Rabu, Oktober 16, 2024

Sejarah Pantai Timur (8): Tebing Tinggi di Sungai Padang, Berhulu di Raya Bermuara di Bandar Kalipa; Rondahaim Radja di Raja


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Ada nama Tebing Tinggi di hulu daerah aliran sungai Musi. Bagaimana dengan nama Tebing Tinggi di daerah aliran sungai Padang. Tebing Tinggi adalah kota baru di pantai timur Sumatra. Sungai Padang berhulu di wilayah (kerajaan) Raya (wilayah Simaloengoen) dengan nama sungai Bolian. Mengapa nama sungai disebut sungai Padang? Yang jelas ada nama kota Padang Sidempoean di lereng gunung Dolok Loeboe Raya.  


Tebing Tinggi sebuah kota di tengah kabupaten Serdang Bedagai elevasi 24-26 m dpl empat sungai: sungai Padang, sungai Bahilang, sungai Kalembah dan sungai Sibaran. Mulai dihuni tahun 1864 orang dari wilayah Bandar Simalungun (kini wilayah Pagurawan) dipimpin Datuk Bandar Kajum di Tanjung Marulak. Ada tekanan dari Kerajaan Raya, pemukiman dipindah ke sebuah tebing yang tinggi (cikal bakal nama Tebing Tinggi). Kerajaan Raya menyerang Kampung Tebing Tinggi namun dibantu Belanda. Dengan perjanjian Belanda dibentuk Kerajaan Padang pusat di Bandar Sakti (pelabuhan sungai dan menjadi pusat perdagangan). Batas Kerajaan Padang dengan Kerajaan Raya di di Sipispis dan ke hilir termasuk Bandar Khalifah. Kerajaan Padang dihuni penduduk dari multi etnis. Pada tahun 1887, oleh pemerintah Hindia Belanda, Tebing Tinggi ditetapkan sebagai kota pemerintahan dimana pada tahun tersebut juga dibangun perkebunan besar yang berlokasi di sekitar Kota Tebing Tinggi. Pada tahun 1903, pemerintah Hindia Belanda menetapkan Tebing Tinggi sebagai daerah gemeente/kota (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Tebing Tinggi di sungai Padang, yang berhulu di Raya dan bermuara di Bandar Khalipa? Seperti disebut di atas ada hubungan masa lalu di daerah aliran sungai Bolian/sungai Padang antara kerajaan Raya di pedalaman dan kerajaan Padang di hilir. Raua terkenal dari Raya adalah Rondahaim. Lalu bagaimana sejarah Tebing Tinggi di sungai Padang, yang berhulu di Raya dan bermuara di Bandar Khalipa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tebing Tinggi di Sungai Padang, Berhulu di Raya Bermuara di Bandar Kalipa; Rondahaim Radja ds Raja                                                                 

Sejak takluknya Malaka oleh Portugis dan sejak kekalahan kerajaan Aru Batak Kingdom dari (kerajaan) Atjeh pada paruh pertama abad ke-16, yang berkuasa di wilayah pesisir pantai timur Sumatra (antara Tamiang dan Indragiri) adalah saling bergantian antara Atjeh dan Siak Indrapoera. Awalnya di pesisir adalah populasi Batak tetapi kemudian dari waktu ke waktu semakin terdesak ke dalam.


Populasi penduduk Melayu di wilayah pantai timur ini awalnya bermukim hampir secara eksklusif di sepanjang sungai, sedangkan wilayah pedalaman yang tidak dapat ditembus, ditutupi dengan hutan yang belum terjamah, relatif berharga bagi mereka sebagai sumber ekonomi dari populasi penduduk di pedalaman. Jika terjadi perselisihan (pesisir dan pedalaman), daerah tangkapan sungai biasanya dihitung menjadi milik wilayah Raja yang menduduki sungai tersebut (lihat HA Hujmans van Anrooy, 1885). Dalam konteks inilah antara Atjeh dan Siak bersaing untuk mendapat pengaruh (sejak Radja Ketjil berkuasa di Siak, 1717). Sejak itulah populasi Melayu berkembang pesat di wilayah pesisir di pantai timur Sumatra. Kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di Riaow (1840an) dan perjanjian antara pemerintah dengan Sultan Siak (1858) secara perlahan menggantikan Atjeh dan mendudukan pemimpin Melayu yang terafiliasi dengan Siak. Salah satu pemimpin Melayu yang ditinggikan pemerintah adalah Sultan Deli di Laboehan (sejak 1863). Situasi dan kondisi di wilayah persisir pantai timur Sumatra paling tidak telah dilaporkan oleh John Anderson tahun 1822 (Pemerintah Hindia Belanda belum hadir, dan kekuatan ekonomi antara Indragiri hingga Atjeh didominasi Inggris yang memiliki pos perdagangan di Penang).

Nama Tebing Tinggi di pantai timur paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1882 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-03-1884). Disebutkan pemerintah memberi konsesi lahan perkebuhan seluas 1500 bau di Tebing Tinggi yang berada di lanskap Padang. Sejauh ini Tebing Tinggi adalah konsesi terjauh dari Medan yang diberikan ke public. Sehubungan dengan itu, kemudian Pemerintah Hindia Belanda mulai mengembangkan potensi perdagangan di daerah aliran sungai Padang dengan menempatkan pejabatnya setingkat Ontvanger pada tahun 1885 di Bandar Kalipa (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-12-1885).                                                             

Sementara itu pedalaman, Raja dari Raya, Rondahaim menebarkan rasa superior di di Sumaloengen. Teror dari raja ini menyebabkan tetangganya seperti Raja-Raja Si Antar, Panei, Dolok, Poerba, dll—Sebagian wilayahnya berhasil dirampas Rondahaim sebagian besarnya dengan tipu muslihat dan kekerasan untuk memperbesar kerajaannya sendiri (kerajaan Raya).

Kehadiran pejabat Pemerintah Hindia Belanda di hilir sungai Padang (Bandar Kalipa) dan kerjasama yang dilakukan dengan pemimpin lokal di Tebing Tinggi (konsesi lahan perkebunan), diduga membuat marah Radja Rondahaim dari kerajaan Raya di hulu sungai Padang (sungai Bolian). Lebih-lebih dengan kerajaan Melayu Padang (Radja Gharah) tersebut telah bergabung dengan pemerintah.


Pemerintah penempatlan pejabat setingkat Controleur di lanskap Padang yang berkedudukan di Tebing Tinggi. Dalam konteks inilah kemudian muncul perselisihan antara kerajaan Raya dan kerajaan Padang. Tindakan Controleur Tebing Tinggi yang lebih memihak kerajaan Padang memicu keteganan yang lebih tinggi.

Lalu Rondahaim menyerang ke wilayah kerajaan itu dengan kekuatan senjata (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-12-1886). Perang terbuka terjadi kerajaan Padang yang didukung pemerintah dari Medan (lihat Deli courant, 01-10-1887). Perang benar-benar terjadi di Tebing Tinggi (lihat Deli courant, 08-10-1887). Bantuan militer dari Medan, lalu pasukan militer di bawah pimpinan Majoor AH van de Pol menghalau Radja Rondahaim dengan pasukannya.


Pada tahun 1892 Radja Rondahaim dikabarkan telah meninggal dunia. Putra dan penerusnya, Toean Kapoeltakan (berkedudukan di Pematang Raya) dalam pembagian harta warisan, ia segera berkonflik dengan beberapa saudara laki-lakinya dan yang lebih parah, juga dengan Ompoe Glege, Raja Goeraha (panglima tentara mendiang Toean Rondahaim). Toean Kapoeltakan hanya dekat dengan saudaranya Toean Poerba (Toean di Poerba).

Kasus perselisihan Kerajaan Raya (pedalaman) dan Kerajaan Padang (pesisir) lain terjadi di berbagai tempat. Kekuatan dari pedalaman dengan yang lemah di pesisir, menjadi terbantu dengan hadirnya pihak ketiga dari luar (Pemerintah Hindia Belanda). Sebagaimana diketahui Pemerintah Hindia Belanda berada di perairan/laut dimana perselisihan antara kerajaan pesisir dan kerajaan pedalaman. Sisi luar/dari lautan via sungai menjadi pintu masuknya untuk menguasai lebih dahulu yang di pesisir baru kemudian ke pedalaman. Hal seperti yang terjadi sebelumnya di pantai barat Sumatra.


Pada tahun 1858 Sultan Siak melakukan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda. Lalu Residentie Riouw diperluas ke wilayah Siak Indrapoera. Resident berkedudukan di Tandjoeng Pinang dan Asisten Residen di Siak Indrapoera (lihat Almanak 1863). Tempo doeloe sejak Radja Ketjil (1717) terjadi persaingan perdagangan di pantai timur antara Atjeh dan Siak. Pada saat pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Riaow, pantai timur Sumatra didominasi Atjeh hingga ke muara sungai Baroemoen (Laboehan Batoe). Sejak bergabungnya Siak Indrapoera ke pemerintah yang berkedudukan di Riaow) dalam perkembangannya, Sultan Siak mengklaim wilayah pantai timur di bawah yurisdiksinya hingga ke Tamiang. Residen E Netscher dengan bantuan angkatan laut melakukan ekspedisi ke pantai timur hingga Deli pada tahun 1863. Saat itu di Laboehan, penguasa otoritas adalah Atjeh dan juga di Laboehan terdapat perwakilan Batak. Kehadiran Netscher di Laboehan, Kraton kerajaan Deli (Melayu) di Laboehan terbebas dari Atjeh. Perwakilan Batak di Laboehan ditarik ke pedalaman. Berdasarkan Almanak 1865, pejabat pemerintah setingkat Controleur sejak 1864 ditempatkan di Laboehan Batoe (Vigeluis); di Deli (de Raet), dan di Batoe Bara (de Scheemaker). Dalam perkembangannya fungsi Controleur ditempatkan di Asahan, sementara di Laboehan Batoe hanya setingkat ambtenaar (lihat Almanak 1870). Pada tahun 1873 dibentuk Residentie Oostkust van Sumatra dengan empat afdeeling yang mana ibu kota di Bengkalis. Asisten Residen di Deli, dan Controleur di Siak, di Laboehan Batoe, di Asahan. Tahun 1875 dibentuk onderafdeeling Medan (ditempatkan seorang Controleur). Pada tahun 1879 ibu kota afdeeling Deli direlokasi dari Laboehan ke Medan (asisten residen rokade dari Laboehan ke Medan). Dalam Almanak 1881 afdeeling Asahan dutambahkan wilayah Batoe Bara. Sementara iti di afdeeling Deli ditambahkan Controleur di Tandjoeng Poera (Langkat); di Rantaoe Pandjang (Serdang); dan di Tamiang. Dalam hal ini wilayah afdeeling Asahan meliputi Asahan, Batoebara, Tandjoeng Kasaoe, Sipare-pare dan Pagoerawan. Sementara itu wilayah onderafdeeling Serdang (afdeeling Deli) meliputi Serdang, Senembah, Denai, Perbaoengan dan Serbadjadi (lihat Almanak 1886). Sebelumnya, sejak 1885 Controleur ditempatkan di Tebing Tinggi (relokasi dari Rantaoe Pandjang). Pada tahun 1887 Bengkalis dan Siak dipisahkan (dimasukkan ke res Riaow) dan kemudian dibentuk res Oost Sumatra beribukota di Medan (lihat Stbl 1887 No 21). Residen berkedudukan di Medan; Asisten Residen di Tandjoeng Poera dan di Asahan. Pada tahun 1887 inilah puncak perang antara Kerajaan Raya dan Kerajaan Padang. Dalam perkembangannya ditambahkan asisten residen di Loeboe Pakam (kemudian di relokasi ke Bangoen Poerba sehubungan dengan bergabungnya Siantar dan pembentukan afdeeling Padang en Bedagai ibu kota di Tebing Tinggi). Dalam Almanak 1902 Tandjoeng Kasau, Siantar dan Tanah Djawa dimasukkan ke afdeeling Batoe Bara (Controleur berkedudukan di Laboehan Roekoe). Sebagai ibu kota, kota Tebing Tinggi cepat berkembang. Pada tahun 1907 dibentuk afdeeling Karolanden en Simaloengoen ibu kota di Sariboe Dolok (Asisten Residen di Bangoen Poerba direlokasi ke Sariboe Dolok CJ Westenberg) sementara Controleur ditempatkan di Pematang Siantar. Afdeeling Padang dan Bedagai dibawah koordinasi Asisten Residen di Medan; afeeling Batoebara di bawah koordinasi Asisren Residen di Tandjoeng Balai (yang juga membawahi Controleur V Obdijn di Laboehan Batoe). Dengan demikian seluruh pantai timur Sumatra telah teradministrasikan (sementara di pantai barat res Tapanoeli). Catatan: Di Afdeeling Deli di Medan juga ada Controleur khusus untuk orang Batak di Deli dan Serdang; Controleur di Tebing Tinggi juga menangani orang Batak di Padang dan Bedagai. Pada tahun 1912 afdeeling Deli dan afd Serdang serta afd Padang en Bedagai digabung dengan nama afd Deli en Serdang ibu kota di Medan. Serdang dan Padang en Bedagai masing-masing menjadi onderafdeeling (ibu kota di Loeboe Pakam dan di Tebiug Tinggi). Sementara itu pada tahun 1912 ini ibu kota afdeeling Karolandern en Simaloengoen direlokasi dari Saribo Dolok ke Pematang Siantar. Asisten residen berkedudukan di Pematang Siantar dan di onderafdeeling Karolanden ditempatkan Controleur di Kabandjahe (wilayah distrik Dolok, Silo dan Poerba dimasukkan ke onderafdeeling Simanloengoen) dan di onderafdeeling Simaloengoen di Sariboe Dolok ditempatkan seorang Controleur. Pada tahun 1915 Residentie Oost Sumatra ditingkatkan menjadi province (Gubernur S van der Plaas).

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Tebing Tinggi (Padang en Bedagai), tidak lama setelah status Oost Sumatra dari residentie menjadi province, penerapan desentralisasi diusulkan untuk kota-kota Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Tandjoeng Balai dan Bindjai menjadi gemeente (lihat De Sumatra post, 07-03-1916). Sebagaimana diketahui kota Medan sejak 1909 telah ditetapkan sebagai gemeente. Di Tebing Tinggi sudah dibentuk dewan pengadilan (Landraad) tetap hingga tahun 1916 belum ada bangunan tetap (permanen) untuk Landraad.


Sementara itu di Tebing Tinggi akan segera dibuka sekolah pemerintah (pribumi) kelas dua yang akan dibuka pada bulan Desember (lihat Deli courant, 16-03-1916). Sebagaimana diketahui sekolah pemerintah di afdeeling Angkola Mandailing dibangun tahun 1849. Pada tahun 1854 dua siswa asal Angkola Mandailing (Asta Nasoetion dan Angan Harahap) diterima di sekolah kedokteran di Batavia (Docter Djawa School). Dua siswa ini merupakan siswa pertama dari luar Djawa. Pada tahun 1857 Satie Nasoetion berangkat studi keguruan ke Belanda. Sati Nasoetion alias Willem Iskander lulus dengan akta guru tahun 1860. Pada tahun 1861 kembali ke tanah air dan tahun 1862 membangun sekolah guru di Tanobato. Pada tahun 1879 sekolah guru yang lebih besar dibangun di Padang Sidempoean sebagai pengganti di Tanobato. Salah satu lulusan sekolah guru Padang Sidempoean adalah Soetan Martoea Radja (lulus 1892). Pada tahun 1903 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, guru di Padang Sidempoean (lulus sekolah guru Padang Sidempoean) melanjutkan studi keguruan ke Belanda. Pada tahun 1908 Soetan Casajangan mendirikan organisasi mahasiswa pribumi (Indische Vereeniging) di Leiden. Soetan Casajangan lulus akta LO pada tahun 1909 dan pada tahun 1911 lulus dengan akta MO (setara sarjana). Sebelimnya, tahun 1910 Abdoel Firman Siregar gekar Managaradja Soangkoepon lulusan ELS Medan berangkat studi ke Belanda dan pada tahun 1911 Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lulus ELS Sibolga melanjutkan studi ke Belanda.  Pada tahun 1913 Soetan Casajangan kembali ke tanah air dan dingakat menjadi direktur sekolah guru di Fort de Kock tahun 1914. Sementara itu Mangaradja Soangkoepon seteh menyelesaikan sekolah menengah perdagangan di Amsterdam kembali ke tanah air pada tahun 1915 (dan menjadi pegawai di kantor Asisten Resident di Tandjoeng Balai). Pada tahun 1916 Mnangaradja Soangkoepon dipindahkan ke kantor Asisten Residen di Pematang Siantar dengan kenaikan pangkat setingkat Controleur. Pada tahun 1916 ini guru berpengalaman di Tapanoeli Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng diangkat sebagai penilik sekolah di Medam dan pada tahun 1917 guru berpengalaman Soetan Martoea Radja diangkat sebagai guru HIS di Pematang Siantar. Pada tahun ini Dr Mohamad Hamzah Harahap dari rumah sakit Treub Hospital di Bandar Baroe dipindahkan ke Pemetang Siantar dan Dr Alimoesa Harahap dari Balige dipindahkan ke Pematang Siantar sebagai kepala dinas kesehatan ternak. Di Tebing Tinggi sendiri sudah ada rumah sakit yang juga berada di bawah tanggung jawa Dr Mohamad Hamzah Harahap. Di Tebing Tinggi juga akan dibukan sekolah Eropa sewasta (lihat De locomotief, 22-09-1917).

Pada tahun 1917 Gemeente Tebing Tinggi diberlakukan (lihat De Sumatra post, 24-01-1917). Dalam hal ini dibentuk dewan kota (gemeenteraad) Tebing Tinggi. Realisasi gemeete di Tebing Tinggi bersamaan dengan di Bindjai, Pematang Siantar dan Tandjoeng Balai (lihat De Sumatra post, 05-07-1917). Sesuai ordonasi yang dibuat, disebutkan anggaran per tahun untuk Tebing Tinggi f10.530 yang mana anggota dewan sebanyak 9 orang (5 Eropa, 3 pribumi dan 1 Timur asing). Gemeente Tebing Tinggi dipimpin oleh Controleur onderafdeeling Padang en Bedagai.


Sementara itu di Bindjai dengan komposisi yang sama 5,3,1 dengan anggaran per tahun f11.640 yang dipimpin Controleur di onderafdeeling Boven Langkat; di Tandjoeng Balai dengan anggaran f13.968 yang dipimpin Asisten Residen; di Pematang Siantara dengan anggaran per tahun f5.700 yang dipimpin Asisten Residen. Bagaimana komposisi di Pematang Siantar, Tandjoeng Balai dan Bindjai tidak terinformasikan. Satu yang baru di Gemeente Medan, yang sudah dimulai sejak 1909. Pada tahun 1918 ini akan dilakukan pemilihan untuk kandidat dimana wakil pribumi sebanyak 3 kursi dan 1 Timur asing. Di Gemeente Medan sendiri pada tahun 1918 untuk pertama kali pimpinan gemeenteraad dipimpin oleh wali kota (Burgemeester).

Persidangan pertama akan diadakan tanggal 28 September 1917 pukul 7 pagi. Beberapa agenda penting yang akan dibahas, antara lain: pengangkatan sekretaris kota dan perlunya mengubah batas kota (lihat Deli courant, 22-09-1917).


Salah satu dari golongan pribumi yang diangkat menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Tebing Tinggi adalah Sati Nasoetion gelar Mangaradja Enda Mora (lihat De Sumatra post, 10-07-1917). Sementara di Tandjoeng Balai yang diangkat adalag Dr Abdoel Rasjid Siregar dan di Pematang Siantar adalah Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon.

Pada tahun 1918 untuk kali pertama anggota dewan (gemeenteraad) Medan diangkat setelah melalui proses pemilihan (pilkada). Salah satu dari tiga orang non Eropa adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng (lihat De Sumatra post, 16-07-1918).


Jumlah non Eropa pada tahun 1919 bertambah menjadi lima orang. Tambahan dua orang ini bukan melalui pemilihan tetapi ditunjuk untuk menggantikan kursi orang Eropa. Salah satu anggota dewan yang menggantikan tersebut adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, hakim di pengadilan Medan.

Di dewan kota (gemeenteraad) terwakili populasi dari Angkola Mandailing di Medan, di Tebing Tinggi, di Pematang Siantar dan di Tandjoeng Balai. Ini mengindikasikan populasi Angkola Mandailing sudah menyebar di pantai timur Sumatra.


Pada tahun 1920 hanya terdapat 53 kota/daerah yang memiliki anggota dewan. Sebagaimana dilaporkan Preanger-bode, 01-02-1921, terdapat sebanyak 767 anggota non-Eropa. dan di Sumatra’Oostkust selain Medan juga terdapat lima kota (gemeente) yang memiliki dewan kota, Kota Pematang Siantar (8), Kota Tandjong Balai (6), Kota Medan (6), Kota Bindjei (6) dan Kota Tebing Tinggi (9). Selain kota-kota tersebut, juga terdapat dewan pada afdeeling (Kabupaten) Oostkust Sumatra yang jumlahnya sebanyak 21 orang non Eropa. Di Residentie Tapanoeli tidak terdapat gemeete. Dari sejumlah daerah yang ada, hanya satu daerah (gewest) yang memiliki dewan, yakni di onderafdeeling Angkola en Sipirok. Jumlah anggota dewan onderafdeeling Angkola en Sipirok sebanyak 23 orang. Mungkin ini sepintas agak aneh, karena Sibolga sebagai ibukota Residentie Tapanoeli tidak terdapat dewan. Bahkan dewan pada tingkat afdeeling di Afdeeling Padang Sidempuan tidak ada. Sebagaimana diketahui Angkola en Sipirok hanyalah salah satu onderafdeeling yang terdapat di Afdeeling Padang Sidempuan. Kota Padang Sidempuan bukanlah sebuah gemeete (Kota). Akan tetapi kota Padang Sidempuan selain ibukota Afdeeling Padang Sidempuan, juga ibukota dari onderafdeeling Angkola en Sipirok. Sedangkan Oostkust Sumatra adalah sebuah province. Ini berarti pembentukan dewan tidak seragam dalam karakteristik. Sedangkan pembentukan dewan di dalam gemeete (kota) bersifat seragam. Yang membedakan adalah jumlah anggota dewan, semain besar sebuah kota semakin banyak jumlah anggota dewan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Rondahaim Radja Raja: Kerajaan Padang oleh Orang Minangkabau atau Orang Batak?  

Sungai besar di Raya dengan nama Bah Bolian. Sungai Bah Bolian di hilir disebut sungai Padang. Mengapa disebut sungai Padang? Berdasarkan Peta 1873 di muara sungai Bolian di pantai diidentifikasi nama kampong Padang. Di arah selatannya di suatu muara sungai diidentifikasi nama kampong Pagoerawan. Dua nama kampong inilah dalam peta-peta Pemerintah Hindia Belanda menjadi nama sungai Pagoerawan dan sungai Padang.


Sementara di utara kampong Padang diidentifikasi nama kampong Serdang. Suatu kampong di muara sungai Bedageh. Seperti disebut sebelumnya, populasi di wilayah Pagoerawan separu orang Batak dan separuh yang lain Melayu (Minangkabau?). Di pesisir arah selatan umunya migran orang Minangkabau (era Padri). Sedangkan jauh di belakang pantai di Tandjoeng Kasaoe adalah populasi orang Batak. Bagaimana dengan populasi di kampong Padang di muara sungai Padang/sungai Bolian? Apakah orang Minangkabau?

Nama sungai Padang diduga kuat adalah nama baru. Nama lama sungai Padang adalah sungai Bolian (yang menjadi navigasi perdagangan tradisi orang Batak di kerajaan Raya). Dalam perkembangannya nama kampong Padang menghilang tetapi muncul nama baru di arah hulu muara sungai Padang dengan nama Bandar Kalipa. Nama kampong Padang tamat. Sementara nama kampong Pagoerawan di muara sungau Bah Hapal tetap eksisi hingga ini hari.


Seperti dikutip di atas, di kota Tebing Tinggi terdapat empat sungai: sungai Padang, sungai Bahilang, sungai Kalembah dan sungai Sibaran. Sungai terbesar adalah sungai Padang dengan nama lama sungai Bolian. Ke sungai Bolian inilah tiga sungai seperti sungai Bah Hilang, sungai Kalemboeh dan sungai Si Baraoe bermuara di Tebing Tinggi. Sungai Bolian yang semakin membesar ini ke arah hilir disebut sungai Padang. Peta 1917

Nama Bandar Kalipa terinformasikan pada tahun 1885 saat mana Pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang pejabat setingkat ontvanger. Lantas sejak kapan adanya nama Bandar Kalipa? Yang jelas pada masa ini nama Bandar Kalipa juga ditemukan di wilayah Pertjoet (Deli). Namun yang lebih tua berada di muara sungai Padang. Bagaimana dengan nama Tebing Tinggi? Terinformasikan pertama kali pada tahun 1886 ketika terjadi tekanan kerajaan Raya (Radja Rondahaim) terhadap Padang (lihat Deli courant, 24-11-1886). Pada saat ini Controleur berkedudukan di kampong Serdang di sungai Bedagai (di sekitar Rampah yang sekarang). Kampong Serdang ini kemudian dikenal kampong Bedagai dekat kampong Tandjoeng Bringin.


Secara geomorfologis tidak tebing tinggi di Tebing Tinggi. Yang ada adalah dataran cenderung bergelombang. Lantas mengapa Namanya disebut Tebing Tinggi? Itu lain soal. Setali tiga uang tidak ada padang di kampong Padang di muara sungai Padang. Yang ada adalah rawa-rawa. Apakah nama Padang dan nama Tebing Tinggi dibawa dari tempat lain? Yang jelis kosa kata tebing dan dan tinggi tidak ada dalam bahasa Simaloengoen. Idem dito dengan nama Lima Poeloeh, Indrapoera dan Talawi di di wilayah Batoebara.

Di hilir daerah aliran sungai Padang hanya ada sungai tunggal yakni sungai Padang sendiri. Sungai Padang ini sangat besar dapat dinavigasi dari laut hingga, paling tidak di Tebing Tinggi. Sungai Padang sangat besar, karena ada tiga sungai lainnya di Tebing Tinggi yang menyatu sama lain yang ke hilir terbentuk sungai tunggal (sungai Padang), Sungai utama yang membentik sungai Padang ini adalah sungai Bolian (sungai yang berhulu di pegunungan di wilayah Raya). Lantas mengapa empat sungai tersebut bergabung di area berdekatan di Tebing Tinggi?


Empat sungai di Tebing Tinggi bergabung membentuk formasi menuju titik tengah. Sungai sisi luar di utara (sungai Bolian) mengarah ke selatan, sementara sungai sisi luar selatan mengarah ke utara (sungai Bah Hilang). Sungai lainnya berada diantara kedua sungai. Secara geomorfologis keempat sungai di Tebing Tinggi ini awalnya (tempo doeloe) bermuara di suatu perairan/laut. Dalam proses sedimentasi jangka panjang terbentuk daratatn baru, yang kemudian empat sungai tersebut menyatu yang dipimpin sungai Bolian (membentuk sungai tunggal) menemukan jalan menuju laut. Lalu memgapa tidak ada sungai lain di sebelah utara sungai Bolian di Tebing Tinggi? Sungai Bolian berada di sisi daratan di utara (daratan yang terbentuk lebih dahulu) yakni daratan antara sungai Bolian dan sungai Bedagai (membentuk formasi tanjung). Pada Peta 1917 wilayah antara sungai Bedagai di utara dan sungai Bah Bolon di selatan diidentifikasi sebagai suatu kawasan basah (banyak rawa-rawa). Seperti disebut sebelumnya antara sungai Hapal dan sungai Bah Bolon menjadi wilayah tangkapan air yang kemudian karena proses sedimentasi jangka panjang terbentuk daratan awal (yang menjadi wilayah Tanjoeng Kasaoe). Antara dua tanjung (Tandjoenga Kasaoe di selatan dan tanjung Bedagai/Bolian di utara kawasn perairan/laut terbentuk daratan yang lebih muda. Hal itulah mengapa hilir sungai Bolian/sungai Padang mengarah ke selatan, sementara hilir sungai Hapal dan sungai Pare-Pate mengarh ke utara. Pengaruh daratan awal (dua tanjung) membelokkan hilir sungai Padang/Bolian dan sungai Hapal maupun sungai Pare-Pare.

Empat sungai yang bergabung di area berdekatan di Tebing Tinggi diduga kuat di masa lalu adalah suatu teluk sempit dimana keempat sungai bermuara (sebuy saja Teluk TebingTinggi). Akibat proses sedimentasi jangka panjang, terbentuk daratan baru di area kota Tebing Tinggi yang sekarang lalu terbentuk sungai tunggal (sungai Padang). Hilir sungai Padang dan hilir sungai Hapal sama-sama bermuara ke perairan/laut tetapi dalam perkembangannya terbentuk lagi daratan baru yang membentuk garis pantai lurus antara semenanjung Tandjoeng Kasaoe (di selatan) dan semenanjung tanjung Bolian/Padang dan Bedagai (di utara).


Besar dugaan Teluk TebingTinggi di masa lampau menjadi pintu navigasi dari laut menuju pedalaman melalui daerah aliran sungai Bolian hingga ke pegunungan (terbentuknya Kerajaan Raya). Jadi dalam hal ini Kerajaan Raya adalah kerajaan yang jauh lebih tua dari Kerajaan Padang (di TebingTinggi). Oleh karena berada di daerah aliran sungai yang sama (sungai Bolian/sungai Padang) maka perselisihan antara dua kerajaan dimungkinkan (karena seara geografis berdekatan).

Lantas siapa pendukung (terbentuknya) Kerajaan Padang di hilir sungai Bolian/sungai Padang? Satu yang jelas Kerajaan Raya merupakan kerajaan yang sudah lama terbentuk di pedalaman, Hal itu didasarkan banyaknya temuan kepurbakalaan di wilayah Raya. Populasu Kerajaan Raya ini memiliki bahasa Simaloengoen dengan adat istiadat Simaloengoen. Kerajaan Raya sendiri juga meniliki aksara sendiri. Satu yang membedakan Kerajaan Padang dengan Kerajaan Deli di utara adalah soal silsilah. Kerajaan Deli melalui garis keturunan, sementara Kerajaan Padang tidak (mungkin semacam persekutuan). Kerajaan Raya juga mengikuti garis silsilah keturunan.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: