjang). Sungai Oelar di pedalaman dengan nama sungai Boeaja (wilayah Silo); Sungai Padang di pedalaman dengan nama sungai Batang Boelian (wilayah Raya); sungai Hapal di pedalaman dengan nama yang sama (wilayah Batoe Nanggar dan wilayah Raya); sungai Gamboes di pedalaman dengan nama sungai Binomon atau Bah Bolon (wilayah Siantar dan wilayah Pane). Di Perdagangan Tomoeon sungai Bah Bolon bertemu dengan sungai Tonggoeron. Sedikit di arah hulu kota Perdagangan, sungai Batang Boeloek bertemu dengan sungai Tonggoeron (diantara dua sungai wilayah Tanoh Djawa). Navigasi sungai sangat penting di masa lampau dari pantai di wilayah Simaloengoen. Catatan: Laboehan Roekoe adalah muara sungai Silo Toea.

Dalam catatan para pejabat Pemerintah Hindia Belanda tidak ada yang memberi catatan lebih pada kota Perdagangan.  Satu yang jelas para pejabat pemerintah (dengan jalan darat) dari pantai (Laboehan Roekoe ke pedalaman/danau Toba) selalu melewati kota Perdagangan (hingga tahun 1903 belum ada jalan darat dari Laboehan Roekoe ke (Pematang) Tanah Djawa (masih sedang dirintis).


Pelabuhan Laboehan Roekoe berada di Tandjoeng Tiram. Pelabuhan ini dibangun oleh pemerintah untuk lebih memungkinkan merapat kapal dengan onase lebih besar (kapal uap). Dari namanya Laboehan Roekoe (seperti Laboehan Batoe dan Laboehan Deli) adalah pelabuhan tua di wilayah (muara sungai Silo Toea). Pergeseran posisi pelebuhan di muara sungai Silo Toea juga karena terjadi pendangkalan. Di pelabuhan Tandjoeng Tiram sendiri tidak mudah masuk dari laut karena banyaknya gunungan pasir di perairan.

Yang menarik perhatian tentang posisi GPS kota Perdagangan mengundang sejumlah pertanyaan. Pada masa ini kota Perdagangan tepat berada tidak jauh di hilir pertemuan sungai Bah Bolon dan sungai Tanggoeron (seperti huruf M, lihat peta satelit); sementara di arah hilir kota Perdagangan sungai yang menyatu bercabang dua (seperti huruf Y). Perhatikan lekukan mundur di kedua posisi GPS sungai tersebut! Diantara dua cabang sungai ini berada kota Indrapoera. Dua cabang sungai tersebut di hilir Indrapoera sungai kembali menyatu. Dengan kata lain wilayah Indrapura seakan berada di suatu pulau?


Pada Peta 1877 pada cabang sungai setelah Perdagangan diidentifikasi dengan nama Bah Bolon (tidak ada nama untuk cabang selatan. Nama tempat Indrapoera berada diantara dua cabang sungai ini. Nama Indrapoera sendiri sedikit membingungkan apakah nama baru atau nama lama. Nama lama merujuk pada era Hindoe Boedha seperti nama-nama Indrapoera di pantai barat Sumatra, Martapoera di Lampoeng, Telanaipoera di Djambi dan Singapoera di ujung semenanjung Malaya. Satu yang jelas nama-nama berasal dari Minangkabau (yang diduga setelah era Padri) muncul di wilayah Batoe Bahara seperti nama tempat Lima Poeloeh dan Talawi. Lalu apakah nama Indrapoera ini suatu nama baru yang merujuk pada orang Indrapoera di pantai barat Sumatra?

Sungai menyatu di arah hilir adalah sangat lazim (alamiah), namun sungai bercabang di hilir berbeda karakteristiknya jika percabangan terjadi di wilayah hulu (seperi sungai Tanggoeron menyatu dengan sungai Bah Bolon). Mengapa dan bagaimana sungai Bah Bolon bercabang di hilir?


Seperti disebut sebelumnya elevasi sungai Bag Bolon di kota Perdagangan setinggi 30 m dpl yang mana daratan dua sisi sungai semakin jauh semakin tinggi. Sementara area di hilir sebelum sungai Bah Bolon bercabang elevasi sungai dan wilayah dua sisi dengan rata-rata ketinggian 19-20 m dpl. Dalam konteks ini, sungai Bah Bolon di sekitar wilayah Perdagangan seakan sungai keluar dari celah daratan ke suatu kawasan datar yang luas (sekitar area percabangan sunga). Secara gemorfologis, muara sungai Bah Bolon awalnya suatu teluk kecil dimana sungai Bah Bolon bermuara dan area yang luas dan datar ini (sekitar percabangan sungai) merupakan suatu perairan/laut. Pada Peta 1877 tanda-tanda suatu perairan/laut di kawasan perccabangan sungai begitu banyak saluran-saluran air (sungai-sungai kecil). Di sebelah selatan diidentidikasi suatu rawa-rawa yang luas dimana beberapa sungai kevil mengalir seperti sungai Goempi, sungai Pinang Merah dan sungai Pasir. Dalam konteks inilah kitab bisa menjelaskan mengapa dan bagaimana sungai Bah Bolon bercabang. Pada Peta 1877 cabang utara sungai Bah Bolon diidentifikasi sungai Bah Bolon, sementara cabang selatan tidak diberi nama. Artinya pada masa lalu, teluk di sekitar kota Perdagangan dimana sungai Bah Bolon bermuara, lambat laun terjadi pendangkalan (proses sedimentasi jangka panjang). Proses sedimentasi terus berlansung hingga terbentuk daratan baru yang menyebabkan arus utama sungai Bah Bolon bergerak/terdesak ke arah utara, sementara di arah selatan terbentuk sungai-sungai baru diantara daratan baru tersebut. Dengan mengacu pada pola pembentukan daratan baru ini, nama tempat Indrapoera haruslah dianggap masih baru (bukan nama lama). Perlu ditambahkan disini jenis tanah di sekitar Indrapoera adalah alluvial, sementara di sekitar Perdagangan bukan jenis alluvial.

Posisi GPS kota Perdagangan diduga awalnya di hilir tidak terlalu jauh dari garis pantai (teluk dimana sungai Bah Bolon bermuara). Posisi kota Perdagangan ke arah hulu sangat strategis karena dua atau tiga sungai bertemu (Perdagangan Tomoean). Garis pantai yang cukup dekat dan pertemuan sungai pedalama yang juga cukup dekat menyebabkan posisi geografis kota Perdagangan sangat strategis dalam lalu lintas orang dan barang (perahu dan kapal) dalam bertransaksi perdagangan. Dalam konteks inilah diduga nama perdagangan sebagai nama tempat. Lagi pula dalam peta-peta lama dan berbagai catatan awal nama tempat Perdagangan juga disebut dengan nama Perdagangan Tomoean (bandingkan dengan nama tempat Perdagangan Teroesan di daerah aliran sungai Bah Hapal).


Seperti disebut di atas ada tiga sungai besar yang berhulu di wilayah pedalaman Simaloengen yakni sungai Ular, sungai Padang, sungai Bah Hapal dan sungai Bah Bolon (plus sungai Silo Toea). Jika sungai Bah Bolon di sekitar Indrapoera bergeser/tedesak ke arah utara itu mengindikasikan di arah selatan terjadi proses sedimentasi jangka panjang (terbentuknya daratan baru). Hal serupa ini yang terjadi di utara di hilir sungai Bah Hapal. Daratan lama antara hilir sungai Bah Bolon dan hilir sungai Bah Hapal sejak awal membentuk suatu tanjung. Besar dugaan dalam konteks inilah di masa lalu muncul nama tempat Tanjung Kasau. Seperti disebut sebelumnya, pada permulaan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Batoe Bahara disebut di Pagurawan (muara sungai Bah Hapal di pantai) setengah Melayu dan setengah Batak. Sedangkan di ke arah selatan di Tandjoeng Tiram semuanya Melayu (Minangkabau?). Wilayah di belakang pantai (Tanjung Kasau) adalah penduduk Batak. Pada tahun 1889, setelah para pemimpin local di Batoe Bahara (Melayu) kemudian menyusul (pemimpin) Tanjung Kasau bergabung dengan pemerintah (wilayah Batak pertama di Simalungun yang bergabung dengan pemerintah). Bagaimana dengan di daerah aliran sungai Padang di Tebing Tinggi? Kita lihat nanti dalam artikel berikutnya. Yang jelas setelah pemimpin Tanjung Kasau, dalam perkembangannya pemimpin Batak di Tanah Djawa ikut bergabung pemerintah.

Kota Perdagangan sejak awal dihuni populasi penduduk Batak (sebagaimana di wilayah Tanjung Kasau). Wilayah Lima Poeloeh hingga ke pantai muncul populasi Melayu (diduga kuat migran dari Minangkabau sejak era Padri). Dengan demikian, kota Perdagangan sudah sejak lama dianggap sebagai pelabuhan penduduk Batak di wilayah Simaloengoen.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan-Kerajaan di Pedalaman: Muara Sungai Pintu Masuk ke Wilayah Pedalaman dalam Transaksi Perdagangan

Kota Perdagangan menjadi sangat penting di wilayah Simalungun sejak masa lampau. Penting karena posisi strategisnya. Tidak ada catatan sejarah lama tentang kota Perdagangan. Hanya dengan pemahaman pendekatan geomorfologis yang dapat menjelaskan bagaimana pentingnya posisi geografis kota Perdagangan di masa lampau. Data sejarah tertulis tentang kota Perdagangan baru terinformasikan sejak awal pembentukan Pemerintah Hindia Belanda di Batoe Bahara.


Yang berperan dalam perdagangan dari wilayah pantai (kota-kota pesisir) tampaknya orang Cina. Mengapa bukan orang Melayu? Tidak seperti orang Melayu, juga orang Cina melakukan perdagangan jauh ke pedalaman. Sebaliknya, seperti orang Batak di pedalaman, orang Melayu di pesisir juga melakukan pertanian terbatas dan lebih cenderung nelayan. Lalu apakah populasi Batak di belakang pantai melakukan perdagangan? Tampaknya tidak. karena memiliki sumberdaya besar dalam pertanian (pinang, tembakau, lada), peternakan (kerbau, kuda dan ternak kecil dan pengumpulan hasil-hasil hutan (getah). Namun orang Batak membutuhkan garam, kain dan besi. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya perdagangan. Dalam konteks inilah diduga kuat nama-nama tempat di bagian luar populasi Simaloengoen dengan menculnya nama tempat dengan menggunakan Bandar, Laboehan dan Perdagangan.

Pedagang-pedagang Cina bahkan sampai ke pesisir danau Toba sebagaimana dilaporkan Controleur Kok pada tahun 1903 (semasih ada perlawanan Sisingamangaradja). Para pedagang Cina tersebut hilir mudik dari pantai timur di Laboehan Roekoe. Pos-pos perdagangan orang Cina di wilayah pedalaman (Simaloengoen) berada di Perdagangan Tomoean, Pematang Bandar dan Pematang Siantar. Hal itulah mengapa Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 memberikan hak bagi pedagang Cina untuk bertempat tinggal (wijk) di kota-kota tersebut (lihat Ordonnantie No 662 tanggal 30 November 1908. Bepaling dat te Pematang Siantar, Pematang Bandar, Perdagangan Temoean en te Sineboi wijken voor Chineezen zullen zijn).


Sebagaiman disebutkan sebelumnya, pada permulaan pembenrtukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Batoe Bahara (yang beribukota di Laboehan Roekoe), pengangkatan pemimpin local oleh pemerintah di wilayah Simaloengoen dimulai di Tandjoeng Kasaoe pada tahun 1889. Lalu kemudian menyusul di Pematang Siantar pada tahun 1891. Selanjutnya di Tanah Djawa pada tahun 1903. Pada tahun 1904 sudah meliputi seliruh wilayah Simaloengoen (dengan bergabunganya Dolok (Silo), Raya dan Pane serta Poerba. Dengan ordonansi 1908 keberadaan pemukiman orang Cina di tiga kota tersebut semakin terproteksi. Pada tahun 1908 ini juga diratifikasi pembentukan afdeeling Karolanden en Simaloengoen dengan ibu kota di Sariboe Dolok dimana Asisten Residen berkedudukan (sebelumnya Asisten Residen berkedudukan di Bangoen Poerba (Serdang, Padang dan Bedagai). Di Pematang Siantar ditempatkan pejabat setingkat Controleur. Dengan demikian fungsi Controleur di Laboehan Roekoe dipisahkan antara Batoe Bahara dan Simaloengoen.

Sebelum terbentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda di (onderafdeeling) Simaloengoen, Controleur di Laboehan Roekoe sudah merintis pembangunan jalan darat dari Laboehan Roekoe hingga kota Perdagangan dan terus ke Pematang Siantar. Juga Controleur di Tebing Tinggi sudah merintis jalan ke selatan hingga ke (simpang) Tandjoeng Kasau.


Pembangunan jalan darat ini seakan ingin mengakhiri fungsi navigasi sungai yang begitu penting di masa lampau (sebelum penggunaan angkutan kuda). Jalur lalu lintas angkutan kuda inilah yang dibangun pemerintah sebagai jalur jalan darat (pelebaran, peningkatan mutu dan drainase). Jalur jalan darat ini juga menjadi efisien untuk lalu lintas kegiatan pos

Selanjutnya setelah penempatan Controleur di Pematang Siantar tahun 1908, pembangunan jalur jalan darat dari Tebing Tinggi ke Pematang Siantar dilakukan. Dengan demikian untuk menuju kota Pematang Siantar tidak hanya melalui kota Perdagangan, juga melalui jalur baru dari Tebing Tinggi. Akibat dari terbangunnya jalan darat dari dua arah, kota Pematang Siantar tumbuh dengan cepat. Singkatnya pada tahun 1915 ibu kota afdeeling Karolanden en Simaloengoen direlokasi dari Sariboe Dolok ke Pematang Siantar. Pejabat pemerintah antara Asisten Residen dan Controleur terjadi rokade tempat kedudukan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: