Sabtu, Oktober 05, 2024

Sejarah Pantai Timur (5): Wilayah Pesisir di Batubara Antara Tanjung Tiram dan Kuala Tanjung; Kota Indrapura di Suatu Pulau


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Di pantai timur Sumatra terdapat nama-nama tempat/wilayah di kabupaten Batu Bara yang sekarang yang dihubungkan dengann nama tempat di Sumatra Barat (Minangkabau): Datuk Lima Puluh, Datuk Tanah Datar, Limapuluh, Lima Puluh Pesisir, Sei Balai, Talawi, Tanjung Tiram. Bagaimana bisa? Ini mengingatkan kita di wilayah Pasaman (Pasaman dan Pasaman Barat) banyak nama-nama tempat yang dihubungkan dengan Sumatra Utara (Batak/Mandailing). Di kabupaten Batu Bara nama Indrapura kini hanya sekadar suatu desa saja. Bagaimana bisa? Ada peradaban lama di pedalaman (sekitar danau Toba) lalu muncul peradaban baru di pesisir/pantai.


Batu Bara disebut nama bekas kerajaan Batu Bara sejak paruh kedua abad ke-17 (berakhir tahun 1946) yang kini menjadi wilayah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan tahun 2007 dan ibu kota di Lima Puluh. Penduduk kabupaten Batu Bara terdiri Melayu, Jawa, dan Batak terutama Angkola Mandailing, serta Minangkabau. Tanjung Tiram sebuah kecamatan sebagian besar wilayahnya di pingiran laut yang mempunyai dermaga yang dikenal sebagai "BOM", mengacu pada sejarah ketika Jepang masuk ke Sumatera Timur Reruntuhan bekas "pengeboman", berupa pancang-pancang bangunan dari beton yang menjorok ke laut masih bisa dilihat. Wilayah ini dulu mempunyai goo laguna, tetapi penambangan pasir laguna dan pasir kuarsa putih yang sekarang sudah rusak. Kuala Tanjung desa di kecamatan Sei Suka terdapat pabrik [eleburan alumunium PT INALUM serta pelabuhan Kuala Tanjung yang dikelola PT Pelindo I. Indrapura merupakan salah satu kelurahan yang ada di kecamatan Air Putih (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah wilayah pesisir di Batubara antara Tanjung Tiram dan Kuala Tanjung? Seperti disebut di atas ada sejumlah nama tempat yang dihubungkan dengan nama tempat di Minangkabau. Bagaimana dengan Indrapura? Hanya kini suatu desa yangdiduga dulunya adalah suatu pulau. Lalu bagaimana sejarah wilayah pesisir di Batubara antara Tanjung Tiram dan Kuala Tanjung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.


Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Wilayah Pesisir di Batubara Antara Tanjung Tiram dan Kuala Tanjung; Kota Indrapura di Suatu Pulau                                                                 

Sejarah adalah narasi fakta dan data. Fakta dan data sejarah masa lampau kerap berbeda dengan narasi sejaraj masa kini. Mengapa? Hal itulah yang menyebabkan masa kini diperlukan penyelidikan sejarah. Masalah ini terdapat di berbagai tempat, termasuk di wilayah (kabupaten) Batu Bara (Batubara) dan (kabupaten) Asahan yang sekarang.


Nama Asahan diduga kuat berasal dari nama Casang. Hal itulah yang diidentifikasi dalam peta-peta Portugis. Nama Casang ini mirip nama Hasang. Nama Hasang ini diduga telah bergeser menjadi A-sahan. Bagaimana dengan nama Batubara. Nama Batu Bara diduga berasal dari nama Batoe Bahara. Hal itulah yang diidentifikasi pada awal Pemerintah Hindia Belanda. Nama Bahara dalam hal ini mirip dengan Bahoro atau Bahorok. Nama Bahara menjadi Bahra dan kemudian menjadi Bara. Jika Hasang artinya tanah kering, lantas apa artinya bahara. Nama Bahara diduga berasal dari nama Angkola Mandailing yakni biara atau biaro, bihara. Bagaimana bisa?

Pada awal pemberntukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di pantai timur Sumatra (Oost van Sumatra), wilayah Simaloengoen dan wilayah Asahan dibatasi oleh sungai Aek Silo. Sedangkan batas wilayah Laboehan Batoe dengan wilayah Asahan dibatasi sungai Asahan (di hulu) tetapi di hilir menarik garis lurus dari hulu sungai Asahan ke pantai (sejajar sungai Asahan). Batas wilayah Asahan di pedalaman berada di rantai pegunungan Dolok Onggang (di utara) Dolok Simanoek-Manoek (di tengah), dan Dolok Sibolangit (di selatan). Di sebelah barat rantai pegunungan ini adalah danau Toba.


Sungai Silo memiliki sejarahnya sendiri. Nama sungai Silo yang asli (terawal) bukanlah sungai Silo yang mengalir ke kota Kisaran/kota Tanjung Balai. Sungai Silo yang asli (sungai Silo Toea) merupakan batas wilayah Simaloengoen dan wilayah Asahan (yang pada masa ini menjadi batas wilayah kabupaten Asahan dan kabupaten Batubara. Pada Peta 1877 sungai sungai Silo Toea memiliki hulu yang berbeda dengan sungai Silo (baru). Sungai Silo Toea berhulu di puncak Dolok Simanoek-manoek, sedangkan sungai Silo (baru) hulunya di sekitar kampong Bandar Pasir Mandoge. Pada peta yang lebih baru (peta perluasan perkebunan) sungai Silo (baru) dihubungkan dengan sungai Silo Toea. Mengapa? Yang jelas lambat laun sungai Silo Toea debit airnya semakin kecil (dikebiri), sebaliknya debit air sungai Silo (baru) makin besar. Besar dugaan hal itu dilakukan agar permukaan sungai Silo di Kisaran tetap tinggi agar lalu lintas pelayaran dari Tanjung Balai (atau sebaliknya tetap terjaga terutama pada musim kemarau). Hal serupa ini kerap dilakukan. Pada era VOC sungai Sunter yang mengalir ke utara dialihkan ke barat laut menuju Batavia agar pelabuhan Batavia tetap terjaga. Pada era Pemerintah Hindia Belanda cara demikian kerap dilakukan termasuk sungai Silo. Lalu, apa nama sungai Silo (baru) yang melalui Kisaran tempo doeloe? Yang jelas sungai Silo Toea di Tanjung Tiram kini disebut sungai Lalang. Dalam konteks inilah kita bisa hubungkan nama sungai Aek Silo di Sipirok Dolok Hole, sungai Selo di Pagaroejoeng (Batoe Sangkar) dan sungai Solo di Soerakarta.

Nama Batubara diduga bukan nama baru, tetapi nama tua, tidak sebagai Batu Bara tetapi sebagai Batoe Bahara (Batoe Bihara/Biara). Batas wilayah tradisi Asahan dan Batoe Bahara diduga sejak doeloe adalah sungai Silo Toea (yang kini menjadi batas wilayah Asahan dan Batubara). Sungai Silo Toea ini berhulu di puncak Dolok Simanoek-manoek, gunung tertinggi di timur danau Toba di wilayah Asahan dan Simaloengoen. Gunung tinggi pada masa lampau penting dalam hubungannya dengan religi (hal itulah yang terdapat di Pagaroejoeng, gunung Saga dan di Soerakarta, gunung Merapi).


Dalam penyelidikan sejarah, analisis yang bersifat vertical (time series) yakni pada satu titik adalah syarat perlu, tetapi tidak cukup. Untuk mendapatkan narasi sejarah yang lengkap diperlukan syarat cukup yakni dengan meninjau semua sisi secara horizontal (dalam wilayah yang lebih luas). Dalam konteks itulah dimungkinkan ditemukan relasi-relasi antara satu sejarah di suatu tempat dengan sejarah lainnya di tempat yang berbeda, baik pada satu waktu (masa) atau masa yang berbeda-beda. Pendekatan yang bersifat metaholistik ini akan memungkinkan narasi sejarah menjadi lebih terang, manakala data yang tersedia sangat minim, semakin ke masa lampau, data semakin minim (bahkan tidak tersedia). Pendekatan metaholistik, terutama sejarah zaman kuno dimungkinkan melakukan intrapolasi dan ekstrapolasi. Hal itulah nanti lebih mudah memahami mengapa ada nama mirip/sama di tempat yang berbeda seperti nama Pane, Binanga dan Silo serta Raya dan Melea/Malela serta Batoe Nanggar di Padang Lawas (Angkola Mandailing) dengan di Simaloengoen/ Asahan dan Batubara         

Jika nama Batu Bara merujuk pada nama Batoe Bahara (Batoe Bihara, Batu Biara/Biaro), lantas apakah Batoe Bahara di daerah aliran sungai Silo (Toea) memiliki relasi dengan Batoe Nanggar (Djati) di Sipirok Dolok Hole yang menjadi hulu sungai Aek Silo? Batoe Nanggar Djati di Sipirok Dolok Hole menurut cerita rakyat dulunya adalah tempat pemujaan. Di wilayah Padang Lawas tempat pemujaan yang diketahui adalah Biaro (Biara, Bihara) yang merupakan candi-candi yang terdapat di daerah aliran sungai (Batang) Pane. Sungai Batang Pane ini bermuara ke sungai Baroemoen di kota/kampong Binanga.


Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing oleh HJ Eggink tahun 1936 binanga diartikan sebagai pertemuan dua sungai (sungai Pane dan sungai Barumun) dan batu nanggar diartikan sebagai palu godam (seperti bentuk gunung Batoe Nanggar Djati). Sungai Pane berhulu di gunung yang sama di Sipirok Dolok Hole dengan sungai Aek Silo. Sementara itu sungai Barumun berhulu di gunung Malea di Mandailing (di Simaloengoen ada nama Dolok Malela), suatu gunung tinggi yang tidak jauh dari gunung Loeboe Raya di Angkola. Apakah nama-nama tersebut kebetulan sama antara yang ada di Angkola Mandailing (Padang Lawas) dengan yang ada di Simaloengoen? Nama-nama yang mirip lainnya adalah Dolok Batoe Loteng dekat Dolok Simanoek-manoek (di Angkola Batoe Loting); kampong Si Antar (di Mandailing Hoeta Siantar);

Nama-nama tempat di wilayah Simaloengoen banyak yang mirip dengan di Angkola Mandailing (Padang Lawas). Pada Peta 1877 di wilayah Simaloengoen diidentifikasi nama-nama wilayah kecil (distrik) Raya, Si Antar, Bandar, Tanah Djawa serta Orang Timor. Di sebalah timur nama Batoe Bahara, di sebelah utara Padang dan sebelah barat Orang Karo. Nama-nama wilayah (distrik) ini diduga kuat juga ada yang mewakili nama kerajaan seperti Kerajaan Raya dan Kerajaan Siantar.


Nama distrik disebut menggunakan kata depan orang yakni distrik Orang Timor dan distrik Orang Karo. Pengidentifikasian semacam ini sangat jarang dalam pembuatan peta-peta. Distri Orang Timor tepat berada di barat distrik Raya dan lebih barat lagi distrik Orang Karo. Mengapa diidentifikasi dengan nama Orang Timor dan Orang Karo? Yang juga menarik dipeharikan nama-nama tempat di wilayah tersebut nama Simaloengoen sejak awal diidentifikasi dengan nama Sibaloengoen. Mengapa bukan Simaloengoen? Dalam Peta 1877 diidentifikasi dengan nama Sibaloengoen. Di surat kabar juga disebut Sibaloengoen (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 05-04-1884). Dapat ditambahkan disini dalam pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda wilayah Sibaloengoen terdiri distrik (oeroeng): Tanah Djawa, Siantar (dengan Bandar), Pane dan Raya, serta ditambahkan Dolok dan Poerba. Nama Simaloengoen baru muncul pada tahun 1892 (lihat Deli courant, 30-03-1892).

Wilayah Batoe Bahara dan wilayah Sibaloengoen merupakan dua wilayah yang terintegrasi secara geografis. Simaloengoen di atas dan Batoebahara di bawah (pesisir). Dua wilayah ini dihubungkan dengan sungai-sungai besar seperti sungai Silo Toea (berhulu di gunung Simanoek-manoek) dan sungai Bah Bolon (yang melewati kampong/kota Si Antar) yang berhulu di gunung Dolok Matjaroendoeng (dekat danau Toba). Nama asli sungai Bah Bolon adalah sungai Binomon (mirip nama Baromon atau Baroemoen di Padang Lawas. Catatan: Di sungai Bah Bolon ini di dekat (kampong) Bangoen dan (kampong) Dolok Malela bermuara sungai Botoeng (yang berhulu di kampong Parapat, selatan Dolok Matjaroendoeng. Botoeng adalah nama umum untuk kampong di Angkola Mandailing. Apakah dalam hal ini Matjaroendoeng (nama yang mereduksi) dari dua gabungan nama kampong Marantjar dan Sisoendoeng yang terdapat di Angkola?


Nama-nama tempat di wilayah Simaloengoen/Batoebahara seakan terkesan replikasi nama-nama lama yang terdapat di wilayah Angkola Mandailing (Padang Lawas). Apakah dulunya, telah terjadi migrasi besar-besar dari selatan ke utara di belakang pantai di pantai timur Sumatra? Oleh karena migrasinya di bagian dalam, migrasi dari selatan ini diduga yang terawal (era Hindoe), sebelum muncul migrasi baru di wilayah pesisir di Batoe Bahara (diduga era awal Pemerintah Hindia Belanda).

Sungai Binoman atau sungai Bah Bolon adalah jalur navigasi terpenting di wilayah Simaloengoen dan Batoe Bahara. Sungai ini sangat panjang, berhulu di dekat danau Toba, melalui Panai, Si Antar, Bandar dan Perdagangan. Satu yang penting diperhatikan tidak jauh di hilir dari kota Perdagangan ini sungai Bah Bolon bercabang dua, tetapi di arah hilirnya kedua jalur sungai itu bergabung kembali (menjadi sungai Bah Bolon).


Di bagian dua cabang sungai ini diidentifikasi nama kampong Indrapoera. Pertanyaan yang muncul apakah dulunya kampong/kota Indrapoera ini berada di suatu pulau? Secara geomorfologi, sungai Bah Bolon selepas kota Perdagangan (20 M dpl) elevasi sungai menurun drastic hingga di percabangan sungai (Indrapoera) setinggi 10 M dpl, yang kemdian ke arah hilir lebih stabil.

Secara teoritis berdasarkan pendekatan geomorfologis suatu daratan yang luas jauh ke pedalaman (lebih rendah dari 10 M) diduga dulunya adalah perairan/laut. Dalam hal ini kota Perdagangan adalah suatu pelabuhan kuno yang terdekat ke arah pesisir/pantai. Dalam hal ini, besar kemungkinan, garis pantai dulunya berada diantara kota Perdagangan dan kota Indrapoera.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kota Indrapura di Suatu Pulau: Sungai Bah Bolon di Pedalaman Pantai Timur Sumatra

Peradaban tua di wilayah Simaloengoen berada di wilayah pedalaman dengan navigasi utama di daerah aliran sungai Bah Bolon. Pusat perdagangan utama tempo doeloe di kota Perdagangan yang sekarang (yang kemudian disusul terbentuknya kota Indrapoera). Para pendatang dari lautan melakukan transaksi di di pelabuhan Perdagangan. Penduduk di belakang pantai hingga pedalaman membawa produk alami (kamper dan kemenyan) dan para pedagang membawa produksi manufaktur seperti garam, kain dan besi.


Seberapa tua kota Siantar sulit diketahui secara pasti. Namun sebagai proksi dapat dipahami, kota Perdagangan lebih muda dari pada kota Siantar. Namun seberapa tua kota Perdagangan juga sulit diketahui. Satu yang jelas nama kota Indrapoera yang diduga dulunya berada di suatu pulau di muara sungai Bah Bolon (nama aslinya sungai Binomon) yang kira-kira sejaman dengan kota-kota yang menggunakan kata poera (kota) seperti Martapoera (Lampoeng dan Kalimantan Selatan), Telainapoera (Djambi), Tandjoengpeora (Kalimantan Barar dan Langkat), Singapoera (Semenanjung Malaya) dan mungkin Indrapoeri di Atjeh.

Dalam konteks inilah kita dapat memahami bahwa besar dugaan dulunya wilayah (kabupaten) Batubara yang sekarang merupakan wilayah peradaban baru. Suatu peradaban dimana populasi muncul karena terbentuknya daratan baru (hasil proses sedimentasi jangka panjang). Dalam hubungan inilah kita dapat menghubungkan munculnya nama Batoe Bahara yang merujuk pada Batoe Bihara/Batoe Biara (yang kemudian bergerser menjadi Batoe Bhara atau Batoe Bara). Nama-nama tempat di wilayah (kabupaten) Batubara terbilang nama-nama baru, sementara nama-nama di pedalaman di wilayah Simaloengoen berasal dari zaman kuno, seperti Pane, Binanga, Melela, Raya, Silo, Siantar dan sebagainya.


Nama Binanga diduga sudah sangat kuno. Dalam prasasti Kedoekan Boekit (aba ke-7) disebut nama Minanga Tamuan, suatu nama yang diduga Binanga yang sekarang. Dalam bahasa Angkola Mandailing binanga diartikan sebagai pertemuan sungai. Oleh karenanya memiliki relasi dengan yang tercatat dalam prasasti sebagai Minanga Tamuan. Nama Binanga sebagai Binwangan pada prasasti Laguna (abad ke-10). Sementara nama Pane muncul dalam prasasti Tanjore pada abad ke-11. Dalam prasasti ini tidak hanya nama Pane yang disebut, juga nama yang diduga Batugana, Takkolam (Angkola) dan Madamalingam (Mandailing). Pada abad ke-14 dalam teks Negarakertagama disebut nama Panai, Lawas, Rokan, Harw (Aru) dan Mandailing. Dalam laporan Ma Huan abad ke-15 disebut nama Alu yang diduga Aru. Nama Aru diduga merujuk pada nama sungai Baroemoen (Ba-aroe-moen). Dalam laporan Mendes Pinto pada abad ke-16 disebut nama kerajaan Aru Batak Kingdom. Peta 1877

Populasi di wilayah (kabupaten) Batubara, seiring dengan terbentuknya daratan baru, semakin masif dari waktu ke waktu. Pertumbuhan populasi di wilayah Batoe Bahara sangat drastis ketika emigran dari Minangkabau mendarat pada permulaan tahun 1800an (eksodus pada era Padri). Emigran ini awalnya di wilayah pesisir muara sungai Baroemoen (Pane dan Bila) (lihat laporan TH Willer. 1846), namun terdesak emigran dari Angkola Mandailing (Padang Lawas), dan kemudian emigrant dari Minangkabau ini bergeser ke arah utara yang diduga kuat di wilayah Batoe Bahara. Catatan: Eksodus akibat Padri, penduduk Minangkabau, Angkola dan Mandailing juga banyak menuju wilayah Semenanjung seperti Minangkabau di wilayah Negeri Sembilan, Angkola Mandailing di wilayah Perak dan Selangor. Sebagaimana diketahui pendiri kota Kualumpur di Selangor adalah orang Mandailing dan Angkola.


Emigran Minangkabau di wilayah Batoe Bahara yang marjinal (banyak rawa dan kerap banjir) membuka kampong-kampong baru. Dalam perkembangannya kampong-kampong baru yang secara komunal berasal dari wilayah yang sama (Minangkabau) terbentuk lima wilayah berdasarkan kelompok populasi yang merujuk pada suku: Lima Laras, Boga, Pesisir, Tanah Datar dan Lima Poeloeh (lihat Deli courant, 25-07-1885). Dalam perseteruan dalam perdagangan di pesisir antara Atjeh dan Siak, wilayah Batoe Bahara berada di bawah proteksi (kerajaan) Siak (sementara di utara Deli dan Tamiang di bawah proteksi Atjeh).

Seperti di kutip di atas bahwa penduduk kabupaten Batu Bara terdiri Melayu, Jawa, dan Batak terutama Angkola Mandailing, serta Minangkabau. Disebutkan persentase terbesar adalah Melayu, kemudian Jawa dan disusul Angkola Mandailing. Lantas mengapa kini Minangkabau terbilang kecil persentasenya. Bukankah yang mendiami wilayah pesisir Batoe Bahara awalnya yang dominan adalah Minangkabau?


Seperti disebut di atas, nama-nama tempat di wilayah Simaloengen banyak yang mirip dengan nama-nama tempat di Angkola Mandailing (Padang Lawas) seperti Binanga, Pane, Silo dan Raya. Sementara di wilayah Batoe Bahara sebagaimana ditunjukkan dalam Peta 1877 terdapat nama-nama tempat di Batoe Bahara yang diasosiasikan dengan nama-nama tempat di Minangkabau seperti Lima Poeloeh, Paroepoek.Boga dan Pesisir.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: