Sabtu, Oktober 12, 2024

Sejarah Sumatra Timur (6): Aek Silau Hulu di Simalungun, Aek Silo Hulu di Dolok Hole; Kerajaan Silo di Simalungun Tempo Dulu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Sungai Aek Silo (kini sungai Silau) adalah batas wilayah Simalungun dan Asahan. Sungai ini berhulu di Dolok Simanuk-manuk dan bermuara di Tanjung Tiram. Sungai ini (sungai Silau Tua) pada era Hindia Belanda dikebiri dan debit airnya dialihkan ke sungai Silau yang bermuara ke Kisaran/Tanjung Balai. Sungai besar lainnya yang bermuara ke pantai timur adalah sungai Bah Bolon di utara (wilayah Simalungun) dan sungai Asahan di selatan (wilayah Asahan). Sungai Asahan berhulu dari danau Toba, sungai Bah Bolon berhulu di dolok Matjaroendoeng (dekat danau Toba).


Batak Simalungun di kabupaten Simalungun bermarga asli dan tiga marga pendatang: Saragih, Sinaga, dan Purba. Orang Batak Karo menyebut etnis ini "Timur" dan menyebut "Simelungen" berarti si sunyi. Pada era Hindia Belanda terbagi tujuh daerah empat kerajaan dan tiga partuanan. Kerajaan tersebut adalah: Siantar tunduk pada Belanda tanggal 23 Oktober 1889; Panei (Januari 1904); Dolog Silou; Tanoh Jawa (8 Juni 1891). Sedangkan partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan") tersebut terdiri atas: Raya (Januari 1904); Purba; Silimakuta, Keempat marga “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) empat raja: Raja Nagur bermarga Damanik; Raja Banua Sobou bermarga Saragih; Raja Banua Purba bermarga Purba; Raja Saniang Naga bermarga Sinaga. Orang Batak Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena partuturan (perkerabatan) di Simalungun hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat. Pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah sungai Silau berhulu di Simalungun, aek Silo berhulu di Sipirok Dolok Hole? Seperti disebut di atas sungai Aek Silo menjadi batas antara wilayah Simalungun dan Asahan. Satu yang jelas ada nama kerajaan Silo di Simalungun tempo dulu. Lalu bagaimana sejarah sungai Silau berhulu di Simalungun, aek Silo berhulu di Sipirok Dolok Hole? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. 

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Sungai Silau Hulu di Simalungun, Aek Silo Hulu di Sipirok Dolok Hole; Kerajaan Silo di Simalungun Tempo Dulu                                           

Orang Timor atau orang Timoer bukan berasal dari timur seperti Sulawesi, tetapi kelompok populasi di timur danau Toba. Begitulah asal usul nama Orang Timor di wilayah Simalungun. Boleh jadi hal itu orang Timor bukan berasal dari danau Toba. Besar kemungkinan orang berasal dari selatan semisal dari wilayah Padang Lawas. Mengapa? Di wilayah Padang Lawas terdapat sisa peradaban tua berupa candi-candi.


Dalam catatan sejarah pada era Hindia Belanda ada tujuh kerajaan di wilayah Simaloengoen ini, yakni: Siantar, Tanah Djawa, Panei, Dolok Silau, Raja, Poerba dan Si Lima Koeta (lihat Aanteekeningen over steenplastiek in Simeloengoen door GL Tichelman, 1937).Nama-nama tempat/wilayah Simaloengoen memiliki kemiripan di tempat lain. Secara toponimi nama Siantar hanya ditemukan di dua tempat di Mandailing dan Simaloengoen. Demikian juga nama Silo di Dolok Hole dan Silo di Simaloengoen. Bagaimana dengan Pane? Ada nama Pane di Padang Lawas. Nama Raya di Angkola. Di Sipirok Dolok Hole Aek Silo berhulu di dolok Batoe Nanggar. Di wilayah Simaloengoen terdapat nama Jawa (Tano Djawa). Bagaimana bisa?

Nama-nama tempat di wilayah Simaloengoen tidak bersifat unik. Nama Goenoeng Malela bukanlah nama gunung, tetapi nama tempat. Nama gunung hanya ditemukan di wilayah Padang Lawas yakni dolok Melea (berbatasan dengan Mandailing). Bagaimana dengan nama dolok Raya? Bukan nama gunung di wilayah Simaloengoen tetapi nama tempat di lereng Dolok….Nama gunung Loeboe Raya hanya ditemukan di wilayah Angkola.


Perubahan dan pergeseran penyebutan nama tempat: Malea (dolok Malea di Mandailing) menjadi Malela seperti Gunung Melela, Dolok Melela dan Nagori Malela, Silau Malela, Bandar Melela. Nama dolok Loeboe Raya (Angkola) menjadi Raja seperti Panei Raja. Marihat Raja. Kehean (hilir) menjadi Kahean. Marenu (nama dolok di Padang Lawas) menjadi dolok Mainu. Nama Paran (atau Pagaran) menjadi Saran seperti Saran Padang. Nama Purba Sinomba (di Padang Lawas) menjadi Sinombah atau Sinumbah seperti Purba Sinombah, Dolok Sinumbah. Nama-nama lainnya yang terdapat di Simalungun yang juga ditemukan di Padang Lawas antara lain Sayur Matinggi, Hoeta Radja, Silampoejang, Simanaboen, Botoeng, Oedjoeng Padang, Nagasaribu dan sebagainya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Silo di Simalungun Tempo Dulu: Kerajaan Siantar, Kerajaan Pane dan Kerajaan Raya

Banyak nama-nama tempat di (wilayah) Simaloengoen mirip dengan nama-nama di wilayah Padang Lawas (Angkola Mandailing). Bagaimana bisa? Sudah barang tentu pendekatan toponimi tidak bisa menjelaskan itu sepenuhnya. Diperlukan pendekatan lain seperti geomorfologis, arkeologis (kepurbakalaan), antropologis, linguistik dan catatan tertulis (prasasti dan teks dari berbagai sumber). Bagaimana dengan nama Simaloengoen?


Nama tempat tertua di (pulau) Sumatra adalah Tacola (lihat peta Ptolomeus abad ke-2). Dalam pet aini nama tempat (kota) Tacola diidentifikasi di pantai barat Sumatra bagian utara. Dalam catatan Tingkok abad ke-6 disebut nama-nama tempat Palus-se (Barus), Koe-Lie (Puli), Pan-tie (Panti), Pa chia-a-man (Pasaman). Ini mengindikasikan wilayah pantai barat Sumatra sudah dikenal di Tiongkok. Ini memperkuat dugaan nama Tacola di pantai barat Sumatra bagian utara adalah Angkola. Pada saat itu sumber emas adalah Sumatra dan juga menjadi sumber dari perdagangan kamper dan kemenyan. Prasasti Kedoekam Boekit pada abad ke-7 disebut nama Minanga, nama yang diduga Binanga di muara sungai (batang)_Pane di sungai Barumun (B-aru-mun). I’tsing pada abad ke-7 juga menyebut nama-nama seperti Palusse, Sangkilu (diduga Sangkilon di sungai Barumun). Nama Binwangan (Binanga) disebut dalam prasasti Laguna pada abad ke-10. Dalam catatan Tiongkok abad ke-10 disebut nama San-fo-tsi, nama yang diduga Tambusai (di Padang Lawas). Pada abad ke-11 dalam prasasti Tanjore disebut nama-nama tempat Pannai (Pane), Takkolam (Angkola mirip nama abad ke-2 dalam peta Ptolomeus), Binangasonggam (Binanga dan Sunggam di Padang Lawas) dan Madamalingam (Mandailing).

Dalam teks Negarakertagama (1365) tidak ada nama Simaloengoen. Nama-nama yang disebut antara lain Barus, Panai (Pane), (Padang) Lawas, Mandailing dan Harw (Aru). Nama Panai dan Mandailing dalam teks ini memperkuat dugaan nama Panai dan Madamalingan dalam prasasti Tanjore (1030). Bagaimana dengan nama Aru? Bagaimana hubungan Aru dengan nama-nama tempat di Simaloengoen? Ada dua sumber yang menghubungkan nama Aru dengan nama tempat di Simaloengoen.

Dalam laporan Ma Huan pada ekspedisi Cheng Ho (1405-1433) disebut nama Nakur (Nagur). Ma Huan menyebut kerajaan Nakur berada di pedalaman. Kerajaan Nakur tengah berselisih dengan dengan Sumentala. Kerajaan Nakur menyerang dan raja Sumentala terbunuh. Lantas dimana Sumentala yang dimaksudkan oleh Ma Huan? Besar dugaan Su-men-ta-la dalam catatan Ma Huan adalah Sungai Karang (Su-ngei-ka-rang). Pada masa itu muara (Sungai) Karang masih berada di pantai. Catatan: ekspedisi Cheng Ho ini dari Palembang, lalu singgah di Manlaka (Malaka) dan kemudian singgah di A-lu (diduga kuat Aru di muara sungai B-aru-mun) dan kemudian singgah di Sumentala. Peta 1938

Tentang nama tempat di Simaloengoen ditemukan dalam laporan seorang Portugis Mendes Pinto (1537). Dalam laporan ini, Mendes Pinto dari Malaka mengunjungi Aru Batak Kingdom. Disebutkan kerajaan Aru Batak Kingdom sedang berselisih dengan kerajaan Atjeh. Radja dari Aru Batak Kingdom mengutus besannya ke Malaka untuk mendapatkan senjata. Besan raja ini adalah Careem Daholaj (Karim Daulae?). Alasan Radja Aru Batak Kingdom melancarkan perang ke Atjeh karena dua anaknya mati terbunuh oleh pasukan Atjeh di Lingau (Lingga) dan Nakur (Nugur).


Aru Batak Kingdom adalah kerajaan kuat di pantai timur Sumatra. Mendes Pinto, sebelum Malaka ditaklukkan Portugis (1511) kerap diserang oleh Aru Batak Kingdom. Menurut Mendes Pinto kerajaan Malaka selalu takut kepada kerajaan Aru Batak Kingdom. Mendes Pinto menyebut kerajaan Aru Batak Kingdom sangat kuat dengan 15 ribu pasukan yang mana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Djambi, Indragiri, Broenai dan Luzon. Foto: Patung yang ditemukan di Simalungun mirip seorang ayah dengan dua anak yang mungkin diasosiakan dengan dua anak Raja Aru Batak Kingdom yang terbunuh di Lingga dan Nagur.

Catatan tertulis dari Tiongkok (Ma Huan) dan catatan tertulis dari orang Portugis mengindikasikan nama Nagur sudah eksis sejak abad ke-15. Pada peta-peta Belanda nama Nagur didentifikasi sebagai Nagoer. Lingga pada masa ini adalah nama sebuah desa di kecamatan Gunung Malela. Nama kecamatan Gunung Malela merujuk pada nama Dolok Malela (nama sebuah desa di kecamatan Gunung Malela). Nama Nagur pada masa ini adalah sebuah desa di kecamatan Tapian Dolok Simalungun. Dalam hal ini dalam sejarah lama terdapat hubungan Aru (di daerah aliran sungai Pane/Barumun) dan Lingga dan Nagur di daerah aliran sungai Bah Bolon. Apakah sejarah lama itu yang menyebabkabn bahasa Simalungun mirip bahasa Angkola (Padang Lawas).


Ada kedekatan kekerabatan bahasa Simalungun dengan bahasa Angkola dan bahasa Toba (lihat Kekerabatan Bahasa Angkola, Bahasa Simalungun dan Bahasa Toba oleh Siti Rahmadani Lestari Ritonga dkk, 2019, Unimed Medan). Antara bahasa Angkola dengan bahasa Toba 66 persen. Antara bahasa Angkola dan bahasa Simalungun 62 persen. Bahasa Toba dengan bahasa Simalungun 47 persen. Ini mengindikasikan bahasa Simalungun cukup dekat (lebih mirip) dengan bahasa Angkola (Padang Lawas).

Bagaimana dengan nama Orang Timor untuk kelompok populasi di wilayah Simaloengoen di daerah aliran sungai Bah Bolon? Sebutan Orang Timur mengindikasikan kelompok populasi pendatang (yang diduga datang dari Padang Lawas). Kelompok populasi pendatang ini menempati wilayah yang kemudian dikenal seperti Pane, Raya dan Silo serta Siantar.


Di wilayah Simaloengoen, distrik Siloe, distrik Raja dan distrik Batoe Naggar serta distrik Siantar (di tengah) berdekatan di daerah aliran sungai Bah Bolon. Distrik Pane di selatan Siantar, distrik Raya dan distrik Silo di barat dan distrik Batoe Naggar di utara. Pada masa ini di kabupaten Simalungun terdaftar nama kecamatan Siantar, kecamatan Batu Naggar, kecamatan Pane, kecamatan Raya Kahean dan kecamatan Silo Kahean. Bagaimana dengan nama kecamatan Tanah Jawa?

Bagaimana pendatang dari Padang Lawas ke wilayah Simaloengoen? Secara goemorfologis wilayah Simaloengoen yang sekarang berbeda secara geografis dibandingkan masa lalu. Sungai Silo Tua dan sungai Binomon (sungai Bah Bolon) merupakan lalu lintas perdagangan dari pantai ke pedalaman. Pada saat itu diduga kuat, garis pantai masih berada di Kisaran, di Perdagangan dan Sungai Karang (Galang). Wilayah Padang Lawas berada dalam satu garis daratan dengan wilayah Simalungun.


Seperti dikutip di atas, Orang Simalungun bermarga asli Sidamanik dan tiga marga pendatang: Saragih, Sinaga, dan Purba. Pada era Hindia Belanda terbagi tujuh daerah empat kerajaan dan tiga partuanan. Kerajaan tersebut adalah: Siantar (1889; Dolog Silou; Tanoh Jawa (1891) dan Panei (1904). Sedangkan partuanan terdiri: Raya (1904); Purba; Silimakuta, Harungguan Bolon (dewan) empat raja: Raja Nagur (Damanik); Raja Banua Sobou (Saragih); Raja Banua Purba (Purba); Raja Saniang Naga (Sinaga). Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan silsilah biasanya partuturan hasusuran (tempat asal nenek moyang). Pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei.

Lalu bagaimana dengan nama Simalungun? Berdasarkan catatan Van Dijk ditulis Si Baloengoen karena begitulah orang Toba menyebutnya; orang Karo menyebutnya Si Meloengoen, sementara penduduk wilayah itu sendiri menyebut Si Maloengoen (lihat PALE van Dijk, Sibaloengoensche landschappen Tandjoeng Kassau, Tanah Djawa en Si Antar di dalam Tijds. Bat. Gen. XXXVIII, 1893). Nama Si Maloengoen ini yang kemudian direkomendasikan, dan yang selanjutnya diadopsi dalam memorandum Resident Oost Sumatra (menggantikan nama yang digunakan sebelumnya: Timoer). Dalam hal ini pada nama Baloengoen, Meloengoen dan Maloengoen ditambahkan awalan Si dalam penamaan suatu tempat di Tanah Batak.


Nama Maloengoen sendiri paling tidak, terinformasikan pada tahun 1877 (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1877). Disebutkan Maloengoen nama suatu sungai di pantai timur (wilayah) Lampung. Dalam berbagai peta geografi masa kini, nama Malungun tidak hanya di pantai timur Sumatra, juga ditemukan di (pulau) Mindanao, Filipina; Selain nama Malungun juga ada nama tempat di Mindanao disebut Malungon. Bagaimana dengan Malaya, Malajoe dan Malea? Patung: Ditemukan di desa Nagori Dolok, kecamatan Silo Kahean.

Banyak nama tempat diawali dengan suku kata Ma, seperti Malaka, Manado, Makassar, Makale dan Maluku. Besar dugaan nama Malungun adalah nama kuno (Ma-lu-ngun). Nama berawal Ma di Padang Lawas antara lain Marenu, di Angkola antara lain Marantjar dan di Mandailing seperti Malintang. Apakah nama Maloengoen berasal dari kata loengoen yang mendapat awal ma?


Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing oleh HJ Eggink tahun 1938. Ma diartikan setelah (menjadi) seperti magodang, sudah seperti maro dan makehe. Ma juga sebagai awalan seperti madabu, Ma juga ditempatkan setelah kata untuk menunjukkan, untuk menekankan, misalnya: lehen ma dan paboa ma. Bahasa Angkola Mandailing juga memiliki awalan tersendiri mar. Awala ma/mar ini dalam bahasa Melayu menjadi me/ber. Bagaimana dengan kata malungun? Seperti magodang. PALE van Dijk mencatat orang Toba menyebut Baloengoen, sementara orang Karo menyebut Meloengoen dan Orang Timor sendiri menyebut Maloengoen. Dalam kekerabatan bahasa di atas, bahasa Simalungun lebih mirip dengan bahasa Angkola (Maloengoen).

Nama (wilayah) Simaloengoen sempat diidentifikasi sebagai Timoer. Namun dalam perkembangannya para ahli menyesuaikannya dengan nama sebutan oleh penduduk setempat (Si Maloengoen). Hal serupa ini lazim terjadi, terutama pada fase pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di berbagai wilayah.


Penggunaan nama Timoer ini pertama kali dari JAM van Cats Baron de Raet dalam laporannya berjudul ‘Reize in de Bataklanden in December 1866 en Januari 1867’. Saat itu JAM van Cats Baron de Raet menjabat sebagai Controleur di (Laboehan) Deli yang melakukan perjalanan dari Laboehan ke Karo hingga danau Toba. Dalam konteks inilah muncul pemberian nama Timoer untuk lanskap di sebelah timur danau Toba.

Nama Simaloengoen sendiri diduga kuat adalah nama yang sudah tua. Hal itu karena nama Maloengoen tidak hanya ditemukan di pantai timur Sumatra, tetapi juga ditemukan di Lampung dan Mindanao. Orang Karo menyebut Simeloengoen, orang Toba menyebut Sibaloengoen. Orang Angkola dan orang Simalungun sendiri menyebut Simaloengoen.


Pada masa lalu ada nama tokoh dengan (nama) gelar Dja Maloengoen. Pada tahun 1881 ditarik batas wilayah antara distrik Silangge (Padang Lawas) dengan distrik Kota Pinang (Oost Sumatra) tepat melalui makam tua Dja Maloengoen (lihat Deli courant, 22-07-1885). Dalam hal ini Dja Maloengoen di satu sisi adalah tokoh besar di masa lalu dan di sisi lain gelar Djamaloengoen diasosiasikan dengan di wilayah Padang Lawas (Angkola Mandailing) yang mana Dja adalah singkatan Radja. Dalam gelar ini tidak ada penambahan awalan Si. Artinya, Maloengoen adalah nama asal Si Maloengoen. Di wilayah Angkola Mandailing nama gelar lazim dengan mengambil nama tempat seperti Dja Maloengoen seperti Soetan di Angkola, Soetan di Aru, Soetan Malajoe, Pengambilan nama itu dihubungkan dengan karirnya di wilayah tersebut. Boleh jadi, Dja Maloengoen ini dulunya pernah berkarir di wilayah Simaloengoen. Awalan Si dalam bahasa Angkola Mandailing dihubungkan dengan nama orang atau nama tempat seperti Sipirok, Siantar dan Simason. Satu yang jelas di Mandailing ada nama tempat terkenal Hoeta Siantar, tempat dimana raja Yang Dupertuan Hoeta Siantar berkedudukan. Dalam hal ini hanya ada duan ama tempat Siantar (di Mandailing dan di Simaloengoen). Nenek moyang radja Hoeta Siantar ini adalah Soetan di Aru (yang boleh jadi ada kaitannya dengan kerajaan Aru Batak Kingdom zaman dulu). Untuk menambahkan nama Pane, Mandailing dan Aru sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365).

Lalu nama Maloengoen merujuk apa? Seperti disebut di atas, tampaknya awalan Ma ditambahkan pada kata loengoen. Dalam bahasa Angkola Mandailing loengoen diartikan sebagai ditinggal atau rindu. Dalam bahasa Toba rindu diartikan sebagai masihol (lihat kamus Toba, HW Stap, 1912). Apakah penamaan Maloengoen ini ada kaitannya dengan Radja Aru Batak Kingdom kehilangan dua anaknya di Lingga dan Nagur (Simalungun)?


Bagaimana dengan nama Djawa di wilayah Simaloengoen? Seperti disebut di atas banyak nama-nama kerajaan di wilayah Simaloengoen dihubungkan dengan nama-nama di wilayah Angkola Mandailing (Padang Lawas). Tentang penamaan nama orang Timoer sudah diebut di atas, bagaimana dengan nama Tanah Djawa? Besar dugaan nama Djawa di Simaloengoen terhubung dengan nama pulau Djawa. Pada masa lampau, penggunaaan nama Djawa untuk tempat hanya ditemukan di wilayah Simaloengoen. Relasi Djawa dan pantai timur Sumatra ditemukan dalam bentuk candi di Padang Lawas. FM Schnitger meyakini bahwa Kertanegara (Radja Singhasari) salah satu pendukung fanatic agama Boedha Batak sekte Bhirawa. Hal itu didasarkan karena ada satu candi di Singhasari yang mirip candi-candi di Padang Lawas. Besar dugaan pada era Singhasari ada hubungan intens antara Padang Lawas dan Singhasari. Dalam teks Negarakertagama (1365) pada era Madjapahit nama-nama tempat di Padang Lawas masih eksis seperti Panai, (Padang) Lawas, Mandailing dan Aru. Kerajaan Madjapahit adalah suksesi dari kerajaan Singhasari. Dalam hal ini Tanah Djawa diduga awalnya merupakan tempat pemukiman orang dari Djawa semasa Singhasari/Madjapahit. Sejak Controleur Deli pada tahun 1860an berkunjung ke pedalaman mulau terinformkasikan wilayah Karolanden dan wilayah Timoer. Resident Riaow E Netscher mengadopsi nama dua wilayah pedalaman dengan populasu delapan suku Batak, masing-masing di bawah pemimpinnya sendiri, yakni empat di negeri-negeri bawah, dengan nama Timor yang terdiri Tanah-Djawa, Siantar, Panei dan Silau, dan empat di negeri-negeri atas, dengan nama Karau- Karau yang terdiri Baroes Djahai, Soeka-Sembelang, Sabaja-Lingga dan Baja-Senembah (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1877).

Last but not least: Bagaimana dengan nama sungai Silo dan kerajaan Silo di Simaloengoen? Seperti dikutip di atas bahwa pada saat permulaan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Simaloengoen, kerajaan Siantar bergabung tahun 1889, kemudian disusul Tanoh Jawa (1891), Pane dan Raya pada tahun 1904. Seperti disebut di atas, wilayah distrik Dolok Silo dan distrik (dolok) Raya berada di sebelah barat distrik Dolok Batoe Nanggar. Pejabat pemerintah pertama setingkat Controleur di wilayah Batoe Bara adalah CJ Westenberg (lihat laporan CJ Westenberg Verslag Eener Reis naar de Onafhankelijke Bataklanden ten Noorden van het Toba Meer di dalam Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1897). 


Sekali lagi, nama Silo, Raya, Pane, Batoe Nanggar dan Siantar adalah nama-nama geografis terkkenal di Angkola Mandailing. Sungai Aek Silo berhulu di gunung Dolok Batoe Nanggar yang masuk wilayah kerajaan Sipirok. Sungai Aek Silo ini mengalir ke barat bermuara di sungai Aek Poeli, yang ke hilir bermuara ke laut disebut sungai Batang Toroe. Raya adalah nama gunung Dolok Loeboek Raya di Angkola yang masuk wilayah kerajaan Batoenadoea. Pane adalah nama sungai yang berhulu di dekat gunung Dolok Batoe Nanggar yang mengalir ke timur (melalui percandian di Padang Lawas) dan bermuara ke sungai Baroemoen. Hoeta Siantar adalah kota terkenal di Mandailing yang dipimpin oleh raja Jang Dipertuan Hoeta Siantar. Pada waktu pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda tahun 1840 dibentuk afdeeling Angkola Mandailing dan afdeeling Portibi (Padang Lawas). Di onderafdeeling Angkola dan di onderafdeeling Mandailing dibentuk distrik-distrik yang dipimpin oleh koeria. Distrik Angkola dipimpin koeria Batoenadoea (Patoean Soripada), distrik Sipirok dipimpin koeria Sipirok dan di distrik Panjaboengan dipimpin koera Hoeta Siantar. Pada tahun 1848 di afdeeling Angkola Mandailing didirikan enama sekolah pemerintah. Pada tahun 1857 Si Sati berangkat studi keguruan ke Belanda. Sepulang dari Belanda, Si Sati dengan nama julukan Willem Iskander pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato. Diantara siswa di sekolah guru ini adalah Mangaradja Soetan anak dari Koeria Batoenadoea dan Soetan Goenoeng Toea keponakan dari koeria Sipirok. Seperti kita lihat nanti, kelak anak Mangaradja Soetan adalah pendiri organisasi mahasiswa di Belanda Indische Vereeniging tahun 1908 (Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan) dan cucu dari Soetan Goenoeng Toea menjadi perdana Menteri RI (Amir Sjarifoeddin Harahap gelar Soetan Goenoeng Soaloon).

Dalam perkembangannya dibentuk afdeeling baru dengan nama Simeloengoen en Karolanden yang dipimpin Asisten Residen berkedudukan di Sariboe Dolok (Simeloengoen sebagai pengganti Timoer dan Karolanden sebagai pengganti Karau-Karau). Penamaan Simeloengoen diduga dari wilayah Karolanden yang lebih dahulu dikenal para pejabat Belanda (sejak Controleur Deli, Baron Cats de Raet). Hal itulah mengapa ibu kota afdeeling baru (Simeloengoen en Karolanden) di Sariboe Dolok (tidak jauh di selatan Kabanjahe dekat danau Toba). Seperti disebut di atas, kemudian penulisan nama Simeloengoen diganti dengan Simaloengoen.


Pembagian wilayah sebagai berikut: Onderafdeeling Karolanden terdiri dari 8 distrik (oeroeng), diantaranya distrik Silo (sebagian wilayah Raya dan sebagian wilayah Dolok); distrik Kinalang (sebagian wilayah Raya dan sebagian wilayah Poerba); distrik Teloe Koeroe (sebagian wilayah Sibajak dan sebagian wilayah Lingga). Onderafdeeling Simeloengoen terdiri ibu kota di Pematang Siantar terdiri 4 distrik: distrik Tanoh Djawa meliputi Dolok Periboean, Simpang Bolon dan Girsang; distrik Siantar meliputi Bandar, Sidemanik dan Sipolha; distrik Pane meliputi Dolok Batoe Nanggar, Goenoeng Merijah, Dolok Seriboe dan Sipoldas; distrik Raya meliputi wilayah Boeloe Raya (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, 1908). Di wilayah Simaloengoen tampaknya tidak menarik garis genealogis di dalam satu wilayah, tetapi lebih pada kesatuan bertempat tinggal, tidak seperi marga (koeria di Angkola Mandailing) tetapi mirip suku (laras di Minangkabau). Disebutkan tepi kiri sungai di sisi gunung hidup suku Si-baloengoen yang memanjang hingga Bedagei dan terbagi menjadi suku-suku (clan) yang berdiri sendiri sepenuhnya, yaitu: suku Tanah Djawa, suku Siantar, suku Silau, suku Raya, suku Dolok dan suku Bandar (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1895). Suku Bandar di distrik Dolok Batoe Nanggar.

Pada akhirnya wilayah Silo dan wilayah Raya dipisahkan dari onderafdeeling Karolanden dan dimasukkan ke wilayah onderafdeeling Simaloengoen. Besar dugaan pembagian wilayah ini sudah terbentuk sejak era kerajaan Aru Batak Kingdom yang mana dua anak raja (pangeran) terbunuh oleh pasukan Atjeh di Lingau (Lingga) dan Nakur (Nagur). Pangeran Lingga di Karolanden yang sekarang dan Pangeran Nagur di Simaloengoen yang sekarang. Radja Aru sendiri tetap berkedudukan di sungai Barumun. Pengembalian wilayah Silo dan wilayah Raya ke wilayah Simaloengoen tampaknya disesuaikan kembali dengan sejarah awal.


Wilayah Silo dan wilayah Raya dan wilayah Dolok adalah tiga wilayah terpisah. Pada masa ini wilayah Silo menjadi kecamatan Silo Kahean dan kecamatan Dolok Silo; wilayah Dolok menjadi kecamatan Tapian Dolok dan kecamatan Dolok Batoe Nanggar. Di kecamatan Silo Kahean terdapat desa Nagori Dolok, tempat ditemukan tempo doeloe patung. Di kecamatan Silo Kahean ini juga terdapat desa Simanabun. Di kecamatan Tapian Dolok terdapat desa Nagur dan di kecamatan Dolok Batu Nanggar terdapat desa Dolok Marangir dan desa Padang Mainu (Padang Marenu). 

Bagaimana sejarah yang berlangsung di wilayah Simaloengoen? Seperti dikutip di atas, pada era Pemerintah Hindia Belanda terbagi tujuh daerah yakni empat kerajaan dan tiga partuanan. Kerajaan tersebut adalah: Siantar bergabung 1889; Dolog Silou dan Tanoh Jawa (1891); Panei dan Raya (1904). Yang jelas orang Eropa pertama mencatat adalah CJ Westenberg (lihat laporan CJ Westenberg Verslag Eener Reis naar de Onafhankelijke Bataklanden ten Noorden van het Toba Meer di dalam Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1897).


Tidak lama setelah Radja Djintan Ali kepala lanskap Tandjoeng Kasau pada bulan Juni 1888 bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda, lalu pada bulan Oktoner 1889 Radja Siantar, Sang Nahoealoe ikut bergabung (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, 1890). Bagaimana dengan yang lainnya? Yang jelas negeri-negeri dengan nama Timor terdiri empat lanskap, yakni Tanah-Djawa, Siantar, Panei dan Silau (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1877). Dalam laporan CJ Westenberg (1897) disebutkan ada radja berempat di Timoer yakni (Silau atau Dolok, Panei, Si-Antar dan Tanah Djawa). Dalam hal ini kerajaan Silau adakalanya disebut Dolok.

CJ Westenberg mencatat Raja dari Raya, Rondahaim muncul ke permukaan tetapi menjadi teror bagi tetangganya seperti Raja-Raja Si Antar, Panei, Dolok, Poerba, dll-- yang wilayahnya berhasil dirampas Rondahaim sebagian besarnya dengan tipu muslihat dan kekerasan untuk memperbesar kerajaannya sendiri (kerajaan Raya). Dengan hegemoni, Radja Rondahaim keberatan dengan kerajaan Melayu Padang telah bergabung dengan pemerintah. Lalu Rondahaim menyerang kerajaan itu dengan kekuatan senjata--yang dengan demikian masuk ke wilayah pemerintah. Pada tahun 1887 pasukan militer di bawah pimpinan Sersan AH van de Pol menghalau Radja Rondahaim dengan pasukannya. Pada tahun 1892 Radja Rondahaim dikabarkan telah meninggal dunia. Putra dan penerusnya, Toean Kapoeltakan (berkedudukan di Pematang Raya) dalam pembagian harta warisan, ia segera berkonflik dengan beberapa saudara laki-lakinya dan yang lebih parah, juga dengan Ompoe Glege, Raja Goeraha (panglima tentara mendiang Toean Rondahaim). Toean Kapoeltakan cukup dekat dengan saudarnya Toean Poerba (Toean di Poerba).


Raja-raja tetangga, yang sebelumnya dirampas sebagian wilayahnya, kini melihat peluang untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang. Mereka bangkit dan mendukung satu sama lain. Toean Kapoeltakan dan sekutunya menjadi tertekan; sebab seluruh penaklukan ayahnya dan sebagian besar wilayah Raja telah hilang. Atas saran pelindungnya, Toean Kapoeltakan mencoba bergabung dengan pemerintah. Sebab sebelumnya lawan-lawan ayahnya dulu telah menjalin hubungan dengan Controleur di Batoe Bara. Seperti disebut di atas, pada tahun 1889 Radja Siantar, Sang Nahoealoe bergabung dengan pemerintah. _

Pada tahun 1894 Toean Kapoeltakan diiringi oleh saudara laki-laki Toean Poerba datang menemui Controleur Westenberg untuk meminta memediasi tentang pertengkarannya dengan saudara-saudaranya dan orang-orang hebat tetangganya dengan sungguh-sungguh, Residen PJ Kooreman bersedia menyediakan mediasi itu, Mediasi ini sempat tertunda dan kemudian dijadwalkan kembali pada hari-hari pertama bulan Februari 1896 di tempat yang cocok di daerah Raya (di Pematang Raya).


Dalam perkembangannya Djintan Ali yang sebelumnya sebagai radja di lanskap Tandjoeng Kasau dihapuskan dengan mengangkat sebagai kepala lanskap, Sementara itu raja di Tanah Djawa pada tahun 1901 diangkat Si Djintar. Sebelumnya JA Kroesen telah membuat laporan penerimaan Tanah Djawa (lihat JA Kroesen. ‘Rapport betreffende de aanvaarding van de onderwerping aan het Nederlandseh oppergezag van het landschap Tanah Djawa yang dimuat dalam Tijdschr. Bat. Gen. XLI. Radja yang pertama di Tanah Djawa adalah Radja Maligas sejakj 1891 (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1901). Bagaimana dengan Toean Kapoeltakan di lanskap Raya?

Pemerintah (Residen Oost Sumatra) tampaknya tidak tergesa-gesa untuk membentuk pemerintahan yang lebih luas (seluruh Simaloengoen). Meski demikian, pemerintah tampaknya sudah cukup dengan dua radja di Siantar dan di Tanah Djawa. Setelah cukup lama, baru tahun 1904 pembentukan pemerintahan di Simaloengoen dengan mengangkat Toean Kapoeltakan menjadi kepala di lanskap Raya dan Toean Djadiamat di Pane (bersamaan tanggal 6 Jamuari 1904). Pada tanggal 7 September 1904 Toean Tandjarmahei diangkat sebagai kepala lanskap Dolok (Silau) dan Toean Rahalim sebagai kepala di lanskap Poerba (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1905). Dengan demikian lengkap sudah pemerintahan local di wilayah Simaloengoen. Saat ini pejabat pemerintah setingkat Controleur di Laboehan Roekoe (Batoe Bahara).


Setelah terbentuk afdeeling Karolanden en Simeloengoe (bagian dari Residentie Oost Sumatra), sebelumnya sudah lengkap pemerintahan local yang baru di wilayah Simaloengoen pada tahun 1904 dengan diangkatnya para pemimpin local di sejumlah distrik (oeroeng). Beberapa kerajaan awal, masih terlihat bentuknya yang kemudian dipimpin (primus interpares) radja Siantar. Seperti disebut di atas Radja Raya sempat berkuasa dominan sebelum ditaklukkan oleh pasukan pemerintah. Kerajaan-kerajaan di Simaloengoen ini diduga kuat bermula dari Kerajaan Nagur (lihat laporan Ma Huan 1405-1433). Yang menjadi pangeran di Nagur dan Lingga adalah anak dari radja Aru Batak Kingdom (lihat Mendes Pinto, 1537). Oleh karena itu empat kerajaan-kerajaan yang terbentuk di eks kerajaan Nagur diduga ada relasinya dengan Padang Lawas (Angkola Mandailing), seperti nama tempat, bahasa (dan dialek bahasa) serta adat istiadat. Penemuan benda-benda kepurbakalaan di Simaloengoen memiliki kemiripan dengan yang ditemukan di wilayah Angkola, Mandailing dan Padang Lawas. Dalam pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda, paling tidak tahun 1904 sudah ada enam pemimpin local (Siantar, Tanah Djawa, Raya, Pane, Dolok (Silau) dan Poerba).

Setelah terbentuk afdeeling Karolanden en Simeloengoe (bagian dari Residentie Oost Sumatra) kota Sariboe Dolok dijadikan sebagai ibu kota dengan menempatkan seorang Asisten Residen (HJ. Grijzen, sejak 1910). Sementar itu di Siantar sudah mulai tumbuh seiring dengan perkembangan perkebunan di wilayah Simaloengoen. Pada tahun 1914 ibu kota afdeeling dipindahkan dari Sariboe Dolok ke Pematang Siantar.


Mangaradja Soangkoepon pada tahun 1915 dipindahkan ke kantor Asisten Residen Simaloengioen en Karolanden di Pematang Siantar (Oost Sumatra) dari kantor asisten residen Asahan. Di kantor ini sudah ada pegawai yang berasal dari Padang Sidempoean yakni Hasan gelar Soetan Pane Paroehoem. Dalam perkembangannya Mangaradja Soangkoepon pada tahun 1916 terpilih menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) di Pematang Siantar. Mangaradja Soangkoepon yang memiliki izajah sekolah menengah (lulusan Belanda) mendapat kenaikan pangkat menjadi Controleur di pemerintahan dalam negeri (lihat De locomotief, 19-07-1917). Pada tahun 1917 ini Abdul Firman yang menjadi pegawai di kantor Asisten Residen Simaloengoen dan Karolanden di Pematangsiantar yang juga anggota dewan kota mencalonkan diri untuk kandidat dewan pusat Volksraad (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-12-1917).

Pada tahun 1917 kota Pematang Siantar kedatangan seorang dokter yang juga akan menjadi lingkup kerjanya onderafdeeling Simaloengoen. Dokter tersebut adalah Dr Mohamad Hamzah Harahap (yang sebelumnya bertugas di Treub Hospital di Bandar Baroe. Mohamad Hamzah Harahap lulus sekolah kedokteran (Docter Djawa School) di Batavua tahun 1902. Pada bulan Januari 1918 Dr Ali Moesa Harahap ditunjuk menjadi dokter hewan di Siantar (sebelumnya berada di Balige). Ali Moesa lulus sekolah kedokteran hewan (veeartsen) di Buitenzorg pada tahun 1914.


Pada tahun 1916 di kota Pematang Siantar akan segera dibuka sekolah Hollandsc Inlandsche School (lihat Het nieuws van den dag, 22-09-1916). Juga akan dibuka sekolah guru (normaalschool) di Pematanag Siantar (lihat Deli courant, 11-10-1916). Salah satu guru yang ditempatkan di sekolah HIS adalah Soetan Hasoendoetan, Sedangkan J Siregar gelar Soetan Martoewa Radja seorang guru yang berpengalaman akan menjadi salah satu guru. Soetan Martoewa Radja lulus sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean pada tahun 1892. Soetan Hasoendoetan (marga Siregar dari Sipirok), 

Usia pemerintahan (Asisten Residen) di Simaloengoen belum genap10 tahun sudah ada beberapa putra Padang Sidempoean di Pematang Siantar yang duduk di pemerintahan dengan posisi menentukan. Mangaradja Soangkoepon sebagai pejabat di kantor Asisten Residen di Pematang Siantar dan juga duduk sebagai anggota dewan kota (gemeeteraad) Pematang Siantar. Soetan Martoea Radja sebagai guru di HIS Pematang Siantar; Dr Mohamad Hamzah Harahap di dinas kesehatan afdeeling Simaloengen ebn Karolanden yang berkedudukan di Pematang Siantar dan Dr Alimoesa Harahap di dinas kedokteran hewan yang berkedudukan di Pematang Siantar.


Kehadiran putra-putra asal Padang Sidempoean di Pematang Siantar (Simaloengoen) seakan mengingatkan sejarah lama di Simaloengoen bahwa dulu diduga orang Angkola Mandailing (Padang Lawas) bermigrasi ke Simaloengoen. Dua putra terbaik radja Aru Batak Kingdom mati terbunuh oleh pasukan Atjeh di Lingga dan Nagur (lihat Mendes Pinto 1537). Empat kerajaan di Simaloengoen (Siantar, Dolok/Solo, Pane danm Tanah Djawa) yang diduga menjadi pewaris Kerajaan Nagur). Putra-putra asal Padang Sidempoean di Pematang Siantar ini dengan sendirinya akan bekerjasama dengan para pemimpin local (Siantar, Dolok Silo, Pane, Raya, Tanah Djawa dan Poerba) untuk meningkatkan kemajuan di Onderafdeeling Simaloengoen.

Tidak adanya bank bagi pribumi memunculkan gagasan pendirian bank di Pematang Siantara pada tahun 1920, Bank tersebut didirikan oleh sejumlah tokoh asal Padang Sidempoean. Bank yang didirikan itu diberi nama Bataksche Bank.


Para pendiri bank ini adalah Dr Alimoesa Harahap, Dr Muhamad Hamzah Harahap, Soetan Pane Paroehoem dan Soetan Hasoendoetan (lihat De Telegraaf, 28-12-1920). Untuk menjaga kesinambungan bank swasta pribumi ini Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem berinisiatif untuk mengikuti kursus dan ujian notaris di Batavia. Soetan Pane Paroehoem lulus ujian notaris kelas satu pada tahun 1927 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-08-1927). Soetan Pane Paroehoem adalah notaris pertama pribumi di Sumatra,

Orang Padang Sidempoean pada awal terbentuknya pemerintahan di wilayah Simaloengoen berasal dari berbagai tempat di Angkola: Dr Mohamad Hamzah Harahap dan Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem dari sekitar gunung Loeboek Raya; Soetan Martoea Radja dan Mangara Soangkoepon dari sekitar Aek Silo dan Dolok Batoe Nanggar; Dr Ali Moesa Harahap dari sekitar Batang Pane.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: